Selasa, 12 Maret 2013

Kala Cinta Datang Terlambat

“Maafin gue ya, Sa..” kata Ruslan ketika bertatap muka dengan Elsa.

“Hah? Maaf kenapa, Lan?” Elsa sedikit bingung karena ia merasa Ruslan sama sekali tak memiliki salah kepadanya.

“Hmm, itu loh yang kemarin malem kan gue udah ngancurin acara lo sama Tian. Gara-gara gue, lo gak jadi jalan sama dia. Maaf banget ya, Sa. Gue gak ada maksud kok..”

“Ya ampun, Ruslan. Berapa tahun sih lo kenal gue? Masalah kayak gitu aja dibesar-besarin gini. Santai aja, Lan..” jelas Elsa.

“Tapi gue nggak enak jadinya sama lo terus sama Tian juga..”

“Udah, lupain ya. Gak usah bahas ini, lagipula Tian juga gak mempermasalahkan ini kok. Ya, udah yuk sekarang kita ke kelas aja..” kata Elsa lalu menggandeng Ruslan untuk masuk ke kelas.

Elsa dan Ruslan adalah sahabat sedari kecil menjalin ikatan sahabat itu kini semakin dekat,  bahkan mereka selalu bersekolah ditempat yang sama. Entah memang sudah ditakdirkan untuk bersahabat atau memang inilah jalan mereka untuk selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi. Dimana ada Elsa, disitu ada Ruslan. Begitu pula sebaliknya. Ya, mereka lahir hanya berbeda itungan hari saja. dan mereka pun lahir di rumah sakit yang sama. Ya, mungkin ini bisa dibilang suatu kebetulan yang tidak biasa. Tapi mungkin inilah jalan yang ditakdirkan Tuhan untuk mereka. Orang tua mereka pun sudah saling mengenal sejak mereka masih menjadi bayi. Dan ternyata rumah mereka pun tak terlalu jauh, hanya beda komplek saja. Dari SD, SMP dan SMA mereka selalu bersama, kemanapun dan dimanapun. Tapi ternyata, dibalik kebahagiaan mereka yang selama ini dilihat oleh ribuan mata yang ada disekitarnya, tersimpan kesedihan yang belum terjamah oleh siapapun. Mungkin ini adalah kesedihan yang tak seharusnya terjadi, karena terlalu banyak kebahagiaan yang mereka jalani bersama. Bukan hidup namanya kalau hanya mengharapkan kebahagiaan.

Elsa, seorang gadis mungil berambut panjang dan memiliki lesung pipi adalah gadis yang memiliki banyak penggemar. Eitsss, tapi Elsa bukanlah artis ataupun model, ia hanya gadis biasa yang banyak disukai oleh para laki-laki yang ada di sekolahnya. Ya, Elsa yang memiliki nama panjang Rumania Elsa Saraswati ini adalah gadis yang cantik, manis dan menyenangkan. Tak salah jikalau banyak lelaki yang berusaha merebut hatinya, namun Elsa belum pernah memiliki pacar. Ya, memang banyak lelaki yang mendekatinya, namun Elsa belum mau menerima mereka sebagai kekasihnya, karena baginya kekasih itu hanya satu dan itu akan menjadi suaminya kelak. Itu bukan suatu alasan yang salah, karena Elsa pun memiliki banyak alasan sebelum menyerukan alasannya itu. Tapi Elsa hanyalah gadis biasa yang memiliki rasa suka kepada lawan jenisnya. Seperti saat ini, Elsa tengah dekat dengan seorang lelaki bernama, Tian. Tian adalah kakak kelasnya. Sudah sekitar 4 bulan ini, Elsa dekat dengan Tian. Sebenarnya Tian termasuk cowok yang bisa dibilang populer di sekolahnya, dan sepertinya Tian pun menyukai Elsa. Tapi antara Elsa dan Tian belum ada ikatan apa-apa, ya kembali lagi ke alasan Elsa tadi, ia hanya mau memiliki satu kekasih dan itulah yang nantinya akan menjadi suaminya. Dibalik kedekatan mereka berdua, terselip  air mata di sepasang mata yang selalu tegar menyaksikan kebahagiaan mereka. Siapa pemilik sepasang mata itu?

