Sabtu, 28 Januari 2012

Anniversary Terakhirku...

" Lagi dimana? "

Isi pesan dari Jonathan, kekasihku. Aku biasa memanggilnya Nathan. Dia kekasihku yang selama 2 tahun ini menemani hari-hariku. Oh iya, aku sama Nathan LDR yaaa alias Long Distance Relationship . Pacaran jarak jauh. Gak terlalu jauh, aku di Bogor, dia di Jakarta. Kami berdua mempunyai sifat yang amat berlainan. Nathan, cowok simple , gak mau ribet , cuek dan sedikit jutek. Sedangkan aku? Aku cenderung kalem, gak suka di cuekin dan benci di cuekin ._. Tapi entah kenapa di balik sifat aku dan Nathan yang berbeda, kami bisa mengisi kekurangan masing-masing. Meskipun ada setetes, dua tetes air mata tertetes jika aku sedang bertengkar dengannya. Hei jangan kira hubungan aku sama Nathan gak ada problem yaa. Hahaha banyak banget problemnya, tapi yaaa aku sama Nathan gak pernah memperpanjang semua masalah itu.

"Yang lalu biarlah berlalu.." seperti itulah kata-kata Nathan yang gak pernah aku lupa.

Aku sama Nathan mempunyai sebutan buat saling memanggil looh. Aku panggil dia "Kebo" karena dia memang gampang banget tidurnya. Asal ketemu bantal, udah deh tidur. Kalo Nathan manggil aku "Tikus" mungkin karena gigi depanku agak besar seperti tikus. Hahaha, yaa itulah aku dan Nathan. Selalu enjoy. 

Eh sampe lupa mau balas pesannya Nathan.

" Lagi di rumah, ada apa Bo?"

Aku membalas pesan dari Nathan. Tapi yaa seperti biasa. Aku harus menunggu lama untuk mendapat balasan darinya. Eh sampe lupa, namaku Lisa. Sekarang aku bersekolah di salah satu SMAN di Bogor, sekarang aku udah kelas 12. Kalau Nathan, dia kuliah di sebuah Universitas ternama di Jakarta. Aku sama Nathan beda 3 tahun. Hehehe, tapi perbedaan usia gak jadi masalah kok. Nathan selalu kasih semua saran-saran yang mendukung untuk masa depanku. Maklum lah bisa di bilang dia mahasiswa yang cerdas. Seminggu yang lalu, dia bercerita padaku bahwa ia akan mengikuti beasiswa di Beijing. Entah kapan aku tak tau. Tapi jujur, aku agak keberatan kalau harus berpisah dengan jarak yang lebih jauh lagi sama Nathan. Walaupun begitu , aku selalu dukung apa yang dia lakuin. Aku tau dia punya cita-cita yang tinggi. 

Sekarang, aku sudah mulai terbiasa menjalani hubungan dengan Nathan yang terpisah jarak jutaan centimeter ini. Hahaha, awalnya sih aku masih sering cemburu. Marah-marah sama Nathan, takut dia selingkuh lah, ini lah, itu lah. Tapi lama kelamaan rasa percayaku tumbuh sama Nathan. Aku amat sangat percaya sama dia. Tak perduli apa kata orang tentangnya. Aku lebih mengetahui Nathan daripada orang-orang itu. :-)

Sekitar 20 menit kemudian, Nathan membalas pesanku.
" Udah makan kus? Maap ya aku lagi sibuk, jadi balas smsnya lama"

Aku membalasnya,
" Aku udah makan, kamu? Iya sayang. Gak apa-apa kok. Kalo sibuk, selesain dulu"

Aku pun harus bersabar lagi menunggu balasan dari Nathan. 
"Huh, gini nih kalo LDR.." gumamku.
Tapi buat apa mengeluh? Jalanin aja. Insyallah memuaskan hasilnya. 

Ku berjalan menuju jendela kamarku. Ku ingat kembali Anniversary ku setahun lalu. Nathan membawakan sekeranjang penuh mawar putih kesukaanku. Eh bukan, bukan sekeranjang. Tapi semobil truk kecil . Pukul 12:00am tepat tanggal 14 Februari 2010. Dia teriak dari bawah rumahku.
"Happy Anniversary sayang..." teriaknya
Aku terkaget-kaget mendengar alunan suara piano dan gesekan biola yang mengeluarkan lagu romantis. Aku langsung membuka jendela kamarku, dan ku tengok Nathan. 
Ia berdiri mematung, sambil terus meneriakkan "Happy Anniversary sayang.."

Mataku yang tadinya amat sangat terkantuk-kantuk tiba-tiba langsung terbuka seketika melihat semua itu. Ah piano itu, biola itu, bunga-bunga itu dan sekotak hadiah berbungkuskan pita ada di halaman rumahku. Aku langsung turun ke bawah dan menemui Nathan.

Ku buka pintu rumahku, ku langsung berlari menghampiri Nathan dan langsung memeluknya.
"Sayang, aku kaget.." jawabku dengan suara kecil

Nathan langsung memeluk dan mencium keningku. 
"Ini buat kamu.." katanya sambil memberikan sekotak besar berbungkus pita.
"Ini apa? Gede banget Nathan..." jawabku dengan muka yang masih kaget
"Buka aja.." jawabnya

Aku membuka kotak besar ini. Dan ternyata apa yang ku lihat. Kotak besar itu berisi coklat, bunga dan sebuah album photo. 
"Album photo siapa?" tanyaku pada Nathan
Nathan hanya tersenyum dan menyuruhku untuk melihat album photo itu.

Dan ternyata. Semua photo-photo ku sama Nathan ada disini, dan aku pun tak mengetahui banyak kapan photo-photo ini bisa terkumpul. Aku hanya menyimpan semua photo-photo ku bersama Nathan di handphone ataupun di laptopku. Kalaupun ada yang di cetak mungkin hanya beberapa.

"Kamu dapet darimana semuanya?" tanyaku pada Nathan yang masih memancarkan senyuman indahnya.

Nathan menepuk kedua tangannya. Dan kemudian, datanglah sesosok lelaki seumuran Nathan.
"Ini Rey, sahabatku. Dia photografer profesional. Aku udah ngerencanain ini dari lama. Jadi selama kita berdua, makan, jalan, bercanda. Sebenernya ada orang yang selalu ngikutin kita dan memotret semua aktifitas kita.." jelas Nathan

Aku masih terbengong-bengong.
"Haa? Nathan ? Cowok jutek ini bisa ngerencanain semuanya?" gumamku

Rey menjulurkan tangannya. Aku pun menyambutnya.
"Aku gak nyangka kamu bisa seniat ini Nathan..." kataku sambil memegangi album photo ini.
"Semuanya buat kamu..." katanya sambil mengecup keningku

Tuhan, aku bangga mempunyai kekasih seperti Nathan...

Aku menghampiri bunga-bunga mawar putih indah yang bertabur di mobil kecil ini. Ku ambil satu.
"Nathan, sekali lagi terima kasih buat semuanya..." ujarku kemudian mengecup pipi kanan Nathan.

Nathan tersenyum kemudian menyuruh para pemain piano dan biola untuk mengganti lagu yang lebih romantis lagi.
Yaaa lagu yang sedang dimainkan. "A whole new world" .

Nathan menyuruhku duduk. Rey masih asyik mengotak atik kamera yang sedari tadi di pegangnya. 

"Terima kasih buat semuanya..." kata Nathan sambil memegang kedua tanganku.
"Terima kasih untuk apa Nathan?" tanyaku sambil menatap matanya
"Kamu udah ngasih aku beribu kebahagian. Sejak ada kamu, aku lebih sering tersenyum. Kamu bisa bikin aku gak bete. Pokoknya Terima kasih buat 1 tahun ini ya...." jelas Nathan panjang lebar

Ah ingin rasanya ku teteskan air mata kebahagiaan ini.

Ku genggam tangannya.
"Kamu gak usah bilang terima kasih sayang. Itu udah kewajiban aku.." jawabku 

Nathan mengelus kepalaku dan menciumnya.
"Jangan pergi ya.." katanya

Dan..
"Tess..." Air mataku menetes.
"Kamu kok nangis?" tanya Nathan sambil membasuh air mataku.
"Kamu tau? Air mata aku ini tertetes karena betapa bahagianya aku memiliki kekasih sepertimu, Nathan.." jawabku

Nathan menaruh kepalaku di dadanya. Tuhan, aku rasakan semuanya. Aku benar-benar menyayangi mahkluk ciptaanmu ini.
"Kamu jangan nangis lagi ya.." kata Nathan sambil mengusap kepalaku
Aku menggangguk.

Mama dan Papa sepertinya sudah mengetahui rencana Nathan ini. Soalnya sedari tadi Mama dan Papa sama sekali tidak keluar rumah karena suara musik ini. 
"Kamu udah kompromi ya sama Mama dan Papa?" tanyaku dengan mata jahil
Nathan menggangguk dan tersenyum.
Ya Tuhan, senyumannya....

Kemudian, musik berhenti.
"Aku pulang dulu ya, besok pagi ada kuliah.." katanya dengan mata yang lelah
"Haaa? Aku pikir kamu libur, makanya kamu kesini..." jawabku sambil mengusap matanya
Nathan menggeleng.
"Aku bela-belain ini buat kamu..." katanya sambil mengambil mengelus kepalaku

Aku masih mematung. 
"Ya ampun, masih sempet-sempetnya dia bikin acara seheboh ini. Padahal besok dia ada kuliah.."

"Kamu hati-hati yah.." kataku sambil mencium tangan Nathan.
"Iya, eh ini mobil bunganya taruh disini dulu ya. Besok aku telepon orang buat ngambil mobil ini..." katanya 
Aku mengangguk.

Rey menghampiriku.
"Happy Anniversary ya, Nathan sayang banget sama lo.." katanya
Aku tersenyum,
"Terima kasih ya.."

Sesaat kemudian, datang truk besar. Mengangkut piano dan semua yang ada disini kecuali se-truk berisi bunga mawar itu. 
Nathan pun berpamitan padaku.
"Langsung tidur ya sayang, salam buat mama sama papa.." pesannya kemudian mengecup keningku sekali lagi.
"Kamu juga ya, istirahat.." jawabku.

Nathan pun meninggalkanku. Ia harus kembali ke Jakarta melanjutkan kuliahnya. Aku pun segera masuk ke rumah.
Mama dan papa ternyata sudah stay di depan televisi.
"Asik deh yang abis seneng-seneng.." goda mama padaku
"Ih apaan sih mah, udah ah mau tidur.." jawabku lalu berlari menuju kamar

Aku masuk ke kamar. Ku ambil handphoneku. Ku telepon Nathan.
"Ada apa sayang?" suaranya lembut 
"Aku sayang kamu...." jawabku
Klik
Ku matikan teleponku.
Nathan langsung mengirimi ku pesan.

" Udah sana tidur tikus jelek. Besok biar gak kesiangan. Aku lagi nyetir nih. Gnite my lovely angel <3({}):* "

Ku ambil buku catatanku, ku tulis.
"Tuhan, jagalah hubungan ini. Semoga di tahun selanjutnya aku dan Nathan masih menjadi "Kita" "

Aku pun tertidur.

Seperti itulah cerita Anniversary ku di tahun pertama. Berkesan? Sungguh. Aku masih terus mengingat kejadian itu. Ah bahagianya diriku memilikimu..
Sebuah pesan di handphoneku mengagetkanku . Balasan dari Nathan.

"Aku juga udah makan. Iya kalo aku sms kamu tandanya aku lagi gak sibuk tapi maaf balesnya lama"

Ku balas lagi pesannya,

"Okey syg :-) kamu lagi ngapain?"

Dan harus menunggu balasan lagi. Mau tau gak Anniversary di tahun keduaku bersama Nathan?
Aku ceritain deh, hehe.

Malam itu, tepat tanggal 13 Februari 2011. Nathan mengirimiku pesan singkat.

"Besok aku ke sana, jam 7 malam kita ketemu di resto tempat kita biasa makan yaa...."

Ku membalas,

"Tapi aku kayaknya gak bisa datang on time. Takut ada hal mendadak..."

Balasan dari Nathan,

"Iya, aku tunggu kok.."

Entah kenapa hari ini aku terasa beda dari hari-hari biasanya. Rasanya hanya ingin bermalas-malasan dirumah. Mau keluar rumah, enggan, Untunglah hari ini hari sabtu. Sekolahku libur. 
Ingin cepat-cepat besok. Ya besok 2 tahun hubunganku sama Nathan, hehe. Senangnya aku, ternyata Tuhan masih menyatukan aku dan Nathan. Besok pukul 7 malam, aku akan merayakannya bersama Nathan. Entah kejutan apa lagi yang akan ia berikan. Aku sudah membayangkan hari esok yang menyenangkan. Tapi tiba-tiba, aku mengambil handphoneku dan ku telepon Nathan, entah kenapa aku amat sangat merindukannya. Tapi teleponku tak di angkat.

"Dia sedang sibuk.." gumamku

Tapi aku terus menghubunginya. Ya hasilnya nol. Tak ada jawaban sama sekali.
"Nathan, kamu dimana..." 

Matahari perlahan hilang berganti bulan. Malam pun tiba. Nathan masih belum memberi kabar padaku.

Ku telepon berkali-kali. Tak ada jawaban. Aku pun merasa lelah. Kemudian, aku menulis di selembar kertas.
"Tuhan, jaga Nathan, Ada ataupun tak ada aku disampingnya. Lindungi ia, aku menyayanginya . Terima kasih sudah mempertemukan aku dengannya.."

*****

Hari minggu! 14 Februari 2011 :D Happy Anniversary 2years Nathan <3

Ingin rasanya malam tiba, dan aku dapat merayakan ini bersamanya. 
Ada satu pesan dari Nathan, 

"Dont forget for tonight honey..." 

Entah kenapa aku meneteskan air mata. 
"Ah kenapa aku menangis..."

