Selasa, 22 Mei 2012

Alone With MyFeel


“Senyumannya itu loh yang bikin aku  kepikiran terus sama dia..” gumam Permata sambil terus memperhatikan seuntai senyum yang dimiliki  Marvin, seorang cowok yang sedari dulu ia sukai. Ya, inilah yang biasa dilakukan Permata, seorang gadis pendiam. Mungkin karena memang sifatnya yang pendiam, ia lebih suka memandangi Marvin dari kejauhan, mulutnya tak berhenti mengagumi sosok Marvin.

“Gak bosen ngeliatin dia terus?” celetuk Renata, teman dekat Permata.
“Aku hanya mampu memandanginya, karena aku yakin aku tak akan mampu menggapainya..”  jawab Permata sambil terus memperhatikan Marvin.
“Ya ampun, Permata. Kamu sadar gak sih? Udah dua tahun loh kamu kayak gini..”
“Aku sadar banget, Ren. Mungkin suatu saat nanti dia akan ngeliat kalau ada aku disini yang udah sejak lama mengagumi sosoknya..”
“Kamu gak capek?”
“Kalau capek kenapa aku masih bertahan dengan perasaan ini?”
“Kamu hebat banget, Ta. 2 tahun kamu bertahan tetap suka sama Marvin tanpa pernah Marvin tau..”

Permata menahan tetesan air matanya, ia terharu ketika mendengar Renata berkata kalau ia hebat. Tanpa pernah Renata tau, kalau Permata seringkali menangis, bahkan hampir setiap hari ia selalu menangis kala ingat apa yang ia rasakan sekarang. Pertemuan 2 tahun yang lalu di SMA ini adalah pertemuan yang amat sangat disyukurinya. Pertemuan yang terlalu singkat memang, tapi sesingkat-sesingkatnya pertemuan itu kini masih menjadi kenangan yang diingat oleh Permata. Sama sekali tak pernah ada dikhayalannya kalau ia akan berkenalan dengan cowok seperti Marvin, cowok yang bisa dibilang adalah cowok populer di sekolahnya sekarang. Marvin adalah kapten basket dan dia juga adalah seorang ketua OSIS.
Pertemuannya dengan Marvin diawali saat ia pertama kali masuk ke SMA ini, sebenarnya ia baru sekali bercakap-cakap dengan Marvin, itu juga hanya saat perkenalan saja.

“Marvino Aderisya, panggil aja Marvin..” katanya pada saat itu.
Dengan gugup, Permata menyambut tangan Marvin.
“Permata Putri Shubhan, panggil aja Permata..”
Mereka saling berjabat tangan. Hati Permata terus menerus bergetar sampai pada saat Marvin melepaskan jabatan tangannya.  Kenapa ini? Kenapa senyumannya begitu menawan? Sampai lupa daratan aku dibawanya.
Sejak saat itu, Permata terus menerus memperhatikan dan mengagumi Marvin dari jauh. Ya, kenapa begitu? Karena ia sadar, Marvin terlalu indah untuknya. Apalagi ia tau, saat ini Marvin sudah mempunya kekasih, Lusi namanya. Ini bukan kali pertama Permata diam memendam cemburu yang mendalam kala ia tau Marvin sudah menjadi kekasih orang lain. Marvin pernah beberapa kali berpacaran dengan beberapa cewek populer di sekolah ini. Permata hanya mampu diam dan terus diam sambil menangis. Tapi kenapa ia menangis? Menangisinya yang bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Ah Permata bukanlah gadis yang bodoh, ia pasti melakukan semua itu karena ada suatu alasan, meskipun alasan itu hanyalah ia dan Tuhan yang tau.

“Kapan aku bisa ada disamping kamu? Kapan aku ada diposisinya “dia” pacar kamu?”
“Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku, Marvin?”
“Apa diam adalah cara terbaik untuk tetap menyayangi dan mengagumimu?”
“Aku akan tetap bertahan, aku akan tetap disini, aku akan tetap mengagumimu dari kejauhan..”
Ungkapan-ungkapan itu nampaknya hanyalah menjadi sampah yang akan terbuang sia-sia oleh Marvin.