Ruslan, seorang lelaki yang hobi bermain sepak bola ini sudah menjadi lelaki yang paling beruntung karena bisa terus menerus ada disamping Elsa, gadis cantik yang menjadi idaman setiap lelaki itu. Bagaimana tidak, Ruslan sudah ditakdirkan untuk mengenal Elsa sedari bayi dan sudah bersahabat dalam waktu yang tidak sebentar. Ruslan bukanlah lelaki populer di sekolahnya seperti Tian. Ia hanyalah seorang lelaki biasa yang cenderung pendiam. Dan hanya Elsa lah yang mengerti apa yang diinginkan Ruslan, karena tak banyak orang yang mempu membaca apa yang ia mau. Kedekatan Ruslan dengan Elsa bukanlah hal yang tabu lagi, seluruh isi sekolah hampir mengenalnya karena kepopuleran Elsa di sekolah. Seringkali banyak yang mengira kalau mereka adalah sepasang kekasih, karena mereka selalu berdua dimapun dan kapanpun. Walau sebenarnya mereka hanyalah sepasang sahabat yang sudah ditakdirkan bersahabat oleh Tuhan. Ruslan sebenarnya memiliki perasaan yang berbeda terhadap Elsa, mungkin Elsa hanya mengganggapnya sebagai sahabat. Tapi tak begitu dengan Ruslan, entah perasaan apa namanya yang jelas ia sering menangis menyaksikan kebahagiaan Elsa bersama Tian. Ya, Ruslan memang tak pernah menunjukkan air matanya di depan kebahagiaan mereka, tapi Ruslan selalu pandai tersenyum dan berpura-pura bahagia melihat Elsa bahagia bersama Tian. Mungkinkah Ruslan telah jatuh cinta kepada Elsa? Atau hanya sekedar perasaan takut kehilangan? Ruslan belum menemukan jawaban dari pertanyaan yang bertubi-tubi itu, ia hanya tau kalau ia tak sepenuhnya bahagia melihat kebahagiaan Elsa dan Tian. Mungkin suatu saat nanti, Elsa akan menemukan jawaban dari semua ini dengan sendirinya. Tanpa perlu ia ungkapkan.
***

“Eh, Kak. Maaf ya nunggu lama, tadi ada ulangan dulu..” kata Elsa saat keluar kelas dan melihat Tian sudah menunggunya.

“Hahaha, iya gak apa-apa, Sa. Ulangan apa tadi? Bisa gak?”

“Matematika, Kak. Bisa dong, Elsa gitu..” Elsa menyombongkan diri.

“Ih dasar kamu tuh, bikin aku gemes tau gak..”

Ruslan menyaksikan Elsa dan Tian tengah bercanda-canda di depan pintu kelas. Ia hanya mampu menarik nafas sedalam-dalamnya, lalu menghembuskannya, kemudian mendekati mereka.

“Pada mau ke kantin ya?”

“Hehehe, iya nih, Lan. Ikut yuk?” ajak Elsa.

“Emang kalo gue ikut gak ganggu kalian?”

“Gak kok, yuk..”

Tian tersenyum dengan sengitnya. Sebenarnya Ruslan merasakan kalau Tian amat sangat terganggu dengan hadirnya Ruslan, tapi mungkin ia ingin menunjukkan pada Elsa kalau ia fine-fine aja jika Ruslan ikut bergabung dengan mereka.

“Ya, udah yuk. Nanti keburu bel loh..” kata Tian.

“Yuk, Lan..” kata Elsa lalu menggandeng tangan Ruslan.

Tian tersenyum sinis, Ruslan hanya menunduk dan memohon maaf dalam hati.

Di kantin...

“Mau makan apa, Sa?” tanya Tian.

“Aku sih mie instan aja. Lo apa, Lan?”

“Gue ikut lo aja, Sa..”

“Ya, udah kak. Aku sama Ruslan mie instan aja, minumnya es jeruk..”

