Senin, 08 Oktober 2012

Doa Jahatku

Setiap cinta punya cerita.

Mungkin kata itu tepat untuk menggambarkan perasaanku sekarang. Kisah cintaku ini tak terlalu menyenangkan. Aku kehilangannya, cinta pertamaku, dan sekarang aku harus ikut bahagia dalam bingkai cintanya bersama yang baru. Ah, dosa apa aku..

Aku memang belum merelakanmu, masalahkah? Jujur, aku tak pernah melepasmu sepenuh hati ini. Tapi, aku bisa apa jika kamu sudah ingin melepasku?

Kisah ini belum usai, rindu ini belum habis. 

Ini kisahku, seorang gadis yang tak terlalu dihujai keberuntungan. Kenalkan kawan, namaku Cersy, mereka biasa memanggilku Esy. Aku hanyalah gadis biasa berusia hampir 20 tahun. Tapi postur tubuhku tak terlalu tinggi, jadi banyak yang mengira aku masih berusia belasan tahun, begitu juga wajahku yang sebenarnya masih terlalu muda untuk menginjak di usia ini.

Di usiaku yang hampir 20 tahun ini sebenarnya adalah saat-saat dimana aku harus mencari seseorang yang akan menjadi imamku kelak dan kali ini aku tak mencari seorang pacar, melainkan seorang pedamping hidup yang akan membawaku meniti biduk rumah tangga. Tapi apa daya, seseorang yang ku dambakan tak pernah ku peluk.

Aku pernah mencintai seorang pria, dan itu cinta yang pertama. Itu dulu, sekitar 4 tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Pria itu bernama Yuji, seorang pria imut yang sangat pandai. Ya, Yuji memang sangat imut. Matanya tak terlalu besar dengan bulu matanya yang sedikit tebal. Alisnya tipis, tak lupa bibirnya yang begitu mempesona. Ya, semua wanita pasti mengaguminya. Yuji berada dua tahun di atasku. Aku mengenalinya sejak aku mengikuti ekstrakulikuler yang sama, yaitu Tata Busana. Ya, Yuji adalah ketua dari ekskul ini. Tak heran jika setiap harinya, mataku selalu dihiasi oleh kilau keindahan Yuji, ia selalu pandai berpakaian. Tak pernah sedikitpun ada lecek menempel di pakaiannya. Yuji begitu bersih, indah dan menawan.

Memilikinya? Ya, itu mimpiku.

Tapi tunggu dulu, itu semua tak mimpi. Aku berhasil mendapatkan hatinya, aku berhasil meraih cinta pertamaku, Yuji. Ah, indahnya saat mengenangmu, Yuji..
***

Yuji memperhatikanku, ya, mata indah itu. Aku semakin salah tingkah, terlebih saat ia mendekatiku.

                “Kamu Cersy anak 1 IPA A, kan?” tanyanya dengan ramah.

                “I...Iya, Kak, he..he..” aku terbata-bata. Aku benar-benar gugup, Tuhan..

                “Hmm, bisa aku bantu merancang busanamu?”

Aku semakin bingung. Mulutku terasa terkunci, aku benar-benar tak tau harus bagaimana. Bahkan pensil yang sedari tadi ku pegang dengan tiba-tiba terlepas begitu saja. Aku hanya mampu mengangguk dan membiarkan Yuji membantuku merancang busana.

Aku masih terpaku dengan lekukan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya itu. Menyaksikan setiap goresan pensil yang ia torehkan di kertas.

                “Di bagian ini, mau kamu tambahkan apa? Bunga-bunga atau apa?” tanya Yuji.

Aku masih diam, memperhatikan matanya. Yuji terlihat bingung dengan kelakuanku yang aneh ini. Ya, kamu telah berhasil membuatku menjadi sosok yang aneh, Yuji..

                “Hei? Esy? Hello?” Yuji menggerak-gerakkan tangannya di depan pandanganku

Aku tersentak. Aku malu.

