Rabu, 21 Maret 2012

Kekasih Untuk Kakakku


Kekasih Untuk Kakakku

“Bukankah kamu dulu pernah berjanji, akan selalu menemani setiap derai air mata bahagiaku?”
Semua janji itu terasa tinggal angan yang tak akan mungkin sanggup untuk ku gapai. Kamu tau aku mengharapkanmu? Kamu tau aku menyayangimu? Kamu pun tau bahwa aku tak ingin yang lain! Hanya kamu, tapi kenapa kini kau buang semua. Kau hempas semua janji-janjimu. Aku masih ingat saat pertama kamu menanyakan jawaban hatiku atas pertanyaan hatimu. Aku masih ingat saat pertama kali kamu eratkan jemari-jemarimu di sela jemariku, kamu tau? Aku tak mudah membuang semua itu. Meskipun aku tau, kamu tak akan ingat atas semuanya. Aku pun masih mengingat saat perkenalan kita, ya cuma itu satu-satunya cara untuk mengobati rasa rindu yang tak kunjung berbalas ini. Entah bodoh ataupun tolol, aku masih merindukanmu. Akankah kamu kesini, kembali padaku dan bawa balasan rindu untukku? Aku menunggumu, masih menunggu. Walaupun aku merasa tak pernah ditunggu. Tapi tak apa, bukankah semua ketulusan tak melulu berbalas ketulusan pula? 

Aku ingat saat kemunafikanmu terungkap. Malam itu, ada satu pesan singkat di handphoneku. Dari Aldy, kekasihku.
“Sayang kamu dimana? Bisa ketemu malam ini?”
Dengan senyum merekah, aku membalas pesannya.
“Bisa, kamu jemput ke rumah ya?”
5 menit kemudian balasan datang.
“Aduh maaf, kita ketemu di Restaurant kita yang biasa makan aja ya? Jam 8“
Dengan menghela nafas kecewa aku membalas pesannya.
“Yaudah, see you :*
“See you too”

Aku segera membuka lemari, melihat koleksi dress malamku. Kira-kira malam ini Aldy memakai baju apa ya? Aku segera mengira-ngira. Ya! Aku langsung mengalihkan pandanganku ke dress warna putih berpayet pink itu. Aku segera mengeluarkannya dari lemariku dan menaruhnya di kasur. Ah malam ini aku harus tampil spesial, karena jarang-jarang Aldy mengajak pergi mendadak seperti ini. Pasti dia ingin memberikanku hadiah. Ya! Aku yakin itu. Dengan senyum sumringah aku keluar kamar dengan bersenandung kecil.
Mama tengah asyik menonton tayangan gosip di televisi.
“Mah, Kak Riska sampe Jakarta jam berapa?” tanyaku kemudian duduk disamping Mama.
“Katanya sih nanti malem jam 8-an. Tapi katanya dia nanti mau ketemu sama calon tunangannya dulu, jadi gak langsung ke rumah..” jawab Mama.
“Haa? Tunangan? Sama Rudi itu mah?” aku kaget
Mama menggeleng.
“Oh iya mah, nanti malem aku mau pergi Aldy..”
“Mau makan? Dimana?”
“Di tempat biasa mah, boleh ya?”
“Iya, sayang. Asal jangan kemaleman aja ya..” jawab Mama.

Aku segera berlalu dari Mama, dan kembali lagi ke kamarku. Aku duduk dan mengambil handphoneku. Niatnya mau telepon Aldy, tapi aku mengurungkan niatku. Ya aku pendam sejenak rindu ini, rindu akan suaranya. Karena nanti malam semua rindu ini akan terbayar lunas. Aku berkali-kali menengok ke arah jam, ingin rasanya aku percepat waktu ini. Beberapa lama aku menunggu, akhirnya adzan magrib pun terdengar. Aku segera mandi dan bergegas mengambil air wudhu, seusai sholat, aku berdoa untuk kelanggengan hubunganku dengan Aldy. Tuhan, aku benar-benar menyayanginya, jadikan dia yang terakhir dalam hidupku. Amin.
Aku segera bersiap mengenakan dress putihku, dress putih selutut ini amat anggun. Semoga Aldy suka penampilanku malam ini, ku ambil wedgesku, warna merah muda. Ku pandangi sekali lagi wajahku di cermin, takut ada yang terlupa. Ku poles lagi sedikit blash on di pipiku.
“Cantik..” gumamku di depan kaca. Ku lemparkan senyuman terakhirku di kaca, kemudian segera keluar kamar.

“Maa, aku berangkat ya..” kataku pada Mama yang sedang duduk di ruang tamu.
“Di jemput Aldy?” tanya Mama.
“Enggak mah, langsung ketemu disana. Aku naik taksi aja, aku berangkat ya..” kataku sambil mencium tangan Mama dan kemudian segera keluar, karena taksi yang sudah ku telepon sebelumnya sudah menunggu.