Ketika tengah asyik memperhatikan Marvin yang tengah bermain basket, seorang mantan kekasih Marvin menghampiri Permata, Gendis namanya.
“Hai..” sapanya ramah.
Permata menengok dan sedikit kaget karena melihat Gendis ada disampingnya.
“Iya, Gendis. Ada apa?”
“Kamu tau namaku?”
“Iyalah, siapa sih yang gak kenal kamu? Gendis mantannya Marvin si kapten basket itu..”
“Hoalah gitu ya? Kamu suka ya sama Marvin?” tanyanya yang membuatku bingung apa yang harus aku jawab.
Aku diam sesaat.
“Kenapa kamu tanya gitu?”
“Aku sering melihat kamu sedang memperhatikan Marvin dari jauh..”
“Memangnya memandangi orang dari jauh itu berarti menyukai orang tersebut ya?”
“Ya, enggak sih. Tapi tatapan mata kan gak bisa bohong. Kamu jujur aja kalau kamu emang suka sama Marvin, aku bisa bantu kamu kok buat deket sama dia..”
“Hah?” Permata tersentak kaget.
“Bagaimana mungkin mantan pacar Marvin ingin membantunya untuk dekat dengan Marvin?” pikirnya.  Tapi Permata harus berpikir untuk ke depannya, bagaimana kalau Marvin malah menjauhinya kalau Marvin tau jika Permata menyukainya? Permata pun menolak apa yang ditawarkan Gendis.
“Aku gak suka kok sama Marvin, aku cuma seneng aja ngeliat dia main basket..” jawabku berbohong.
“Ya, udah kalau gak mau aku bantu. Maaf ya ganggu waktunya. Semoga gak ada penyesalan..” katanya lalu berlalu meninggalkan Permata.
“Penyesalan? Penyesalan apa?” gumamku.
***

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berganti tahun. Kini, aku telah mencapai kelulusan SMA ku.  Angkatanku tahun ini lulus 100%, terima kasih ya, Tuhan.

“Permataaaaa, aku lulus!” teriak Marvin sambil berlari ke arahku.
Aku tersenyum bangga, sambil menyaksikan kebahagiaan yang memancar dari wajah Marvin, wajah yang sedari dulu ku kagumi.
“Iya, selamat ya. Aku ikut seneng kok..”
“Makasih, Permata..” Marvin memelukku.

Astaga, ya Tuhan, bolehkah aku memintamu untuk menghentikan waktu saat ini? Aku tak ingin semuanya berakhir. Aku ingin terus merasakan pelukan ini. Marvin masih memelukku, entah apa maksudnya. Ingin rasanya saat ini juga aku ungkapkan bahwa aku menyayanginya, dari dulu sampai sekarang perasaan itu tak akan pernah berubah dan masih tetap bertahan. Tapi, aku tak mampu mengatakan semuanya. Tanpa terasa air mataku menetes, aku tak kuasa menahan semua ini. Andai Marvin tau perasaanku yang kupendam selama 3 tahun ini. Perasaan ini masih abadi, terbungkus senyumanmu yang selalu ku temui setiap hari. Perasaan ini tak pernah hilang, walau aku tau perasaan ini tak pernah ada di dirimu.

“Selamat juga ya kamu lulus, Ta..” kata Marvin seraya melepaskan pelukannya.
“Iya, makasih ya, Vin..” jawabku.

Setelah itu Marvin meninggalkan Permata dan berlari menuju teman-temannya yang lain. Sedangkan Permata hanya kembali diam dan duduk didalam kelas. Ia kembali mengingat apa yang dibilang Gendis, mantan kekasih Marvin. Ia bilang “Semoga gak ada penyesalan..” sampai sekarang kata-kata itu masih terus diingatnya.
“Penyesalan apa? Apa aku akan menyesal kalau terlalu lama memendam semua ini?” gumamku.

Permata mengambil beberapa lembar kertas dari dalam tasnya, lalu dituliskan diatasnya.