“Oke, sayang...” kata Tian lalu segera memesan pesananku dan Ruslan.

“Hah? Lo udah pacaran sama Tian?” tanya Ruslan kaget.

“Nggak, Lan. Dia emang biasa manggil gue gitu..” jawab Elsa santai.

“Jangan sampai nanti lo sakit hati..”

“Sakit hati? Gue kan belom pernah pacaran, Lan..”

“Ya, sakit hati gak harus pacaran kali. Ya, jangan terlalu deket deh, Sa..”

“Iya, Ruslan. Lo cemburu ya? Hahaha..” goda Elsa.

“Kalo cemburu emang kenapa? Gue bisa ngelakuin apa? Gue cuma bisa diem, Sa..”

Elsa diam, lalu Tian datang dan duduk di depan Elsa. Ruslan hanya terus mengarahkan pandangannya kemana saja yang penting ia bisa mengelabuhi Elsa dan Tian akan perasaan cemburu yang kini telah berkuasa dihatinya.

Pesanan mereka bertiga datang, dan mereka menyantapnya. Ini bukan pertama kali bagi Ruslan, harus menjadi karang yang begitu tegarnya, walaupun serangan ombak bertubi-tubi menghantamnya tapi ia masih bisa diam dan tetap konsisten pada sifatnya yang hanya bisa diam dan terus bertahan. Karena Ruslan merasa Tian semakin risih karena kehadirannya jadi sebelum diusir, Ruslan pun memilih untuk pergi terlebih dulu.

“Gue duluan ya, Sa, Kak Tian..” kata Ruslan sambil meletakkan sendok dan garpu yang tadi dipegangnya.

“Eh kok buru-buru sih, Lan. Mau ngapain emangnya?” Elsa berusaha menahan Ruslan untuk pergi.

“Mau ngerjain tugas, Sa. Duluan ya..”

“Eh, tapi...”
Belum sempat Elsa melanjutkan bicaranya, Ruslan terlebih dulu meninggalkannya bersama Tian.

“Udahlah mungkin dia emang mau ngerjain tugas kali, Sa..” ujar Tian.

“Hmm, iya sih. Ya, udah aku habisin makannya dulu ya, Kak..” jawab Elsa.

“Iya, Elsa..”

Elsa menghabiskan makanannya, sebenarnya ia menginginkan kalau Ruslan ada disini. Tapi ternyata Ruslan malah memilih untuk pergi meninggalkannya bersama Tian. Setelah makanannya habis, Elsa langsung menuju kelas untuk menemui Ruslan.

“Kak, aku duluan ke kelas ya. Mau ngerjain tugas juga nih sama Ruslan..” Elsa berbohong karena ia sebenarnya hanya ingin menghampiri Ruslan.

“Yahh, buru-buru sih kamu..”

“Maaf kak, bye..”

Elsa langsung bergegas menuju ke kelas untuk menghampiri Ruslan.

“Lo bohong kan sama gue?”

“Bohong apa, Sa?”

“Lo bilang mau ngerjain tugas, tapi padahal gak ada tugas kan?”

“Maaf, Sa. Gue gak kuat lama-lama ngelihat lo sama Tian..”

“Kenapa, Lan?”

“Gue cemburu, Sa! Gue sayang sama lo..” ceplos Ruslan lalu segera membolak-balik lembar buku yang ada di mejanya.

Elsa diam, lalu memikirkan perkataan Ruslan.

***

Ini bukan hal yang mudah, Sa. Menyembunyikan perasaan yang gak pernah diundang ini tuh susah. Andai lo tau semuanya, andai lo tau perasaan ini, ya terus menerus gue berandai-andai tentang lo. Gue tau lo cuma anggep gue sahabat dan gak akan pernah lebih dari itu. Gue tau, gue gak akan mungkin jadi kekasih satu-satunya buat lo, ya kekasih yang akan jadi suami lo nanti. Tapi apa ini salah? Gue gak mau perasaan ini hadir, tapi perasaan ini hadir dengan sendirinya, Sa. Kapan lo sadar? Kapan lo tau semuanya? Ya, mungkin gue emang gak pernah ungkapin langsung ke lo kalo gue ini sayang banget sama lo. Gue cemburu lihat kebahagiaan lo sama Tian, gue cemburu liat lo bercanda-canda sama dia. Maaf gue emang diem dan terus diem, karena percuma kalaupun lo tau gue cemburu, gue bisa apa? Gue bukan siapa-siapa lo, Sa. Gue cuma sahabat lo, gak akan lebih dari itu.