“Pak, Resto Mawar ya..” kataku pada Pak supir.
Pak supir pun langsung menginjak gas dan langsung mengendarai taksi.
Aku mengirimi pesan untuk Aldy.
“Aku otw ya, di meja nomer berapa?”
Aldy membalas.
“18”

Singkat, padat tapi lumayan jelas. 15 menit kemudian taksi berhenti di depan Resto Mawar, aku segera membayar tarif taksi dan langsung menuju ke dalam Resto. Aku menuju meja nomor 18, ada Aldy di situ dan dia bersampingan dengan wanita. Siapa? Wanita itu duduk di depan Aldy, aku melihat punggungnya, rambutnya sebahu, lurus, sepertinya aku kenal siapa wanita itu. Aku segera menghampiri Aldy. Aldy langsung berdiri dan menyambutku, aku menoleh ke arah wanita di depan Aldy.

“Kak Riska?! Ngapain disini sama Aldy?” tanyaku dengan muka setengah kaget.
“Kamu ngapain disini?” Kak Riska balik bertanya.

Aku duduk, diam, kemudian ingat kata Mama selagi tadi sore kalau Kak Riska akan bertemu calon tunangannya malam ini pukul 8, dan sekarang dia bersama Aldy, kekasihku. Apa mungkin Aldy adalah calon tunangan Kak Riska? Aku menahan air mataku.
“Ini ada apa, Dy?” tanyaku pada Aldy.
Aldy memegang tanganku.
“Maafkan aku Risna, aku gak bermaksud untuk nyakitin kamu. Harusnya aku jujur dari awal, kalau aku sudah memiliki kekasih, Riska..”
Aku kaget, 
“Ini kakakku, Dy! Dia kakak kandungku!”
Kak Riska menggenggam tangan kiriku,
“Kakak sama sekali gak tau, kalau Aldy ini pacar kamu, dek..”
Ku hempaskan tanganku dari genggaman Kak Riska, ku tarik nafas perlahan. Ku coba tahan air mataku yang mulai menetes.

“Gak lama lagi, aku akan ngadain acara pertunangan sama Riska. Dan aku nyuruh kamu ke sini, ingin menyelesaikan hubungan kita, Risna. Maafin aku..” kata Aldy berlutut.

Tanpa menunggu waktu, aku langsung berdiri dan meninggalkan Kak Riska dan Aldy. Aldy, sungguh amat menyakitkan saat aku tau bahwa kamu telah lebih dulu menjalani hubungan dengannya, kakak kandungku. Tapi aku tak boleh egois, kalau memang Kak Riska berhak mendapat kebahagiaan dari Aldy, aku akan merelakannya. Walaupun berat , aku harus menerima.
Malam ini, acara pertunangan itu di langsungkan. Aku enggan hadir, aku memilih untuk berdiam diri, disini, di kamarku. Ku tuliskan semua sakit yang dulu ku rasakan, walaupun aku tau semua itu percuma.
Sekarang Aldy dan Kak Riska sudah bahagia. Kak Riska meminta maaf, aku memaafkannya. Meskipun sebenarnya hati kecilku belum memaafkan. Maafkan aku kak, ini teramat sakit. Butuh waktu lama untuk menyembuhkannya, bukannya berlebihan aku berbicara sesuai kenyataan.
Aldy pun meminta maaf padaku, sama seperti Kak Riska. Aku memaafkannya, masih ada sedikit kesal tapi bukan karena ia telah bertunangan dengan kakakku. Melainkan karena kepandaiannya menyimpan kemunafikan. 

Sabtu, 10 Maret 2012

Sahabat? Gak Nusuk Ya!


Sahabat? Gak Nusuk Ya! 
( Karya : Ratna Kusuma Putri - @rhatnaphutry



Sore itu, aku tertegun mendengar sesuatu hal yang benar-benar membuatku kaget dan sempat sedikit shock. Maaf bukan bermaksud lebay, tapi ini emang benar-benar membuat aku sedikit nyesek. Namaku Nana, aku biasa dipanggil Na. Sekarang aku duduk di kelas 3 SMP, aku bersekolah di SMP 4. Aku punya seorang sahabat, namanya Lia. Lia ini sahabatku sejak aku duduk di kelas 1 SMP. Mau tau gak sesuatu apa yang bikin aku sedikit shock itu? Baca ya 

Di suatu sore yang gak terlalu gelap, aku tengah asyik duduk di depan rumah sambil memainkan handphoneku. Tak lama kemudian, ada satu pesan dari sahabatku, Lia. Isinya, “Na, gue mau cerita nih sama lo”. Aku pun membalasnya, “Iya, cerita apa?”. Agak sedikit lama aku menunggu balasan dari Lia, akhirnya Lia membalas pesanku, “Gue udah jadian sama Bagus.” . Aku terdiam, membaca pesan dari Lia, aku masih terus memperhatikan pesan itu. “Ha? Jadian sama Bagus? Dia kan tau kalau aku menyukai Bagus sejak lama, tapi kenapa dia malah pacaran sama Bagus?” gumamku. Tanpa terasa, air mata pun tertetes dari mataku. Aku sedih, kenapa sahabatku tega melakukan ini? Dengan rasa sedih, aku membalas pesan Lia. “Serius?” . Lia membalas, “Iya serius, kenapa? Lo gak suka?” . Aku tersentak membaca pesannya, ya Tuhan aku ingin teriak sekencang-kencangnya. “Gak, biasa aja kok. Yaudah semoga bahagia deh..” pesan terakhir yang ku kirim untuk Lia. Kemudian tak ada balasan dari Lia. 