Kemudian, ku ambil semua photo-photoku bersama Nathan. Ku masukkan ke dalam sebuah kotak, ku bungkus kotak itu. Tak lupa aku nanti akan membelikan jaket untuk Nathan. Entah kenapa aku ingin membelikannya itu.
Aku berganti pakaian dan langsung bergegas pergi menuju Mall di dekat rumahku. Ku pilih jaket untuk Nathan, yaa pilihanku jatuh pada jaket berwarna putih, bergaris hitam dan merah ini. Aku membelinya.
Dan meminta pelayan untuk langsung membungkusnya.

Aku sampai rumah pukul 4 sore. 
"Ah, masih ada waktu untuk bersiap-siap..." gumamku

Kemudian, aku menyiapkan semua yang akan ku bawa untuk acara nanti malam. Setelah semuanya siap, aku segera mandi untuk berganti pakaian.
Seusai mandi, aku memilih pakaian. Aku mengambil longdress berwarna hitam. Entah kenapa aku menginginkan memakai ini. Ku tata rambutku sedemikian rupa. Ku poles wajahku.

Pukul 06:00 . Aku sudah rapi dengan semuanya. Aku memilih untuk bawa mobil sendiri. Aku pun segera berangkat. Sebelum berangkat, Nathan mengirim pesan.

"Aku sudah pesan kursi, nomer 13 ya..."

Aku langsung menginjak gas dan meluncur ke lokasi. Aku sudah membayangkan betapa indahnya nanti malam. Aku melewati jalan yang lumayan besar. Tapi entah kenapa, aku kehilangan kendali. Stir mobilku menjadi berat. Ku rasakan pukulan yang amat keras mendarat tepat di kepalaku. Aku kecelakaan.

Aku lihat, tubuhku di gotong orang-orang sekitar situ. Handphoneku yang ada di mobilku berdering. Aku hendak mengambilnya. Tapi, aku tak sampai...
Ada seorang remaja putra, seumuran denganku mengambil handphoneku dan mengangkatnya.

"Haloo...." terdengar suara Nathan disana
"Mas, ini yang punya handphone kecelakaan. Di kemuning raya.." jawab remaja itu.
"Kecelakaan? Okey saya ke sana.."

Tuhan, kenapa aku tak mampu menggapai handphoneku itu. Dan mengapa tubuhku tertidur tak berdaya.
10 menit kemudian, Nathan datang. Ia langsung menghampiriku yang tengah tertidur.

"Lisaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..." teriak Nathan sambil memelukku.

Nathan menggotongku menuju klinik terdekat. Dia berlari.

"Lis, jangan tinggalin aku. Aku mohon. Bertahan ya..." 

Sampailah Nathan di sebuah klinik. Aku di bawa menuju UGD. Nathan menangis. 
Dokter keluar dari ruangan.

"Dok, gimana pacar saya Dok? Bilang ke sayang kalo dia baik-baik aja..." kata Nathan dengan suara terisak
"Maafkan saya, saya sudah berusaha. Tapi Tuhan berkehendak lain. Luka di kepalanya sangat parah.." jawab dokter dengan suara lirih

Nathan langsung duduk lemas. Ia menangis dan berteriak memanggil-manggil namaku.
Kemudian kedua orang tuaku datang.
Mamaku memeluk Nathan. Sepertinya mama lebih tegar dibanding Nathan. Walau aku tau sebenarnya mama pun berat kehilanganku.

Nathan masuk ke ruanganku.
"Lisaaa, bangun sayang. Ini anniversary kita. Kenapa kamu pergi?" katanya sambil mengusap pipiku

Papaku mencoba menenangkan Nathan. 

Setelah itu, jenazahku di bawa menuju rumah. Nathan masih terus menangisiku. 
"Nathan, tolong ikhlaskan aku..." bisikku di telinga Nathan
Entah ia mendengar atau tidak.

*****

Yaa itulah anniversary di tahun keduaku. Anniversary terakhirku. 
Nathan, kamu anungrah terindah yang aku punya. Cuma kamu...
Aku telah tiada sekarang, semuanya telah menjadi kenangan. Nathan kini hidup sendiri, ia enggan mencari kekasih lagi. Ia merasa amat sangat kehilanganku.
Ah Nathan, aku menyayangimu. Dan akan selalu menyayangimu. Memperhatikanmu dari sini, dari Surga. 

Jumat, 27 Januari 2012

GAUN PUTIH DI RUMAH PUTIH


"Eh bener looh, rumah itu berhantu," ujar Ridwan dengan muka serius
"Ah lu gosip dimana-mana terus Wan," sambung Tyas
"Gue gak gosip kok. Beneran. Gue udah liat sendiri hantunya," kata Ridwan membela dirinya sendiri.
"Gue gak percaya sama omongan lu Wan," jawab Tyas seraya meninggalkan Ridwan di kantin.
"Eh Yassss, tungguin gue," jawab Ridwan sambil mengejar Tyas..

Ridwan, kawanku yang satu ini memang benar-benar heboh kalo ada gosip seliweran dikit. Padahal sebenernya gosip itu biasa aja. Entah kenapa kalo dia yang nyeritain tuh kayaknya heboh dan penting banget gitu. Tapi Ridwan adalah kawan karibku, dia memang heboh. Tapi dia memiliki sifat kesetiakawanan yang amat sangat besar. Aku bangga mempunyai teman seperti dia. Sudah hampir 2 tahun, aku kenal dan bersahabat sama Ridwan. Ya, sejak aku masuk di Sekolah Menengah Atas ini. Awal perkenalanku dengan Ridwan sangat lucu. Ya gak sangat sih tapi cukup lucu :D .

Pada saat hari pertama Masa Orientasi Siswa....

"Aduh gue telat nih," gumamku sambil berlari menuju gerbang SMAN 7.

"Eh hati-hati dong," kataku saat ada orang yang tiba-tiba menabrak badanku.
"Eh maaf, gue gak sengaja. Gue buru-buru," jawab cowok yang menanbrakku.
"Ya tapi hati-hati lah," jawabku kesal lalu meninggalkan cowok itu.
"Iya iya, maaf banget ya," jawabnya sambil mengikutiku yang meninggalkannya.
Aku menggangguk.

"Nama lo siapa?" tanyanya sambil menghentikan langkahku.
Langkahku terhenti. Dan membalikkan badanku.
"Ngomong sama gue?" tanyaku
"Engga, sama tiang bendera tuh," jawabnya sedikit konyol.
"Hahaha yaudah samperin gih tiang benderanya," jawabku sambil sedikit tertawa.
"Ih malah ketawa," katanya
"Eh ntar lagi ya, udah telat tuh," jawabku sambil berlari menuju kelas kelompok MOS-ku.
"Eh tapi......." teriaknya

Aku pun mengambil topi yang di buat dari bola sepak plastik yang di belah menjadi dua. Lalu ku taruh di kepalaku.
"Aneh-aneh aja nih," gumamku

Aku mengambil semua kalung-kalungan yang dibuat dari tali rafia yang di isi dengan berbagai macam bumbu dapur. Ku pakaikan di leherku.

"Eh, kita satu kelompok," kata seseorang dibelakangku

Aku menoleh.
"Haaa? Elu? Hahaha udahan ngomong sama tiang benderanya?" jawabku sambil tertawa.
"Ih udah ah. Yuk ke lapangan, udah di suruh ngumpul tuh," katanya sambil menaruh tasnya disamping tempat dudukku.

Aku pun keluar kelas.
"Eh nama lo siapa?" katanya saat sedang menuruni tangga sambil menjulurkan tangannya.
"Tyas," jawabku singkat dan membalas juluran tangannya.
"Oh Tyas, gue Ridwan," jawabnya
"Gue gak tanya, hahahaha," jawabku sambil tertawa

Ridwan memonyongkan bibirnya dan mendengus kesal. Kemudian mengacak-acak rambutku, lalu pergi menuju barisan laki-laki. Aku membereskan rambutku dan menuju barisan perempuan.

Yaaa, seperti itulah awal perkenalanku dengan Ridwan. Singkat memang, tapi itu cukup mengesankan dan tak akan pernah aku lupakan. Ya Muhammad Ridwan Zaelani, sahabat yang ku kenal dengan cara konyol itu masih menjadi sahabatku sampai detik ini. Saat ini aku bersama Ridwan duduk di kelas XI IPA 2 . Kami selalu sekelas dari kelas satu. Hahaha memang sudah klop sama dia kali ya.

Oh iya, udahan deh kenalan sama si Ridwannya. Sekarang kenalin nih aku Amelya Tyas Putri. Panggil saja aku "Tyas" . Aku seorang cewek yang gak terlalu suka bergila-gila di dunia shopping, fashion atau apalah yang berhubungan dengan cewek-cewek itu. Tapi aku juga bukan termasuk cewek tomboi ya. Aku hanya sedikit cuek dengan penampilanku. Tapi masih banyak yang bilang kalo aku ini feminim banget. Padahal sebenernya engga terlalu feminim. Aku lebih menyukai hal-hal yang berbau petualangan. Aku amat sangat menyukai itu. Tapi sayang, Ayah dan Ibu melarangku untuk mendalami kesukaanku itu. Katanya "gadis tuh gak pantes ikut petualangan-petualangan gitu" . Padahal kan gak ada larangan buat cewek yang suka berpetualang. Jadi yaaa, mau gimana mau gak mau aku harus nurut apa kata Ayah dan Ibu. Aku kadang hanya menyaksikan acara-acara petualangan saja untuk menyalurkan kesukaanku itu.
Tapi kata Ibu, aku punya satu keistimewaan yang gak semua orang punya, mau tau apa? Baca lagi yuk di bawah..


"Eh lu beneran gak percaya sama omongan gue Yas?" tanya Ridwan ketika aku hendak masuk kelas.
"Gue gak akan percaya sebelum gue ngeliat sendiri Wan," jawabku santai
"Lu mau liat langsung? Ayo gue temenin," katanya sambil menghadang di depanku.
"Ah lu, emang ceritanya gimanasih? Emang rumahnya siapa yang banyak hantunya? Haaa?!" jawabku dengan muka menahan sabar.
"Ih ih, sini dah sambil duduk yuk gue ceritain," katanya sambil menggandeng tangaku.
"Asemele-__- "gumamku dalam hati.

"Jadi gini, waktu itu gue pulang sekolah........" katanya terputus saat Pak Tisman memasuki kelas.
"Yaaaah lu kurang beruntung Wan, nanti lagi aja ya ceritanya," jawabku dengan suara lega
"Ah elaaah. Tuh guru datengnya gak tepat," jawabnya sedikit kecewa lalu kembali ke tempat duduknya.

Aku membuka buku Kimiaku dan mulai belajar.

"Yas, gue bete," bisik Ridwan
Aku hanya menginjak kakinya.
"Ah sialan lu," katanya sambil mengelus-elus kakinya

Aku hanya tertawa dalam hati. Ku tengok Ridwan, haha mukanya sudah tidak menunjukkan kalo dia ingin belajar. Aku tau apa yang ada di isi hatinya. "Please bel pulang cepetan bunyi," sekiranya seperti itu.
Ku ambil pulpenku. Ku catat apa yang di terangkan Pak Tisman.

*Kringggg..Kringgg...Kringgg...*
Bel berdentang tiga kali, menandakan pelajaran di sekolah telah usai.

"Alhamdulillaaahhhhh..." kata Ridwan sambil memancarkan muka sumringah.
"Yeee dasar lu. Ngarepin bel bunyi kan lu dari tadi," jawabku sambil tertawa.
"Hahahaha iyaaa Yas, abisan gue bete," jawabnya sambil memasukkan pulpen dan bukunya ke tas yang sebenarnya tidak di gunakan -___-v

"Yaudah lu anterin gue ye Wan, gue kagak bawa motor," kataku padanya.
"Siap. Eh tapi mau gue ajak ke rumah berhantu itu gak?" tanyanya.
"Ah bodoh. Siang-siang mana ada hantu," jawabku sambil menepuk pundaknya.
"Ya hantu memang gak ada. Tapi aura negatifnya itu gede banget," katanya dengan muka penuh semangat.
"Yee yaudah biasa aja muka lu, hahahaha..." jawabku sambil menaruh tangan kananku dimukanya lalu keluar kelas.
"Eh songong lu.." katanya sambil mengejarku.

Aku jalan sedikit berlari. Sambil terus memikirkan ajakan Ridwan tentang rumah berhantu itu. Ah sekedar lewat tidak masalah kan? Oke aku menuruti kemauan Ridwan untuk melewati rumah itu.

"Gak usah lari dong..." kata Ridwan menepuk pundakku.
"Hahaha iya kagak kok Wan, eh coba deh kita lewat rumah hantu itu.." jawabku sambil menuruni tangga.
"Haaaa? Serius? Ini gak mimpi kan Yas?" tanyanya lagi dengan muka heboh
"Iya Muhammad Ridwan Zaelani...." jawabku sambil tersenyum.
"Yes.." ujar Ridwan

Aku berjalan menuju gerbang sekolah, sementara Ridwan menuju parkiran motor untuk mengambil motornya. Aku melenggang berjalan menuju gerbang dengan santai. Sesekali aku menyapa orang-orang yang menyapaku.
"Hai Tyas.." seru Kak Bimo.
Aku membalasnya dengan senyuman.
"Duluan kak," jawabku singkat.
"Hati-hati ya..." balas Kak Bimo.

Aku sampai di gerbang sekolah, kemudian keluarnya Ridwan menaiki motor vespanya.
"Nih helmnya.." ujarnya sambil memberiku helm
Aku pun memakai helm itu, dan kemudian naik membonceng di vespanya.

"Eh Wan, lu dapet berita itu dari mana sih? Rumpi banget lu jadi cowok.." kataku dengan nada bercanda
"Yaaa gue kan cari-cari informasi Yas, lagian juga gue udah curiga kalo tuh rumah berhantu. Lo liat sendiri lah udah gak ke urus gitu rumahnya.."jelas Ridwan sambil mengendarai vespanya.
"Oh gitu ya, yaudah ntr gue pengen liat sendiri deh.." jawabku

Kami melewati jalan besar, kemudian masuk ke gang-gang kecil. 5 menit kemudian, aku masuk ke sebuah gang. Gang.Buntu namanya. Gang ini memang sepi. Yaa disini hanya terdapat 6 rumah. Tapi rumah-rumah ini bisa di bilang sangat mewah dengan setiap garasi mempunyai 2-3 mobil . Kemudian, Ridwan menginjak rem dan berhenti di depan sebuah rumah di sebelah kanan jalan. Rumah putih yang megah itu amat sangat menarik. Dekorasi rumahnya benar-benar memukau.