Ruslan menulis curahan hatinya diselembar kertas lalu menumpuknya dilaci yang ada dikamarnya. Ini bukan lembar yang pertama. Kalau saja Elsa melihat apa yang ada didalam laci ini, mungkin ia akan kaget dan bingung kalau ternyata sahabatnya sedari kecil telah memiliki perasaan ini. Ruslan tak pernah memberitahu Elsa tentang semua tulisannya ini, biarkan waktu yang mengizinkan Elsa untuk melihat semua ini.

“Drrrrrtt..Drrttt...” getaran handphone Ruslan. Ruslan pun mengambilnya, lalu melihat ada satu pesan dari Elsa.

From : Elsa
Lan, udh tdr blm? Gue bete nih, gue bingung mau gimana. Bantuin gue dong.

“Hmm, pasti masalah Tian deh..” gumam Ruslan, lalu membalas pesan Elsa.

To : Elsa
Blm tdr nih, ada apaan sa? Bingung kenapa? Cerita aja lngsung.

Elsa pun membalasnya.

From : Elsa
Kak Tian nembak gue lagi, gue gak mau nerima dia. Tapi gue gak mau jadi musuh sama dia, lan. Gimana dong?

“Nah, bener kan dugaan gue. Lagi-lagi dia..”

To : Elsa
Ya, lo blng aja ke dia. Lo cuma mau jadi temen aja sama dia, gitu aja ribet sih. Lo juga salah, harusnya kalo lo gak mau jadi kayak gini harusnya lo jgn terlalu deket sama dia..”

Agak lama Ruslan menunggu balasan dari Elsa, akhirnya Elsa pun membalas pesannya .

From : Elsa
Iya, gue emang salah. Gue terlalu deket sama dia, tapi gue sama sekali gak ada niat buat bikin dia nembak gue, lan. Gue harus gmn skrg? Apa gue hrs jauhin dia? Gue harus jd musuh sama dia? Gue gak mau itu, lan.

Ruslan membalasnya.

To : Elsa
Ya, kalo emg itu jalan yang terbaik, why not? Kalo emg dia ngerti apa yg lo mau, dia gak bakalan jadi musuh kok sama lo. Dia bakalan mau tetep temenan sama lo.

Tanpa terasa air mata Ruslan perlahan menetes. Ingin rasanya saat itu juga ia ucapkan perasaan  yang selama ini ia pendam pada Elsa. Tapi ia tau, semua itu tak akan berpengaruh. Elsa akan tetap mengganggapnya sebagai sahabat dan tak pernah menanggapi perasaannya. Elsa, kenapa lo gak peka sama semua perhatian gue? Kenapa, Sa!

Kemudian, Ruslan memegangi kepalanya yang terasa sakit. Sepertinya terjadi sesuatu yang tidak beres terjadi di kepalanya. Sakit teramat sakit, kemudian tetesan darah perlahan menetes dari hidungnya. Ini yang sedari dulu Ruslan sembunyikan, kepalanya tengah dilanda penyakit yang sebenarnya bukanlah kemauannya. 
Ya, tumor ganas sudah menguasai kepalanya. Sebenarnya ini hanyalah rahasia keluarganya, jadi hanya Ibu, Ayah dan Kakaknya lah yang mengetahui ini, selebihnya tidak. Begitu juga Elsa, Ruslan sengaja tak memberitahu Elsa tentang ini. Karena ia tak ingin Elsa sedih mengenai ini. Ruslan takut, ia belum bisa mengungkapkan apa yang selama ini dipendam. Ia takut penyakitnya ini akan terlebih dulu merenggut nyawanya. Elsa, maafkan aku kalau ini menyembunyikan semuanya, maaf maaf dan maaf.
***

Setelah penyakitnya kambuh lagi, Ruslan menjadi sering tidak hadir di sekolah. Elsa berusaha mencari tau tentang keberadaannya, tapi hasilnya nihil. Setiap kali ia datangi rumah Ruslan, ia hanya mendapati pembantu yang bekerja di rumah Ruslan. Dan pembantunya hanya berkata kalau Ruslan tengah menemani Ibunya berobat di rumah sakit. Nomor handphone Ruslan sudah tak lagi aktif, Elsa mulai merasakan ada yang aneh dibalik semua ini.