                “Eh, hmm, iya, Kak, he..he. Ma..af yaa, Kak..” aku terbata-bata

                “Kamu kenapa? Kok ngeliatin aku begitu amat?”

Aku kembali diam dan memperhatikan bola matanya yang sangat indah itu.

                “Kak, kok ganteng sih.” Aku spontan mengeluarkan kata-kata itu, karena hanya itu yang aku
                pikirkan.

                “Hah? Aku ganteng? Ah, kamu bisa aja sih.” Yuji terlihat malu-malu.

Yuji diam, aku pun diam. Aku diam menahan malu, bagaimana bisa mulutku mengucap spontan seperti itu? Ah, itulah cinta...
***

Aku dan Yuji semakin dekat. Aku rasa, Yuji menyukaiku. Eh  kenapa aku begitu berharap?
Pesan singkatmu tak pernah lepas dari ingatanku. Kata-kata manismu, selalu terbayang di setiap ku membuka mata. Aku benar-benar cinta, aku jatuh dalam lautan cintamu, Yuji..
Aku menunggumu menyatakan cinta itu. Entah kapan, tapi aku sangat berharap.  Dan saat-saat itu pun tiba.

                “Aku menyayangimu, Esy. Sejak pertama aku melihatmu di ekskul itu, aku benar-benar
                tertarik.” Kata-katanya yang sedari dulu hanya ada di mimpiku.

Aku terdiam malu. Sore itu seakan menjadi sore yang paling indah seumur hidupku, aku tak pernah merasakan getaran ini. Aku tak pernah merasakan cinta sebelumnya dan ini yang pertama kalinya. Dengan rona wajah yang memerah, aku menjawab perkataan Yuji.

                “Aku pun merasakan hal yang sama denganmu.”

                “Kita sama-sama mempunyai rasa itu, Sy. Aku tak mau berlama-lama. Maukah kamu menjadi
                kekasihku?”

Deg! Hatiku terasa di bom sebuah truk yang berisi bunga-bunga yang mewangi.

                “Aku mau menjadi kekasihmu, Yuji.”

Yuji memelukku. Dan kini, aku telah merasakan indahnya cinta pada tatapan pertama, di lekuk senyumnya.
***

Tapi semua keindahan itu tak berjalan seusai skenarioku. Yuji memutuskan hubungan ini ketika ia akan melanjutkan kuliah di Jepang, negara yang terkenal akan busananya yang trendi.

                “Maafkan aku, Sy. Aku gak bisa menolak kemauan kedua orang tuaku.” Katanya sambil
                menangis.

                “Tak perlu minta maaf. Aku pun mengerti.” Jawabku yang sok tegar.

                “Kalau kita berjodoh, nantinya kita akan bersatu lagi. Kamu cinta pertamaku, Esy.”

                “Ya, kalau berjodoh, kalau tidak?” gumamku dalam hati.

Aku memang sangat menyayangkan keputusan Yuji untuk memutuskanku dengan alasan yang seperti ini. Padahal jika rasa saling percaya dan setia itu ditanamkan, jarak tak akan menjadi masalah. Tapi ya, sudahlah, mungkin memang itu yang terbaik. Dan kali ini aku tak akan menyalahkan Tuhan.
***

Aku masih mengingat semua tentang Yuji. Bagaimana bisa aku ,melupakan kisah cinta pertamaku yang sangat indah dan menyedihkan itu?

Tapi sayang, sejak ia kuliah di Jepang dan aku lulus dari SMA itu, aku tak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Aku tak tau bagaimana Yuji yang sekarang dan apakah ia masih mengingat cinta pertamanya? Biarkan Tuhan yang punya rencana atas semuanya. Dan aku pun harus tetap menjalani hidup tanpa bayang-bayang Yuji.

Di saat-saat aku tengah melupakannya, kenapa ia hadir lagi?
***

                “Selamat siang, dengan Cersy Collection disini, ada yang bisa dibantu?” 