"Andai aja rumah ini di rawat, pasti akan bagus sekali.." gumamku setelah turun dari vespanya Ridwan.
"Mau masuk?" tanya Ridwan
"Emmm boleh, yuk.." ajakku yang tadinya sama sekali tidak ada niat untuk masuk ke rumah ini dihari ini.

Entah kenapa aku merasa ada seseorang yang berkata agar aku memasuki rumah putih besar ini. Aku berjalan mendekat ke pintu gerbang yang sudah hancur tak berbentuk. Ku cium aroma kemenyan, entah datang dari mana.
"Lu nyium bau kemenyan gak Wan?" tanyaku pada Ridwan
"Engga. Hidung lu aja tuh yang aneh.." jawab Ridwan sedikit tertawa

Aku benar-benar merasakan aroma kemenyan yang menjadi-jadi. Ku masuk, langkah demi langkah. Ku memperhatikan kembali rumah bertingkat satu itu benar-benar memiliki hawa negatif yang amat besar. Di tambah lagi bebauan kemenyan yang sedari tadi aku cium. Di depan rumah, terdapat sebuah kolam yang mungkin dulunya terdapat air mancur di situ. Ridwan menghentikan langkahku. Aku menoleh.
"Ada apaan Wan?" tanyaku dengan suara sedikit parau
"Lu yakin mau masuk?" tanyanya.
Aku mengangguk .
"Feeling gue gak enak Yas..." katanya lagi.
"Udah ikutin gue aja yuk.." jawabku santai.

Aku memasuki pintu besar yang sudah hampir copot dan tidak menyerupai pintu. Aroma kemenyan semakin terasa. Dan aku tau Ridwan pun saat ini sedang amat ketakutan karena sedari tadi dia memegangi tanganku dengan kencang. Langkahku tambahkan, ku temukan sebuah kamar si sebelah kiri. Kamar itu penuh dengan sampah, jendelanya pun sudah tidak ada. Aku masuk ke kamar itu. Ridwan masih mengikutiku.

Ku tengok ke kanan, ke kiri. Aku sudah merasakan adanya hawa negatif disini. Aku pun segera keluar dari kamar kotor itu. Selanjutnya aku melangkah lagi dan ku temukan sebuah dapur. Di situ terdapat sebuah keran yang biasa di gunakan untuk mencuci piring. Di situ juga terdapat pecahan-pecahan piring yang entah datang dari mana. Di sebelahnya lagi terdapat kamar mandi. Yaaa, ada sebuah bath-up di situ. Masih bagus.

"Yas, udahan yuk. Feeling gue gak enak.." kata Ridwan terbata-bata
"Ah, nanggung . Udah masuk juga. Udah deh lo diem dan ikutin gue aja.." jawabku menenangkan Ridwan yang sedari tadi ku lihat mukanya amat pucat.

Kemudian aku keluar dari dapur dan kamar mandi, di depannya terdapat tangga yang melingkar. Aku semakin merasakan dorongan untuk naik ke atas. Waw. tengok tangganya pun masih berbalur karpet merah.
"Rumah yang mewah.." gumamku.

Aku melangkahkan kaki menaiki tangga. Rumah ini benar-benar mempesona saat dulu masih dalam keadaan bagus. Aku pun membayangkan rumah ini saat masih di tempati oleh pemiliknya. Langkah demi langkah ku jajaki tangga ini. Akhirnya sampailah kami di lantai dua. Ada sebuah kamar di situ, ya di sebalah kanan setelah aku menaiki tangga. Kamarnya lebih besar dari kamar yang di bawah.

"Hemmm, inilah kamar utamanya Wan..." kataku pada Ridwan yang tangannya amat dingin.
"Kok lu bisa tau?" tanya lagi sambil melepaskan tanganku yang sedari tadi di genggamnya.
"Gue gitu.." jawabku dengan senyum merekah.

Aku masuk ke kamar utama itu.

"Disini dulunya ada lemari besar yang menempel di tembok ini.." ujarku sambil menunjukkan lokasi yang ku maksud.
Ridwan masih menganga.
"Terus sekarang kemana lemarinya?" tanya Ridwan sedikit penasaran
"Di ambil orang.." jawabku singkat

Aku merasakan hawa negatif di kamar ini lebih besar daripada kamar yang di bawah.
"Ayo Yas, kita keluar.." kata Ridwan sambil menarik tanganku
"Sebentar.." jawabku sambil terus memperhatikan setiap sudut kamar ini.
Entah kenapa aku masih ingin mengetahui apa-apa saja yang dulunya ada di kamar ini.
"Disini dulu ada meja rias.." kataku sendiri
Ridwan hanya diam dan terus memperhatikanku.

Cukup lama aku berada di kamar ini. 10 menit kurang lebih. Aku pun memustuskan untuk menjajahi ruangan  lain.
Saat keluar kamar, tepat di depan kamar terdapat kamar mandi. Dan di situ pun ada bath-up yang masih membisu. Aku tercengang.
"Gila, ini bath-up masih bagus..." kataku sambil mengelus permukaan bath-up yang terasa dingin.
"Iya ya. Tapi kenapa gak ada orang yang ambil?" tanya Ridwan

Aku menaikkan bahuku dan menggeleng.Ya Tuhan, aroma kemenyan semakin menusuk hidung. Aku pun mulai berkomat-kamit. Membacakan doa yang di ajarkan Ibuku. Ridwan hanya bengong melihatku berkomat-kamit.

Aku keluar dari kamar mandi itu. Aku berjalan kembali menuju teras yang ada di rumah itu. Dari atas kami melihat sekeliling di sekitar rumah. Ku pegang dindingnya.
"Aish, darah.." gumamku sambil memperhatikan telunjukku yang tiba-tiba tergores.
Aku segera menghisap darahku itu.
"Aneh.." gumamku

"Kenapa Yas?" tanya Ridwan mendekatiku
"Nothing.." jawabku singkat
"Masih pengen berlama-lama disini?"
"Engga, yuk keluar.." ajakku yang semakin merinding berada di tempat ini.

Aku pun menuruni tangga melingkar itu. Entah kenapa aku merasa kakiku berat untuk melangkah. Dan ternyata saat aku tengok ke bawah. Seorang anak kecil terlihat memegangi kakiku.
"Astagfirullah.." kataku tiba-tiba
Ridwan menoleh.
"Kenapa Yas?" tanyanya sambil memegangi tanganku.

Aku langsung membaca doa-doa yang di ajarkan Ibu. Dengan sekuat hati aku melangkahkan kakiku dan berkata, "Bismillah.." makhluk itu pun pergi.

Aku mengusap dada.
"Untunglah gak kenapa-kenapa, yuk buruan turunnya.."kataku sambil mempercepat langkahku.
Ridwan tampak kebingungan.
"Nanti gue ceritain.." jawabku singkat.

Sesampainya di bawah.
"Lu duluan aja Wan, nanti gue nyusul..." kataku menghentikan langkahku tepat di depan pintu masuk.
"Mau ngapain lagi Yas?" tanyanya
"Gausah banyak tanya.." jawabku singkat

Ridwan pun meninggalkanku. Aku membalikkan badanku. Mulutku membacakan semua doa-doa yang ku tahu. Ku tahu, penunggu rumah ini agak sedikit terganggu dengan kedatanganku. Aku memohon maaf. Dan kemudian melenggang pergi meninggalkan rumah itu.

Rdiwan sudah duduk di atas vespanya.
"Lu baik-baik kan Yas?" tanyanya
Aku tak menjawab.
"Yas...." panggilnya lagi sambil menampar halus pipiku
Aku tersadar.
"Eh iya, yuk pulang.." kataku
"Muka lu pucet, lu ga kenapa-kenapa kan?" tanya Ridwan dengan muka khawatir
"Gak kenapa-kenapa, yuk pulang nanti keburu sore.." kataku lalu naik ke vespanya Ridwan.

Di perjalanan.
"Lu tadi ngeliat something kan disana Yas?" tanya Ridwan
"Iya.." jawabku singkat
"Ada apa Yas? Dia ngikutin lu? Engga kan?" tanya Ridwan dengan muka yang heboh
"Gak kok. Udah ya gak usah di bahas.." jawabku dengan muka lemas

15 menit kemudian. Sampailah di depan rumahku.
"Istirahat ya Yas.." pesan Ridwan.
Aku mengangguk.
"Lu hati-hati ya dijalan.." kataku pada Ridwan

Ridwan pun berlalu. Aku masuk ke dalam rumah. Ibu sepertinya tau apa yang sedang menimpaku sekarang.
"Kamu habis dari mana?" tanya Ibu ketika aku mencium tangannya.
"Sekolah lah, Bu.." jawabku lemas
"Sepulang sekolah? Muka kamu beda.." Ibu mulai curiga
"Aku baik-baik aja Bu.." kataku sambil mengecup pipi Ibu dan berlari menuju kamar.

Aku masuk ke kamarku. Ku langsung menuju kamar mandi, ku basuh mukaku. Ku pandangi mukaku di cermin.
"Astaga, aura negatif itu besar sekali.." gumamku
Aku mengambil air wudhu dan kemudian shalat ashar.

Setelah sholat, aku menuju ruang keluarga. Berkumpul bersama Ibu, Ayah dan kakakku.
"Dek, muka lu beda banget dah.." kak Tomi menerawangi mukaku.
"Ah beda apanya sih? Sama aja kok..." jawabku
"Bener? Lu keliatannya pucet gitu, lu sakit dek?" tanyanya lagi.
"Gue baik-baik ajaa kak..." jawabku sambil mengambil setoples kue kering.

Ayah datang sepulang kerjanya.
"Assalamulaikum.." ujarnya lalu masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam..." jawabku berbarengan dengan kak Tomi.
Kak Tomi langsung menghampiri Ayah dan membawakan tas kerjanya.

Aku mencium tangan Ayah.
"Ih Ayah bau, mandi gih.." kataku sambil bercanda
"Hhahaha yaudah Ayah mandi dulu deh..." jawab Ayah sambil mengacak-acak rambutku.

Aku dan kak Tomi pun duduk di ruang tamu. Sementara Ibu menyiapkan makan untuk nanti malam.
"Eh kak, tadi gue ke rumah kosong..." kataku membuka percakapan.
"Ha? Dimana dek? Ah pasti lu liat macem-macem deh.." kata kak Tomi dengan muka konyol
Aku mengangguk. Yaaa kakaku ini memang sudah mengetahui kemampuanku ini.
"Liat apaan dek? Dia ganggu lu gak?" tanya kak Tomi menatap mataku.
Aku menggeleng.
Kemudian hening.

"Gue liat disitu dulu di tempatin sebuah keluarga kaya kak..." aku memulai cerita, mataku tajam.
"Haa? Terus-terus? Cerita de.." pinta kak Tomi.
"Ya, dulu rumah itu di huni keluarga dari Jerman. Di situ ada seorang Ayah, Ibu dan dua anak perempuan. Semuanya hidup bahagia, karena si Ayah adalah pemegang saham terbesar di kantornya. Tapi suatu saat, si Ayah memiliki hutang sama sebuah bank. Yaaa jadilah rumah itu di sita oleh pihak Bank..." ceritaku pada kak Tomi.
"Lu tau darimana? Ngarang ya?" tanyanya sambil menangkat telunjuknya dan menunjukku.
"Selin bercerita sama gue kak..." jawabku
"Selin itu siapa?"
"Anak dari pemiliki rumah itu, tadi gue ketemu sama dia disana. Dia ramah, dia hanya tersenyum padaku. Mulutnya bungkam, mukanya pucat.." jelasku
"Eh tunggu deh, kan kata lu tadi rumah itu di sita sama pihak bank? Kok anaknya masih tinggal di situ?" tanya kak Tomi

"Jadi gini, setelah rumah itu di sita. Mereka semua pergi dari rumah itu. Dan ternyata di perjalanan yang panjang itu, mereka kecelakaan. Di lindas truk. Semua mati seketika. Sejak itu,arwah Selin, Yusraz, Ibu dan Ayahnya menempati rumahnya itu..." jelasku lagi.
"Oh, gitu. Eh eh Selin sama Yusraz cantik?" tanyanya lagi. Kemudian tertawa.
"Cantik banget. Tapi ya silahkan kalo lu mau pacaran sama arwah kayak mereka.." jawabku kemudian meninggalkan kak Tomi diruang tamu sendiri.
"Eh tuyul, gue merinding nih! Sialan lu malah kabur.." teriak kak Tomi padaku.
Aku hanya tertawa dan membantu Ibu mempersiapkan makan malam.

Adzan magrib mulai terdengar. Kami semua shalat berjama'ah. Seusai sholat, kami makan bersama.
Makan malam kali ini di hangati dengan perbincangan tentang kakakku yang sebentar lagi akan lulus SMA. Jam 20:00 kami sholat Isya, dan kemudian bersiap untuk tidur.

Aku segera menuju kamarku. Kamarku dan kamar kak Tomi bersebelahan.
"Eh hati-hati ya tidurnya.." godaku pada kak Tomi
"Weeh gak papa-papa sih di datengin hantu cantik, wleee..." jawabnya sambil menjulurkan lidahnya.

Aku masuk ke kamar, ku bereskan semua buku-buku pelajaran yang akan ku bawa besok.
"Inggris, Matematika, Fisika, Kimia.." kataku sambil membaca jadwal pelajaran.

Sebelum tidur aku cek handphoneku.
Ada satu pesan dari Ridwan,
" Tyas, besok bareng ga? Kalo iya ntr gue samper ke rumah lu "
Aku membalasnya,
" Iya Wan, gue bareng, On time ye. Jan telat :-) . gue mau tidur duluan. Nite Ridwan" 
Ridwan membalas,
" Okaaaaay :-D Nite too Tyas :-* " 


Aku pun langsung merebahkan diri di kasurku. Ku tarik selimutku.
Selamat malam dunia mimpi.... :-)

Aku tertidur. Ku rasakan goncangan hebat di kasurku. Aku membuka mataku. Terlihat sosok cewek duduk di sampingku. Yaaa itu Selin. Anak dari pemilik rumah putih itu. Dia meraih tangaku, senyumnya merekah. Aku terbangun dan mengikutinya. Aku keluar dari jendela kamarku. Ku rasakan aku seperti melayang. Dan waw, lihat aku terbang. Selin terus tersenyum dan menggandeng tangaku. Ia diam, tidak bicara sepatah kata pun.

