Selasa, 13 Januari 2015

Mengais Harapan







Matahari belum terbit. Kira-kira pukul empat subuh mereka sudah bersama-sama keluar rumah. Diantara kegelapan, mereka berjalan beriringan sambil memegang obor ditangannya masing-masing. Udara dingin seakan menusuk rusuk anak-anak kecil ini, tapi mereka terus berjalan. Berhati-hati kaki mungil itu menapaki jalan yang bergelombang. Tanpa alas kaki, kaki mereka menapak pasti. Tanpa baju hangat, tubuh mereka tegar berdiri. Tanpa tas dan alat tulis lainnya, niat mereka teguh, meraih mimpi-mimpi yang sudah mereka rakit. Hatinya memantapkan hati untuk menjadi seseorang suatu saat nanti. Tanpa pernah mereka tahu, ada sepasang mata yang terus mengikutinya.
Lebih kurang satu setengah jam mereka sampai ditepian sungai, sungai rumpit namanya. Sungai yang terletak dipedalaman Rimba Rupit, Sumatera Selatan ini, seakan menjadi saksi bisu betapa banyak mimpi-mimpi yang bertebaran ketika mereka menyebrangi sungai ini. Bocah-bocah ini dengan mulai berbaris untuk menyebrangi sungai satu per satu. Hanya ada satu buah jembatan yang digunakan untuk menyebrangi sungai yang menjadi satu-satunya jalan untuk sampai ke sebrang. Sepasang mata itu merasakan ngeri ketika kaki-kaki mungil itu berjalan tertatih melewati jembatan. Setelah mereka semua sampai disebrang, ia pun melewati jembatan itu perlahan-lahan.
            Tak pernah disangkanya, semua anak-anak ini berjalan menuju sebuah bangunan yang kecil dan lusuh, didepannya terdapat tulisan “SD Harapan Bangsa”
“Tuhan, haruskah seperti ini untuk mencapai pendidikan di negara semakmur dan sekaya Indonesia?” air matanya menetes.
Mereka mencuci kakinya yang kotor disebuah kolam kecil yang memang disediakan untuk mencuci kaki anak-anak itu sebelum masuk ke kelas. Tapi, kelas? Sekecil ini? Oh, Tuhan..
Ia mendekati jendela-jendela yang sudah rapuh. Ditengoknya kedalam, anak-anak mungil ini duduk dilantai sambil menatap ke arah guru yang berdiri didepan kelas. Seorang guru muda, berparas cantik, mengajari mereka dengan sabarnya.
“Coba sekarang ibu mau tanya, apa cita-cita kalian?” tanya guru kepada murid-muridnya.
“Aku ingin menjadi dokter, Bu!”
“Aku ingin menjadi guru!”
“Aku ingin menjadi pengusaha!”
“Aku ingin menjadi presiden, Bu!” jawab seorang anak perempuan berparas manis, berkulit hitam, berlesung pipit.
“Kenapa kamu ingin menjadi presiden, sayang?” tanya sang guru lembut.
“Karena aku ingin membangun jembatan, sekolah yang bagus,” jawabnya polos.
Sang guru hampir saja meneteskan air matanya. Sungguh mulia sekali cita-cita anak-anak ini, keinginannya untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Kalau sudah seperti ini kenyataannya, kenapa masih banyak yang melewengkan uang pendidikan mereka?
***
Mereka sedang bermain air dipinggir sungai. Aku mendekati mereka.
“Hai adik-adik, lihat nih kakak bawa apa?” kataku sambil menggoyang-goyangkan beberapa buku ditanganku yang ku bawa dari rumah.
“Wah banyak sekali bukunya, kak. Eh, tapi, kakak siapa?” tanya salah satu dari mereka.
“Oh,iya, sini kita kenalan dulu yuk..” kataku meminta mereka untuk mendekat.
Mereka pun mendekat. Dan duduk disampingku, membentuk lingkaran.
