Rabu, 21 November 2012

Haters?

Hai. Saya cuma mau menginformasikan aja nih ya, akun twitter saya @QIQIQOOOY sudah tidak digunakan lagi, sudah diambil alih sepenuhnya oleh si fans jahat saya, hihi:D Biarkan dia senang sesaat, bukankah setan memang selalu menang diawal? :)

Untuk kalian yang ada perlu sama saya bisa silahkan coment aja di blog saya ini. Tinggalkan saja alamat email kalian, insyallah nanti kalau sempat, saya balas :)

Terimakasih,
Rizki Kusuma Wardani

Kamis, 15 November 2012

Haters? :)


Ini tentang curahan hati tentang seseorang yang sedang mengalami proses untuk menjadi apa-apa, tapi sudah menjadi olokan bagi mereka yang belum tentu bisa menjadi apa-apa.

Saya selalu merasa nyaman dengan hidup saya. Bahkan saat mimpi saya perlahan terwujud, menjadi seorang penulis novel, mimpi yang sudah sejak saya duduk di bangku sekolah dasar saya bangun. Saya selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Saya selalu belajar dari kegagalan. Saya selalu berhati-hati meniti mimpi saya yang sedikit demi sedikit mulai terwujud. Kalian yang membaca ini tentu saja mempunyai mimpi, kan? Untuk apa hidup jika tak bermimpi? Bermimpilah sepuas kalian! Urusan terwujud atau tidaknya, itu tergantung niat dan usaha kalian.

Saya hanyalah seorang gadis biasa berusia 17 tahun.  Awalnya, saya hanya gadis biasa yang belum dikenal siapa-siapa kecuali keluarga saya. Tapi itu dulu, sekarang sudah bukan seperti dulu. Sekarang, perlahan saya mulai dikenal banyak orang. Jujur, itu menjadi kebanggan sendiri untuk saya. Kenapa begitu? Karena saya merasa, dikenalnya saya dengan banyak orang itu berarti mimpi saya sedikit demi sedikit hampir terwujud. 

Terlebih saat saya menulis satu buah novel dan sudah berhasil terbit di sebuah penerbit indie, itu adalah kebahagiaan yang sangat bahagia bagi saya selama saya hidup. Dan suatu saat nanti, mimpi saya untuk melihat buku-buku karya saya berjejer di toko-toko buku ternama akan terwujud dan saya percaya.

Dikenalnya saya sekarang dengan banyak orang tentu bukan hanya menjadi kebahagiaan untuk saya. Tapi juga menjadi bumerang untuk saya, terlebih saat saya tau ada beberapa orang yang membenci saya. Jujur, saya kaget, bagaimana bisa mereka membenci saya? Apa yang saya punya?

Melihat mereka yang membenci saya semakin banyak, saya kembali berpikir, apa yang mereka benci dari saya? Tapi, saya yakin, kini saya telah mencapai sukses yang sedari dulu saya mimpikan. Karena ketika ada beberapa makhluk yang membenci saya, saya harus percaya saat itu juga saya sudah mencapai sukses. 

Sukses dalam artian saya mampu membuat mereka semua iri, mereka tidak mampu menjadi seperti saya, begitu pula sebaliknya. Maaf, bukan maksud saya membangga-banggakan diri saya sendiri. Tapi, saya yakin, kebencian mereka pasti beralasan, dan mereka pasti tidak senang melihat saya dikenal orang, bahkan saya yakin hanya merekalah yang akan menangis ketika melihat saya sukses.

Mereka yang membenci saya, selalu berusaha membuat nama baik saya menjadi jatuh dan tak berarti apa-apa. Percaya atau tidak, mereka akan membayar berapapun demi menghancurkan nama baik saya. Bahkan, mereka rela tidak tidur hanya demi mengolok-olok saya di depan mereka yang mencintai saya. Dan ketika mereka yang mencintai saya mulai berhenti untuk mencintai saya, mereka yang membenci saya akan tertawa bahagia. Sedangkan saya, saya hanya mampu tersenyum melihat semua tragedi itu. Karena bagi saya, cobaan Tuhan selalu ada dan Tuhan tak akan memberikan cobaan yang lebih berat dibanding dengan apa yang mampu saya lakukan. Terimakasih untuk kalian yang mengolok-olok saya.

Marah? Untuk apa marah melihat mereka mengolok-olok saya? Hanya buang-buang waktu. Saya memang kesal diolok-olok, saya memang emosi melihat nama baik saya diinjak-injak. Tapi, biarlah, itu menjadi urusan mereka, mereka semua yang membuat dosa mereka sendiri. Saya tak mau ikut campur dalam urusan dosa mereka. Biarlah itu menjadi urusan antara mereka dan Tuhan.

Saya mencintai mereka semua yang membenci saya. Menurut saya, itu adalah kekuatan untuk saya agar tetap terus berjalan menuju mimpi saya yang sesungguhnya. Terimakasih para pembenci saya, kalian semua membuat saya kuat, kalian semua membuat saya untuk tak pernah berhenti bermimpi menjadi yang lebih baik.

Dan untuk kalian yang mencintai saya, saya mencintai kalian lebih dari mereka yang membenci saya. Terimakasih sudah menjadi semangat dalam setiap langkah saya menapaki jenjang mimpi saya. Kalian semua hebat! Kalian semua cerdas! Saya bangga mengenal kalian.

Kalian boleh tetap membenci saya, tapi ingat, itu hanya akan menjadi semangat untuk saya, hehe. 

Alhamdulillah saya diberikan kekuatan lebih untuk menghadapai cobaan yang belum seberapa ini. Kalian bisa mengolok-olok atau menjelek-jelekkan saya, tapi kalian tak mungkin bisa menyembunyikan kebohongan kalian di hadapan malaikat nanti.

Semoga Tuhan selalu melindungi kalian dari segala marabahaya. Seperti saya yang selalu mendoakan kalian, para pembenci saya. 

Untukmu, Hacker Akunku

Dear Hacker @QIQIQOOOY ,

Saya tau siapa anda. Saya tau anda membenci saya. Tapi apa begini caranya meluapkan kebencian anda kepada saya? Saya salah apa sama anda? Mengenal anda-pun hanya lewat dunia maya ( twitter ) . Apa yang anda inginkan dari saya? Anda ingin nama baik saya menjadi jelek dan anda merasa hebat? Bukankah seharusnya anda malu? Anda, kan, lelaki, masa meluapkan kebencian dengan cara yang pengecut seperti ini? Saya bisa aja mengotak-atik akun twitter anda. Tapi saya pikir itu sama saja menjelek-jelekkan sifat saya sendiri. Jadi sekarang, saya biarkan anda bebas memainkan dua akun twitter saya.

Saya ingatkan ya, di dunia ini, orang jahat lebih banyak dibanding orang baik. Alhamdulillah saya masuk ke orang baik, bagaimana dengan anda? Apakah cara anda yang se-PENGECUT itu mampu dibilang orang baik?

Tuhan gak tidur. Dia selalu melihat kelakuan makhluknya. Dan dia selalu melihat kelakuanmu untuk menjatuhkan nama baik saya. Dan saya beruntung, saya diberikan cobaan seperti ini, itu tandanya semakin banyak orang yang mencintai saya. Dan cara anda untuk mencintai saya itu, salah besar, hehe. Belajar lagi ya, dek!

Saya sukses, saya mampu membuat anda membenci saya, kan? Terimakasih loh, dek:) Saya jadi gak lupa daratan dengan adanya insiden ini, tsaaah insiden=)) Hahahaha.