Dear Marvin, sampai kapan aku menunggu? Sampai kapan aku memandangimu? Sampai kapan aku mengharapkanmu? Hanya waktu yang akan menjawab semua pertanyaan bodohku ini. Aku tau, aku tak secantik mereka, aku tak sepopuler mereka. Ya, mereka. Mereka yang pernah dekat denganmu atau bahkan berpacaran denganmu. Aku iri dengan mereka, Vin. Aku ingin ada diposisi mereka, tapi aku bisa apa? Aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa bagimu.
3 tahun aku mengenalmu, tapi kenapa aku masih merasa menjadi orang asing untukmu? Kenapa Tuhan tak memberiku kesempatan untuk lebih dekat denganmu? Apa Tuhan memang menginginkan kita untuk bertemu, berbincang dna berjabat tangan denganmu sekali saja? Apa aku salah kalau aku berharap kita dapat lebih dari semua itu? Apa aku salah kalau aku ingin lebih dekat denganmu? Sekali saja.
Bahkan kalau bisa tadi aku ingin memberhentikan waktu saat kamu memelukku penuh rasa bahagia. Itu yang aku inginkan sedari dulu, saat pertama kali kurasakan sayang ini. Eh tunggu, ini bukan sayang, lebih dari itu, aku ingin memilikimu walau kamu terlalu abu-abu untukku. Kamu terlalu sulit kuraih. Jadi bagiku, cukuplah mengagumimu, memikirkanmu, merindukanmu, menyayangimu, tanpa perlu memilikimu.
Aku berharap, biarkanlah halangan untuk memilikimu itu ada tapi jangan sampai ada halangan untuk tetap merindukan dan mengagumimu.
Aku ingin kamu tau perasaanku, meski aku tak tau bagaimana reaksimu ketika mengetahui semuanya. Jadi lebih baik ku urungkan keinginanku itu, lebih baik aku diam dan biarkan waktu membuka semua rahasia ini.

Dari dalam kelas, Permata melihat Marvin tengah bercanda gurau dengan “Jasmin” seorang siswi kelas 1 yang sudah sekitar 4 bulan ini menjadi kekasihnya. Ia terlihat sangat bahagia ketika ternyata Jasmin memberikannya sepasang sepatu basket untuk hadiah kelulusannya.  Marvin memeluk  gadis yang disayanginya itu dengan penuh kasih. Aku yakin, Marvin dan Jasmin amat sangat saling menyayangi.
Tuhan, bolehkah aku cemburu diantara kasih sayang mereka? Bolehkah aku menangis melihat kebahagiaan mereka?

Berteman air mata, disisi kelas, berhadapan dengan pemandangan yang membuat air mata terkuras habis. Marvin, terima kasih atas pelukanmu tadi. Walaupun tak disertai rasa sayang, aku cukup senang. Dan aku tau pelukan itu takkan sama dengan pelukan yang kamu berikan kepada Jasmin, kekasihmu.
Biarkanlah air mata ini berbicara tentang semua perasaan yang kupendam sendiri, tak diketahui siapapun. Biarkan semua ini menjadi kisah, kisah yang belum terungkap bagaimana endingnya. Biarkan aku tetap mengagumi dan menyayangimu dari kejauhan. Biarkan aku memimpikanmu, karena aku yakin kamu takkan pernah menjadi nyata untukku. Biarkan aku tersiksa sendiri menahan cemburu yang membara. Biarkan aku selalu bersahabat dengan perasaan ini. Biarkan aku tersenyum menahan air mata, melihatmu bersamanya. Biarkan aku menyimpan semua harapan yang tak tau kapan akan terwujud.

Sampai saat ini, aku masih menunggu alasan, alasan dari kenapa aku masih menyayangimu sendiri, kenapa aku masih menunggu penyesalan dari alasan kenapa aku menyayangimu? Mungkin penyesalan itu takkan pernah ada, karena perasaan ini tulus, teramat tulus. Kalaupun memang ada penyesalan, biarkanlah penyesalan itu menjadi kenangan yang takkan pernah terlupa oleh masa. 

Senin, 21 Mei 2012

“Aku sayang kamu, Shera. Happy Anniversary..”


“Aku gak menyesali keputusanmu untuk sendiri dan memutuskan hubungan ini, karena aku sadar suatu saat nanti kamu akan tau siapa yang benar-benar menyayangimu”