Entah berapa lama aku terbang di bawa si cantik Selin. Aku turun tepat di gerbang rumah putih itu.
"Ada apa?" tanyaku.
"...."
"Hei, jawab aku.."
Selin hanya tersenyum dan mempersilahkanku untuk masuk. Aku mengikutinya. Namun, sesaat setelah aku masuk ke pintu rumah ini. Selin menghilang.

Aku berjalan, menapati setiap ruangan yang ada di rumah ini. Ku tengok ke kamar yang ada di bawah, di situ terdapat Ayahnya Selin bersama adikknya Yusraz sedang bermain. Mereka berbicara, tapi aku tak bisa mendengar perkataan mereka. Aku terus mencari Selin, entah kenapa seperti ada yang membisikkanku untuk naik ke lantai dua. Aku menaiki tangga ini. Aku segera melihat Selin sedang duduk di atas kasur yang ada di kamar utama. Aku segera menghampirinya. Tapi saat aku hendak menghampirinya, Selin menghilang. Aku tengok ke lemari besar itu. Hei lihat ada SEBUAH GAUN WARNA PUTIH. Indah banget. Aku menghampirinya. Aku pegang gaun itu. Lembut, bertabur mutiara. Ah aku ingin memiliki gaun indah itu. Tapi segera saja Selin menghardikku. Ia menjauhkan tanganku dari gaun itu. Matanya seperti berbicara.

"Itu milikku, jangan sentuh..."
Aku menjauh,
"Maafkan aku Selin..." kataku menunduk.
Selin tersenyum. Ternyata dia hanya ingin kontak batin denganku.
Aku dapat membaca semua yang ingin ia katakan dari matanya.

"Tapi kamu pantas milikin gaun itu, aku belum sempat menggunakan gaun itu. Dulu gaun itu ingin ku pakai di acara pertunanganku, tapi maut mengambilku lebih dulu..." ia berbicara tapi mulutnya tidak berkata-kata, aku membaca dari matanya.
Aku tersenyum. Selin duduk di atas kasur.
Aku duduk disampingnya. Selin menangis.
"Don't crying.." kataku

Seketika ruangan itu gelap, sangat gelap.

"Hei bangun Tyaaasss, nanti telat sekolahnya.." teriak Ibu membangunkanku

Wajahku berkeringat. Mukaku pucat.
"Astaga, tadi itu mimpi.." gumamku sambil terbangun dari tidurku.

"Cepet mandi, jangan bengong.." kata Ibu mengagetkan ku yang masih terbengong-bengong.
Aku terburu-buru, lalu begegas ke kamar mandi.

Ku pandangi mukaku. Pucat, ku cium tanganku. Bau melati.
"Ya Tuhan, sebenarnya mana yang mimpi..."

Ku pakai sepatuku. Ridwan sudah menunggu di depan rumah.
"Bu, aku berangkat.." seruku kepada Ibu yang sedang menyapu ruang tamu.
"Iyaa, hati-hati nak.."

Di perjalanan menuju sekolah.
"Wan, nanti temenin gue ke rumah itu lagi ya..." kataku
"Ha? Ngapain lagi Yas?" tanya Ridwan sedikit kaget
"Nanti aku ceritain.." jawabku singkat.

Vespa Ridwan melaju cepat. Kemudian sampailah di gerbang sekolahku. Aku turun di gerbang dan Ridwan menaruh motornya di parkiran.

Aku berjalan menuju kelasku. Di susul Ridwan.
"Heh mau ngapain lagi ke rumah itu?" tanyanya seketika
"Aku mimpiin rumah itu.." jawabku sambil melangkah menaiki satu anak tangga.
"Mimpi apa?" seru Ridwan dengan muka semangat.
"Di rumah itu ada Gaun indah banget Wan, warnanya putih bersih. Dulu gaun itu hendak di gunakan di acara tunangan Selin, anak dari pemilik rumah itu.." jelasku
"Ha? Lu ketemu sama mereka? Terus terus?" katanya
"Kepo lu.." jawabku singkat lalu berlalu menuju kelas.
"Eh sialan lu.." kejar Ridwan

Aku masuk kelas. Dan duduk di kursiku.
Kemudian Ridwan masuk.
"Sialan lu, gue di bilang kepo..." katanya sambil menaruh pantatnya di kursi
Aku hanya tertawa,
"Udah pokoknya ntar temenin gue, gue pengen liat gaun itu.." kataku dengan suara yang sedikit rendah
"Emang beneran ada? Bukannya cuma mimpi lo?" tanya Ridwan.
"Gue yakin ada..." jawabku singkat dengan muka serius.

****
Bel berdentang tiga kali.
Aku membereskan buku ke tasku.
"Jadi?" tanya Ridwan singkat
Aku mengangguk.

Menuju rumah putih itu.
"Feeling gue gak enak Yas.." kata Ridwan
"Lu takut? Gak akan ada apa-apa kok..." jawabku santai
Ridwan pun mempercayai semuanya padaku.

Sampai di depan rumah putih. Aku langsung membacakan doa keselamatan yang diajarkan Ibu.
"Bismillah.." ku langkahkan kakiku.

"Wan, ada Selin. Lu salam gih.." kataku sedikit berbisik
"Dimana? Gue gak liat.." katanya dengan muka pucet
"Cepet..." kataku lagi
"Assalamulaikum Selin, aku temennya Tyas.." katanya sedikit gugup

Aku menarik tangan Ridwan dan langsung menuju lantai atas. Selin tersenyum dan menyambut hangat kehadiranku. Ku naiki tangga dan ku langsung menuju ke kamar utama.
Tapi hasilnya "nol" . Tidak ada gaun di situ. Apa itu hanya mimpiku? Ah aku rasa itu nyata...

"Dimana gaunnya?" tanya Ridwan
"Gak ada.." jawabku sedikit kecewa
Aku keluar dari kamar utama. Ku lihat Selin tersenyum padaku, matanya berkata,
"Temanmu lucu.."

Aku tertawa.
"Eh ngapa lu tawa?" tanya Ridwan dengan muka yang bener-bener kocak. Antara takut dan sok-sok berani.
"Kata Selin, lu lucu.." jawabku
"Eh masa? Dia cantik ya? Dimana dia ?" tanya Ridwan langsung membusungkan dadanyya.
"Tuh di situ.." jawabku sambil menunjuk ke pojok kamar mandi.

Ridwan tampaknya benar-benar ketakutan melihatku yang sedari tadi bercakap-cakap sendiri.
"Yas, pulang yuk.." katanya
"Sebentar dulu, aku masih penasaran sama gaun itu.." jawabku
"Ya tapi lu udah liat sendiri kan? Gaunnya gak ada.."
"Ada..." jawabku pasti.

Entah kenapa, tiba-tiba ada bisikan di telingaku agar aku segera turun ke bawah. Aku turun ke bawah, dan ku lihat gaun itu, tapi gaun itu bergerak.
"Itu gaunnya.." teriakku menunjuk-nunjuk ke arah pintu
"Dimana?" Ridwan tambah bingung

"Yahh terbang.." keluhku
"Kayaknya itu emang cuma khayalan gue aja Wan. Gue sudah terlalu jauh ingin mengetahui dimana gaun itu. Yang sebenarnya gaun itu bukanlah milik gue..." jawabku sambil duduk di motor vespanya Ridwa.

Ridwan mengelus kepalaku.
"Jangan sedih Tyas, kalo emang itu gaun ada. Mungkin lu juga gak berhak milikin itu.." katanya mencoba menghiburku.
"Tapi gaun itu ada!" teriakku sedikit menangis kecewa.
"Yaudah sekarang kita pulang yuk.." kata Ridwan menghapus air mata ku yang perlahan menetes.
Aku pun langsung naik membonceng di motornya Ridwan, dan bergegas pulang.


Terang saja aku menangis, gaun itu amat indah. Setiap wanita yang melihat itu pasti akan ingin memilikinya. Gaun indah itu, berwarna putih, bermandikan butir-butir mutiara. Ah indahnya....
Tapi sampai sekarang aku masih terus menerus memikirkan gaun itu. Gaun itu selalu hadir dalam mimpiku. Entah itu nyata atau tidah, aku merasa gaun indah itu benar-benar ada.
Tapi selain itu, aku mendoakan Selin beserta keluarganya. Agar tidak mengganggu orang-orang di sekitar rumahnya itu.

Suatu malam, aku bermimpi. Gaun itu! Yaaa gaun itu lagi. Ada di lemari besar itu. Ku menyentuhnya. Tapi kemudian ku lihat muka Selin amat marah padaku. Aku meminta maaf karena aku telah berkeinginan memilik gaun pertunangannya itu. Selin memaafkanku. Sampai saat ini, aku masih terus bermimpi tentang GAUN PUTIH DI RUMAH PUTIH itu. Entah maya atau nyata.......

Senin, 23 Januari 2012

Dialah hidupku. Hanya Dia, Ayahku......

KUPU-KUPU ITU BERDARAH




"Bik, aku mau Ayah..." kataku pada Bik Isma yang sudah menanti kedatanganku di depan rumah.

Bik Isma memelukku dan menuntunku masuk ke dalam rumah.

Aku duduk di sofa. Pak Surya mengampiriku dan memberiku segelas air.
Mataku sudah bercucuran air mata.

"Jangan nangis terus Non, kita doakan yang terbaik buat Tuan.." kata Bik Isma sambil menghapus air mataku.

Aku meneguk segelas air yang di berikan Pak Surya.

"Bik, kita ke Pontianak kapan? Sekarang aja ya Bik?" kataku terisak
"Mungkin besok pagi Non, sekarang udah malam.." jawab Bik Isma
"Sekarang Non Windi tidur dulu ya. Istirahat..." kata Pak Surya

Aku menggangguk dan langsung menuju kamarku.

Di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Tuhan, tolong jangan kau siksa Ayahku dengan penyakitnya. Biarkan dia sehat seperti kemauanku. Cabut penyakitnya ya Tuhan...
Rasanya ingin sekali malam ini segera habis dan berganti cerahnya esok pagi. Aku ingin secepatnya menemui Ayah.

Aku mengambil handphoneku. Aku mengirimi pesan singkat ke Risa.

To : Risaaaaaaaaa
Ris, besok aku ga masuk. Aku izin mau ke Pontianak. Ayahku sakit Ris.


Tak ada balasan dari Risa.
Aku segera merebahkan tubuhku di empuknya kasur kamarku. Ku tarik selimutku dan ku pejamkan kedua mataku. Tuhan, izinkan aku menatap Ayah di esok hari...


****
Keesokan paginya, pukul 04:30 Bik Isma sudah bangun dan membereskan semua keperluanku yang akan di bawa ke Pontianak.
Bik Isma membangunkanku.

Aku membuka mata dengan beratnya dan ku buka tirai kamarku. Langit masih gelap.

"Pesawatnya jam berapa Bik" tanyaku pada Bik Isma
"Jam setengah 8 Non.." jawab Bik Isma sambil memasukkan bau-bajuku yang akan di bawa ke Pontianak.

Aku duduk di kasurku dengan muka lemas.
"Apa udah ada kabar dari Ayah?" tanyaku lagi

Bik Isma menggeleng.
Ya Tuhan, kau pasti mendengar isi hatiku yang merasakan betapa khawatirnya aku terhadap kondisi Ayahku. Semoga Ayah selalu dalam lindunganmu ya Tuhan..

"Udah sana mandi dulu Non, abis itu sholat subuh.." kata Bik Isma kepadaku

"Nanti Bik.." jawabku singkat

Bik Isma hanya tersenyum kemudian mengelus kepalaku, lalu pergi dari kamarku. Aku masih duduk diam di atas kasurku. Perasaanku tidak enak sekali, ada apa ini ya Tuhan...
Handphoneku berdering..
"Kak Sandi" sebuah nama tertera di layar handphoneku.
"Ada apa Kak Sandi meneleponku pagi-pagi seperti ini?" tanyaku dalam hati

Aku pun mengangkat teleponnya.

"Assalamualaikum.." kataku membuka pembicaraan
"Waalaikumsalam, Windi kata Risa kamu mau ke Pontianak?" tanya Kak Sandi
"Hemm, ya.." jawabku singkat
"Kamu kok masih jutek sih? Kamu berangkat jam berapa?" tanyanya lagi
"Gak, biasa aja kok. Jam 8an.."
"Ya ampun Windi. Harus berapa kali aku bilang, aku sama sekali gak ada rasa sama Angel.." katanya lagi
"Yaudah.." jawabku sedikit cuek
"Aku sayang sama kamu Windi, dan aku harap kamu sadarin itu..." katanya
"Iya, udah ya. Mau siap-siap.." kataku bertanda ingin cepat-cepat menyudahi telepon ini
"Yaudah, kalo udah sampai sana, kabarin aku ya Windi. Assalamualaikum.." jawabnya
"Waalaikumsalam.." jawabku. Telepon terputus

Entah kenapa setelah mendapat telepon dari Kak Sandi, aku langsung duduk di depan meja riasku. Dan ku pandangi pita kecil berbentuk kupu-kupu pemberian Kak Sandi.

"Kenapa aku harus membohongi perasaanku sendiri?" gumamku sambil menatap pita mungil itu.

"Non Windi, cepet mandi.." teriak Bik Isma menyadarkan lamunanku.

Aku langsung bergegas mandi untuk langsung pergi ke airport. Seusai mandi, aku membawa tas kecilku berisi parfum, tissue , handphone dan accesories. Seperti ikat rambut, pita dan lainnya. Tapi aku enggan membawa pita pemberian Kak Sandi, aku lebih memilih menaruhnya di meja riasku. Sebelum bergegas keluar dari kamar, aku mencium pita kupu-kupu pemberian Kak Sandi ini.
Ku keluar kamar dan Bik Isma pun sudah bersiap-siap . Bik Isma hanya membawa satu tas yang tidak terlalu besar, berisi pakaianku dan pakaiannya.
Pak Surya nampak sedang memanaskan mobil, tapi ia tidak menggunakan baju rapih.