                “Siang. Saya akan merencanakan pernikahan dan kali ini saya akan memakai jasa Nyonya        
                 Cersy untuk membuatkan desain baju saya dan calon suami saya.”

                “Oh begitu. Silahkan datang ke toko kami, Nyonya. Kami akan menyiapkan semua yang
                anda perlukan dalam acara itu.”

                “Baiklah, nanti siang, saya akan ke sana.”

                “Saya tunggu. Maaf dengan Nyonya siapa saya berbicara?”

                “Panggil saja saya Ruhya.”

                “Oke, Nyonya Ruhya. Selamat siang.”

Sebuah job datang lagi dari para pelangganku. Alhamdulillah, usahaku sekarang berkembang semakin pesat, ditambah lagi dengan bakatku merancang desain baju-baju pengantin yang sudah sering menjadi trend dikalangan pasangan-pasangan muda. Aku mengawali usaha ini dengan niatan penuh untuk sukses.

                “Ada job lagi, Mba?” tanya seorang karyawanku. Ya, walaupun aku adalah pemilik usaha ini,
                tapi aku enggan untuk dipanggil ‘bos’ atau sejenisnya.

                “Ada lagi nih, Wis. Nanti siang dia akan kesini. Oh, iya gimana dengan desain yang kemarin?”

                “Yang kemarin, Mba? Oh iya, pelanggan sangat menyukai desain itu. Dan beliau akan
                membayar baju rancangan Mba itu.” Jawabnya penuh antusias.

                “Syukurlah. Kalau begitu sekarang saya mau kembali ke ruangan saya.”
***

Seusai makan siang bersama semua karyawanku, kami semua kembali bekerja di bagian masing-masing. Aku duduk di meja dengan tulisan “DIREKTUR” . Dan kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di parkiran. Dan turunlah seorang wanita yang masih muda, mungkin seusiaku. Dan aku langsung teringat dengan telepon dari seorang wanita tadi pagi. Mungkin wanita itu orangnya. Dan beberapa saat kemudian, keluarlah seorang pria gagah mengenakan jas coklat dengan kacamata yang menyangkut di tulang hidungnya. Aku mulai mengenali pria itu. Pria itu, Yuji...

Tapi apa benar itu Yuji?

                “Selamat siang, selamat datang di Cersy Collection. Ada perlu apa, Nyonya, Tuan?”
                salah seorang karyawanku memberi salam kepada mereka.

                “Saya tadi pagi sudah menelepon kesini dan sudah berjanji akan bertemu dengan Nyonya
                Cersy.” Jawab wanita itu.

                “Kalau begitu, Nyonya dan Tuan silahkan menuju meja direktur. Nyonya Cersy sudah
                menunggu.”

Dari kejauhan, aku masih memperhatikan sosok pria yang ada disamping wanita itu. Pria itu Yuji, ya aku yakin sekali. Tapi kalau benar itu Yuji, siapa wanita itu?
Mereka semakin dekat.

                “Nyonya Ruhya, ya?” tanyaku dengan ramah.

                “Iya, saya Ruhya dan ini Yuji, calon suami saya.”

Nah! Benar dugaanku. Dia Yuji, cinta pertamaku. Apakah ia masih mengenaliku? Aku menatapnya sejenak, ia tersenyum. Ya, aku tau ia mengenaliku.

                “Silahkan duduk, Nyonya, Tuan.” Aku mempersilahkan mereka duduk.

Aku memandang lagi mata indah itu. Mata indah yang sedari dulu aku rindukan. Ingin rasanya aku menangis saat ini juga. Aku tak habis pikir, kalau sekarang aku akan merancang busana pernikahan cinta pertamaku. Tuhan, ini benar-benar diluar logikaku..

                “Maaf, saya mau ke toilet sebentar.” Aku pun meninggalkan mereka dan langsung menuju
                kamar mandi.