Coretan-coretan yang sama sekali tak pernah tersentuh oleh sosok yang selalu hadir di pikiranku. Ya, memang sosok itu kini bukanlah siapa-siapa dalam hidupku. Dulu, sosok itu nyata, sosok itu hadir, sosok itu menemani, setia, selalu ada. Ya, dulu, dulu dan dulu. Tak bisa ku pungkiri dulu memang indah, bukannya aku tak mau melupakan semuanya, tapi sosok itu sudah terlalu dalam masuk ke hatiku. Ini salah siapa? Salahmu? Tentu saja bukan, mana mungkin aku menyalahkan sosok orang yang sampai sekarang menjadi semangat disetiap nafasku. Ini salahku, salahku yang terlalu sayang, salahku yang terlalu berharap lebih jauh, salahku yang terlalu menginginkan untuk selalu bersamamu. Maaf, aku bukan pelupa yang hebat. Kamu sudah terlalu lama ada disini, dan sampai saat ini belum tercetus niatku untuk melupakan dan membuang semua cerita antara aku dan kamu, dulu.
Kenapa? Kenapa semuanya harus seperti ini? Aku tau, kamu sudah memutuskan semuanya, kamu sudah lupakan semuanya. Tapi, tak begitu denganku. Meskipun aku tau, kamu disana sudah bersama yang lain, bersamanya yang selalu bisa mengembangkan senyummu. Sementara aku, aku masih tetap tegar bersama sifat munafikku. Aku masih berusaha tersenyum dan berpura-pura kalau aku ikut bahagia dalam kebahagiaanmu bersamanya. Tak mengapa bagiku, melihatmu tersenyum bersamanya saja, aku sudah cukup senang. Bagaimana kalau aku yang ada diposisinya sekarang? Kamu bisa bayangkan betapa bahagianya aku.
Ah, kenapa kamu terus mendominasi otakku? Padahal sudah 6 bulan lamanya kamu pergi dan memutuskan semuanya. Rasanya baru kemarin kamu bilang kalau kamu menyayangiku dan menginginkan aku untuk menjadi kekasihmu. Ya, baru kemarin. Andai aku mampu lebih sabar menahan egoismu. Tapi kalau terus menerus aku yang bersabar, bukan cinta namanya. Karena yang kutau cinta itu adalah dua perasaan yang disatukan. Sedangkan kita? Apa pernah kamu menahanku saat aku tengah marah? Jadi, ya kalau dipikir-pikir semuanya lebih baik diputuskan walaupun penyesalan dan rasa rindu itu datang.

“Happy Anniversary 1 tahun ya, sayang”Pesan singkatku yang kutujukan untuk Rendi, seorang lelaki yang sampai sekarang masih melekat dihatiku. Hari ini, 28 April 2011 adalah hari jadiku dengan Rendi. Aku masih mengganggap tanggal itu sebagai hari jadi aku dan Rendi. Sudah hampir 6 bulan ini, aku merayakan hari jadi kita seorang diri. Ya, mau gimana lagi? Mengharapkanmu? Aku rasa itu mustahil, jangankan merayakannya, membalas pesanku saja kamu sudah enggan. Air mataku menetes kala membaca balasan pesan dari Rendi.

“Ada apa lagi sih, Shera? Kita tuh udah putus, knp lo terus-terusan ngucapin anniv? Pecuma! Gue juga udh ada pengganti lo. Please, lupain gue”

Ya Tuhan, haruskah air mata ini selalu menemani setiap hari jadiku dengannya? Kapan semuanya akan berakhir? Kapan aku akan berhenti mengharapkannya? Kapan aku akan berhenti melupakan hari jadi ini? Aku terlalu lemah untuk melupakan itu, karena itu sudah terlalu dalam masuk ke otakku.
Haruskah aku terus menerus menampakkan senyuman palsu di depannya bersama kekasih barunya? Tanpa pernah kekasihnya tau, aku masih merindukan sosok yang sekarang menjadi kekasihnya. Aku masih merindukan kekasihmu yang dulu menjadi kekasihku.

“Aku gak bisa, Ren. Aku tau semuanya salah aku, tp apa hrs putus? Aku selalu sabar ngadepin sifat kamu yg selalu marah-marah sama aku. Kenapa kamu gak prnh ada usaha sedikit untuk mempertahankan hubungan ini? Aku udh coba untuk lupa, tapi gak bisa. Tolong ajarin aku, bagaimana caranya untuk benci sama kamu, karena kamu cuma ngasih tau aku bagaimana caranya untuk sayang sama kamu”

Rendi membalas pesanku.
“Apa yg harus dipertahankan, Sher? Gak ada. Lo sendiri yg blng kalo sifat gue ini kayak anak-anak. Terus kenapa lo skrg malah mohon-mohon untuk kembali seperti dulu? Gak bisa, dan gak akan pernah bisa. Gue udh sama org lain skrg, please pergi dari gue, Sher. Lupain gue”