Orang jahat jalannya gak pernah lurus, kok. Saya percaya itu dan hati-hati ya sama jalan anda. Saya juga gak pernah marah dengan anda, saya selalu membuka maaf jika nanti anda meminta maaf sama saya. Dan saya juga selalu mau bersahabat dengan anda!{}

Jaga akun kedua saya ( @Saljubiruu ) yaaa, dek:) Sekian.



Yang anda benci,
Rizki Kusuma Wardani

Jumat, 09 November 2012

Ssstt.. Aku Mencintaimu


Mungkin banyak dari kalian yang memiliki hobi sepertiku. Aku mencintainya, tapi ia tak pernah tau akan cinta itu. Dan, sampai sekarang pun orang yang ku cinta masih sama dan aku masih tetap diam, tak pernah ungkapkan cinta yang ku pendam. Bukan tanpa alasan aku memendam cinta selama ini, aku hanya takut, cintaku bertepuk sebelah tangan. Ya, kalian boleh memanggilku ‘pengecut’ , pengecut yang selalu pesimis akan cinta. Bagiku, diungkapkan atau tidak diungkapkannya cinta itu sama saja. Sama-sama manis namun pahit...

Naya, begitu nama panggilannya. Terasa sejuk mendengar namanya. Naya adalah gadis populer di sekolahku. Tak hanya cantik, Naya pun sangat cerdas, ia pandai di beberapa mata pelajaran. Siapa yang tak tertarik dengan gadis yang bagiku sangat sempurna itu? Naya, sudah tak asing lagi namanya, seluruh siswa ataupun siswi mengenalnya. Jujur, pertama kali melihatnya aku takut, takut aku akan mencintainya lebih jauh, dan sialnya, aku masuk ke dalam ketakutan itu. Dan kini, selama hampir 3 tahun, aku masih mencintainya, tak pernah berubah dan tak pernah ku ungkapkan...

Namaku Wirsa. Aku adalah seorang pria yang hanya bersahabat dengan buku-buku tebal. Penampilanku tak terlalu aneh, bagiku sih, tapi bagi mereka, penampilanku aneh. Aku memakai baju seragam yang lebih besar dari ukuran badanku, jadi terlihat gombrong. Lalu aku selalu memakai kaos kaki yang panjangnya se-betis. Aku juga selalu memakai kacamataku yang super duper tebal. Selain tebal, kacamataku juga besar, oleh karena itu mereka sering memanggilku ‘mata jengkol’ . Dan aku tidak marah, aku menganggap itu hanyalah sebagian dari lelucon. Aku terlahir dari keluarga yang tak terlalu berkecukupan. Bisa bersekolah disini saja aku masih mengandalkan beasiswa yang ku dapat dari hasil kerja keras otakku. Berterimakasihlah aku kepada Tuhan yang sudah memberikan otak ini kepadaku.

***

Dulu, aku pernah berbicara dengannya. Walau hanya beberapa kata saja, tapi bagiku, itu adalah keindahan yang tak pernah terbayar oleh apapun. Naya, si pujaan hati ini, menjawab sapaku dengan ramah..

                “Selamat pagi, Naya..” kataku di suatu pagi.

                Naya tersenyum dengan indahnya, “pagi juga, Wirsa.”

                “Kamu tau namaku? Dari mana?” aku bertanya kaget.

                “Siapa yang tak mengenalmu? Kamu yang paling berbeda dari semua siswa disini..”

                Aku tersenyum malu. Mulutku rasanya terkunci, tak mampu berkata-kata.

Naya melempar senyumnya sebelum berlalu meninggalkanku yang masih terpaku dalam kebisuan. Rasanya pagi ini adalah pagiku yang paling indah. Dan inilah awal kisah dimulainya kisah kasihku yang masih tersembunyi...

***

Menyesakkan terkadang yang kurasakan ketika menjadi pengagum rahasia. Pernahkah kalian bayangkan jika pujaan hati yang sedari dulu diharapkan malah jatuh ke hati orang lain? Dan, aku sudah beberapa kali mengalami sesak itu, namun entah kenapa aku tak pernah mau berhenti untuk tetap menjadi pengagum rahasianya . Mungkin Naya adalah cinta sejatiku, di suatu masa, nanti..

“Eh, cupu, gak pegel pakai kacamata yang tebel banget kayak gitu? Hahaha..” celetuk Gio, kekasihnya Naya.

Aku hanya mampu diam mendengar ejekannya yang tak pernah ku hiraukan. Sebal memang. Tapi mau gimana lagi? Membalasnya? Mana mampu aku. Ditambah Gio adalah salah satu cowok populer di sekolah yang diagung-agungkan olek banyak siswi di sekolah ini. Dan, beruntungnya dia bisa memiliki kekasih secantik dan seindah, Naya...

Gio dan Naya masih berhubungan. Mereka selalu berdua kemanapun, tak lepas dari pandanganku. Mereka bak pasangan yang sangat serasi dan dipuji-puji oleh setiap manusia yang melihatnya. Jujur, aku iri..

Terkadang aku berpikir, kenapa aku harus terlahir dengan kekurangan seperti ini? Sehingga aku hanya mampu melihat orang yang ku cintai dan ku impikan berbahagia dengan cowok yang lebih mapan dibanding aku. Tapi, apa gunanya aku menyalahkan kekurangan? Setidaknya, ini sudah menjadi ciri khas dari diriku. Dan dengan ini aku gampang dikenal dengan banyak orang di lingkungan sekolahku ini.

***

                “Tuhan, bolehkah aku memilikinya?”

Doaku yang selalu kupanjatkan dan tak pernah lupa. Kini, aku benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Cinta yang sesungguhnya hanya bisa ku raih di mimpiku. Tak ada salahnya, kan jika aku bermimpi menjadi kekasihnya? Karena aku yakin, aku tak akan mampu meraihnya di dunia nyata.

Kenapa kamu begitu indah, Naya? Kenapa kamu begitu cantik?

Memujinya. Hanya itu yang bisa ku lakukan.

Aku pernah berpikir. Cinta sesungguhnya akan lebih bermakna jika kita belum mengungkapkannya. Dan sesungguhnya cinta yang paling sederhana adalah memuji dan mengaguminya tanpa sepengetahuannya.

Untuk para pengagum rahasia, tetaplah menjadi pengagum. Karena sesungguhnya, tak ada hal yang lebih mengesankan dibanding mengagumi. Ya, walau terkadang sesak, tapi percayalah, melihat dia yang kalian kagumi bahagiapun, sudah menjadi semangat untuk lebih mengaguminya.

***

Hari kelulusan pun tiba, aku lulus dengan nilai tertinggi di sekolah. Dan Naya, dia berada di bawahku, Naya lulus dengan nilai tertinggi kedua di sekolahku. Naya mengucapkan selamat kepadaku. Memang ini bukan kali pertamanya aku menatap teduh wajahnya, tapi terus terang saja, rasa deg-deg-an masih menghampiriku.

“Selamat ya, Wirsa! Semoga kamu sukses nantinya. Senang bersaing denganmu..” katanya lalu menyalamiku.

Lagi-lagi aku terpana oleh keindahan. Tanganku, digenggam tangannya. Tuhan, ini nyata? Boleh aku minta hentikan waktu saat ini juga? Aku mohon...

                “Eh... Hmm.. I..i..iyaa.. Ka....kamu ju...ga ya...” jawabku terbata, malu.

Naya melepaskan genggamannya. Mataku masih terpana melihatnya. Entah kenapa tiba-tiba saja mulutku bekerja sendiri, memanggil Naya.

                “Naya?!...”