“Kenalin nama kakak Riani. Kakak kesini karena ada sesuatu urusan,”
“Urusan apa?” tanya salah satu dari mereka.
“Urusan kuliah, sayang,” jawabku sambil mengelus kepalanya lembut.
“Kuliah itu apa, kak?” tanya yang satu lainnya.
“Sebelum kakak jawab, kalian kenalkan diri dulu ya satu-satu..” kataku sambil tertawa kecil.
“Oke, kak. Namaku Bita, aku kelas 2 SD,”
“Namaku Suli, aku sekelas sama Bita,”
“Aku Jati, aku kelas 2 juga tapi beda kelas sama Suli dan Bita,”
“Aku Sera, kak..”
“Ya,ampun ternyata anak ini namanya Sera..” gumamku dalam hati, ya, anak ini yang tadi bercita-cita menjadi presiden.
“Sekarang kakak jelasin apa itu kuliah, kak?” tanya Jati, seorang anak lelaki yang berambut keriting, berbadan kurus.
“Oh,iya. Jadi, kuliah itu adalah sekolah lanjutan setelah SMA. Di perkuliahan nanti kalian bisa memilih jurusan-jurusan yang kalian mau,”
“Jadi, aku harus kuliah kalau mau jadi presiden ya, kak?” tanya Sera.
“Iya, Sera. Kamu ingin jadi presiden?”
Ia mengangguk malu, perlahan air matanya menetes.
“Kenapa kamu menangis, sayang?” tanyaku lembut.
“Orang tuaku bilang, aku tak akan bisa jadi presiden, kak. Katanya itu tak akan mungkin. Menyekolahkanku saja orang tuaku harus kerja banting tulang pagi siang malam..” jelasnya.
Aku memeluknya erat, lalu menghapus derai air matanya.
“Apa orang pedalaman seperti kita tak bisa mempunyai cita-cita seperti itu ya, kak?” tanya Jati.
“Cita-cita itu hak setiap insan manusia. Siapapun dia, cita-cita apapun yang ia inginkan, tak ada yang patut dipersalahkan. Jadi, kalian bebas bercita-cita sesuai hati kalian. Kakak bawa buku-buku banyak untuk kalian, semoga ini bisa bermanfaat. Dan harus dibaca ya, kalian adalah penggenggam indonesia 10 tahun kedepan..”
“Benar, kak? Jadi kita boleh bercita-cita setinggi apapun?” Sera bersemangat.
“Boleh, sayang. Kakak selalu berdoa untuk keberhasilan kalian semua,”
“Kakak baik sekali..” mereka semua memelukku.
“Tuhan, mudahkan mimpi-mimpi mereka. Amin.” Doaku dalam hati.
Merekapun membaca buku-buku yang kuberikan. Mereka begitu senang dan serius membacanya. Senang sekali melihatnya.
***
Sepertinya pendidikan yang layak belum menyeluruh di Indonesia yang sangat makmur ini. Masih banyak yang harus diperbaiki. Mereka, anak-anak kecil yang memiliki cita-cita yang sangat mulia. Mereka memang polos, tapi dari kepolosannya itu terciptalah impian-impian yang begitu sangat mereka dambakan. Hanya Tuhan yang tau bagaimana nasib mereka kelak. Mungkin Tuhan sudah menulis skenario-skenarionya yang indah untuk anak-anak ini. Tuhan tak akan buta untuk melihat bibit-bibit penerus bangsa Indonesia yang akan membawa pendidikan Indonesia lebih dan lebih maju lagi dari zaman sekarang.
Harapan-harapan, cita-cita, impian-impian mereka sudah tercatat rapi di skenario Tuhan. Semoga mereka berhasil mencapai cita-citanya masing-masing.
Diantara keheningan malam, aku mengetik sebuah judul skripsiku. “Mengais Harapan Anak-Anak Pedalaman”