Aku menangis tersedu-sedu sambil membaca pesan Rendi, aku mengurungkan niatku untuk membalasnya. Ku tiup lilin yang masih abadi menempel diatas kue muffin yang tak terlalu besar ini, dulu kita selalu meniup ini berdua. Namun sekarang, aku hanya sendiri. Dan aku sudah terbiasa dengan kondisi ini. Aku lelah menyayangi disatu pihak, aku lelah merindukanmu yang merindukannya. Tapi semua rasa lelah itu perlahan terbayar ketika aku ingat semua kenangan indah yang pernah kita lalui berdua.
***

Sementara itu di tempat yang berbeda...
“Gue nggak tega ngelihat Shera terus-terusan sms gue ngucapin anniversary disetiap tanggal 28, Yud. Gue gak tega dia nangis..” Rendi menceritakan keluh kesahnya kepada sahabatnya, Yudi.
“Dia sayang banget sama lo, Ren. Harusnya lo bisa sadarin itu. Tapi kenapa lo gak balikan sama dia?”
“Gue tau, gue gak baik buat dia, Yud. Dia terlalu baik buat gue..”
“Eh kalo dia terlalu baik buat lo, harusnya lo bisa jadi yang terbaik buat dia!”
“Ya, karena gue sadar gue gak bisa jadi yang terbaik buat dia, makanya gue mundur..”
“Mutusin dia dengan alasan yang biasa aja gitu? Lo nyiksa dia, Ren. Gue ingetin ya, selama masih ada umur, lo gunain sebaik-baiknya. Jangan sampai semuanya terkejar takdir..”
Rendi terdiam.
“Takdir?” gumamnya dalam hati.

Tiba-tiba saja Heni, kekasih Rendi meneleponnya.
“Halo, sayang..”
“Iya, ada apa?”
“Kamu sibuk gak hari ini? Nonton yuk? Ada film bagus loh..”
“Aku gak mood, ngantuk. Mau tidur. Bye..”
“Eh tapi..”
Klik.

Nampaknya Rendi tengah dirundung kegalauan.  Sebenarnya jauh di lubuk hatinya, Shera masih ada. Shera masih berkuasa disana. Tapi sayang, Rendi selalu berpikir kalau Shera adalah sosok gadis yang tak pantas untuknya. Karena selama dengannya, Shera sering menangis karena sifatnya. Ya, ia pun menyadari kalau sifatnya terlalu egois dan ia kurang bisa menahan emosinya. Dan hanya Shera lah yang mampu mengendalikan semuanya. Tapi maaf Shera, aku tak mau melukaimu terlalu dalam. Aku tak mau membuatmu terus menerus bersedih, aku harap kamu akan mengerti. Butuh waktu memang, aku tau kamu mampu melewati waktu itu.
Ini adalah bukan kali pertama Shera selalu mengucapkan anniversary kepadaku. Setiap tanggal 28, ia selalu mengucapkannya. Walaupun dia sendiri tau, anniversary itu lebih tepatnya disebut “Failed Anniversary” , karena sudah tak ada lagi status hubungan antara kita. Sedih setiap kali membaca smsnya, meskipun aku selalu berpura-pura marah ketika mengetik balasan untuk pesanmu.
***

26 April 2012 .

“Happy Anniversary 2 tahun ya, sayang. Semoga kebahagiaan selalu menemani kamu, semoga senyumanmu selalu terukir indah. Aku sayang banget sama kamu. Jaga diri baik-baik ya, Rendi”

Rendi menyeritkan keningnya. Kemudian menoleh ke arah kalender.
“Hah? Ini kan tanggal 26. Kok Shera udah ngucapin anniv?”
Rendi membalas pesan Shera.
“Skrg tanggal 26, Sher? Kok udh ngucapin anniv?”
Shera membalas.
“Takut gak sempet aja, aku mau tidur dulu ya. Bye, Rendi sayang”
Rendi hanya membaca pesan dari Shera tanpa membalasnya. Hati Rendi semakin tak menentu, kenapa? Apa yang tengah terjadi? Kenapa Shera bertingkah seperti ini? “Ah mungkin Shera tengah bercanda saja..” gumamnya.