                Naya menoleh lalu menghentikan langkahnya. Mungkin aku menjadi sosok yang sok berani
                pada saat itu. Aku mendekati Naya. Entah, setan apa yang sudah merasuki diriku, aku
                merasa ada yang lain..

                “Aku menyukaimu, sejak lama. Kamu tau itu?” kataku.

                Naya terdiam. Aku melanjutkan perkataanku.

                “ Kamu gak pernah tau, Nay. Aku selalu diam, 3 tahun ku pendam semuanya, Nay.”

                “Wirsa? Kamu?” Naya heran.

                “Maaf aku sudah menjadi pengagum rahasiamu selama ini. Aku bangga bisa mengenalmu,”

                “Aku tak menyangka kamu mampu berkata seberani ini, Wir..”

Aku kembali terdiam. Pipiku memerah, aku malu. Tuhan, setan apa yang sudah merasuki diriku tadi? Semuanya sudah terungkap. Naya sudah mengetahui siapa yang sedari dulu begitu mengharapkannya. Aku jadi panik sendiri.

“Maaf aku lancang. Maaf sudah mengagumimu..” ucapku lalu pergi berlalu dari hadapan Naya.

***

Cinta diam-diamku sudah menjadi tak diam-diam lagi. Naya sudah mengetahui siapa pengagumnya. Dan sampai sekarang aku masih tetap mengingatnya. Entah ia ingat atau tidak. Yang jelas, aku selalu berterimakasih kepadanya, karena Naya sudah mengajariku. Bagaimana mencintai tanpa pernah diketahuinya. Bagaimana mengungkapkan yang tak ingin diungkapkan. Bagaimana bersabar menahan sesak.

Naya, kamu memang sempurna. Oleh karena itu, aku sadar, ketika aku yang tak sempurna mampu mencintai makhluk sesempurna kamu dengan cara yang amat sempurna, dalam diam.. 

Rabu, 07 November 2012

Lonceng Kebahagiaan

Orang-orang memanggilnya, Laiza. Seorang gadis yang terakhir dari keluarga menengah bawah. Tak terlalu menyenangkan memang, bahkan Laiza sering kali mengeluh, “kenapa aku harus terlahir dari Ibu yang miskin?” “aku ingin memiliki banyak mainan seperti anak-anak yang lain..” “aku ingin makan semua makanan yang lezat..” “aku ingin, aku ingin, Tuhan..” Untunglah, Tuhan tak pernah bosan mendengarkan semua keluhannya yang selalu menginginkan kebahagiaan.

Setiap pagi, Laiza biasa membantu sang Ibu untuk mengambil pakaian-pakaian dari rumah-rumah penduduk di sekitar tempat tinggalnya. Ya, beginilah kehidupan gadis kecil itu setiap harinya, bekerja membantu sang Ibu untuk makan di hari ini. Untuk esok? Entahlah, jangankan memikirkan untuk esok, hari ini saja ia masih ragu akan menyuap nasi ke mulutnya..

“Permisi, Bu. Aku mau ambil pakaian yang akan di cuci Ibu,” kataku ramah pada seorang Ibu muda yang lumayan kaya raya.

“Oh, iya. Ini pakaiannya, sayang. Hati-hati ya bawa pakaiannya,” kata Ibu itu sambil menyerahkan kantong besar yang berisi pakaian-pakaiannya.

“Baik. Terimakasih, Bu..”

“Terimakasih kembali, gadis cantik,” ucap Ibu itu lagi sambil mengusap rambutku. Aku tersenyum malu lalu meninggalkan rumah besar milik Ibu muda itu.

Aku melenggang lagi mencari-cari rumah yang biasanya menitipkan pakaiannya untuk di cuci oleh aku dan Ibu. Rasanya sudah cukup jauh aku berjalan, lelah sekali. Sesekali ia melihat anak-anak seusianya bermain-main di halaman rumahnya yang sangat luas. Mereka semua nampaknya tak pernah merasakan sedih dan lelah sepertiku. Ya, aku selalu melihat senyum bahagia dari mereka semua. Andai, aku ada di posisi mereka...
***

Sudah beberapa bulan ini, ada satu berita yang sangat heboh di wilayah kerajaan Sansa. Dan di kerajaan itulah Laiza bersama Ibunya tinggal. Ada berita bahwa di halaman istana Sansa ada sebuah lonceng besar dan katanya setiap anak-anak kecil yang membunyikan lonceng itu, akan mendapatkan kebahagiaan yang mereka inginkan. Orang-orang menyebutnya “Lonceng Kebahagiaan”. Awalnya, aku memang tak percaya dengan semua itu. Karena bagiku, kebahagiaan sudah dituliskan Tuhan. Walau sebenarnya, aku tak tau kapan Tuhan akan memberikanku kebahagiaan yang sebenarnya...

“Bu, Ibu sudah dengar berita tentang “Lonceng Kebahagiaan” ?” tanyaku pada Ibu yang sedang sibuk mengucek pakaian-pakaian.

“Iya, kenapa, Nak? Kamu mau ikut mencari kebahagiaan lewat lonceng itu?”

Aku terdiam, bingung mau berkata apa lagi.

“Emmm, bukan begitu, Bu. Aku hanya mau tau aja, kok.” jawabku pelan, takut Ibu marah.

Ibu tak menjawab dan malah semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun kembali fokus kepada pakaian-pakaian yang harus di cuci hari ini. Aku mencoba melupakan keinginanku untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu..

Semua pakaian sudah ku jemur dengan rapih. Ku basuh keringat yang membasahi keningku. Lelah yang sangat untuk hari ini. Setelah ini aku harus mengantarkan pakaian-pakaian yang sudah selesai di setrika oleh Ibu. Tentu saja, pakaian-pakaian ini sudah aku cuci dari dua hari yang lalu.

“Laiz, ini baju-bajunya Ibu Voi, ya. Lalu ini baju-bajunya Ibu Win..” kata Ibu sambil memberikanku pakaian-pakaian yang sudah bersih dan wangi.

“Baik, Bu. Laiza antar sekarang, ya?”kataku dengan semangat.

“Iya. Hati-hati, sayang..”

Aku pun keluar dari rumah kecilku untuk segera mengantar baju-baju ini. Di perjalanan, aku selalu mendengar celotehan anak-anak kecil yang sudah membuktikan kebenaran lonceng kebahagiaan itu. Ah, aku tak boleh lagi memikirkan itu. Aku harus fokus dengan tujuanku sekarang, mengantar pakaian-pakaian ini ke rumah Ibu Voi dan Ibu Win..

10 menit berjalan kaki, aku berhenti di sebuah rumah yang sangat besar. Rumah ini dikelilingi kolam, jadi kita harus menyebrangi jembatan kecil untuk sampai ke depan pintu rumahnya. Aku memencet tombol yang ada di depan gerbang besar ini. Lalu, aku melihat Ibu Voi naik di atas perahu kecil dan segera menghampiriku. Aku menganga melihat sebuah kekayaan yang sesungguhnya...

                “Hai, gadis cantik..” sapanya.

                “Ah, Ibu Voi ini berlebihan..” jawabku malu.

                “Memang kenyataannya, sayang. Oh, iya pakaianku sudah bersih ya?”

                “Sudah, Bu. Ini..” jawabku sambil menyerahkan kantong yang berisi pakaian Ibu Voi yang
                sudah bersih.

                “Terimakasih. Ini bayarannya..” kata Ibu Voi sambil mengeluarkan beberapa koin emas.