Malam harinya, aku yang tengah asyik menikmati alunan musik dari mp3 ku merasakan kegalauan. Ya aku galau, salahkah? Tak salah, tak ada larangan untuk galau. Bagaimana tidak? Sore tadi sahabatku sendiri bilang bahwa ia berpacaran dengan Bagus, cowok yang selama ini aku taksir. Sedikit menyesakkan bukan? Aku langsung meletakkan mp3 ku di meja kecil di samping tempat tidurku. Ku rebahkan badanku di tempat tidurku ini, aku masih membayangkan kejadian tadi sore dan tanpa terasa lagi air mata ku menetes untuk yang kesekian kalinya. Tuhan, apa maksud dari semua ini?

Keesokan harinya, aku bersekolah seperti hari-hari biasanya. Sebenarnya agak malas bersekolah dihari ini, karena aku takut jikalau nanti aku bersekolah dan melihat Lia sedang berduaan dengan Bagus, aku takut cemburu. Aku takut jika nanti air mataku menetes dan bila nanti air mataku menetes, itu bukanlah kemauanku.
Tapi aku mencoba lupakan masalah itu, aku coba untuk menjalani hari-hari biasa. Lia menunggu di depan rumahku untuk berangkat sekolah bersama, aku dan Lia memang sudah sering berangkat dan pulang sekolah bersama.
“Ayo, Na..” kata Lia sambil menggandeng tanganku
“Iya, Li. Bentar gue salam ke nyokap dulu..”
“Ibu, aku berangkat...” teriakku di depan pintu kepada Ibuku yang tengah asyik memasak di dapur
“Iya, hati-hati ya..” sahut Ibuku

Aku menggunakan angkutan umum untuk ke sekolah.
“Oh iya, Bagus itu romantis banget ya, Na?” kata Lia tiba-tiba membuka percakapan
“Oh ya? Romantis gimana?” jawabku dengan senyum yang terpaksa
“Iya, tadi malem dia telpon gue. Cuma buat ngucapin selamat tidur..”
“Oh..”
Angkutan umum yang kami tumpangi pun berhenti di depan sekolah. Bagus sudah menunggu Lia di depan gerbang.
“Gue sama Bagus ya, Na. Duluan. Bye..” kata Lia sambil meninggalkanku
Aku memperhatikan mereka, dari jauh. Bagus terlihat begitu sayang pada Lia. Apa aku salah memendam rasa pada Bagus? Bukankah perasaan itu datang dengan sendirinya? Oh my God! Bantu aku, bantu aku menahan semua ini. Kuatkan aku...
Di kelas, aku langsung bergabung dengan semua teman-teman sekelasku. Aku mencoba untuk menjaga jarak dengan Lia, karena aku merasa Lia sudah mengkhianatiku. Ia sudah tega membuatku menangis, aku tau tak ada seorang pun yang dapat melarang mereka untuk berpacaran. Tapi seharusnya Lia tau bahwa aku menyukai Bagus sejak lama. 
“Hei Na, kantin yuk?” ajak Lia pada saat jam istirahat tiba.
Aku menggeleng, “Gak, lagi gak pengen ke kantin. Lo aja sendiri..”
“Lo marah sama gue?” kata Lia sambil duduk di sebelahku
Aku menggeleng lagi, kemudian langsung menjauh dan bergabung ke teman-teman sekelasku yang lainnya.
Lia pun langsung meninggalkan kelas. Lia, harusnya kamu sadar akan perbuatanmu. Aku terluka, aku sudah menganggapmu lebih dari sahabat. Tapi ternyata, kamu gak sebaik yang aku kira. Maafkan aku Lia, aku rasa kamu bukanlah sahabat yang baik untukku. Aku menceritakan masalah ini kepada seseorang yang ku percaya, Nurul namanya. Dia memang sedikit pendiam, tapi dia pandai menyimpan rahasia. Aku pun menceritakannya dan Nurul pun memberikanku nasihat dan kata-kata penyemangat yang membuatku tak berlarut-larut memikirkan masalah itu. Tapi maaf, aku terlalu bodoh, tak semudah itu melupakan kejadian kemarin. Tapi semuanya butuh proses, aku yakin suatu saat nanti aku akan terbiasa akan semua ini.
Lia, terima kasih atas semuanya. Cukup tau aku akan semua ini, aku yakin suatu saat nanti penyesalan itu akan datang.

My Love in Silence ( Ending )


Keesokan siangnya, aku menunggu Marissa, gadis mungil itu di halte “Teratai” seperti yang kami sepakati tadi malam. Siang ini cukup panas dan membuat ku sedikit berkeringat, sedari tadi aku perhatikan setiap bus yang mampir di halte ini, tak nampak Marissa. Ku coba kirimi ia pesan, “kamu dimana? Aku udh sini, nunggu kamu.”.  Tak ada balasan darinya, tapi aku tetap menunggunya disini.
10 menit kemudian ada sebuah bus berhenti di depan halte. Dan ternyata benar saja, ada Marissa di dalam bus itu sedang membayar ongkos kepada kernet, aku melambaikan tanganku dan memanggilnya,
“Marissa..”
Ia menoleh dan kemudian menghampiriku.
Entah kenapa hatiku berdetak keras, tak menentu. Ia tersenyum dan kemudian duduk di sampingku, lalu mengeluarkan kertas dan sebuah pensil.
“Maaf udah nunggu lama, tadi macet.”