“Bik, tolong bilang sam aku, dimana Ruslan?” tanya Elsa dengan muka memohon.
Bik Ijah, pembantu yang biasa bekerja dirumah Ruslan akhirnya terbuka soal semua ini.

“Sebenarnya Mas Ruslan sakit, Non..”
“Hah? Ruslan sakit?! Sakit apa, bik!” Elsa kaget.
“Bibik kurang tau, Non..”
“Gak mungkin Bibik gak tau! Bik, tolong aku khawatir sama dia..” Elsa menangis.
Bik Ijah hanya diam, karena ia memang tak mengetahui penyakit apa yang di derita Ruslan. Tiba-tiba saja, Elsa langsung bergegas menuju kamar Ruslan, dan apa yang di dapatinya? Sebuah boneka beruang besar bewarna merah muda ada di atas kasurnya. Dan ada sepucuk surat disitu, Elsa langsung membaca isi surat itu.

Dear Elsa,
Mungkin setelah kamu baca ini, aku udah gak bisa lagi nemenin kamu. Aku gak akan bisa lagi lihat senyum kamu, lihat kebahagiaan kamu. Aku tau, aku bodoh. Aku terlalu lama memendam semua ini. Aku terlalu lama untuk mengungkapkan ini. Aku tau, aku dan kamu hanyalah sahabat, ya sebatas sahabat. Tak pernah lebih dari itu, kamu pernah bilang kamu hanyalah sahabatku. Ya sahabat yang sudah ditakdirkan sedari dulu, dan itu akan tetap jadi sahabat. Tapi apa salah kalau aku selalu mengharapkan hubungan kita lebih dari itu? Perasaan ini terlalu dalam untukmu, Elsa. Kamu benar-benar membuatku mengerti apa itu sayang, apa itu cinta. Ya sayang itu saat aku tetap ada disamping kamu, disisi kamu ketika kamu butuh. Cinta, saat aku harus tetap tersenyum melihat kebahagiaanmu bersama “Tian” . Aku hanya ingin bilang, mau nggak kamu jadi pacarku? Jadi yang pertama dan terakhir, jadi yang paling pertama. Ya, karna kamu yang pertama. Tapi kalau kamu memang menolakku, aku tak sesali itu. Bersahabat denganmu saja sudah membuatku bahagia, apalagi menjadi kekasihmu. Tapi ya, sudah lupakan itu. Oh iya, maafkan aku cemburu melihat kedekatanmu dengan Tian, aku cemburu karena kamu selalu tersenyum bersamanya. Maaf kalau aku egois, aku hanya mau akulah yang menjadi alasan dari senyummu. Sekali lagi, aku sayang kamu lebih dari sahabat, Elsa..

Kalau mau temuin aku, temuin aku di Rumah Sakit Harapan Kasih, tapi aku gak jamin kamu masih bisa lihat kedipan mataku atau enggak. Bye Elsa, terima kasih untuk kebahagiaan selama 17 tahun ini..

From : Ruslansyah Gani Abdullah

Tetesan air mata terus menetes di mata indah milik Elsa, tanpa menunggu waktu lama Elsa langsung keluar dari kamar Ruslan dan membawa serta boneka besar yang ada disitu lalu menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah Ruslan dan meminta supirnya untuk mengantarnya ke Rumah Sakit dimana Ruslan berada. Diperjalanan, Elsa terus menangis dan terus berdoa semoga ia masih mampu melihat Ruslan tersenyum.
“Ya Tuhan, jaga Ruslan. Jaga matanya, jangan kau tutup sebelum matanya sebelum aku berkata kalau aku menyayanginya, kalau aku menginginkannya untuk menjadi kekasihku yang pertama dan yang terakhir..” doa Elsa.