"Bapak gak ikut ke Ponti?" tanyaku pada Pak Surya
"Aduh Non, bapak jaga rumah aja yaa. Non Windi sama Bik Isma aja..." jawabnya
"Oh gitu ya Pak, aku pikir Bapak ikut.." jawabku sambil masuk ke dalam mobil, disusul Bik Isma.

45 menit kemudian, kami tiba di airport.

"Hati-hati ya Non, salam buat Tuan.." pesan Pak Surya kepadaku
Aku menggangguk dan mencium tangan Pak Surya.

Bik Isma menggandeng tanganku.
"Ayuk Non, nanti telat.." katanya
"Iya Bik. Pak, jaga rumah hati-hati yaaa.." pesanku pada Pak Surya
Pak Surya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Aku dan Bik Isma langsung masuk ke dalam airport.

"Baguslah kita tidak telat.." kataku sambil duduk di dalam pesawat
"Iya Non..." jawab Bik Isma

Di pesawat, aku terus memikirkan kondisi Ayahku. Semoga beliau dalam keadaan baik-baik saja. Kurang lebih 2 jam setengah kami tiba di Pontianak. Setibanya di Bandar Udara Supadio, kami langsung menaiki taksi yang sudah menunggu kedatangan para penumpangnya. Kurang lebih 1 jam setengah dari sini untuk mencapai Kota Pontianak. Di taksi, aku tertidur di bahu Bik Isma. Ngantuk sekali rasanya. Entah berapa lama ku tertidur. Bik Isma membangunkanku.

"Non, bangun. Udah mau sampe.." katanya
Aku membuka mataku yang masih sepet ini. Lalu mengucek-nguceknya.

"Udah sampai rumah Ayah Bik?"tanyaku
"Kita tinggal naik bus itu sekali lagi, lalu turun di rumah Tuan.."jawab Bik Isma.

Setelah itu, kami turun dari taksi. Ku tengok jam di tanganku.
"Hmm jam 12 siang.." gumamku

Kemudian aku dan Bik Isma menaiki bus kecil untuk mencapai rumah Ayah.
10 menit kemudian, kami sampai di depan rumah Ayah. Tidak terlalu besar seperti rumahku di Jakarta. Disini Ayah tinggal bersama adiknya. Sebenarnya aku bukan asli orang Pontianak. Aku asli orang Jakarta, tapi karena urusan pekerjaan Ayah yang memaksaku untuk berpindah-pindah tempat tinggal. Saat kami masuk ke dalam rumah Ayah tiba-tiba....

"Windi..."

Terdengar ada suara orang memanggilku. Aku pun menoleh ke belakang. Sesosok lelaki sebayaku memanggil namaku. Aku sedikit bingung dan menghentikan langkahku.

"Siapa?" jawabku padanya yang semakin mendekatiku
"Kamu lupa sama aku?" katanya dengan wajah serius

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Aku menaikkan kedua bahuku.

"Ya ampun, aku Wisnu. Sepupumu.." jawabnya

"Haaa? Sepupu? Sejak kapan aku punya keluarga yang tinggal disini..." gumamku
Aku menyeritkan keningku, menandakan aku bingung.

"Aku anaknya Om Rizal.." jawabnya lagi.
"Oh ya? Aku baru tau kalau Om Rizal punya anak sebaya denganku.." jawabku dengan senyum
"Ah kamu payah! Dulu waktu kita kecil kan kita sering main bareng.." jawabnya lagi
Aku pun tertawa.

"Oh iya, nih kunci rumahnya aku yang pegang. Tadi Papahku bilang katanya aku suruh berjaga-jaga disini menanti kedatanganmu.." jawabnya sambil megulurkan kunci.
"Terima kasih, yuk masuk juga.." jawabku

Wisnu pun menghampiri Bik Isma yang sudah menunggu di depan rumah Ayah.

"Bik, apa kabar..." katanya pada Bik Isma sambil mencium tangannya.
"Eh, Wisnu ya? Ya ampun udah besar. Dulu tuh masih bayi, bibi gendong-gendong.." jawab Bik Isma sambil mengelus kepala Wisnu.

Sementara aku membuka pintu.
"Yuk masuk.." kataku pada Bik Isma dan Wisnu.

Wisnu membawakan tas yang dibawa Bik Isma. Aku langsung masuk dan duduk di sofa.

"Aku buatin minum yaaa.." kata Wisnu sambil menaruh tas bawaan Bik Isma
"Eh bibi aja yang buatin Den.." jawab Bik Isma
"Ih si bibi, bibi kan tamu. Jadinya gak apa-apa kok biar Wisnu aja yang buatin. Tunggu sebentar ya..." jawabnya.

"Bik, kapan kita ke rumah sakitnya Ayah.." tanyaku pada Bik Isma
"Mungkin nanti sore ya Non, kita beres-beres dulu..." jawab Bik Isma, mukanya nampak lelah.

Aku mengambil handphoneku. Ada 5 pesan baru, 2 dari Risa, 1 dari Rasya dan 2 dari Kak Sandi.

From : Risaaaaaaaa 09:00
Windi kalo udah sampe sms gue salam buat ayah lo ya :)
---
From : Risaaaaaaaa 10:20
Windi, tadi rasya nanyain lo. gue bilang ke dia kalo lo lagi di Ponti.




From : Rasyaaa 11:00
Win, kata Risa kamu nyusul Ayah kamu ke Ponti? kalau udah sampe sms aku ya Windi. aku disini bantu doa buat kesembuhan Ayah kamu... :D




From : Kak Sandi 08:00
Windi, hati-hati ya di jalan. jangan lupa makan juga ya...
---
From : Kak Sandi 11:00
Sayang, udah sampe? sms aku yaa. Aku nungguin kamu..




Aku membalas pesan untuk mereka bertiga.

To : Risaaaaaaa , Rasyaaa , Kak Sandi
Aku udah sampe. rencana nanti sore mau ke rumah sakit. makasih doanya.




Lalu Wisnu datang membawa segelas teh dingin untuk aku dan Bik Isma.

"Nih Win, di minum dulu.." katanya

Aku mengambil segelas teh lalu meminumnya.

"Ayahku di rawat di rumah sakit mana Wis?" tanyaku setelah meneguk teh
"Di RSUD Soedarso. Gak terlalu jauh kok dari sini.." jawabnya

Ku tengok jam. Sudah menunjukkan pukul 01:30 . Aku ingin tidur sejenak. Lelah sekali rasanya.

"Wis, aku mau istirahat dulu ya di kamar.." izinku pada Wisnu
"Oh iya Win, selamat istirahat ya. Nanti sore aku bangunin buat tengok Ayahmu.." katanya sambil tersenyum

Aku langsung menuju kamar tamu yang ada dirumah Ayah ini. Ku rebahkan diriku di kasur empuk ini.
"Hoaaaammm.." sesekali ku menguap dan kemudian tertidur.

" Windi, bangun Win!!!!!" teriak Wisny menggedor-gedor kamarku

Dengan malas, aku bangun dan membuka pintu.
"Ada apa sih Wis, gedor-gedor gitu.." jawabku sambil mengucek-ngucek mata.

"Ayahmu meninggal Windi.." jawab Wisnu kemudian duduk lemas bersandar tembok

Aku yang tadinya terkantuk-kantuk langsung terbangun. Kakiku bergetar lemas, keringat membasahi wajahku. Ayahku meninggal? Astaga :( . Aku terjatuh dari tegaknya tubuhku. Mataku meneteskan airnya.

"Ini gak mungkin Wis.." ujarku pelan.
"Tapi ini kenyataannya..." tegas Wisnu

"GAK! AYAH GAK BOLEH PERGI NINGGALIN AKU WIS! GAK ! GAK!!" teriakku. Kemudian masuk ke kamar.

Tiba-tiba.....

"Non, bangun...." teriak Bik Isma mengguncang-guncangkan tubuhku
"Ah, astaga jadi tadi mimpi? Bik, Ayah baik-baik kan? Ayah gak kenapa-kenapa kan?" jawabku tergesa-gesa.
Badanku berlumuran keringat. Perasaanku tidak menentu.

"Bik, ayo ke rumah sakit sekarang...." jawabku sambil menarik Bik Isma keluar kamar.
Kemudian.....


*Bersambung......

Jumat, 20 Januari 2012

Seggenggam Harap Dalam Sunyi


Setitik cahaya lilin menemaniku malam ini. Sunyi memang. Lilin semakin habis, cahayanya pun semakin memudar. Ku ambil lilin satunya lagi dan ku nyalakan berdampingan. Kini cahayanya bertambah terang. Ku ambil selembar kertas, ku ambil sebuah pensil. Ku biarkan imajinasiku menari-nari di atas kertas putih ini. Sesaat ku rasakan hembusan angin merasuki tubuhku, tapi aku tak menghiraukannya. Tanganku mulai menari diatas secarik kertas ini.

Ku pandangi foto Ayah dan Ibu yang tetap abadi di meja kecilku ini, Fotonya memang tidak sebagus foto-foto baru, terang saja foto ini sudah hamir 10 tahun menemaniku. Ya, memang hanya selembar foto ini yang menjadi semangatku menjalani hidup ini.

" Ayah, Ibu aku rindu kalian.." gumamku sambil terus menulis di kertas ini

Sejak kejadian itu, aku merasa benar-benar enggan bertemu dengannya. Ya "Ombak" aku benci itu! Karena ombak telah mengambil Ayah dan Ibu. Ku ingat kembali kejadian 10 tahun lalu itu yang datang melanda perkampungan nelayan daerahku.

Sore itu, Ayah pulang dari laut, ya Ayahku seorang nelayan.

"Ayaaaaaah, mana ikan untukku.." teriakku sambil mengampiri Ayah yang pulang membawa sekarung ikan.

"Sebentar yaaaa, Ayah mau istirahat dulu.." jawab Ayah lalu duduk di kursi rotan yang ada di dalam rumahku.

Aku membawa karung berisi ikan ini menuju dapur. Ibuku sudah menyiapkan segala macam bumbu yang akan di masak beserta ikan yang di bawa Ayah. Ibu memisahkan mana ikan yang harus di masak dan mana ikan yang harus di jual.

Andai aku tau, saat-saat itu adalah saat terakhir aku dapat melihat Ayah dan Ibu. Saat itu umurku masih 7 tahun, aku sudah bersekolah di Sekolah Dasar yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumahku.

"Nisa bantuin yaaaa Bu.." kataku pada Ibu sambil duduk disampingnya

Ibu pun tersenyum dan mengangguk.

Aku mulai membantu Ibu membersihkan ikan untuk di masak, sedangkan Ibu menyiapkan kayu bakar yang akan di gunakan sebagai kompor. Di kampungku memang masih banyak keluarga yang menggunakan tungku kayu sebagai kompor.

Ayah masuk ke dapur, lalu berkata,

"Nisa sudah besar yaaa. Nanti harus bisa mandiri..."

Aku hanya tersipu-sipu.
Ibu mengambilkan handuk untuk Ayah. Ayah pun pergi mandi. Andai aku tau, jika saat itu adalah akhir hidup Ayah, aku tak akan membiarkan Ayah untuk mandi.

Ibu menyuruhku untuk mengantarkan pesanan ikan kepada Pak Iyas yang tinggal dikampung sebelah . Ya, memang sudah banyak pelanggan dari kampung sebelah yang memesan ikan hasil tangkapan Ayahku.

Aku pun meletakkan pisau yang ku gunakan untuk membersihkan ikan yang akan dimasak Ibu. Ibu memberiku sekeranjang ikan untuk di antar ke rumah Pak Iyas.

"Hati-hati yaa Nis..." pesan Ibu kepadaku yang hendak mengeluarkan sepedaku.

Aku mengangguk seraya tersenyum. Ku cium tangan Ibu kemudian pergi menuju rumah Pak Iyas menggunakan sepeda kecilku.
Saat hendak mengayuh sepedaku, entah kenapa aku merasakan berat sekali untuk meninggalkan Ayah dan Ibu. Tapi aku tak mau membuang waktu, aku pun segera mengayuh sepedaku menuju kampung sebelah. Di perjalanan ku lihat awan bewarna hitam, agak beda dari hari-hari kemarin.

"Ah mungkin karena menjelang malam.." gumamku

Aku pun terus mengayuh sepedaku. 20 menit kemudian aku sampai di kampung sebelah.  Sesaat kemudian, aku merasakan getaran yang ku rasa cukup kencang. Aku tak menghiraukannya, aku segera menuju ke rumah Pak Iyas.

Saat aku sampai di depan rumahnya Pak Iyas, tiba-tiba.....

"Nisaaaaa, yang sabar yaa.." kata Bu Iyas sambil memelukku.
"Ada apa Ibu?" tanyaku polos

Bu Iyas menuntunku masuk ke dalam rumahnya.

"Tadi ada berita di televisi, ombak besar melanda perkampunganmu Nis. .." ujar Bu Iyas sambil menyeka air matanya
"Ombak? Terus Ayah sama Ibu Nisa gimana?" jawabku masih kebingunan.
"Kita lihat aja ya keadaan dikampungmu sekarang bagaimana.." jawab Bu Iyas mengelus kepalaku

Pak Iyas menyalakan sepeda motornya, kemudian ia menggendongku yang di taruhnya tubuh mungilku di jok motornya. Aku pun membonceng bersama Bu Iyas.

Sesaat setelah sampai di perkampunganku....

"Ayaaaaaaaaah.....Ibuuuuuu...." teriakku sambil berlari menuju rumahku yang telah hancur

Ku pandangi puing-puing reruntuhan rumahku. Ku langsung berlari menuju dapur rumahku yang sudah tidak karuan lagi bentuknya. Di situ sudah terbaring Ibuku yang sudah tidak bernyawa.
Ku basuh kedua pipi Ibu.

"Nisa belum siap kalau harus kehilangan Ibu..." kataku

"Ayah, dimana Ayah.." gumamku sambil mencari tubuh Ayahku.