“Iya gak apa-apa kok, Ris.Yuk kita makan? Di tempat langganan aku.” Kataku sambil menarik tangan Marissa. Ia tersenyum dan menggangguk.
Aku menggenggam tangannya, tangan malaikat mungil ini. Gak perlu naik bus lagi, karena tempat makan langgananku berada tak jauh dari sini. Kami berdua berjalan, aku mulai bingung bagaimana cara bercakap-cakap dengannya, tapi nampaknya ia cukup bersahabat dan mengerti kebingunganku. Ia pun menulis lagi di kertasnya,
“Kamu ngomong aja, nanti aku jawabnya aku catat di sini.”
Aku menggangguk, “nanti aja tanya-tanya nya kalo udah di tempat makan ya?”

Sesampainya di tempat makan langgananku, aku memesan dua gelas es jeruk. Kemudian aku memulai percakapan. Dan aku ingin menanyakan ini kepada Marissa tapi aku takut menyinggung perasaannya.
“Emm maaf ya, aku cuma mau tau kok kenapa kamu bisa bisu seperti ini? Kalo gak mau jawab juga gak apa-apa. Maaf ya maaf banget..”
Marissa tersenyum nampaknya ia tidak marah, kemudian ia menuliskan sesuatu lagi di kertasnya.
“Kamu gak usah takut aku marah gitu, Damar. Aku udah biasa jawab pertanyaan seperti itu kok, aku dari lahir udah cacat, aku gak bisa ngomong seperti halnya manusia-manusia lainnya. Ibu dan Ayahku menaruhku di Panti Asuhan karena ia malu memiliki anak cacat sepertiku..”
Aku sedikit tersentuh mendengar ceritanya, apa ada orang tua yang tega menaruh anaknya sendiri di Panti Asuhan? Aku sedikit menitikkan air mataku. Marissa menghapus air mataku yang sedikit menetes, ia tersenyum kemudian tangannya memberi isyarat padaku agar aku tak menangis. Aku merasa malu pada diriku, aku beruntung masih memiliki keluarga yang bisa membiayaiku hingga sekarang. Kemudian aku bertanya lagi.
“Terus sekarang kamu tinggal sama siapa?”

Marissa tersenyum dan menulis lagi,
“Aku di asuh oleh Bu Ridwan, kamu kenal? Dia yang punya toko kelontong yang lumayan besar di dekat halte “Teratai”. Aku di rawat keluarganya sedari aku masih bayi, sampai sekarang mereka mengganggapku adalah anak kandungnya sendiri, begitu pula aku. Meskipun terkadang aku rindu sosok Ayah dan Ibu kandungku. Aku ingin bertemu mereka, ah jangankan bertemu melihat mereka di foto pun aku tak pernah. Sekarang gantian dong kamu yang cerita..”

“Oh iya, aku tau sih tokonya. Aku juga pernah berbelanja di situ. Kalo aku sih biasa-biasa aja, Ayah aku udah gak ada, dia meninggal karena sakit. Ayah pergi saat aku masih duduk di kelas 5 SD. Aku anak tunggal, Bundaku sekarang di Semarang. Ia bekerja disana, saat ini aku tinggal di rumah Bude ku, di jalan Mawar sana. Oh iya kamu sekolah dimana? Kelas berapa?” jelasku
“Oh ya? Tapi kamu beruntung sempat merasakan kasih sayang dari Ayahmu. Sedangkan aku enggak. Aku sekolah di SLB Bunga Bangsa, kelas 1 SMA. Kalo kamu?” tulisnya.

“Oh iya, aku tau. Itu gak terlalu jauh dari sekolahku kan? Aku di SMA Citra Bangsa, aku kelas 2 SMA. Wah berarti kamu adik kelasku ya? Hehe. Oh iya ini di minum dulu..” kataku sambil menyodorkan segelas es jeruk yang sedari tadi sudah mematung di antara kami.
Marissa memancarkan senyumannya lagi, ah sepertinya semua lelaki akan tertarik padanya. Aku pun menanyakan masalah percintaannya.
“Oh iya, kamu udah punya pacar?”

Di tersenyum lebar, kemudian menulis lagi.
“Mana ada cowok yang mau sama cewek bisu kayak aku Damar? Gak ada, lagi pula aku gak terlalu memikirkan itu, aku lebih senang sendiri di hidupku yang sepi ini. Hehe, kalo kamu sendiri gimana? Pasti udah punya pacar ya?”
Aku tertawa-tawa.
“Masa sih gak ada yang mau sama kamu? Kamu tuh cantik banget tau, aku aja mau sama kamu..”

Marissa kaget mendengar perkataanku tadi. Dia menuliskan lagi,
“Hah? Kamu mau sama aku? Maksudnya?”

“Aku boleh jujur sekarang? Sebenarnya dari awal aku ngeliat kamu, aku udah ada rasa ingin milikin kamu. Aku bener-bener tertarik sama kamu, kamu cantik, ramah, anggun, baik semuanya ada di kamu..”
Marissa terdiam. Sepertinya ia bingung akan menulis apa lagi. Tak lama kemudian, ia menulis kembali.
“Aku gak yakin itu. Lagipula kita baru kenal. Aku gak yakin kamu menerimaku apa adanya kondisiku sekarang..”