Yuji memperhatikan mataku, dan mungkin ia tau aku akan menangis sekencang-kencangnya di dalam toilet.
Air mataku menetes. Wisnu dan beberapa karyawan lainnya mendekatiku dan menanyakan keadaanku.

                “Mba, kenapa? Kok nangis?”

                “Aku gak kenapa-kenapa.” Jawabku lemas dan berlalu menuju kamar mandi.

Sonaya mengikutiku.

                “Kamu kenapa, Sy? Ada apa?” tanyanya sambil membelai rambutku.

                “Kamu lihat pasangan tadi?”

                “Iya, lalu?”

                “Pria itu, cinta pertamaku, dia Yuji! Yuji yang selalu ku ceritakan kepadamu.”

                “Kalau begitu wanita itu adalah calon istrinya Yuji?”

                “Iya! Dan mereka akan menikah, lalu aku? Aku harus merancang busana untuk mereka!”

                “Sabar, Esy. Aku tau kamu kuat.”

                “Aku gak kuat, aku harus gimana. Aku masih ingat semua tentang Yuji.”

Sonaya memelukku erat.

                “Aku tau semuanya berat. Tapi coba lalui ini dengan doa dan niat.”

Mendengar itu. Aku langsung berdoa supaya Tuhan memberikanku kekuatan yang lebih untuk melalui semuanya.
Aku pun keluar dari kamar mandi dan menyiapkan hatiku lagi untuk mendengarkan semua keinginan Yuji dan Ruhya..

                “Maaf ya lama, hehe.” Kataku kepada Yuji dan Ruhya.

                “Iya, gak apa-apa. Oh, iya, enaknya saya panggil kamu apa ya?” tanya Ruhya.

                “Panggil saja Esy.” Celetuk Yuji.

Aku tersentak lagi. Astaga, ternyata benar, Yuji masih mengingatku dan mengingat nama panggilanku itu. Bahagia namun sedih mendengarnya.

             “Ya, memang itu nama panggilan saya. Kalau begitu konsep apa yang kalian inginkan untuk
             pernikahan itu?” tanyaku menahan sesak.

“Aku keluar ya. Bilang saja yang tadi malam aku bilang ke kamu sekarang kamu yang urus     semuanya, perutku gak beres nih.”  Suara Yuji di telinga calon istrinya.

Aku tak tau kenapa Yuji keluar dan membiarkan Ruhya mengurusi semua konsep pernikahannya. Aku dan Ruhya saling bercerita satu sama lain. Ternyata Ruhya bertemu Yuji ketika di Jepang. Mereka kuliah di satu universitas yang sama. Dan kini mereka akan menikah. Betapa beruntungnya Ruhya...
Ingin rasanya air mata ini menetes lagi, mendengar semua cerita bahagia dari mulut Ruhya. Andai dia tau kalau aku adalah cinta pertamanya Yuji..

Malamnya, aku telah merancang sebuah busana pengantin untuk Yuji dan Ruhya. Sangat menawan, dan awal dari konsep ini adalah ida dari Yuji, cinta pertamaku.
***

Pernikahan mereka berlangsung hari ini. Aku di minta Ruhya untuk datang, enggan sebenarnya. Tapi, ya, tak apalah. Aku ingin melihat senyum bahagia dari cinta pertamaku..
Yuji sangat tampan dengan busananya. Begitu juga Ruhya yang sangat anggun. Mereka berdua nampak serasi dan aku tak mampu membayangkan betapa bahagianya Ruhya saat itu. Kenapa bukan aku yang ada di sampingmu saat ini, Yuji..

Di sela-sela acara, Yuji sempat menghampiriku.

                “Terimakasih, Esy.”

Kenapa harus ‘terimakasih’ yang ku dengar darimu. Kenapa bukan ‘aku masih menyayangimu sampai detik ini.’ ya, aku hanya bermimpi untuk mendapatkan perkataannya yang seperti itu.