Ku perhatikan setiap sudut. Ku temui tubuh Ayahku, terbujur kaku bermandikan air laut. Di sekitar matanya terdapat goresan-goresan sesuatu benda. Matanya bercucuran darah.

"Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh.." teriakku sambil mencium kening Ayahku

Ya, ombak besar selama 6 menit itu telah berhasil menghilangankan nyawa pahlawan hidupku. Memang sangat singkat. Kini aku tinggal bersama keluarganya Pak Iyas.
Di kamarku yang kecil ini, ku tuliskan semua harapku untuk Ayah dan Ibu di surga sana.

Minggu, 08 Januari 2012

Ibu itu "SUPERHERO" :'D


Malam itu terasa dingin, terang saja ternyata rintik hujan membasahi latar halaman. Ibuku sedari tadi masih asik berkutik dengan mesin jahitnya. Ayahku masih sibuk dengan kerjaannya yang menumpuk.
Aku hanya bisa terdiam dan meringkuk di dalam perut Ibu. Mataku sudah bisa terbuka, meskipun aku hanya bisa melihat setitik-titik cahaya. Kini aku sudah berusia 8bulan, sebulan lagi aku akan keluar dari sini. Ya aku akan melihat betapa terangnya dunia ini. Sempat bosan bergelut dengan apapun yang ada di dalam sini. Apa Ibu tidak berat yaa membawaku di perutnya kemanapun ia pergi. Hehehe nanti kalo aku udah lahir, aku janji akan membalas semua jasanya. Aku akan membuat beliau tersenyum.

Mataku pun terasa lelah, aku pun tertidur di dalam sini. Di dalam tidurku aku berdoa, agar Ibuku terus di beri kesehatan sampai aku dapat memeluknya, menemani hari-harinya, dan membasuh keringatnya saat ia kelelahan.
Ibuuuu, aku ingin cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin menatap mata teduhmu.

Waktu berjalan terasa tidak begitu lama. Sampai suatu saat..

"Arghhhh....Arghhh.."
"Iya bu, ayoo terus.."
Terdengar suara Ibu yang sedang mengerang. Ayah terus menerus menyemangati Ibu.

"Oooekkk...Oekkkkk.." tangisanku menguasai suara di ruangan ini
Ya Allah aku terlahir ke dunia ini. Ku di gendong oleh wanita berbaju putih. Tubuhku di basuh air dan di bersihkan dari darah-darah. Ya darah-darah dari dalam rahim ibu, mereka sahabat-sahabatku selama aku tinggal di dalam situ.
Aku merasa segar. Ku di balut kain halus, lembut sepertiku, hehe.

"Putrinya sangat cantik, seperti Ibunya. Siapa nama anak ini Pak? " tanya Dokter yang membantuku untuk lahir.

Ayah menggendongku, ia menatap mataku. Ia mencium keningku.

"Namanya Wardania Ayugita Sugito" jawab Ayahku
Ya , Dania namaku . Terima kasih Ayah.
Ibu masih lemas, badannya bercucuran keringat.
Hatiku terus berbicara dan aku harap Ibu dapat mendengar hatiku,

"Ibu, terima kasih sudah melahirkanku. Dengan susah payah, nyawamu pun kau kerahkan demi lahirnya aku. Ibu aku janji akan membalas semua jasamu walau aku tau takkan ada yang benda yang mampu dan bisa membalas jasamu.."

Ayah menaruhku disamping Bunda, ia mencium keningku. Ya Allah keringatnya masih bercucuran, ingin rasanya menyeka keringat itu.
Ayah membiarkan Ibu untuk beristirahat. Wanita berbaju putih itu ternyata asisten Dokter membawaku ke suatu ruangan dan menaruhku di kotak berbentuk balok. Terasa hangat disini. Aku kesulitan untuk bergerak ternyata badanku di bungkus oleh kain ini. Aku hanya bisa tertidur, dan menikmati nyamannya di tempat ini.

4 bulan kemudian.
Ibu memberikanku suatu kamar yang sangat nyaman. Tidak besar memang tapi ini cukup menyenangkan. Aku mempunyai kamar untukku sendiri. Yeaaay! Andai aku bisa berteriak, aku akan teriaak :D .
Ibu menaruhku di kasur bewarna pink bervariasi putih ini. Kamarku penuh boneka.

Aku tumbuh menjadi bayi yang sehat. Ibu rajin membawaku ke posyandu. Itu semua demi aku, yaa agar aku menjadi bayi yang sehat. Saat tengah malam, aku menangis karena haus. Ibu terbangun dan langsung memberiku susu. Aku tau mungkin saat itu dia enggan untuk terbangun, tapi ia memaksakan untuk merelakan istirahat malamnya terganggu akan tangisku. Beliau menenangkanku, hingga aku kembali tertidur.

Tak terasa 1 tahun usiaku saat ini. Ibu dan Ayah mengadakan acara ulang tahun di rumahku. Tidak mewah memang, tapi ini cukup mengasyikan. Aku bertemu dan bercanda gurau dengan anak-anak seusia ku. Ada balon, topi-topi lucu, kue-kue lezaaaat. Yummy ! :9
Ibu mendandani aku layaknya seorang putri raja. Aku memakai gaun , dilengkapi mahkota kecil yang di sangkutkan di rambutku ini.

"Selamat Ulang Tahun Dania.." sebuah tulisan di depan pintu rumahku.

Ayah, Ibu terima kasih atas hadiah ini. Aku harap aku akan menjadi lebih baik di tahun-tahun selanjutnya.

Setiap tahunku, Ayah dan Ibu selalu mengadakan pesta-pesta kecil seperti itu.
Sampai pada usiaku yang ke-5 . Oh iya saat ini aku sudah bersekolah loooh, hihi. Taman Kanak-Kanak , yaa itu kata Ibu. Di TK ku , aku belajar mengenal huruf, angka , nyanyi-nyanyian.
Aku mengenal banyak teman ada Rina, Tia, Asti , Yudis , Gina dan banyak lagi yang lainnya.
Ibu mengantarku ke TK ku ini, ia menungguku sampai aku pulang. Hihi baik kaan Ibuku? :D
Sewaktu istirahat, Ibu guru menyuruh aku dan teman-teman untuk membuka bekal makan yang di bawa dari rumah. Aku membuka kotak makan yang di kasih Ibu tadi. Kotak makananku bergambar barbie looh, warnanya merah muda. Hihi lucu kan?
Ibu membuatkanku sekotak penuh kentang goreng di taburi keju. Ini menu sarapan favoritku.
Tak lupa sekotak susu coklat kesukaanku.
Sehabis makan, aku bersama teman-teman bernyanyi bersama. Setelah itu pulang, aku langsung menghampiri Ibuku yang tengah menungguku di taman sekolahku.
Aku memeluknya, kemudian Ibu menuntunku lalu kita pulang ke rumah.

Setelah lama aku bersekolah di Taman Kanak-Kanak, Ibu memasukkanku di Sekolah Dasar. Umurku saat itu masih 6 tahun. Aku bersekolah di Sekolah Dasar yang tidak jauh dari rumah.
Dengan senang hati, Ibu mengantarku ke sekolah dan menjemputku pulang sekolah.
Saat pagi tiba, Ibu menyiapkan sarapan untukku dan untuk Ayah. Ayah berangkat kerja, aku mencium tangannya sebelum Ayah berangkat.
Ibu mengantarku ke sekolah dengan menggunakan sepeda. Ibu memboncengi aku, aku yakin Ibu kelelahan jika harus mengantarku. Nanti jika aku sudah besar aku gak akan pernah lagi di antar Ibu.
Sesampainya di sekolah, Ibu menyuruhku masuk ke kelas. Ia bilang nanti pulang sekolah, ia akan menjemputku.

Saat aku naik ke kelas 4, aku sudah gak mau lagi minta di anter sama Ibu. Aku lebih memilih berangkat sekolah bersama teman-temanku. Aku gak mau lagi merepotkan Ibu.
Kata Ibu, aku anak yang pandai. Karena aku selalu mendapat peringkat kelas dari kelas 1. Dan karena Ibu lah aku jadi mandiri dan lebih percaya diri.
Apalagi saat usiaku sudah menginjak usia 11 tahun, Aku sudah duduk dikelas 6 SD . Aku sudah lebih mandiri sekarang. Aku mengalami masa menstruasi, kata Ibu aku sudah dewasa dan aku harus bisa bertanggung jawab ataus diriku sendiri.
Saat hari sabtu, aku selalu meluangkan waktu untuk berbelanja bersama Ibu. Ibu membelikanku sepatu, baju-baju. Ibu baik sekali.
Aku amat sangat dekat sama Ibu. Semuanya aku ceritakan sama Ibu.

Tapi saat aku mulai beranjak masuk ke Sekola Menengah Pertama, waktuku bersama Ibu untuk bersenang-senang bareng sama Ibu. Karena kondisi kesehatan Ibu semakin memburuk. Ibu sering keluar masuk rumah sakit. Aku tidak mengetahui jelas apa yang di derita Ibu, karena Ibu selalu berusaha menutupi itu.
Akhirnya aku pun lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ayah. Tapi agak berbeda saat sedang berbelanja bersama Ayah. Lebih asyik bersama Ibu.
Ibu cepat sembuh ya...

Aku teringat, waktu itu. Saat aku duduk di bangku SMP kelas 3, aku sudah mulai mengerti apa itu "PACARAN" . Meskipun baru cinta monyet. Aku mulai menyukai lawan jenisku, Reski namanya. Seorang cowok yang sudah membuatku merasakan apa itu sayang. Aku mengajak Reski ke rumah, aku mengenalkannya pada Ayah dan Ibu. Mereka pun tidak keberatan saat aku pergi bersama dengan Reski.
Ayah dan Ibu merasa aku akan aman jika aku pergi bersama Reski. Tapi aku merasa bersalah, saat malam itu Ibu sedang sakit. Tapi Reski mengajakku untuk pergi malam ini. Aku bingung harus bagaimana.
Tapi Ibu bilang ia mengijinkan aku untuk pergi bersama Reski. Tapi aku enggan.
Aku lebih memilih menjaga Ibu di rumah, hihi. Aku sayang Ibu...

Tapi sejak masuk Sekolah Menengah Atas, aku merasakan mempunyai banyak sekali kesalahan sama Ibu.
Saat itu, kondisi keuangan keluargaku sedang menipis. Aku memaksa Ayah untuk dibelikan handphone Blackberry, karena semua teman-temanku mempunyai itu.

"Ayaaaaah, beliin Dania BB dong. Dania malu sama temen-temen Dania. Semuanya pakai BB.." kataku sehabis makan malam.
"Ayah lagi gak ada uang Dania.." jawab Ayah sambil mengelus kepalaku
"Arghh, Ayah jahat!" bentakku sambil membanting sendok dan lalu bergegas ke kamar.

Semua teman-temanku memakai handphone itu. Sedangkan aku? Hanya pakai handphone butut ini.
"Arghhhh.." teriakku di dalam kamar.

Aku kesal sekali malam itu. Aku mengambil jacketku di lemari dan mengambil kunci motorku. Aku bergegas untuk kemanapun malam ini! Asal aku tidak ada di rumah ini.

"Dania mau kemana?" tanya Ibu sambil memegang tanganku
"Kemana juga sukasuka Dania! Gak ada urusan sama Ibu.." bentakku pada Ibu

"Daniaaa!!!" teriak Ayah sambil menampar pipiku
"Oh tampar? Iya! Tampar lagi yah biar puas!" bentakku sambil menahan sakit di pipiku

Ayah mengejarku.
"Maafkan Ayah yaa Dania.."
Aku tak menghiraukan.

"Daniaa jangan tinggalin Ibu.." terdengar suara Ibu di situ.

Ya Allah ingin rasanya memeluk Ibu saat itu. Tapi argh aku segera menyalakan mesin motorku. Ayah berusaha menahanku. Aku tak memperdulikannya.

Aku pergi ke rumah Erni. Disana Erni sedang bersiap-siap untuk jalan sama teman-temannya, ia pun mengajakku. Sebelumnya aku megirimi pesan ke nomer handphonenya Ayah.

"Aku gak akan pulang sebelum Ayah beliin aku BB !!!!"

Tak ada balasan dari Ayah.

Aku duduk di jok depan , mendampingi Erni yang sedang mengendarai mobil.

"Mau kemana kita Ni?" tanyaku pada Erni
"Kita asyik-asyik ni malem Dan.." jawabnya sambil mengambil sebatang rokok dari tasnya.

"Hah? Kamu ngerokok Ni?" tanyaku heran
"Hahahaa, yaa kalo lagi gak di rumah sih. Mau ?" katanya sambil menyodorkanku rokok yang di pegangnya

Aku menggeleng. Inikah pergaulan remaja yang di bilang Ayah?
Aku tidak menyangka jika Erni, temanku yang ku tau anaknya tidak terlalu terkenal di sekolah malah mempunyai pergaulan seperti ini. Aku berusaha agar tidak terpengaruh dengan ini.

Beberapa saat kemudian, mobilnya Erni terhenti di pinggir jalan. Erni turun dan ia pun menyuruhku untuk mengikutinya.

"Eh ini kenalin Dania, tetangga gue sekaligus temen sekolah gue.." katanya sambil mengenalkanku di depan semua anak-anak yang ada di situ.
"Eh cantik juga.." celetuk seseorang sambil mencolek tanganku
"Ih.." kataku
"Aku mau di mobil aja Ni.." kataku pada Erni karena aku takut disini

Erni hanya tertawa.
"Haha, ngapain di mobil? Disini aja seneng-seneng. Di jamin masalah lo bakalan ilang Dan..." katanya sambil merangkul pundakku
Aku percaya padanya.

Erni mengenalkanku pada teman-temannya. Ada Sisca, Dewi, Dinda , Risti dan banyak lagi yang lainnya.

"Nih Dan, salam perkenalan dari kita.." kata Risti sambil memberikanku sebungkus benda yang ku pikir itu permen.
Aku mengambilnya dan memakannya. Tapi aku merasakan kenyamanan saat memakan permen itu.
Aku pun ketagihan dan terus menerus meminta permen itu.
Erni benar, aku merasakan nyaman disini. Tak ada lagi beban di otakku.