                Aku kaget, “Bayaran? Aduh, nanti Ibu saja yang bayar ke Ibuku. Aku tak tau tentang bayaran.
                Tugasku hanya mengantarkan semua pakaian Ibu Voi..”

                “Tak apa. Ambil ini, gadis baik..”

                “Aku tak mau menerimanya, Bu. Ini terlalu banyak..”

                “Lalu, kau mau ku bayar dengan apa?”

                “Dengan... satu ekor ikan dari kolam yang sangat luas ini, Bu. Hanya itu, aku ingin makan
                ikan..”

Ibu Voi tertegun, lalu meminta pengawalnya untuk mengambilkan satu ekor ikan besar untukku makan bersama Ibu nanti.

                “Nah, ambil ini, sayang. Besok kesini lagi ya, ambil lagi pakaianku yang harus dibersihkan,”

                “Baik, Bu. Terimakasih ikannya, Bu..”

                “Iya, langsung pulang ya, gadis cantik. Salam untuk Ibumu..”

Aku tersenyum lebar dan perlahan meninggalkan rumah yang sangat mewah ini dengan menenteng kantong yang berisi satu buah ikan pemberian Ibu Voi. Alhamdulillah, aku dapat merasakan lagi bagaimana nikmatnya ikan legit ini..

Aku langsung menuju ke rumah Ibu Win dan mengantarkan pakaian miliknya. Rumah Ibu Win tak semewah rumah Ibu Voi, namum setidaknya rumah Ibu Win tak sekecil rumahku.

                “Ibu, ini bajunya. Sudah bersih dan wangi..” sahutku ramah penuh senyum.

                “Terimakasih, Laiza. Ini untukmu..” jawab Ibu Win sambil memberikanku sebuah kantong.

                “Apa ini, Bu?”

                “Ini kue. Buatan Ibu. Terimalah, ini hadiah untuk gadis cantik dan rajin sepertimu..”

                Aku mengambil kantong itu, “terimakasih, Bu.”

                “Iya, gadis cantik. Hati-hati di jalan pulang. Salam untuk Ibumu..”

Aku mengembangkan senyumku lebih dari tadi. Dan hari ini aku benar-benar bahagia bisa menyantap makanan yang sedari dulu hanya ada di doaku saja..
Aku pun berjalan penuh semangat menuju rumahku.

                “Ibuuu... Ibuu.. Lihatlah apa yang ku bawa, Bu..” teriakku sambil berlari ke dalam rumah.

                “Astaga, Nak. Hati-hati, nanti terpeleset. Apa yang kamu bawa, sayang?”

                “Ini ikan dan kue, Bu. Pemberian dari Ibu Voi dan Ibu Win,” jawabku bangga.

                “Ya, sudah. Nanti ikannya biar Ibu masak, ya. Kuenya kamu taruh saja di meja. Sekarang
                kamu mandi..”
***

Godaan untuk membunyikan lonceng itu pun kembali menghantuiku. Tetanggaku, Wina, membunyikan lonceng tersebut dan mimpinya untuk mempunyai boneka yang sangat besar pun terwujud. Aku semakin tak bisa menahan godaan ini.

Diam-diam, aku berjalan menuju halaman istana. Dari kejauhan aku melihat banyak anak-anak kecil yang mengantri untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku semakin pesimis mampu membunyikan lonceng kebahagiaan itu, tapi aku sudah teguhkan dalam hati untuk mendapatkan kebahagiaan yang aku inginkan.

Dan tanpa sadar, kini, aku sudah berada di antrian paling depan. Dan kini tibalah aku untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu..

                “Ucapkan keinginanmu dalam hati, Nona kecil..” kata seorang pengawal kerajaan.

                Aku mengangguk, lalu memejamkan mata, “Tuhan, aku ingin punya mainan yang banyak.”

                Aku pun membunyikan lonceng itu. “Nengggg.. Nooong... Nenggg...”

                “Tunggulah besok. Keinginanmu akan terwujud,”  seru pengawal kerajaan sambil
                mempersilahkan aku untuk pulang ke rumah.

Dengan perasaan dag dig dug, aku pun melangkahkan kakiku untuk keluar dari halaman istana itu. Dan melihat antrian anak-anak kecil yang semakin memanjang, entah berapa meter..

Di rumah, aku tak bilang ke Ibu kalau aku baru saja membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku takut, Ibu akan marah. Jadi, lebih baik aku diam.

                “Laiza, nanti sore, antar semua pakaian yang sudah Ibu cuci hari ini, ya.”

                “Baik, Bu. Aku mau tidur dulu, sebentar..” jawabku lalu melenggang menuju kamarku.

Di kamar, aku memikirkan lagi. Apakah lonceng kebahagiaan itu benar-benar memberikan semua kebahagiaan yang kita inginkan? Ah, tak sabar menunggu mentari esok..
***

Keesokan harinya, aku masih mengharapkan kebahagiaan dari lonceng itu. Tapi sudah sampai siang, kebahagiaan yang ku inginkan itu tak kunjung datang. Kemana kebahagiaan yang ku inginkan itu? Rasanya, aku memang tidak berhak menggenggam kebahagiaan yang ku inginkan itu..

                “Sedang menunggu apa, Nak?” tanya Ibu yang melihatku tengah duduk di depan rumah.

                “Gak, Bu. Cuma lagi cari angin segar aja..” jawabku berbohong.

Sampai sore tiba, kebahagiaan itu tak kunjung datang. Aku mulai menyerah menunggu kebahagiaan.
***

Keesokan harinya, aku kembali mengumpulkan semangat lagi untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku diam-diam menuju halaman istana tanpa sepengetahuan Ibu. Dan aku masuk lagi ke dalam antrian itu. Antrian anak-anak kecil dengan muka penuh harap. Mungkin salah satu dari mereka, ada yang bernasib sama sepertiku, belum disentuh keinginan.

“Bagaimana dengan keinginanmu, kemarin? Bukankah kamu sudah kesini, ya?” tanya pengawal heran.

“Belum. Makanya aku mau coba lagi,”

“Baiklah. Pejamkan mata dan ucapkan keinginanmu.”

Ku ucapkan lagi keinginanku yang sedari dulu ku inginkan, “aku ingin punya mainan yang banyak..”

Ku bunyikan lonceng kebahagiaan itu, “Nenggggg...Nongggggg...Nengggggg...”

Aku pulang ke rumah dengan perasaan was-was lagi. Sama seperti malam kemarin, aku menunggu dengan cemas bagaimana dengan esok? Apa mungkin, saat aku terbangun nanti, aku akan disambut oleh mainan-mainan yang sedari ku inginkan. Berdoa, ritual yang tak pernah ku lupa...
***

Lagi-lagi aku mendapatkan kekecewaan. Tak ada kebahagiaan yang ku inginkan. Yang ku lihat hanya ada Ibu di dalam kamarku. Aku heran, tak biasanya Ibu menungguku bangun tidur seperti ini.

                “Ada apa, Bu? Tumben sekali Ibu menungguku bangun tidur..”

                “Kenapa kamu tidak bilang ke Ibu kalau kamu ikut membunyikan lonceng di halaman istana                 itu. Ibu kecewa atas ketidakjujuranmu..”

                “Maaf, Bu. Aku hanya mau tau aja, kok..”

                “Dan sekarang kamu sudah dapat bukti dari lonceng itu?”

                Aku menggeleng, “belum, Bu.”

                “Seharusnya kamu sadar, kebahagiaan sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Kalau kamu                 memaksakan kebahagiaan itu terjadi, sama saja namanya kamu mempermainkan takdir Tuhan, Laiz..”

                “Maafkan aku, Bu..”