Sesampainya di rumah sakit, Ibu dan Ayah Ruslan terlihat tengah duduk di depan ruang UGD. Aku bergegas menghampirinya.
“Tante, dimana Ruslan?” tanya dengan air mata yang telah mengucur deras.

Belum sempat Ibunya Ruslan menjawab, tiga orang suster dan satu dokter mendorong sebuah tempat tidur yang biasanya ditiduri pasien rumah sakit keluar dari ruang UGD . Seorang pasien tengah tertidur diatasnya dengan selimut putih menutupi tubuhnya, perlahan kakiku terasa lemas dan fikiranku langsung tertuju pada Ruslan. Aku langsung menghampiri pasien yang tertutup selimut putih itu, lalu kubuka selimut putih itu dibagian wajahnya. Dan apa yang aku lihat? Ruslan tengah tertidur abadi diatasnya. Boneka yang sedari tadi ku pegang, langsung terjatuh.

“Ruslaaan, bangun! Gue mohon, jangan pergi dulu, gue gak mau lo pergi..” aku mulai berkicau sambil berteriak-teriak.
Ibu dan Ayah Ruslan berusaha menenangkanku dan berusaha melepaskan tubuhku yang sedari tadi terus menerus memeluk Ruslan yang sudah tak bernyawa lagi.
“Ruslaan, please sekali ini aja. Buka mata lo, gue mau bilang kalo gue juga sayang banget sama lo. Bangun, Lan! Bangun!”

Kakiku langsung lemas dan merasakan ada sesuatu yang hilang dari tubuhku. Suster itu perlahan mendorong tempat tidur itu semakin menjauh.  Kenapa semuanya terlambat? Kenapa semuanya baru ku ketahui setelah Ruslan pergi?

Aku duduk diam termenung memandang ke jenazah Ruslan yang tengah tertidur dengan tenangnya . Alunan yasin mewarnai kepergian Ruslan. Dengan senyum berhiasan mata yang berkaca ku kecup kening Ruslan, sambil kubisikkan.
“Aku sayang kamu, Ruslan..”

Aku yakin kamu memang tak dapat membalas ucapanku itu, tapi aku juga yakin kalau kamu memang menyayangiku. Waktu belum berpihak pada kita, tapi percayalah kita ditakdirkan untuk bersama. Mungkin disana, Tuhan sudah menyiapkan tempat yang lebih indah untuk aku dan kamu. 
Ruslan, aku tak pernah menyesali keputusan Tuhan untuk memanggilmu. Aku tetap mensyukuri pertemuan ini. Terima kasih ya Tuhan, inikah yang kau bilang CINTA SEJATI? Dipisahkan oleh kematian? Kalau memang ia, biarkan ia pergi menghadapmu. Tolong sampaikan padanya, aku akan tetap menjaga sayang ini. Sayang yang sedari lama ini terjalin, jangan biarkan terputus karena takdir ini.

Hidup Singkat Seekor Semut

“Ma, mana gula bagianku?” pintaku pada mama yang sedang berusaha keras membawakan butir-butir gula yang begitu menggiurkan.

“Ini bagianmu, Flippy,” katanya lembut sambil memberikanku sepotong gula.
Aku pun mengisapnya dengan penuh rasa lapar.

“Nyaam...Nyaam, terima kasih, mama. Gula ini sangat lezat, mama memang hebat..” seruku sambil berlari memeluk mama.

“Iya, sayang,” jawab mamaku lemah, beliau terlihat sangat kelelahan.

“Mama lelah? Flippy pijat ya, Ma?”

“Tak usah, Nak. Mama tak apa-apa, ini juga sudah menjadi tanggung jawab mama.”

“Mama, kenapa mama begitu giat bekerja, mencari makan, mencari uang untuk aku, dan kakak-kakaku yang lain?” tanyaku lalu menyandarkan kepalaku dibahu mama.