Aku menggenggam tangan Marissa.
“Marissa, bolehkah aku menyayangimu? Menemani harimu yang sepi?”

Marissa meneteskan air matanya, kemudian ia berusaha melepaskan genggamanku.

“Kamu kenapa nangis?”

Ia melepaskan tangannya kemudian menuliskan sesuatu dikertasnya,
“Adakah satu hal yang mampu meyakinkanku bahwa kamu benar-benar menyayangiku, Damar?”
Aku menggangguk. Kemudian langsung berteriak,
“Hei semuanya! Bisa tengok ke sini sebentar gak? Gue lagi nembak cewek nih! Tapi dianya ragu sama gue. Liat deh cewek di sebelah gue, cantik kan? Cocok gak kalo jadi cewek gue?”
Marissa kaget dan ia terlihat malu akibat ulahku. Semua pengunjung melihat ke arahku, bahkan ada yang berteriak,
“Terima! Terima! Terima”
Marissa mencubit pinggangku, dan menyuruhku untuk berhenti berteriak-teriak. Aku pun menurut, lalu duduk di sampingnya lagi.
“Gimana? Masih ragu?”
Marissa menulis lagi di kertasnya.
“Iya, aku yakin. Semoga kamu gak ngecewain aku ya?”

Aku langsung menghadap ke Marissa dan menatap matanya.
“Jadi sekarang aku sama kamu?Pacaran?”

Marissa menggangguk. Aku pun langsung memeluknya, ya Tuhan sekarang aku bisa memilikinya, memiliki gadis mungil ini. Sederhana, cantik, kebisuannya sama sekali tak jadi masalah. Aku menyayanginya setulus-tulusnya. Sampai sekarang hubunganku dengan Marissa sudah berjalan hampir 2 tahun. Ya selama hampir dua tahun ini aku tau bahwa Marissa mencintaiku dalam diamnya, dan aku bisa sadari itu. Sampai saat ini aku percaya, diam bukan berarti tak mencintai.

Tapi ternyata semuanya tak seindah yang ku kira, setelah lulus SMA, aku mengenalkan Marissan kepada keluarga besarku. Apa tanggapan mereka? Tak sedikit dari mereka yang menentang hubungan ini, mereka menghina Marissa.
“Aduh Damar, kalo nyari calon istri itu yang gak cacat dong. Biar bagus nanti keturunannya..” ujar sepupuku.
Marissa sempat menghilang beberapa hari dariku. Ia sempat tak mau bertemu denganku. Aku tak habis akal, aku mengiriminya pesan.
“Kamu dimana? Temuin aku sekarang bisa? Aku ada disini, di depan rumah kamu. Nunggu kamu keluar dan meluk aku..”
Marissa nampak mengacuhkan pesan dariku. Aku masih terus menunggunya disini, sendiri berteman angin dan hujan. Marissa, aku mohon keluarlah. Aku tak kuat menahan dinginnya angin malam, peluk aku Marissa...
Hujan nampak setia malam ini, tak pergi sedikitpun. Aku masih menunggunya disini, semoga kamu tau apa itu ketulusan..
Aku terasa menggigil, bibirku terasa membeku. Aku masih berdiri di depan rumah Marissa, menahan dingin ini. Jujur aku tak sanggup tapi aku rela melakukan ini demi kamu, Marissa..
Aku masih berdiri, menunggumu. Tapi ternyata aku terlalu lemah, maaf ini bukan mauku. Badanku terjatuh seketika, aku tertidur di depan rumahmu. Berteman hujan dan dinginnya angin menyapa. Marissa, kemarilah. Aku membutuhkanmu...

Entah berapa lama aku tertidur. Kemudian aku terbangun dan ku lihat Marissa menangis memegangi tanganku. Bajunya basah, rambutnya pun begitu. Aku masih bingung apa yang terjadi pada diriku. Kemudian dokter datang dan melepas infus di tanganku, ada apa denganku? Dokter menarik selimut putih dan di selimuti kepadaku, tapi Marissa melarangnya. Marissa mencium keningku, mulutnya seakan-akan berucap bahwa ia menginginkan aku untuk membuka mataku. Tapi sayang, semuanya sudah terlambat. Aku sudah pergi dari dunia ini, darahku beku akibat dinginnya udara semalam. Aku tak mampu lagi bertahan, Marissa terus menangis. Berkali-kali ia menhentak-hentakkan tubuhku. Tapi aku sama sekali tak terbangun. Marissa, maafkan aku. Aku tak mampu membahagiakanmu, semoga kamu sadar ketulusanku selama ini. Aku menyayangi dan mencintaimu dalam diammu.. 

Jumat, 09 Maret 2012

Ragu itu datang - ( My Love in Silence part-4 )


Sepulang sekolah, aku kembali menunggu bus untuk pulang ke rumah. Satu bus datang dan berhenti, menunggu penumpang. Aku naik dan langsung menghempaskan pantatku di atas kursi bus yang empuk ini. Ku alihkan pandanganku ke semua penumpang bus, tak ada gadis mungil itu. Apa dia belum pulang sekolah? Kemana dia? Semoga nanti dia mengirimiku pesan. Ya hanya itu jalan satu-satunya agar aku dapat mengenalnya lebih jauh..
15 menit kemudian, bus berhenti di depan halte “Mawar”, aku turun dari bus dan melangkah tegas menuju rumah.