Malam, pukul 02:00
Aku memarkirkan motorku. Aku masuk ke rumah, ku lihat rumah sepi.

"Ayaaaaah.." teriakku.
Tapi tak ada panggilan, aku pun tak menghiraukan lagi. Kepala ku terasa pusing . Aku pun langsung bergegas ke kamar dan tertidur.

Pagi hari aku enggan untuk ke sekolah. Aku masih berdiam diri di kamar. Badanku terasa menggigil.
Tiba-tiba..

"Dania.." suara yang ku kenali ya itu Ibu.
"Ibu..." jawaku

Ibu masuk ke kamarku ia duduk disampingku.

"Kenapa kamu seperti ini Nak?" kata Ibu sambil mengelus badanku yang menggigil
"Dania gak tau apa yang terjadi sama diri Dania Bu.." jawabku lemas
"Ibu gak nyangka kamu bakalan seperti ini Nak, Ibu harap setelah kepergian Ibu, kamu menjauhi hal-hal terlarang seperti itu ya. Maafkan Ibu belum bisa memenuhi semua kemauanmu.." kata Ibu kemudian mencium keningku
"Ibu kenapa?" jawabku menahan air mataku
Ibu hanya tersenyum dan lalu meninggalkanku di kamar.

Sesaat kemudian aku terbangun.
"Ah ternyata mimpi.." gumamku.
Tapi kenapa Ibu hadir di mimpiku? Aku melupakan itu.
Aku keluar dari kamar tapi aku lihat ada Ayah sedang duduk di ruang tamu.

"Ayah.." panggilku
"Dania.." jawabnya lalu memelukku
"Ayah gak tau harus cari kamu kemana semalam, Ibumu Daniaa.." kata Ayah
"Ibu kenapa yah?" jawabku

"Semalam, Ibu masuk rumah sakit. Dan sekarang Ibu sudah gak ada Dan.." jawab Ayah lemas dan menyeka air matanya.
"Maksudnya gak ada?" jawabku masih bingung
"Ibu meninggal Daniaa, semalam Ibu memanggil-manggil namamu. Tapi Ayah bingung harus cari kamu kemana.." jelas Ayah sambil memelukku

Jujur, rasanya seperti hancur saat mendengar kabar seperti itu.
Aku duduk lemas di lantai.
"Sekarang dimana Ibu?" tanyaku di sela-sela air mataku
"Ibu masih di rumah sakit. Jenazahnya lagi di bersihkan.." jawabnya

Tanpa berpikir panjang aku langsung menancap gas motorku dan langsung menuju rumah sakit.
Di perjalanan aku teringat saat-saat aku terlahir di dunia ini. Saat-saat aku melewati hari-hari bersama Ibu.
Ya Allah kenapa kau ambil Ibu saat aku sedang tidak ada disampingnya. Bahkan aku ingat saat terakhir aku membentaknya. Ya Allah, tengok betapa jahatnya diriku ini..

Aku sampai di depan rumah sakit. Aku langsung menuju ruang jenazah.
"Dimana Ibu...." teriakku pada dokter yang keluar dari ruang jenazah.

Tak lama, seorang suster mendorong tempat tidur.
Di atasnya tertidur seseorang yang diselimuti kain putih.

"Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu...." teriakku dan langsung membuka selimut itu.

Aku pandangi wajah Ibu. Begitu bersih, ku cium keningnya.
"Ibu, jangan tinggalin Daniaa. Dania masih butuh Ibu.." jawabku.

Dokter berusaha menenangkanku. Ayah datang dan langsung memelukku.

"Ayah, Dania mau Ibu.." jawabku
"Ibu udah bahagia disana, jangan nangis lagi yaa..." kata Ayah.

Siang itu, jenazah Ibu di makamkan. Berat rasanya saat menyaksikan orang yang selama ini merawat kita, sekarang sudah tidak bernyawa lagi dan akan pergi untuk selamanya.
Aku menyesal. Kenapa di saat-saat terakhirnya aku tidak memeluknya? Ya Allah tempatkan Ibu di sisimu.
Aku akan menjadi sosok anak yang akan menjadi kebanggaanmu Ibu.

Buat semuanya.
Jaga Ibu kalian. Karena beliaulah kalian tercipta.
Peluk ia sekarang, jangan sampai nanti saat ia sudah tidak bernyawa.
Jangan segan untuk mengatakan SAYANG padanya, jangan sampai semua itu terlambat.
Bantu ia selama kamu masih bisa membantunya.
Jangan pernah mengatakan "Ah Ibu mah.." karena kamu akan menyesal di kemudian hari.

Buat siapa pun yang baca ini.
Aku harap setelah kalian membaca tulisanku ini. Ada baiknya kalian memeluk Ibu kalian.
Cium keningnya. Peluk dirinya dan katakan "Aku Sayang Ibu"

Seburuk-buruknya Ibu, ia adalah sosok yang amat berperan besar dalam hidup kita.
Ibu tidak mengharapkan imbalan atas jasanya. Cukup dengan membuatnya senyum itu sudah membuatnya bahagia.
JADI SAYANGI IBUMU, HARI INI, ESOK, DAN SELAMANYAAAAA :***

Rabu, 04 Januari 2012

Tuhan, jangan biarkan air mata ini terus menetes...

KUPU-KUPU ITU BERDARAH




Handphoneku bergetar.
Satu nomer yang tidak ku kenali.

*1 message from 082176893422*

From : 082176893422

Windi, ini gue Rasya :) save yaaa..

"Oh Rasya..." gumamku
Aku pun membalasnya.

To : 082176893422

Oke sya....

Setelah itu kami saling berbalas pesan. Ternyata Rasya tinggal di komplek sebelah rumahku. 
Tak lama kemudian Bik Isma masuk ke kamarku.

"Non, ini vitaminnya di minum dulu.." katanya seraya memberikanku sebotol obat.
"Hah? Aku masih sakit Bik? Aku udah sehat kan?" tanyaku heran
"Memangnya orang sehat tidak boleh minum vitamin?" jawab Bik Isma sambil duduk disampingku
Aku hanya tersenyum, kemudian minum vitamin yang diberi Bik Isma.

"Ada acara kemana Non hari sabtu ini?" tanya Bik Isma sambil membereskan kasurku.
"Gak tau nih Bik, di rumah ajaa kali.." jawabku
"Gak jalan sama Mas Sandi Non?" tanya Bik Isma lagi
"Hah? Aduh Bik, jangan sebut namanya dia lagi.." jawabku sambil berjalan keluar kamar.

Bik Isma diam dan meneruskan membereskan kamarku, sedangkan aku duduk di halaman belakang.
Ku duduk di kursi putih panjang yang ada di halaman rumahku. Ku termenung.
"Tuhan, aku sudah sehat. Apakah aku boleh merasakan jatuh cinta..."

Ku pandangi semua bunga-bunga yang tumbuh di halamanku. Cukup banyak koleksi bunga di halaman ini. Karena dulu almh.Bunda ku memang mempunyai hobi berkebun.
Tiba-tiba telepon rumah berdering.
"Bik....tuh telepon rumah bunyi.." teriakku

"Non, ini tuan telepon..." kata Bik Isma mengagetkanku
Aku segera menuju ruang tengah untuk merima telepon.

"Windii.." terdengar suara Ayah yang jauh disana.
"Iya yah, apa kabar?" jawabku
"Baik sayang, kamu? Vitaminnya di minum ya.." pesan Ayah
"Hmm iya yah, tenang aja. Windi baik-baik kok disini, Ayah nggak usah khawatir ya.."
Cukup lama aku dan Ayah berbincang di telepon. Akhirnya Ayah pun menyudahi telepon ini.

Aku segera menuju kamarku. Saat ku lihat handphoneku, ada pesan dari Risa. Katanya hari ini ada latihan drama di rumahnya. Aku pun mengiyakan dan langsung bergegas mandi.
Seusai mandi aku berpakaian.
"Pak, antar aku ke rumah Risa ya.." pintaku pada Pak Surya yang tengah santai minum kopi di depan rumah.
"Oh iya Non, sekarang?" tanyanya lagi
Aku mengangguk dan langsung naik ke mobil.

*Di perjalanan*
"Non, kok Mas Sandi gak pernah ke rumah lagi?" tanya Pak Surya
"Pak, berapa kali sih aku bilang. Jangan pernah sebut nama dia lagi. Aku muak.." jawabku ketus
"Eh iya Non, aduh maafin bapak ya. Gak lagi-lagi deh.." ujar Pak Surya
Aku pun mengangguk.

"Arghhh..mood ku hilang ketika mendengar nama itu.." gerutuku dalam hati
30 menit kemudian sampailah aku di depan rumah Risa.
"Pak nanti gak usah jemput, aku nanti pulang sama Risa.." jawabku pada Pak Surya kemudian mencium tangannya.
Pak Surya pun mengiyakan.

Aku masuk ke rumah Risa dan ternyata di dalam sudah banyak anak-anak drama pastinya ada juga Kak Sandi tapi aku tidak melihat Angel di situ.
"Latihannya nanti sekitar jam 1-an ya, soalnya Bu Suci bari bisa kesini jam segitu.." kata Risa

Semuanya pun sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Aku dan Risa hanya ngobrol-ngobrol biasa.
Tiba-tiba...
"Windi, aku mau ngomong.." kata Kak Sandi sambil menarik tanganku.
"Eh iya, gak usah narik-narik dong.." jawabku sambil melepaskan tanganku.

Kak Sandi menarikku ke depan rumah.
"Kamu pasti benci banget ya sama aku.." katanya sambil menatapku
Aku menggeleng.
"Windi, jawab.." katanya lagi.
"Gak ada yang perlu di jawab..." kataku singkat
Kak Sandi mengambil nafas panjang.

"Aku di jodohin sama Angel..." katanya
"Terus?"
"Aku rasa itu gak adil, aku gak sayang sama Angel. Yang aku sayang itu kamu Windi.." katanya sambil menggenggam tanganku.
"Hmmmm..." gumamku

"Please, percaya sama aku Windi.." katanya sambil duduk di depanku
"Yaudah gak usah di bahas ka, mending kita ke dalam aja. Gak enak sama anak-anak yang lain.." jawabku sambil berdiri.
"Tapi Windi.."
"Udah kak gak usah di omongin sekarang.." jawabku memotong pembicaraan Kak Sandi dan langsung masuk ke rumah Risa.

Kak Sandi hanya berdiri mematung sedangkan aku masuk ke rumah Risa.

"Ngomong apaan Kak Sandi?" tanya Risa tiba-tiba.
"Apaan sih udah gak usah di bahas ah, gak penting.." jawabku cuek
"Yeeeee lu mah, penasaran gue Win.." kata Risa mengikutiku duduk di sofa
"Nanti aja aku ceritainnya.." jawabku santai
"Huuuhhh..." helaan nafas Risa menandakan kecewa
Aku hanya tertawa-tawa

Tak lama Kak Sandi masuk dan duduk di samping Tandu.
Kak Sandi melirik ke arahku, aku tidak menghiraukannya.

"Oh iya kita kapan sih pentasnya?" tanyaku pada Tandu.
"Minggu depan Windi.." jawabnya sambil asik berkutik dengan pspnya.

Sementara itu aku hanya diam dan melirik ke arah Kak Sandi yang sedari tadi memperhatikanku.
Tuhan, aku tak bisa sembunyikan perasaan ini. Apa yang di bilang Kak Sandi benar? Bahwa ia menyayangi aku? Bukan Angel? Tuhan, hanya engkau yang tau perasaanku ini.

"Assalamualaikum.." suara Bu Suci sambil mengetuk pintu rumah Risa
"Eh ada Bu Suci Ris.." kata Tandu sambil berjalan untuk membukakan Bu Suci pintu.

Semuanya bersiap-siap dengan teks masing-masing.
Bu Suci masuk dan kami semua pun menyalaminya.

"Loh? Sandi sama Windi kok jauh-jauhan duduknya.." kata Bu Suci sambil menepuk pundak Kak Sandi
Aku hanya tertawa-tawa sedangkan Kak Sandi hanya tersenyum-senyum.
"Yaudah Bu, ayo kita latihan.." kata Kak Sandi berusaha mencairkan suasana.
"Ayoo, nih pakai kostumnya.." jawab Bu Suci sambil memberikan sekantong besar yang berisi kostum-kostum kami.

Kami semua berpakaian kostum masing-masing.
Setelah siap, kami semua berlatih.

"Aku menyayangimu kakatua.." kataku memerankan kupu-kupu.
"Aku lebih menyayangimu kupu-kupu.." jawab Kak Sandi memerankan kakatua

Jujur sebenarnya yang ku ucapakan tadi adalah isi hatiku yang sesungguhnya. Tapi sayang, dialog itu hanya drama.

"Akhirnya kakatu harus merelakan kupu-kupu yang telah pergi untuk selamanya.." Hana membacakan akhir dari cerita Kupu-Kupu dan Kakatua.

Aku pun duduk dan mengelap keringatku.
"Nih.." kata Kak Sandi sambil menyodorkanku sapu tangan.
"Engga, makasih.." jawabku singkat
"Win, please.." katanya sambil memegang tanganku
Aku hanya diam. Bu Suci menoleh ke arahku.

"Oh Windinya lagi ngambek ya..." godanya padaku
"Ah engga Bu.." jawabku sambil melepas tanganku yang di pegangi Kak Sandi.

"Aku tau kamu sayang sama aku.." kata Kak Sandi sambil berlalu dan menaruh sapu tangannya di sampingku
Aku terdiam.

"Gue duluan ya.." kata Tandu sambil mengambil kunci motor yang ada di meja.
"Oh iyaa Ndu, hati-hati ya.." pesan Risa

Setelah Tandu pergi, Rasya mengirimiku pesan.

From : Rasya 
lo dimana Win? ada acara ga? nonton yuk ? :)


Aku pun membalasnya,

To : Rasya
gue lagi di rumahnya Risa Sya, lagi latihan drama




Sekitar 5 menit kemudian dia membalas pesanku,

From : Rasya
rumahnya Risa dimana? gue jemput lo deh.