“Karena mama sayang, mama cinta kalian semua, Flippy. Apapun akan mama lakukan demi kamu dan kakak-kakakmu,” jawab mama sambil mengelus kepalaku.

“Jadi kita harus rela berkorban untuk siapapun yang kita cinta, ya, Ma?”

“Tentu. Nanti Flippy juga harus seperti itu ya jika sudah memiliki pasangan hidup,”

“Ih, mama ini, Flippy, kan, masih kecil, Ma..”

“Memang kamu bisa menjadi sebesar apa, Flip? Haha..” mamaku tertawa begitu bebasnya.
Aku sedikit tersenyum lalu memeluk mamaku penuh cinta.

“Ma, aku rela melakukan apapun demi mama..” bisikku di telinga mama.

Mama terdiam, terdengar isak tangis dari diamannya.
***
Umurku semakin bertambah, badanku pun bertambah besar walaupun ukurannya tak sebesar ujung jari manusia. Hai, aku sudah bukan lagi Flippy yang dulu, sekarang aku sudah menjadi Flippy yang semakin mengerti beratnya menjadi seekor semut. Seekor semut yang sering dengan sengaja atau tak sengaja diinjak, dibuang, disiram air, tertimpa dedaunan. Tapi aku sama sekali tak menyesalkan diriku yang terlahir dari seekor semut juga. Hidupku menyenangkan, tinggal diantara keluarga yang sangat ramai, tapi ya, namanya hidup pasti ada tangis jika senang tercipta. Aku sering sekali bertemu kesedihan, apalagi ketika satu-per-satu anggota keluargaku, teman-temanku dan yang lainnya pergi meninggalkanku. Ya, mereka semua mati dengan tragisnya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya diinjak seperti yang dialami Ayahku, aku benar-benar terpukul saat itu terjadi, dan sejak saat itu aku benci dengan manusia, aku benci dengan makhluk yang tak pernah menganggap bahwa bangsa semut itu ada dan ingin menjalani kehidupan yang sama seperti mereka.

Sepeninggal Ayahku, aku tinggal bersama mama dan kakak-kakakku yang tak terhitung lagi banyaknya. Beberapa dari mereka bukan kakak kandungku, melainkan hanya semut-semut yang sudah dianggap anak oleh mamaku, mamaku baik, kan? Hihi. Mama adalah sosok semut yang paling berperan dalam hidupku, beliau selalu mengajariku bagaimana melindungi diri dari serangan musuh, mengajariku beradaptasi dengan lingkunganku dan beliau pula yang mengajarkanku tentang pengorbanan. Aku selalu ingat apa yang dibilang mama kalau kita sebagai bangsa semut, janganlah saling meninggi-ninggikan derajat satu sama lain, karena kita semua satu spesies, satu derajat. Dan aku berjanji akan selalu membuat mama bahagia, sampai akhir hayatku.
***
Suatu ketika, mamaku jatuh sakit. Tangannya patah, terinjak belalang yang sangat besar dan menakutkan. Mama hanya bisa berbaring diatas gundukan rumput yang hangat. Mama sangat lemah, ingin rasanya menggantikan posisi mama saat itu.

             “Ma, mama mau makan apa? Nanti Flippy cariin untuk mama,” tanyaku penuh iba.

“Mama ingin sekali menghisap beberapa tetes air teh manis itu, tapi kondisi mama sedang seperti ini,” jawab mamaku sedih.

“Kalau begitu, biar Flippy yang ambilkan air teh manis itu, Ma,” aku langsung berdiri.

“Tak usah, Nak. Itu membahayakan untukmu, nanti kamu bisa terinjak dengan manusia-manusia yang ada di rumah sana,” kata mama khawatir.

“Flippy akan baik-baik aja, Ma. Lagipula mama kan selalu mengajarkan Flippy bagaimana berkorban untuk siapapun yang kita cintai, dan sekarang Flippy rela berkorban apapun untuk mama, hanya untuk mama..” mataku  mulai menahan tetes airnya.

“Tapi mama nggak mau kamu kenapa-kenapa, sayang..”