Malamnya.
“Derttt..Derttt..” getar handphoneku. Ada satu pesan! Dengan antusias aku membuka pesan itu, isinya seperti ini.
“Ini aku yg tadi di bus. Maaf baru sempet sms”
Aku langsung melompat ke kasurku. Berteriak-teriak mengungkapkan kesenangan hatiku. Aku pun membalas pesannya dengan segera,
“Oh iya gadis mungil, gak masalah. Oh iya, namamu siapa?”

Aku menunggu balasan pesannya, ingin rasanya aku meneleponnya. Tapi aku membatalnya niatku itu, ya aku baru ingat kalau dia tak dapat berbicara. Malangnya gadis mungil itu. Satu pesan lagi dari gadis mungil itu.
“Aku Marissa, panggil aja Risa..”

“Oh, namanya Marissa..” gumamku. Tapi ketika hendak membalasnya, ada satu pesan lagi darinya.
“Kamu tau kondisiku? Aku cacat, aku tak mampu berbicara. Aku hanya mampu mendengar dan melihat..”
Aku tertegun membaca pesannya. “Gila ya? Dia cacat aja aku udah tergila-gila gini, apalagi dia gak cacat?” Aku sama sekali gak mempermasalahkan itu, yang terpenting aku bisa dekat dengan gadis mungil itu, bahkan aku ingin memilikinya. Aku ingin menjadi kekasihnya, oh Tuhan inikah rasanya cinta pada pandangan pertama?
“Kamu kok ngomong gitu, Ris ? Aku gak permasalahin itu, oh iya namaku Damar. Aku suka senyuman kamu.” pesanku untuknya.

“Senyuman aku? Ada apa dengan senyumanku? Aku gak merasa memiliki kelebihan, aku merasa mempunyai banyak kekurangan.” pesan dari Marissa.

“Ah kamu jangan merendah gitu. Kamu itu cantik lagi, eh iya besok ketemuan yuk? Pulang sekolah, kita ketemu di halte “Teratai” gimana? Jam 2 ya?” pesanku.
“Oke Damar. Kabari lagi besok ya? Aku mau tidur dulu, nite ;-)”
“Yuhu! Berhasil juga kan bisa lebih dekat sama gadis mungil itu..”  Tapi apakah aku mampu dekat dengannya? Dia beda, dia tak mampu berbicara. Bagaimana cara aku bercakap-cakap dengannya nanti? Ah aku mohon, jauhkan ragu ini. Aku yakin, aku mampu dan aku bisa memilikinya, Marissa si gadis mungil itu..

Dia bisu? ( My Love in Silence part-3)

Keesokan paginya, seperti biasa Bude menyiapkan sarapan untukku dan untuk Yustin. Pakde sudah berangkat sehabis subuh tadi, supaya gak kena macet katanya.
“Aku berangkat ya, Bude..” kataku sambil mencium punggung tangan Bude.
“Iya, hati-hati.”

Aku keluar dari rumah dan bersiap untuk menjalani pagi ini. Di depan rumah, sudah ada bus sekolahnya Yustin yang siap menjemput Yustin untuk berangkat ke sekolah. Kemudian aku mempercepat langkahku agar dapat tempat duduk di bus.
“Huh, masih sepi! Untung aja..” gumamku saat melihat di halte bus hanya ada dua orang penumpang saja.
Aku langsung berdiri dan menunggu bus yang lewat. Tak lama kemudian datanglah sebuah bus, aku langsung naik dan duduk di bangku depan yang masih kosong, hanya ada dua penumpang di dalam. Ditambah aku dan dua orang penumpang yang naik bersamaku tadi.

“Cuaca pagi ini nampaknya cukup bersahabat..” gumamku sambil merasakan sejuknya udara pagi ini.
Kemudian, bus berhenti di depan halte “Teratai”. Aku berharap gadis mungil itu naik di bus yang ku tumpangi sekarang ini. Dan benar saja, gadis mungil itu masuk ke bus. Rambutnya yang panjang terurai nampak imut dengan sentuhan pita di sisi kanannya. Bibirnya merah muda, tipis. Satu kata “Perfect”! Gadis mungil itu naik dan kemudian duduk di depanku yang kebetulan kosong, aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku bergegeas pindah ke sebelahnya dan langsung menyapanya.

“Hai, anak baru di komplek sini ya?” tanyaku dengan senyuman ramah
Ia menggangguk.
“Emm tinggal di sebelah mana?”
Ia hanya tersenyum.
Aku jadi bingung, apa ada yang salah denganku? Kenapa dia hanya menggangguk dan tersenyum? Aku tak habis akal, ku keluarkan permen karet yang ada di kantongku.
“Nih buat kamu, mau?” kataku sambil memberikan sebungkus permen karet untuknya.
Ia menggeleng.
“Kamu kok diem aja? Kenapa gak jawab aku? Gak mau kenal aku?” tanyaku lagi
Ia menggeleng, kemudian menuliskan sesuatu di kertas yang dia ambil dari dalam tasnya.
“Aku bisu..” tulisan di kertasnya