                “Terimakasih? Untuk apa?”

                “Untuk rancangan busana aku dan Ruhya.”

                “Itu sudah menjadi pekerjaanku. Yuji, bolehkah aku berbicara sebentar denganmu?”

                “Boleh. Bicara apa?”

Aku berjalan menuju tempat yang tak terlalu ramai, di sisi gedung. Ingin rasanya aku berbicara kalau aku masih menyayanginya dan aku masih menunggunya untuk kembali merangkul bahagia yang seharusnya ku genggam. Tapi bibirku terasa beku, aku tak mampu mengatakan semua kejujuran itu. Dan keluarlah perkataan yang sama sekali bukan kejujuranku.

                “Selamat menempuh hidup baru bersama Ruhya. Semoga berbahagia selalu.”

                “Hanya itu yang ingin kamu katakan? Aku pikir ada yang lebih penting.”

                “Ya, hanya itu.”

Aku pun meninggalkan Yuji. Dan kembali menikmati hidangan di pesta ini. Yuji menghampiri istrinya, Ruhya. Mereka bergandengan menghampiri para tamu undangan. Yuji sempat menoleh kepadaku, ia tersenyum. Ah, senyuman itu, tak pernah berubah dan luntur pun enggan mendekati senyum itu.

Dalam hati, aku berdoa, mungkin ini doa terjahat yang pernah ku serahkan kepadamu, Tuhan.

“Tuhan, maafkan aku, aku masih belum rela, aku masih belum melepasnya. Cinta ini terlalu dalam, tolong jangan buat mereka bahagia selamanya."

Senin, 01 Oktober 2012

Lembar Senja


“Salah gak kalo aku cemburu melihat dia sama pacar barunya?”

Berkali-kali aku ucapkan sepatah kalimat itu. Pentingkah? Haruskah? Dan mengapakah aku harus terus menerus cemburu kepadanya? Kepadanya, seseorang yang telah membuat orang yang kusayangi terbalut kebahagiaan disana. Tapi siapa yang kuat menanggung perasaan yang menyesakkan dada ini? Kalaupun bisa, aku lebih memilih untuk tak meneruskan perasaan sayang yang enggan untuk berhenti ini.

“Percuma, Kania. Percuma kamu terus-terusan nangis melihat sama Vikar pacar barunya, percuma dan nggak ada gunanya! Sadar!” bentak Asya yang kesal karena Kania terus menerus menangis melihat Vikar tengah berbahagia bersama kekasih barunya.

“Tapi, Sya, aku sayang banget sama dia. Kamu tau itu kan? Dua tahun bukan waktu yang sebentar, Sya..” Kania terisak.

“Ya terus  mau sampai kapan kamu terus-terusan kayak gini? Buat apa coba nangisin orang yang udah bahagia sama orang yang lainnya, buang-buang waktu aja. Masih banyak yang lebih baik, masih banyak yang lebih dan lebih dari dia, Kan! Sadar!”

“Aku  sadar, Sya. Sadar banget, bahkan aku sadar kalau aku benar-benar sayang sama dia..”
***
Hubungan ini memang telah usai. Semuanya telah berakhir, rasanya aku masih ingat saat-saat aku masih mampu merangkul rindunya, saat tangannya masih mampu ku sentuh. Ya, saat itu, dua tahun yang lalu, dan masih sangat melekat di memoriku. Aku tak mampu melupakan semua kenangan indah itu, entah kenapa, mungkin semuanya terlalu indah untuk diasingkan.

Kini, aku masih merindukannya. Aku masih menyayanginya, bahkan aku masih mengharapkannya. Walau aku tau semua itu tak pernah ada lagi di benaknya. Biarlah aku sendiri menyusun kepingan rindu yang tersisa. Rinduku sendiri..

“Mereka masih pacaran?” tanyaku kepada Asya.

“Mereka? Siapa?”