Sementara itu di rumah Shera..
“Gak tau kenapa aku lagi seneng banget pake gaun putih ini, Mah..” kata Shera sambil memamerkan gaun putih yang baru saja dibelinya.
“Oh iya, tumben banget kamu mau pake gaun warna putih. Beli dimana, sayang?” tanya mama.
“Tadi beli di mall deket kampus, Mah. Lumayan lagi diskon, gak terlalu mahal. Oh iya, aku juga beli buat mama loh..” Shera menyerahkan kotak yang isinya gaun untuk mamanya tercinta.
“Wah, bagus sekali. Terima kasih ya, Shera..” kata mama ketika melihat gaun yang ada di kotak itu.
“Sama-sama, Mah. Di pake loh ya..”
Dua hari ini, Shera lebih senang mengoleksi benda-benda bewarna putih. Entah apa maksudnya, mamanya pun sedikit bingung. Karena sedari dulu, Shera tak menyukai warna putih dan lebih menyukai warna-warna yang lebih cerah lainnya.
***

28 April 2012

“Mah, Shera berangkat ke kampus ya. Ini ada uang buat mama, lumayan buat nambah-nambah belanja..” kata Shera saat hendak sarapan bersama sang mama di meja makan.
“Loh? Kamu dapat uang darimana?”
“Shera kan kerja sambilan, Mah. Ya, emang sih gak seberapa. Tapi ya itu buat mama...”
“Ya ampun. Gak usah, sayang. Ini buat Shera  aja disimpen..”
“Gak, pokoknya mama harus terima itu. Please, Mah..” Shera memohon.
“Iya iya, terima kasih loh sayang. Kamu cepat sana ke kampus, nanti terlambat..”
Shera melirik ke arah jam tangannya dan ternyata benar saja. Ia hampir terlambat, ia pun bergegas  pergi ke kampusnya.
“Shera berangkat ya, Mah. Baik-baik dirumah..” Shera mencium kening mamanya.
“Iya, sayang. Hati-hati ya..”

Shera segera naik ke motornya, lalu menancapkan gas. Sambil bersiul-siul, ia mengendarai motor dengan santainya. Tapi ternyata santainya Shera di pagi ini bukan awal yang indah untuknya. Saat melintasi jalan raya yang cukup besar, sebuah mobil yang tengah melaju sangat kencang menyerempetnya dan akhirnya Shera jatuh beserta motor yang menimpa badannya. Naas bersamaan dengan itu, sebuah mobil dari arah yang berlawanan menerjang Shera beserta motornya. Dan habislah Shera. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Shera mati seketika, cardigan putihnya berlumuran darah yang terus menetes dari sekujur tubuhnya. Semua orang mendekatinya lalu membawa Shera yang sudah tidak bernyawa itu menuju rumah sait terdekat. Beberapa orang lainnya berusaha mencari informasi tentang keluarga Shera. Salah seorang menemukan handphone Shera lalu mengecek nomor telepon terakhir yang dihubungi Shera dan ternyata itu adalah nomor handphone Rendi.

“Halo..” terdengar suara Rendi.
“Halo, Mas. Ini yang punya handphone kecelakaan..”
“Hah? Kecelakaan? Dimana?” suara Rendi terdengar sangat panik.
“Di jalan Agung Gede, Mas. Sekarang mbaknya udah dibawa ke rumah sakit Sejahtera..”
“Oke, saya langsung ke rumah sakit. Mas tolong bawa handphonenya ke rumah sakit ya, terima kasih..”
Klik.