Aku tersentak. Aku kaget! Ya gadis mungil ini bisu, ia tak dapat berbicara. Ya Tuhan, benarkah ini? Aku masih tak percaya, kemudian aku mengambil pulpen yang ada di tangannya dan mencatat nomer handphoneku di kertas yang di pegangnya.
“Nih nomer aku, sms ya. Aku mau turun soalnya, bye..” kataku kemudian segera turun di halte sekolahku.
Ia menggangguk dan tersenyum.
Saat turun dari bus aku masih merasakan tak percaya bahwa gadis mungil itu bisu, kenapa dia bisu? Mungkin aku akan tanyakan nanti, saat ia mengirimi ku pesan karena tadi aku sempat mencacat nomer handphoneku di kertasnya. Aku berjalan dengan muka yang masih menampakkan perasaan bingung, dan kaget. Ya benar saja, baru tadi aku berteriak dalam hati mengatakan bahwa dia “Perfect” tapi ternyata dia mempunyai kekurangan, ya dia bisu. Tapi aku malah semakin tertantang untuk mengenalnya lebih jauh lagi. 

Aku menyukainya? ( My Love in Silence part-2 )


10 menit menunggu. Sebuah bus berhenti tepat di depan halte, aku langsung naik dan duduk di kursi belakang. “Huh, untung masih ada yang kosong.” gumamku.
Kemudian bus berhenti lagi, seorang nenek yang naik. Namun ada seorang di depanku yang kemudian berdiri dan mempersilahkan nenek itu untuk duduk. Gadis itu....
Gadis mungil itu! Aku satu bus lagi dengannya, dia berdiri menenteng buku-buku di tangannya. Aku segera berdiri dan mempersilahkan dia duduk.
“Silahkan duduk ditempatku aja..”
Dia hanya menggangguk dan tersenyum kemudian duduk di tempatku.
Aku berdiri disampingnya. Ah aku bebas memandangi gadis mungil ini, sungguh cantik..
Gadis itu tak mengucapkan satu kata pun, ia hanya tersenyum dan tersenyum. Teduh rasanya menatap senyumnya yang indah itu..

Bus pun berhenti di depan halte “Mawar”. Aku segera mengeluarkan beberapa lembar uang ribuan kemudian ku serahkan kepada kernet bus. Kemudian aku turun, “aku duluan ya..” sapaku pada gadis mungil itu. Dan dia kembali lagi membalasnya dengan senyum.
Aku turun dari bus dengan berat, entah kenapa aku masih ingin memandangi gadis mungil itu. Aku tetap berdiri di depan halte dan memperhatikan gadis itu duduk di samping kaca sedang membaca buku. Dan kemudian bus pun melaju lagi..
Aku berjalan dengan langkah yang semangat. Aku masih membayangkan senyumnya itu. Ah besok aku akan mengajaknya berkenalan. Sepertinya ia ramah, terlihat dari wajahnya dan senyumnya yang begitu lembut. Tak terasa senyumanku merekah dengan sendirinya kala memikirkan gadis mungil itu. “Ah, aku menyukainya! Sejak pertama aku tatap senyumnya.”
“Bude, Damar pulaaang..” kataku pada Bude yang sedang berada di dapur
“Iya, itu makanannya di meja. Makan dulu, Mar..” jawab Bude
Aku langsung mendekat ke meja makan dan benar saja, ku dapati sepiring nasi beserta lauknya. Aku langsung duduk dan menyantap menu siang ini. Selamat makan..

***
Malam harinya, di rumah Bude yang gak terlalu besar ini semua anggota keluarga berkumpul. Ya begini lah rutinitas keluarga Bude Ninik setiap malam, sehabis makan pasti semuanya berbincang-bincang, menceritakan apa-apa saja yang terjadi di hari ini. Aku sudah mengganggap mereka keluarga kandungku sendiri, begitu pula dengan mereka. Pakde dan Bude tak pernah membandingkan antara aku dan anak-anaknya. Anak Bude Ninik hanya satu, Yustin namanya. Ia baru berusia 8 tahun, sekarang ia duduk di kelas 3 SD. Ia bocah yang bisa dibilang pandai, eh salah cerdas! Ya gurunya pun selalu bilang begitu, pernah suatu malam, Bude Ninik menceritakan bahwa Yustin berhasil mengalahkan anak-anak kelas 6 dalam mengerjakan soal. Bayangkan saja, Yustin mampu menyelesaikan soal-soal kelas 6, padahal dia sendiri masih duduk di kelas 3. Bude Ninik amat sangat menyayangi Yustin, apa pun yang di mintanya pasti selalu di belikan. Tapi Yustin bukan tipe anak yang banyak maunya, ia tak terlalu menuntut. Kalaupun meminta sesuatu, pasti itu gak jauh-jauh dari peralatan sekolahnya.
Pernah sekali aku bertanya pada gadis kecil itu,
“Kamu makan apa sih, Dek? Kok pinter banget.”
“Makan buku kak.” Jawabnya singkat
Aku  terdiam mendengar jawaban Yustin, ya benar juga yang dia bilang. Aku juga tau Yustin mempunyai banyak koleksi buku-buku bacaan yang udah ga kehitung lagi banyaknya.