                “Apa yang kamu inginkan? Ibu belum cukup memberikanmu bahagia yang kamu idam-
                idamkan itu?”

                Aku terdiam.

                “Ibu sudah berjuang semuanya demi kebahagiaan kamu, sayang. Maaf, Ibu belum jadi Ibu
                yang hebat untuk Laiza..”

                Aku tertegun.

                “Bu, maaf, aku tak bermaksud membohongi Ibu. Ibu sudah menjadi kebahagiaan yang
                kekal untukku. Ibu tak pernah terbeli oleh apapun. Maafkan Laiza, Bu..”

                “Ibu selalu maafkan kamu, Laiza. Sekarang, ingat pesan Ibu, kebahagiaan yang sesungguhnya
                tak pernah bisa dibeli. Dan kebahagiaan yang abadi itu akan tetap ada walau tanpa
                membunyikan lonceng itu..”

                “Lalu, bagaimana dengan teman-temanku yang sudah membuktikan keajaiban dari lonceng
                itu, Bu?”

                “Itu tandanya, Tuhan sudah menulis takdir bahagia untuk mereka. Percayalah, Tuhan sudah
                menuliskan kebahagiaanmu. Jadi, tunggu sampai saat itu tiba..”

                “Baik, Bu. Mulai sekarang, aku tak akan lagi mencari kebahagiaan. Karena kebahagiaanku
                ada disini, Bu. Di rumah ini, bersama Ibu..”

Pagi itu menjadi pagi yang sangat mengharukan untuk Ibu dan anak itu. Laiza, tak lagi percaya kebahagiaan yang datangnya dari lonceng itu, dan ia lebih percaya bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya tak perlu dicari, nantinya kebahagiaan itu akan datang, sesuai masanya.

Percaya atau tidak Laiza tentang lonceng kebahagiaan itu, tanpa pernah Laiza tau, malaikat baik sudah mencacat namanya untuk diberikan limpahan kebahagiaan yang akan datang suatu hari nanti...

Minggu, 04 November 2012

Aku Cinta Kakak


Ketika cinta berbicara, mungkin sebutir air mata-pun terasa sangat berarti.

Kalian boleh bilang aku ini gila. Kalian boleh bilang aku adalah anak setan ataupun anak iblis. Terserah kalian, karena memang inilah diriku yang sesungguhnya.

Di atas bukit, aku bercerita kepada angin tentang hariku. Ya, seperti inilah kehidupanku, alami dan tak terusik.

               “Hei, angin. Tau gak? Seperti biasa aku di ejek kawan-kawanku,”

                Perlahan angin membasuh telingaku, sepertinya ia berbicara kepadaku.
                “Kenapa seperti itu, Ven?”

                “Tadi aku bercakap-cakap dengan seekor semut yang hinggap di mejaku, angin.”

                Huh, lagi-lagi angin menghembus dan menertawakanku.

Jangan kaget bila melihat aku bercakap-cakap dengan benda-benda atau hewan-hewan disekitarku, karena beginilah aku. Aku menganggap mereka semua hidup sepertiku, mereka semua kawanku, karena aku yakin tak ada yang mau berkawan denganku. Oleh karena itu, aku lebih memilih bersama mereka, sesuatu yang kalian anggap “mati”....

***

“Ven, ini minum dulu obatnya..” suruh kakakku, Aslan, masuk ke kamarku membawa segelintir obat-obatku yang membosankan itu.

“Gak! Ven gak mau minum obat, kak!” bentakku sambil melempar semua obat-obatku.

“Tapi kakak gak mau Venelia sakit. Ven harus sembuh, minum obat ya, sayang..”

“Sekali gak ya gak, kak! Aku muak sama obat itu..”

Kak Aslan memungut obat-obatan yang ku lempar tadi. Kak, maafkan aku..

“Ya, sudah kalau kamu gak mau minum obatnya. Biar kakak aja ya yang minum,”

“Jangan, kak. Kakak gak sakit, aku yang sakit..”

“Gak apa-apa, Ven. Sayang obatnya, mahal, Ven..”

Kak Aslan langsung menelan obat-obatanku. Aku menangis lalu memeluk kakakku.

“Kak, maafin Ven..”

“Sekarang kamu tidur ya. Besok kamu harus sekolah, jangan nangis gitu. Nanti kakak dimarahin Ibu kalau lihat Ven nangis..”

Aku hanya diam sambil sesekali menyeka air mataku. Sungguh aku tak pernah bertemu orang yang tulus selain almarhumah Ibu dan kak Aslan...
Kak Aslan mengecup lembut keningku dan membiarkanku larut dalam panjangnya mimpi malam ini. Sebelum kak Aslan membalikkan badannya, aku menarik tangannya.

                “Kak, maaf kalau aku merepotkan..”

Tanpa kata, kak Aslan tersenyum lalu keluar dari kamarku. Aku perlahan menutup mataku dan berharap besok masih ada sisa hari untuk umurku yang tak terlalu menyenangkan ini.

***

Kak Aslan membangunkanku, aku pun langsung membuka mata.

                “Selamat pagi, Jam. Selamat pagi, Selimut, terimakasih untuk kehangatannya malam tadi ya.               Selamat pagi, Jendela. Selamat pagi, Pintu. Selamat pagi, Gordyn!” ucapku kepada semua kawan-kawanku.

Aku bergegas mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolahku. Seusai mandi, aku bercermin dan memakai jilbabku. Rambutku sudah semakin menipis, rasanya umurku pun juga semakin menipis. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku tak mau melihat kak Aslan bersedih, karena kak Aslan sangat menginginkan aku untuk sembuh dari semua penyakit ini. Jadi, aku harus tetap dan terus tersenyum melewati semuanya. Aku percaya, kematian sudah pasti datang, dan aku sudah siap untuk semuanya.

                “Sini, Ven. Udah kakak buatin sarapan khusus buat kamu!” seru kak Aslan sambil membawa
                sepiring nasi goreng kesukaanku.

                Aku menghampirinya, “terimakasih, kak..”

                “Sama-sama, sayang. Dihabiskan ya! Jangan ada sisa..”

                “Sip! Ohiya, kak, melatiku udah disiram, kan?”

                “Sudah, sayang.”

Aku menghabiskan sepiring nasi goreng buatan kak Aslan. Jam setengah 7, kak Aslan sudah siap dengan sepedanya untuk mengantarkanku ke sekolah. Ya, aku sangat menyayangi sepeda pemberian dari Ayahku ini. Hmm, Ayah.. Kemana beliau sekarang ya? Apa ia tak ingat ada aku dan kak Aslan, anaknya yang sangat merindukannya. Kata kak Aslan, Ayah sudah bahagia dengan keluarga barunya.

Sejak Ibu meninggal dan aku di vonis terkena kanker otak stadium akhir, Ayah pergi meninggalkanku bersama kak Aslan. Entah karena alasan apa, mungkin karena Ayah malu mempunyai anak botak sepertiku. 

Jadi, kini tinggal aku dan kak Aslan berdua di rumah peninggalan almarhum Ibu.
Siapa yang kuat menahan sakitnya kanker ini? Aku tak pernah ingin bahkan tak ada yang ingin dihampiri penyakit menyeramkan ini. Semuanya berjalan layaknya kehidupan. Sempat sedih melihat tak ada seorang pun mau mendekatiku, kecuali kak Aslan dan mereka yang tak bernyawa..

***

                “Hujan, aku iri melihat pohon kelapa itu. Mereka semua memiliki daun diantara tangkainya.                 Tapi tengoklah kepalaku, tak nampak rambut yang lebat disini. Aku ingin memiliki rambut lagi seperti dulu..” bisikku kepada hujan.