“Vikar dan Maria. Siapa lagi pasangan yang selalu membuatku iri selain mereka?” jawabku ketus.

“Oh, mereka. Kamu masih perhatiin mereka ya?”

“Tiap hari, mereka tak pernah luput dari pandanganku, Sya.”

“Jangan memaksakan, Kan. Aku tau kamu tersiksa dengan semua pandanganmu itu.”

“Bohong jika aku tak tersiksa. Tapi mau gimana lagi, Sya? Mereka selalu berdua kemanapun.”

“Sudahlah. Sekarang, lupain Vikar. Jangan terpaku di masa lalu, masa depan kamu sudah melambai-lambai, loh.”

“Tapi apa aku mampu melupakan Vikar, Sya?”

“Yakinlah. Rencana Tuhan selalu indah, Kan. Aku selalu ada di sini buat kamu, sahabatku.”

Aku dan Asya berpelukan. Aku meneteskan air mata, aku merasa telah menjadi seseorang yang bodoh, kenapa aku baru sadar kalau ternyata sahabat itu lebih dari apapun? Kenapa aku baru sadar mempunyai sosok sahabat yang selalu mengerti semua tentangku? Terimakasih sahabatku, Asya...
***
Kenapa cemburu itu masih hadir? Jawabannya singkat, karena aku masih belum mampu melepas semua tentangnya. Aku berusaha melawan rasa cemburu itu, tapi ternyata aku tak mampu. Aku masih ingat detik-detik menjelang kata “putus” itu terjadi, dan itu cukup menyesakkan batinku. Bukannya aku tak mau mempertahankan, tapi pernyataannya yang teramat jujur membuatku sesak.

“Aku sudah menyayangi yang lain, Kan.”

Mendengar itu, hatiku seperti merasakan petir yang menggema. Sakit dan menyakitkan. Kenapa ia begitu jujur? Teramat jujur, lebih tepatnya. Aku masih diam, sementara Vikar masih melanjutkan perkataannya.

“Maaf, aku nggak bermaksud membuat hatimu sakit. Aku cuma mau jujur, Kan. Aku gak mau menjalani semuanya sedangkan sayangku untukmu semakin hari semakin menipis.”

Aku masih diam, terpaku mendengar perkataannya yang begitu menusuk. Aku tak tahu harus melakukan apa saat ini, bahkan menangis pun aku tak mampu. Ya, rasanya air mataku enggan menetes.

“Siapa wanita beruntung itu, Kar?” tanyaku.

“Wanita itu, Maria, Kan.” jawabnya singkat.

Aku terdiam untuk yang ketiga kalinya. Aku benar-benar tak menyangka kalau ternyata wanita beruntung yang mampu membuat Vikar melepasku adalah Maria, teman sepermainanku. Kali ini air mataku mulai mengembang, perlahan menetes. Ya, rasanya ini tak mungkin, tapi Vikar telah mengutarakan isi hatinya se-jujur-jujurnya. Dan aku baru menemukan lelaki seperti Vikar, tanpa rasa bersalah ia memutuskanku dan menyayangi orang lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman sepermainanku.

“Beruntungnya dia. Selamat, semoga ia akan merasakan kebahagiaan yang seharusnya ia dapatkan 
dari kamu.” kataku singkat, lalu berlalu meninggalkan Vikar.

Vikar masih terdiam. Aku berharap ia memelukku dan bilang kalau semua perkataannya tadi itu hanya lelucon. Aku berjalan gontai menyelusuri senja yang tak bertepi.

“Kania...!?”

Vikar memanggil namaku. Ya, Tuhan, apa harapanku tadi akan terwujud. Ah, aku sangat berharap. Aku berhenti kemudian menoleh, Vikar setengah berlari menghampiriku. Ia menggenggam tanganku, lalu mencium keningku. Ah, Tuhan, bolehkah aku mohon hentikan senja ini?