Risa mendekatiku,
"Sms dari siapa Win?" tanyanya
"Rasya.." jawabku singkat . "Katanya dia mau jemput aku disini Ris.."
"Oh yaudah suruh jemput aja Win, bikin Kak Sandi jealous.." katanya sedikit berbisik
Entah kenapa aku pun segera memberikan alamat Risa kepada Rasya dan menunggu Rasya untuk menjemputku.

"Ibu pulang duluan ya, tuh suami Ibu udah nunggu di depan.." kaya Bu Suci sambil bangkit dari kursinya.
"Oh iya Bu, hati-hati ya..." jawabku sambil mencium tangannya, disusul yang lainnya.

Bu Suci pun keluar dari rumah Risa, sekarang tinggal ada aku, Kak Sandi dan Hana.
"Lo balik sama siapa Han?" tanya Risa
"Sama Yudi lah, haha.." jawabku sambil tertawa
"Lah? Lo pacaran beneran sama Yudi ? Gue kirain gosip doang.." kata Risa ikut tertawa
Hana pun hanya tertawa-tawa.

"Kamu pulang sama siapa Windi?" tanya Kak Sandi.
"Aku pulang sama..." tak selesai aku berbicara tiba-tiba handphoneku berbunyi dan ternyata Rasya sudah ada di depan rumah.
"Eh aku duluan ya Ris, Han, Kak Sandi.." kataku sambil berlalu

"Di jemput siapa dia?" tanya Kak Sandi pada Risa
"Liat aja sendiri Kak.." jawab Risa

Kak Sandi pun keluar rumah dan melihat aku boncengan sama Rasya. Aku menyadari bahwa Kak Sandi melihatku saat itu. Tapi aku tidak menghiraukannya.

"Itu siapa Ris?" tanya Kak Sandi pada Risa sesaat setelah aku pergi.
"Kenalan barunya Windi Kak, Rasya namanya.." jawab Risa singkat

Kak Sandi pun segera pulang. Aku tau pasti ia cemburu melihat aku bersama Rasya, tapi ah entah lah peduli setan dengan itu. Toh aku pun merasakan sakit waktu dia bermesraan dengan Angel. Kalau memang Kak Sandi benar-benar menyayangi aku, seharusnya dia bisa tegas untuk menolak di jodohkan oleh Angel itu. Tapi ah entahlah...

"Mau makan dulu apa nonton dulu?" tanya Rasya mengagetkanku
"Eh kayaknya makan aja ya, soalnya gue takut kemaleman Sya.." jawabku
"Hemm okay Nona kupu-kupu.." jawabnya
"Ish gak usah manggil gitu dong.." jawabku sambil mencubit pinggangnya
"Ih kenapa? Oh iya salah lo kan lebih cantik daripada seekor kupu-kupu.." godanya lagi dan tangan kirinya memegang tanganku yang sedang mencubit pinggangnya.
Aku langsung melepaskan tanganku yang di pegangnya.

Sampailah kita di suatu cafe. Ya tempat anak-anak muda makan. Rasya langsung menggandengku dan menyuruhku duduk di sofa bewarna coklat ini. Suasana cafe yang nyaman, romantis, dekorasinya bagus. Di dominasi warna putih, hitam dan coklat. Suara musik-musik trendy jaman sekarang pun di nyanyikan disini.
Aku terus memperhatikan Cafe ini. Tanpa ku sadari Rasya sudah tidak ada disampingku dan aku lihat dia bertemu dengan seorang Bapak yang cukup berumur, dan ia menghampiriku bersama Bapak itu.

"Windi, ini papah gue.." kata Rasya sambil memegang pundak Bapak itu.

Aku jadi salah tingkah.
"Eh..em iya Om.." jawabku sambil mencium tangannya

"Oh ini pacar kamu Sya, pintar juga kamu cari pacar.." kata Papahnya Rasya sambil menepuk pundak Rasya

Aku dan Rasya hanya terdiam dan tersenyum.

"Selamat menikmati hidangan di Cafe ini yaa calon menantuku.." kata Papahnya Rasya sambil tersenyum ke arahku dan kemudian meninggalkanku.

Aku langsung menarik tangan Rasya.
"Ini Cafe punya bokap lo?" tanyaku
Rasya mengangguk.
"Terus kenapa lo bilang gue pacar lo?" tanyaku sedikit emosi

"Maaf Win, gue gak tau lagi gimana caranya biar bokap gue tuh bangga sama gue. Karena gue bisa punya pacar yang mirip sama alhmarhumah nyokap gue. Dan itu lo Windi.." katanya sambil memegang tanganku dan menatap mataku.

"Nyokap lo udah meninggal? Nyokap gue juga udah gak ada Sya.." jawabku dengan suara merendah

Rasya menatapku.
"Kita sama-sama kehilangan seseorang yang udah bikin kita lahir di dunia ini.."

Aku menahan air mataku.
"Windi, jangan nangis.." kata Rasya sambil menyeka air mataku.

Secara refleks, aku memeluk Rasya.
"Sya, gue kangen nyokap gue.." jawabku sambil terisak
"Windi, udah dong jangan nangis.." katanya berusaha menenangkanku.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi.
" Homeeyyy " sebuah nama tertera di layar handphoneku. Ya itu telepon rumahku.

"Haloo, Non Windi dimana?" terdengar suara Bik Isma cukup panik sepertinya
"Ada apa Bik? Kok panik gitu?" jawabku
"Tuan masuk rumah sakit Non..."
"Ayah? Ayah kenapa Bik.." suaraku semakin serak karena tangis.
"Jantungnya Tuan kambuh Non, Non pulang sekarang ya. Kita susul Tuan.."
"Iy Bik.." jawabku

"Sya, anterin gue pulang sekarang..." kataku lemas
"Tenangin dulu hati lo Windi, nih minum dulu.." jawab Rasya sambil menyodorkan air mineral kepadaku
Aku pun meminumnya dan kemudian setelah pamit sama papahnya Rasya, aku pun pulang di antar Rasya.

Di perjalanan aku tak henti-hentinya memanjatkan doa untuk Ayah. Ya Tuhan sembuhkanlah Ayahku, jauhkan ia dari segala penyakit. Aku menangis.

"Sya, doain Ayah gue ya. Biar gak terjadi apa-apa sama dirinya.." kataku pada Rasya

Rasya pun menggangguk.
"Jangan nangis, semuanya bakal baik-baik aja.." jawabnya

Sesampainya dirumah aku langsung masuk dan memeluk Bik Isma....


*bersambung...


Selasa, 03 Januari 2012

Please, jangan hujan...



"Arghhhh..."
Gerutu Mulia, gadis remaja yang sedang bersungut-sungut karena hujan turun.

"Kenapa harus hujan..." gumamnya
Ia terus menggerutu, sambil memandangi hujan yang tengah deras di luar rumahnya.
"Kapan hujan itu berhenti..."

"Kenapa sih mul?" tanya William, sahabatnya dari kecil.
"Aku benci hujan Will.." katanya singkat sambil terus menatap rintik-rintik hujan.

William, sahabat Mulia sedari kecil ini memang sudah amat sangat dekat dengan kehidupan Mulia. Ia sedang menginap di rumah Mulia sudah dari seminggu yang lalu. Mereka bersahabat sedari kecil, dari di masa Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, sampai sekarang Sekolah Menengah Atas. Mereka terpisah saat Sekolah Menengah Pertama, yaa William pindah ke Bandung bersama keluarganya. Sedangkan Mulia di Jakarta. Saat ini William sedang berlibur di Jakarta, ia menginap di rumah Mulia.

Mulia, gadis remaja berambut panjang ini memang menarik. Rambutnya selalu terurai, tidak hitam memang, sedikit kemerah-merahan. Tinggi badannya sekitar 172an, cukup tinggi dibanding anak-anak SMA jaman sekarang. Berat badannya sekitar 48kg. Ia bersekolah di salah satu sekolah ternama di kotanya. Sedangkan Willian, cowok tampan ini bisa dibilang banyak di sukai para wanita. Ya kulitnya yang putih, tinggi badan yang mapan. Banyak yang bilang kalau Mulia dan William ini kembar. Ya tidak bisa di pungkiri kalau mereka berdua memang mirip.

"William, Mulia... Sini makan siang dulu.." panggil Bundanya Mulia.

"Tuh dipanggil Bunda, makan yuk.." ajak William, ia memang memanggil Bundanya Mulia dengan sebutan Bunda.

William menggandeng tangan Mulia, Mulia pun menurut.
Mulia duduk di kursi dan Bunda memberinya semangkuk bubur merah, kesukaanku.

"Hahaha dari kecil gak berubah-berubah kesukaan kamu Mul.." goda William
Mulia hanya memonyongkan bibirnya dan segera melahap semangkuk bubur merah ini.

"Hujan-hujan enak kan makan bubur.." kata Bunda seraya menaruh gelas berisi air minum di depanku.
"Ish Bunda... Aku benci hujan.." katanya sambil mengunyah bubur.
Bunda dan William hanya tertawa-tawa.

Sementara hujan masih saja membasahi halaman rumahku.
"Kapan hujan ini berhenti..." gumamku
Sementara aku terus menghabiskan semangkuk bubur merah ini.

"Nanti sore jalan yuk Mul.." ajak William
"Mau kemana Will? Gak liat di depan hujan deras gitu.." jawabku sambil melahap sesendok terakhir bubur merahku
William menatap jendela.
"Hmm, mungkin nanti sore hujannya reda.." jawabnya sedikit pelan.
"Gak akan reda sebelum ada yang di ambil.." jawab Mulia sambil berlalu dan duduk di depan tv.

William bingung dengan perkataan Mulia. Ia pun mengikuti Mulia dan duduk disampingnya.
"Hah? Diambil? Maksud kamu Mul?" tanyanya pada Mulia.
"Nanti kamu akan tau Will.." jawab Mulia santai

William masih bingung dan hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya.
"Apa maksud yang dikatakan Mulia ya..." pikirnya
Sedangkan Mulia masih bersantai dengan sweater bulunya.
William pun melupakan semua pikirannya itu , ia pun ikut bersantai bersama Mulia.

Mulia melirik ke arah jam. Ternyata sudah menunjukkan pukul 3 sore, dan hujan masih saja turun dengan derasnya.
"Yahh hujannya ga berhenti.." keluh William sambil menatap jendela
"Kan aku udah bilang, nanti berhentinya kalau udah ada yang di ambil..." jawab Mulia seraya menepuk pundak William.

William semakin penasaran dengan perkataan Mulia, ia pun menarik tangan Mulia.
"Ceritain sama aku, apa maksud perkataan kamu itu Mul? Aku mikirin itu terus daritadi..." katanya sambil menarik tangan Mulia.
"Mau aku ceritain?" kata Mulia
William mengangguk dan mengikuti Mulia menuju taman belakang.

Mulia duduk di kursi. William pun duduk disampingnya.
"Ada apaan sih Mul dengan hujan?" tanyanya pada Mulia yang sedang bengong menatap hujan yang masih turun.
"Karena hujan, ayah aku pergi..." katanya singkat
"Loh? Ayah kamu pergi karena sakit Mul.." sambung William
Mulia menggeleng.
"Enggak, hujan yang udah ngambil Ayah. Maka dari itu aku gak pernah suka sama hujan.." jelasnya
William semakin bingung.
"Yaudah sekarang ceritain ya..." katanya sambil menggenggam tangan Mulia.

Mulia menggangguk.
"Waktu itu, saat usiaku masih 3 tahun.. Aku bermain hujan-hujanan di halaman ini bersama Ayah. Kita bermain kejar-kejaran. Tapi tiba-tiba Ayah terpeleset, penyakit jantungnya kambuh...." jelas Mulia tiba-tiba terpotong, tertahan air matanya.

"Mul, don't cry..." kata William sambil menghapus air mata Mulia.

"Aku lanjut ya..." kata Mulia sedikit terisak
"Aku ingat saat itu Ayah berteriak kesakitan, tapi aku bingung harus gimana. Aku masuk ke rumah, aku panggil Bunda. Bunda membawa Ayah ke rumah sakit. Aku hanya bisa diam di sudut taman. Aku takut terjadi apa-apa sama Ayah. Beberapa jam kemudian, telepon rumah berdering..
"Mulia, Ayah pergi..." terdengar suara Bunda dari jauh sana. Tersentaknya aku mendengar itu, kakiku terasa lemas.
Sejak saat itu aku membenci hujan, aku rasa hujanlah yang telah membuat Ayah pergi untuk selamanya.." cerita Mulia membuat William meneteskan air mata.

"Tapi ayahmu pergi karena sakit Mul, bukan karena hujan..." ujar Willam berusaha menghibur Mulia.
"Enggak, itu karena hujan Will, andai aja aku tidak bermain hujan-hujanan di hari itu. Mungkin Ayah masih ada sampai sekarang.." jawab Mulia lemas.
William memeluk Mulia.

"Mul, aku mohon jangan pernah kamu benci hujan. Ayah kamu pergi itu karena kehendak Allah. Semua orang pasti meninggal Mul..." kata William berusaha menenangkan Mulia yang sedari tadi menangis.
"Aku tetep benci hujan..." teriak Mulia pada William

William tersenyum kemudian bercerita.
"Hei, lihat deh coba kalo gak ada hujan. Mungkin bunga-bunga di tamanmu ini tidak akan hidup.."

"Tapi aku menyirami bunga-bungaku dengan air dari keran.." jawab Mulia

"Air dalam keran dari sumur, sumur akan kering kalau tidak ada hujan..." jelas William

Mulia termenung.
"Jadi Ayah pergi bukan karena hujan?" katanya dengan suara kecil.
"Bukan Mulia, jadi jangan benci lagi ya sama hujan.." kata William sambil mengacak-acak rambut Mulia.

Mulia tersenyum. Ia berjanji bahwa tidak akan pernah benci lagi sama hujan.
"Will, makasih ya.." kata Mulia seraya memeluk William
William pun memeluk Mulia.
"Gak usah bilang makasih Mul, kamu kan udah kayak kembaran aku sendiri.." jawabnya sambil tertawa

Mulia pun ikut tertawa.
Tuhan, terima kasih atas hujan yang telah kau curahkan. Maafkan aku sudah membenci ciptaanmu.