Hujan nampak turun lebih deras dari sebelumnya, aku tau hujan marah. Aku tau hujan kesal dengan bisikanku. Mungkin kalau ia bisa berbicara, mungkin ia akan berkata seperti ini.

“Kenapa kamu harus sesalkan semua, Ven! Jangan pernah sesali apa yang sudah di anugrahkan Tuhan untuk kamu. Semua sudah ada jalannya, jangan pernah iri melihat keindahan sosok makhluk selainmu. Karena, belum tentu mereka bisa jadi kamu. Banggalah dengan dirimu, Ven!”
        
              “Hujan, maafkan aku yang selalu banyak mengeluh..”

Seminggu yang lalu, aku dan Kak Aslan ke rumah sakit untuk memeriksa kondisiku. Waktu itu, Dokter memintaku untuk menunggu di luar ruangan dan beliau bersama kak Aslan berbicara empat mata. Sepertinya ada sesuatu yang tak harus aku tau saat itu, walau pada akhirnya aku tau sendiri percakapan mereka. Ketika di jalan pulang, aku bertanya kepada kak Aslan tentang kondisiku, kak Aslan menangis, lalu menggenggam erat tanganku.

                “Kenapa harus kamu, Ven? Kenapa gak kakak aja..” ucapnya pelan.

                “Aku gak bisa sembuh ya, kak?”

                “Kamu sembuh! Kamu harus sembuh, Ven!”

                “Kakak jangan bohong. Aku tau, umurku gak akan lama lagi, kan?”

                “Jangan bilang begitu lagi, Ven. Tolong..”

Sejak saat itu, aku tau kalau sisa umurku akan habis. Jadi, aku tak akan mempermasalahkan tentang siapa yang mau bersahabat dan bermain denganku. Aku hanya akan mempermasalahkan bagaimana caranya aku membuat kak Aslan bahagia, karena hanya dia cinta yang kupunya sekarang.

                “Kak, aku janji akan bikin kakak bahagia,”

                “Selama ini kamu selalu bikin kakak bahagia, sayang,”

Kak Aslan begitu membuat hidupku yang sepi ini menjadi lebih ramai. Jikalau saja semua benda mati itu mampu berbicara, mungkin aku tak akan kesepian, aku akan lebih mengerti dan merasakan apa itu persahabatan yang sesungguhnya.

***

Entah berapa lama aku tertidur, aku merasakan sebuah keajaiban yang sedari dulu hanya ada di imajinasiku. Semua yang dulu selalu mendengar keluh kesahku kini mampu tersenyum dan berbicara denganku.

                “Ven, ini aku, Hujan. Aku yang selalu mendengar semua perkataanmu..”

                “Ven, ini aku, Angin. Aku yang selalu menghembuskan sejuk di saat kamu sedih..”

                “Kalian semua mampu bicara sekarang?”

                “Tentu saja, Ven! Kita semua sahabatmu..”

                “Aku dimana, Angin?” tanyaku bingung sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.              Eits, tunggu. Kepalaku? Ya, Tuhan, rambutku ada lagi seperti dulu. Aku yakin ini mimpi.

                “Hujan, apa aku mimpi? Jika memang ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku..”

                “Kenapa begitu, Ven?”

                “Aku senang memiliki rambut lagi. Hanya itu..”

Sesederhana itu keinginanku, memiliki rambut lagi.

                “Ven, tengoklah melatimu. Ia begitu cantik..” seru Angin.

Aku menoleh, dan ternyata benar saja. Melatiku sudah tumbuh sangat indah, pasti kak Aslan menjaganya dengan hati-hati. Astaga, kak Aslan. Dimana dia?

                “Hujan, Angin, dimana kakakku?”
    
               “Coba sekarang kamu pejamkan matamu selama 5 detik, lalu buka matamu, kamu akan
                lihat kakakmu,”
jawab Hujan.

Aku pejamkan mataku 5 detik, lalu ku buka mataku. Benar saja, aku melihat kak Aslan yang tengah duduk di sebelahku. Tapi, dimana aku sekarang? Kenapa aku ada di ruangan yang sangat berbau obat seperti ini?

                “Alhamdulillah. Akhirnya kamu sadar, Ven..”

                “Kak Aslan? Dimana Hujan? Dimana Angin? Dimana Melatiku, kak?”

                “Kamu ini bicara apa? Sudah hampir satu bulan kamu koma, Ven,”

                “Jadi, tadi itu mimpi, kak?”

                “Kamu mimpi apa, sayang?” tanya kak Aslan dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.

                “Aku mimpi, aku punya rambut lagi, kak.” jawabku pelan.

    Kak Aslan menangis, “kakak akan bawakan semua mimpimu,”

Kak Aslan pun keluar meninggalkanku di ruangan ini sendiri. Aku tak tau kemana ia akan pergi. Membawa mimpiku?

Dengan malas, aku mencoba menyentuh kepalaku. Tak ada rambut disini, dan ternyata tadi memang hanya mimpi. Begitu indahnya mimpi tadi. Tiba-tiba dokter masuk ke ruanganku dan segera memeriksa kondisiku.

                “Selamat melihat dunia lagi, Venelia.” seru  dokter mengembangkan senyumnya kepadaku.

                “Ih, dokter bisa aja. Hmm, kata kak Aslan, aku sudah tak sadarkan diri selama satu bulan,
                ya?”

                “Hmmm, ya, Ven. Dan sekarang kamu tersadar, kamu kuat, Ven.”

Ternyata memiliki rambut lagi seperti dulu hanyalah mimpiku saja. Dan aku berharap suatu hari nanti, Tuhan akan mengizinkan aku untuk memiliki rambut yang indah untuk yang kedua kalinya.
Aku masih menunggu kak Aslan yang sedari tadi belum datang juga. Setelah beberapa jam kemudian, tibalah kak Aslan sambil membawa sebuah kotak.

                “Kakak bawa apa?” tanyaku pelan.

                “Ini buat kamu, sayang..” katanya sambil menyerahkan kotak besar itu.

Aku membukanya dan ternyata ini benar-benar diluar dugaanku. Kak Aslan membeli satu buah rambut palsu untukku.

“Maaf. Kakak Cuma bisa kasih kamu rambut palsu ini. Kakak Cuma mau bikin mimpi kamu jadi nyata, Ven. Kakak gak mau kamu sedih..”

Aku memeluk kak Aslan penuh haru, “ini lebih dari mimpiku, kak. Terimakasih..”

Kak Aslan memakaikan rambut palsu ini di kepalaku yang skarang benar-benar botak. Dokter dan perawat yang sedari tadi menemaniku pun menangis haru melihat apa yang dilakukan kak Aslan kepadaku. Tuhan, terimakasih sudah mengutus malaikat untuk menjagaku...

Kini, aku mampu tersenyum bahagia. Aku tak lagi botak, aku memiliki rambut sekarang. Ini mimpiku, mimpi 
yang sedari dulu ku mimpikan. Perlahan ada angin masuk melalui ventilasi, aku tau saat itu juga Angin pasti tersenyum melihat mimpiku terwujud. Andai, aku mampu mewujudkan mimpiku yang satunya, membuat Angin, Hujan dan semua kawan-kawanku mampu berbicara...

***

Kematian memang sudah pasti. Mengelak? Tak akan mungkin lagi mampu ke tepis kematian yang sudah ditakdirkan untukku. Malam itu, aku berpesan kepada Melati, agar untuk selalu menjaga kak Aslan, sebagaimana kak Aslan yang selalu menjaganya. Aku tau, kehilangan adalah sesuatu yang menyakitkan.