“Terimakasih untuk dua tahun ini, Kan. Kamu wanita hebat.” katanya dengan mata yang sedikit basah, aku tahu, ia habis menangis.

“Terimakasih untuk apa? Aku nggak pernah memberikan kamu apa-apa, Kar.” jawabku sambil menahan tangis.

“Kamu udah kasih aku semua ketulusan dan kamu yang pertama memberikan semua itu, Kan. Kamu 
udah mengajarkan aku banyak hal, mengerti dan percaya.” lanjutnya.

Aku tak menyangka kejadian menyesakkan tadi akan menjadi seharu ini.

“Itu sudah kewajibanku, aku bukan wanita hebat, Kar. Kalau aku wanita hebat, kamu tak akan berpaling ke lain hati.”

“Maaf.” katanya sendu.

“Tak apa. Aku pergi ya, bahagiakan Maria.”

Aku segera memalingkan mukaku dan berjalan menjauh darinya, mantan kekasihku, Vikar. Dan kini, semuanya telah usai. Lembaran kasih selama dua tahun ini telah berakhir dan tak ada lagi lembaran untuk halaman selanjutnya. Menyesakkan memang, tapi aku mencoba lebih dewasa menghadapi semuanya. Mana mungkin aku harus terhenti hanya karena sebuah masalah semu yaitu ‘CINTA’ ?
***
Sedikit aku sudah melupakannya. Hanya saja aku benci dengan cemburu yang masih terus hadir, aku benci melihatnya bahagia. Padahal, dulu, aku yang meminta Vikar untuk membahagiakan Maria. Ah, betapa tegarnya aku saat itu..

Dan kini, Vikar benar-benar sudah membahagiakan Maria dan aku rasa itu memang sudah seharusnya. Dan sudah seharusnya pula aku merasakan kebahagiaan mereka. Huh, rasanya perlu banyak ‘tapi’ untuk menjawab keharusan itu.

Nasihat dari Asya sangat membantuku untuk melupakan semua tentang Vikar, tapi tunggu, apa harus melupakan? Kalau begitu, untuk apa tercipta lembaran kenangan kalau akhirnya terlupakan?
Aku pernah sesekali berpura-pura sudah membuang semua tentang Vikar, tapi sayang, aku tak mahir berlama-lama dalam ke-pura-puraan. Asya menemukan foto-foto Vikar yang masih tersusun rapi di laci kamarku, aku memang tak berniat membuang semuanya. Lebih baik aku susun rapi di laci, mungkin sesekali ku tengok, ketika rindu menyapa.

“Masih belum bisa melupakan Vikar, Kan?” tanya Asya ketika menemukan foto-foto Vikar di laci kamarku.

            “Sebentar lagi.” jawabku singkat dan bukan jawaban dari hatiku.
***
Mereka semakin bahagia dan aku masih berusaha melupakan.

Dari kejauhan ku perhatikan, dua bongkah senyum merekah penuh cinta. Tak nampak kesedihan di sisi mereka. Karena semua kesedihan kini bersembunyi di mataku. Mungkin Vikar mudah membuang dan memutuskanku. Mungkin Vikar terlalu sulit ku lupakan. Dan mungkin aku terlalu berharap untuk selalu bersamanya.

Di pojok senja, aku terdiam, memandang jendela, memandang matahari yang lambat laun tenggelam. Aku berusaha memaknai perpisahan kisah ini. Mungkin Vikar sudah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dan kebahagiaan itu ada di diri Maria. Biarlah mereka bahagia, tak perlu ku campur tangan. Aku harus benar-benar bangkit dan lepas dari semua jeratan menyesakkan ini, ya, apalagi kalau bukan jeratan rindu?

“Vikar, rindu ini menyiksa. Terlebih lembar halaman tentangmu, tentangku, tentang kita yang masih kosong.”

“Senja, biarkan lembaran kosong ini tetap kosong.” bisikku kepada senja.









Penulis : Rizki Kusuma Wardani