“Mama, percaya ya sama Flippy..” aku pun meyakinkan mama.

“Baiklah. Jaga dirimu baik-baik, Nak. Bawa gelas daun itu untuk menaruh tetesan air teh manis itu ya..” jawab mama sambil mengelus pundakku dengan tangannya yang tinggal sebelah kiri.

Aku pun melangkah mengambil gelas daun yang ada di dekat meja makan.

“Ma, Flippy berangkat ya. Kalau hari ini Flippy pergi, percayalah Flippy sama seperti mama, yang selalu rela berkorban untuk siapapun, termasuk mama..”

“Doa mama menyertaimu, Nak..”

Aku berjalan keluar rumah kecilku sambil menenteng gelas daunku. Mataku sudah tertuju untuk dapat masuk ke dalam rumah yang dihuni manusia-manusia. Dengan bersemangat, aku berusaha mengendalikan keadaan sekitar. Langkah demi langkah ku taklukan, akhirnya sampailah aku di depan pintu rumah yang sangat besar. Dengan tubuhku yang kecil, aku mampu melewati celah-celah di bawah pintu. Aku melihat seorang lelaki muda tengah menyeduh teh di cangkirnya. Aku pun berusaha naik ke atas meja dimana lelaki muda itu meletakkan cangkirnya. Untunglah meja ini tak terlalu tinggi untuk ku hinggapi. Aku berlari sambil terus menenteng gelas daunku. Akhirnya aku tiba di ujung meja itu, aku melihat sebuah cangkir yang sangat besar dan lelaki muda itu menuangkan beberapa sendok gula pasir. 

Sepertinya gula itu sangat lezat. Lalu lelaki muda itu pun pergi meninggalkan cangkirnya untuk menaruh gula ke tempatnya semula. Aku memanfaatkan situasi ini untuk mengambil beberapa tetes air teh manis ini. Aku berlari sekuat tenaga dan sekarang aku telah berada di samping gagang cangkir, aku tapaki cangkir sampai ke bibirnya. Aku berusaha menjaga keseimbanganku agar aku tidak tenggelam dalam larutan air teh yang ternyata panas ini. Bisa mati aku karenanya. Aku mulai menyiduk air teh ini dengan gelas daun yang ku bawa.  Tapi malang nasibku, kakiku terpeleset dan aku pun tenggelam dalam larutan air teh yang panas ini. Aku berusaha meraih bibir cangkir, tapi aku tak sanggup, sampai beberapa saat kemudian lelaki muda itu datang dan melihat ada semut tengah mengapung di teh buatannya.

“Astaga, kenapa ada semut sih. Buang aja deh..” lelaki muda itu pun membawa secangkir teh manis panas itu dan melemparkannya keluar jendela.

Aku hanya mampu merasakan kaki dan tanganku tak dapat ku gerakkan. Mataku pun tak mampu lagi terbuka, gelap. Tapi mulutku masih mampu sedikit mengucap kata-kata dan kata-kata yang hanya mampu ku sebutkan adalah “Mama” . Mungkin karena panggilan batin, aku merasakan sentuhan lembut di keningku.

             “Flippy, kamu baik-baik aja, Nak?” tanya mamaku sambil terisak.

“Ini...ini buat..ma..ma..” jawabku terbata sambil menyerahkan gelas daun yang berisi beberapa tetes air teh manis.

“Flip, jangan tinggalkan mama, sayang..”

“Flippy sa...sa..sayang ma..ma,” kata-kata terakhirku dan setelah itu aku pun menghembuskan napas terakhirku.

“Flippy.......” teriak mamaku sambil memelukku erat.

Mama, aku senang sudah berkorban untukmu. Untuk tetesan air teh manis yang engkau inginkan, Ma. Lihat, Ma. Aku berhasil membawakannya untuk Mama. Mama, cepat sembuh. Terima kasih untuk semua pengorbananmu. Aku Flippy, semut kecil dengan hidup yang begitu singkat tapi begitu berarti karena mama. Terima kasih, Tuhan sudah menjadikanku seekor semut, aku bangga, Tuhan. Jaga mamaku ya, Tuhan.