“Kak Aslan, terimakasih untuk semua canda tawamu. Terimakasih untuk semua kasih sayangmu, semua semangatmu, semua jerih payahmu untukku, adikmu yang di vonis hanya mampu hidup dalam waktu 4 bulan saja. Kamu sudah berhasil membuatku mengerti, apa itu kehidupan. Apa itu cinta, aku cinta kak Aslan. Sebagaimana kak Aslan yang selalu mencintaiku. Kak, aku rindu Ibu. Aku ingin dipeluk Ibu. Bukan, bukan karena pelukan kak Aslan tak hangat selama ini, aku hanya rindu, kak. Izinin Venelia untuk ketemu Ibu ya, kak? Kakak akan baik-baik disini walau tanpa aku, kakak gak akan sendirian kok. Semua kawan-kawanku sudah ku tugaskan untuk selalu menjaga kakak. Kakak, kalau ada hujan, coba deh kakak tengok ke jendela. Rintik itu tersenyum, menyemangati kakak. Lalu, ketika ada hembusan angin, itu tandanya seseorang kawan baikku sedang menyapa kakak. Ia baik, selalu sejuk, sama seperti kakak. Dan melati, ia akan tetap berkembang, mewangi, dan aku harap, semua itu cukup untuk membuat kakak bahagia. Maafkan aku yang selalu merepotkan, kak. Maafkan aku yang selalu membuat kakak bingung. Aku memang beruntung, kakak itu malaikatku. Kak, Ibu bilang, kakak hebat. Ibu bangga sama kakak, dan aku pun lebih bangga mempunyai kakak seperti kakak. Aku sayang kakak, aku cinta kakak, aku yakin aku akan kangen banget sama kakak."

Kak Aslan membacakan suratku yang ku tujukan untuknya pada saat aku masih mampu merasakan dekapan tangannya. Di depan semua anggota keluarga dari Ibu, kak Aslan menangis. Ia belum menerima sepenuhnya kematianku, dua hari yang lalu. Kak Aslan menangis, air matanya tak lagi mampu ditahannya. Seketika itu, Hujan mulai menetes beserta Angin berhembus. Kak Aslan tau, saat itu juga sahabat-sahabatku sedang menghiburnya. Kak Aslan lalu keluar rumah dan berteriak, “Terimakasih, Hujan! Terimakasih, Angin! Terimakasih sudah menjadi kawan dari adikku, Venelia!" 

Jumat, 02 November 2012

A Mirror

Dengan penuh semangat, aku berjalan menyusuri jalanan desa yang masih sedikit asing untukku. Semangatku kali ini bukan tanpa alasan, aku ingin mengetahui rahasia tentang lemari tua di rumah kakek. Andai saja kakekku masih hidup sampai sekarang, pastinya aku akan lebih bersemangat lagi untuk menuju rumah kakek. Sayang, kejadian aneh 4 tahun yang lalu belum mengungkap misteri kematian kakekku. 4 tahun yang lalu, saat usiaku masih 10 tahun. Aku tak tau apa-apa saat itu, Ayah dan Ibu hanya bilang bawah kakekku meninggal karena sakit yang tak kunjung sembuh, tapi anehnya, aku sama sekali tak melihat jasad kakekku dikebumikan. Aku hanya tau, ada sebuah batu nisan di belakang rumah dan Ibu bilang itu makam kakek. Padahal, acara pemakaman kakekku pun tak dilangsungkan. Ah, aku tak mengerti, mungkin saat itu usiaku masih terlalu kecil untuk mengetahui rahasia ini. Aku tak tau siapa yang bersandiwara di balik kematian misterius kakek Johan, mungkin Ibu dan Ayah sudah membohongiku, atau mungkin... Ah, sudahlah, biarku cari sendiri saja rahasia ini...
***
Sudah seminggu, aku, Ayah dan Ibu menginap di kampung kakek. Tapi, aku tak tinggal di rumah kakek, aku tinggal di rumah tanteku, tante Yuswa. Rumah tante Yuswa satu kampung dengan kakek, hanya beda daerahnya saja. Dan rumah kakekku pun tak terlalu jauh dari rumah tante Yuswa. Jadi, aku beranikan diri untuk berjalan sendiri menuju rumah kakekku. Dengan izin ingin mencari angin segar, Ibu pun mengizinkan aku untuk pergi sebentar dari rumah tante Yuswa. Ibu tak tau kalau sebenarnya aku ingin menuju rumah kakek. Huh, Ibu dan Ayah tak akan mengizinkan aku untuk kesana seorang diri, aku yakin, pasti ada sesuatu yang harusnya aku tau sedari dulu.

                “Aku berangkat ya, Bu,” izinku sebelum keluar dari pintu rumah tante Yuswa.

                “Iya, Lic. Kamu hati-hati ya, jangan jauh-jauh jalan-jalannya. Dan ingat! Jangan ke rumah
                kakek Johan!” pesan Ibu.

                Aku tersenyum lebar, dan segera melenggang keluar rumah.

“Huh, lagi-lagi Ibu melarangku untuk kesana. Tapi semakin di larang, justru aku semakin penasaran,” gumamku di perjalanan.

Sambil memakan buah apel yang ku bawa dari rumah tante Yuswa, aku berjalan hingga akhirnya aku melihat dari ujung gang. Sebuah rumah tua yang umurnya hampir satu abad itu berdiri dengan kokohnya, pepohonan besar menyambutku. Kampung ini sangat panas kalau siang-siang begini, tapi kenapa di gang rumah kakekku ini begitu sejuk? Mungkin karena pepohonan ini...

Dua pohon beringin berdiri di sisi kanan dan kiri rumah kakek Johan. Rumah kakek nampak berwarna kusam, kotor dan tak terawat. Ya, sejak kematian nenekku 6 tahun yang lalu, disusul kakekku 4 tahun yang lalu, rumah ini memang dibiarkan kosong dan tak terawat seperti ini. Padahal, rumah kakek ini sangatlah megah, ya, memang rumah ini kusam tapi kemegahannya masih tetap terlihat. Rumah ini adalah peninggalan dari leluhurnya kakekku, begitu kata kakek yang sampai sekarang masih ku ingat.

Kini, aku sampai di depan pintu besar rumah kakek. Aku membuka pintunya, terdengar gesekan pintu yang menyeret lantai berdebu. Sambil menutup hidung, aku berjalan pelan-pelan menyusuri rumah kakek. Hmm, aku ingat waktu aku masih kecil dulu, aku selalu main bersama kakek dan nenek di rumah ini dan dulunya pun rumah ini sangat nyaman. Tak pernah bosan aku menginjakkan kaki di rumah ini.

Di sisi sebelah kiri, masih tertata rapi meja panjang dengan lukisan buah di dindingnya. Dulu, kami keluarga besar dari kakek dan nenek selalu makan bersama di meja itu. Aku menyentuh meja itu perlahan sambil ku bersihkan debunya. Ah, aku jadi kangen kakek..

Aku berjalan lagi menuju ruang keluarga. Nampak sekali sofa besar disitu, berwarna merah hati yang masih sangat abadi. Ku tepuk-tepuk sofa ini dan nampaklah debu-debu berterbangan. Sayang sekali, sofa sebagus ini dibiarkan berdebu seperti ini.