Tanpa menunggu waktu lama, Rendi langsung mengambil kunci motornya lalu segera menuju ke rumah Shera untuk menjemput mamanya. Dengan panik ia mengendarai motornya dengan kencang. Sesampainya di rumah Shera.
“Ma, ayo ikut Rendi..”
“Loh? Rendi? Ada apa? Kok buru-buru?”
“Ayo, Mah! Cepetan! Shera kecelakaan!”
Mama Shera diam kemudian air matanya menetes. Rendi langsung menarik tangan mama Shera dan segera memboncengnya. Mama Shera masih diam dan hanya mampu menangis, Rendi mengendarai motornya dengan cepat. Dan kemudian tibalah mereka di depan rumah sakit Sejahtera. Rendi langsung menuju ke bagian informasi untuk menanyakan dimana Shera berada.
“Suster, ada yang baru aja kecelakaan ? Dimana ruangannya?” tanya Rendi panik.
“Oh iya, 20 menit yang lalu. Sekarang pasien masih di ruang UGD, bisa langsung ke sana, Mas..” suster menunjukkan letak ruang UGD. Aku menuntun mama Shera yang terlihat semakin lemas.
“Mama duduk sini dulu ya..” kata Rendi lalu menyuruh mama Shera duduk di depan ruang UGD.
Kemudian datang seorang pemuda.
“Mas, keluarganya yang kecelakaan ini ya?”
“Iya, Mas. Gimana kabar pacar saya?”
“Mbaknya masih di dalam, Mas. Oh iya, ini handphone sama dompet yang tadi saya temukan tergeletak dipinggir jalan..”  katanya sambil menyerahkan dompet dan handphone milik Shera.
“Terima kasih, Mas..”

Beberapa saat kemudian seorang dokter keluar dari ruangan UGD. Rendi langsung menghampirinya.
“Dok, gimana keadaan pacar saya? Baik-baik aja kan?”
“Maafkan saya, saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa korban. Namun sayang, kepalanya hancur dan tak bisa diselamatkan lagi. Tabah ya..” kata Dokter sambil menepuk pundak Rendi.
Air mata Rendi menetes dengan derasnya. Kemudian mama Shera datang menghampiri.
“Gimana Shera, Ren?”
Rendi hanya diam, tak mengucap sepatah katapun. Rendi hanya menangis, kemudian Dokter berusaha memberitahu kondisi Shera saat ini kepada mama Shera.
Kaki Rendi seakan lemas seketika, ia terus menerus menanggil nama Shera, Shera dan Shera. Ia pun berlari masuk ke dalam ruang UGD, dan apa yang dilihatnya? Shera tertidur dengan muka yang sudah hancur. Rendi mendekatinya, lalu mencium tangannya. Air mata Rendi semakin menjadi-jadi kala ia ingat dua hari yang lalu Shera telah mengucapkan anniversary terlebih dulu padahal hari ini adalah anniversary mereka. Shera bilang, ia takut tak akan sempat mengucapkannya hari ini jadi ia ucapkannya dua hari sebelumnya.
“Shera, kenapa harus kayak gini?” gumamnya sambil terus memperhatikan wajah Shera yang sudah nampak bukanlah Shera.
Mama Shera masuk ke ruangan dengan tangis yang menjadi-jadi, ia menciumi pipi Shera yang nampak sedikit masih utuh. Sepertinya mama Shera terlihat lebih tegar dibanding Rendi. Mama Shera membiarkan jenazah Shera dibersihkan di rumah sakit ini.
Siang harinya, jenazah Shera dimakamkan. Setelah pemakaman, mama Shera menceritakan semua sifat Shera yang aneh selama dua hari ini kepada Rendi. Dari mulai Shera yang senang memakai baju  bewarna putih, lalu tadi pagi Shera juga sempat memberikan mamanya uang yang tak terlalu banyak.
Kemudian entah kenapa Rendi seakan-akan terpanggil untuk masuk ke kamar Shera. Dan ternyata kamar Shera sudah di dominasi oleh warna putih, warna yang sebenarnya bukanlah warna kesukaan Shera. Foto-fotonya bersama Rendi masih terpampang rapi di dinding kamarnya. Rendi tak kuasa menahan tangis, ia menangis sejadi-jadinya sambil terus menyesalkan perbuatannya selama ini. kenapa? Kenapa aku harus kehilangan sosok orang yang ternyata benar-benar mencintaiku? Dan kenapa disaat semua ini terungkap, aku hanya mampu menatap fotonya. Aku hanya mampu menatap tubuhnya yang sudah terbujur kaku dan sekarang telah kembali kepada Tuhan.
Heni, kekasih Rendi sepertinya mengerti perasaan Rendi saat ini. Heni pun tak lagi memaksa Rendi untuk selalu menemaninya, bahkan ia tak akan memaksa Rendi untuk menyayanginya lagi. Karena ia sadar gadis yang dicintai Rendi hanyalah Shera dan bukan dirinya.
Malamnya, Rendi duduk di depan rumahnya sambil terus memperhatikan foto Shera.
“Aku sayang kamu, Shera. Happy Anniversary..”