Aku berlalu meninggalkan sofa, lalu berjalan lagi menuju kamar kakek dan nenek. Masih tertata rapi, hanya debu saja yang mengganggu kerapihan itu. Tak jauh dari kamar kakek dan nenek, aku melihat ada sebuah lemari tua dengan cermin yang ukurannya sangat besar. Entah kenapa cermin itu begitu memaksaku untuk mendekat. Memang sedari dulu aku mengetahui adanya cermin besar itu, tapi entah kenapa semua anggota keluargaku tak pernah ada yang mengizinkanku untuk bercermin di cermin ini. Dulunya cermin ini selalu ditutupi kain. Hmm, entah apa maksudnya. Tapi sekarang, cermin ini sudah dibiarkan terbuka begitu saja sejak kematian kakek yang misterius itu.

Aku mendekati lemari tua itu. Dan kini, aku berada tepat di depan lemari tua kakek dengan cerminnya yang sangat besar. Cermin ini sama sekali tak berdebu, padahal benda-benda di sekitarnya semuanya ditumbuhi debu. Ku sentuh cermin itu, namun tiba-tiba...

                “Ahhhh! Astaga, seperti ada yang menarikku dari dalam!” kataku sedikit berteriak.

Ada apa dengan cermin ini? Kenapa aku merasakan cermin ini seperti menarikku ke dalam? Apa hanya perasaanku saja? Dengan perasaan takut, aku pun menjauh sedikit dari cermin ini. Tapi entah kenapa, aku merasakan tubuhku di sedot oleh cermin ini. Tuhan, ada apa ini...
***

Dengan keringat yang membasahi tubuhku, aku membuka mataku. Aku tak melihat apa-apa disini, hanya ada ruangan putih tak bernoda. Aku dimana...
Ku ingat-ingat tadi aku berada di depan cermin yang ada di lemari tua milik kakek. Apa mungkin sekarang aku berada di dalam cermin kakek? Aku berlari kesana kesini, mencari jalan keluar dari ruangan asing ini. Ku tengok jam tanganku, sudah hampir sore. Ibu dan Ayah pasti mencariku. Aku terus berlari dan terus mencari jalan keluar.

                “Cucuku Arlic..”

Aku mendengar suara kakek disini. Aku mencari-cari dimana kakek.

                “Kakek? Itu kakek? Kakek dimana? Arlic takut sendiri disini,”

                “Kakek disini, Lic,”

Aku menengok ke belakang dan ternyata kakek Johan di belakangku. Tapi kenapa kakek ada disini? Akhirnya kakek pun bercerita kalau sekarang aku dan kakek berada di dalam cermin. Aku tak percaya, bagaimana mungkin aku bisa berada di dalam cermin? Kakek berusaha menjelaskan, bahwa sebenarnya kematiannya memang masih menjadi misteri sampai sekarang, padahal, kakek saja belum meninggal. Ia hanya terkurung dalam cermin tua ini. Ah, rasanya sudah lama aku tak lagi melihat senyuman kakek. Dengan sedikit tangis, aku pun memeluk kakek...

“Jadi sekarang, Arlic gak bisa keluar dari sini? Dan akan seterusnya bersama kakek?”  tanyaku.

“Iya, Lic. Kita akan terus disini, karena kakek sendiri pun belum tau bagaimana caranya keluar dari sini..”

“Kek, aku kangen Ibu..”

Kakek memelukku penuh rindu. Aku pun yakin ia juga merasakan kerinduan yang sedari dulu ku rasakan kepadanya.

                “Lalu, bagaimana kalau Ibu dan Ayah mencariku, Kek?”

                Kakek hanya diam, lalu memelukku lagi.

                “Kakek, maaf kalau aku banyak bertanya..”

                “Tak apa, Lic. Kakek rindu sekali sama kamu dan sekarang kamu ada disini bersama kakek.
                Boleh kakek minta tolong?”

                “Tolong apa, Kek?”

                “Jika sempat, bersihkan rumah kakek, Lic. Lalu ambillah tongkat kakek di dalam lemari ini..”

                “Tapi bagaimana aku bisa keluar, Kek?”

Belum sempat kakek menjawab, aku merasakan ada goncangan yang lumayan keras menggoyang-goyangkan tubuhku. Dan ternyata itu Ibu..

                “Arlic, bangun sayang. Kamu kenapa?”

                “Ibu? Dimana kakek? Dimana cermin itu? Lemari itu?”

                “Kamu ini kenapa? Tadi kamu bilang kamu mau jalan-jalan, kan? Eh, tau-tau kok malah asik
                tiduran di sofa depan..”

Aku terdiam, lalu mengucek-ucek mataku. Sebenarnya mana yang mimpi?

                “Bu, ayo kita ke rumah kakek! Kita bersihkan rumah kakek!”

Tanpa berbicara panjang lebar, aku langsung mengambil kemoceng dan berlari menuju rumah kakek. Ibu dan Ayah mengejarku. Aku tak peduli, aku tetap berlari. Aku ingin memastikan, mana yang sebenarnya..
Tak perlu waktu lama, aku pun tiba di depan rumah kakek, aku langsung masuk ke dalamnya dan langsung membersihkan semua debu yang menempel. Ayah dan Ibu hanya diam dan bingung dengan kelakuanku.
Dan kini aku harus bersihkan lemari tua ini. Aku ingat pesan kakek tadi, aku harus mengambil tongkat kakek di dalam lemari ini. Aku buka lemari ini dan benar saja, ada tongkat kakek disana.

                “Ibu, Ayah, lihat! Ada tongkat kakek disini..” teriakku kepada Ibu dan Ayah.

Ibu dan Ayah mendekatiku kemudian mengambil tongkat kakek lalu mengajakku untuk keluar dari rumah kakek.

                “Ibu dan Ayah duluan saja. Aku nanti menyusul..” ucapku sambil memandang cermin tua ini.

Ibu dan Ayah meninggalkanku. Aku terpaku menatap cermin besar ini. Aku masih merasakan kejadian dimimpiku tadi itu nyata. Karena semuanya memang seperti nyata. Tapi, sudahlah, mungkin memang mimpiku saja yang terlalu seperti nyata. Aku pun membalikkan tubuhku.

                “Kakek disini, Lic. Bantu kakek keluar dari disini..”

Astaga, suara kakek! Aku membalikkan tubuhku, hanya ada cermin tua itu. Dengan langkah gemetar, aku pun berjalan setengah berlari untuk keluar dari rumah kakek. Suara siapa tadi? Ah, kenapa aku jadi merinding seperti ini.

                “Bu, Bu, kakek di dalam..” bisikku di perjalanan menuju rumah tante Yuswa.

                “Kakek? Di dalam mana, Lic?”

                “Cermin, Bu..”

                “Halaah, kamu ini. Kamu tadi itu hanya berhalusinasi saja, Lic. Kakekmu itu sudah meninggal,
                karena sakit, mana mungkin ada di cermin..”

                “Tapi, Bu. Tadi itu seperti nyata, buktinya aku menemukan tongkat kakek, kan? Itu pesan
                kakek tadi, Bu..”

                “Sudah sudah. Jangan bicara yang tidak-tidak. Biarkan kakekmu tenang di surga, Lic..”

                “Tapi, Bu, aku serius..”

Ibu tak menghiraukan lagi kata-kataku. Siapa yang salah sebenarnya? Mimpiku? Tidak tidak, itu bukan mimpi. Kini biarlah mimpiku yang masih menjadi misteri bagi diriku sendiri.

Sampai sekarang, misteri kematian kakekku masih menjadi catatan dalam ingatanku. Dan mimpi tadi adalah mimpi yang tak pernah ku percayai kalau itu semua hanyalah mimpi...
Cermin, tolong jaga kakek disana..