“Pacarnya sekarang siapa, Mar?” tanya Pakde sedikit mengejutkanku
“Eh, apa Pakde? Pacar? Aduh belum ada.” Jawabku sedikit malu
“Haha, gak usah bohong sama Pakde, Mar. Kamu lagi naksir satu cewek kan? Siapa? Coba cerita.”
Aku menghembuskan nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan, aku tak bisa berbohong lagi. Karena aku tau Pakde ku ini mempunyai kemampuan membaca pikiran orang, dia bisa tau mana orang yang jujur dan mana orang yang berbohong.
Aku menganggukkan kepalaku, “ya aku lagi suka sama seorang gadis, Pakde. Tapi aku masih dalam tahap perkenalan kok.”
Pakde tertawa, Bude pun begitu.
“Hahaha, ya wajar toh. Wong Damar kan sudah besar, sudah dewasa, sudah kenal gadis cantik yo.” Kata Bude dengan logat jawanya yang kental.
Aku jadi malu sendiri. Aku hanya tersenyum-senyum kemudian izin ke kamar untuk tidur dan melanjutkan hari esok. 

Pandangan Pertama ( My Love in Silence part-1 )


“Senin lagi..” gumamku sambil memandang kalender kecil di meja samping tempat tidurku. Ku lihat jam bulat yang mematung di samping kalender, pukul 05:00 . Matahari pun masih nampak malu menampakkan dirinya. Kegelapan masih menguasai langit, ku tengok sedikit ke arah langit, “nampaknya akan turun hujan..” . Udara terasa dingin, angin pun melambai-lambai dengan sejuknya tapi ini terlalu sejuk jadinya dingin. Aku mengurungkan niatku untuk mandi. Aku kembali duduk di tepi tempat tidurku, ku cek sebentar handphoneku. Tak ada pesan yang terlalu berarti, hanya ada satu pesan dari “Bunda” yang tinggal jauh dari sini, beliau tinggal di Semarang, urusan pekerjaan katanya. Seperti biasa Bunda menyuruhku untuk jaga sikap selama tinggal bersama Bude di Jakarta. Ya udah hampir 2 tahun ini aku tinggal di Jakarta bersama Bude Ninik, beliau adalah kakak dari Bundaku. Semenjak kepergian Ayahku, Bunda menyuruhku untuk tinggal bersama Bude Ninik di Jakarta, sedangkan beliau bekerja di Semarang, setiap bulannya Bunda mengirimkan uang atau pun alat-alat keperluanku sekolah. Terkadang aku sedih saat Bunda bilang, ia rindu Alm.Ayah. Aku sebagai anak satu-satunya harus bisa menjaga kesedihan Bunda, lebih tepatnya menjaga air matanya agar tidak tertetes...
“Damar, kamu sekolah apa engga?” teriak Bude sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya, Bude.” jawabku kemudian berusaha bangkit dari kemalasan di pagi ini.
Aku menyiapkan lagi buku-buku pelajaranku yang akan dibawa di hari Senin ini. Ya semua buku sudah siap, tapi sayang niatku di pagi ini kurang siap. Ah cuaca di pagi ini amat mendukungku untuk tidur lagi!
Ayolah malas! Cepat keluar dari tubuhku, aku ingin segera menghabiskan hari senin yang membosankan ini..
Pukul 05:15 aku bergegas ke kamar mandi dan mempersiapkan pagi ini.

“Nih sarapan dulu ya, Damar..” kata Bude saat aku duduk di meja makan
Aku menggangguk dan menghabiskan sepiring salad dan segelas susu.

“Bude, Damar berangkat ya...”
“Hati-hati ya..”
Aku berdiri di sini, di halte tempat biasa aku menunggu bus untuk ke sekolah. Langit tak terlalu terang, lebih tepatnya gelap. Padahal jam sudah hampir menunjukkan pukul 05:40, halte pun tak seramai biasanya. Aku duduk sambil memperhatikan ke kanan, ke kiri menunggu bus yang lewat.
“Lama banget sih busnya..” gerutuku sambil terus memperhatikan jam yang melekat di tanganku
Tak lama kemudian, ada bus yang berhenti tepat di depan halte. Tanpa menunggu waktu lagi, aku pun langsung menaikinya. Bus nampak sepi, hanya ada beberapa penumpang saja. Sepertinya cuaca di pagi ini cukup menghipnotis banyak orang untuk bermalas-malasan di rumah. Aku duduk di bangku kedua dari depan pak supir. Sekolahku lumayan jauh dari rumah, jadi setiap pagi aku harus menaiki bus ini. Beberapa saat kemudian, bus berhenti di halte “Teratai”. Cukup banyak penumpang yang naik, tapi ada satu yang membuatku terpaku. Seorang gadis berkacamata, berseragam sekolah SMA. Badannya mungil, hidungnya tak begitu mancung dan senyumnya anggun...
Ia duduk di sampingku yang kebetulan kosong. Aku masih terpaku dan terus memperhatikannya, namun ia hanya diam dan menunduk. Kemudian mengeluarkan sebuah buku bacaan dari tasnya.
Ya Tuhan, gadis ini cantik. Siapa dia? Kenapa baru sekarang aku melihatnya? Padahal setiap harinya aku melintasi halte “Teratai” tapi tak pernah melihat sosoknya. Rambutnya panjang sepinggang, terurai, berwarna kecoklatan. Ia memakai cardigan putih, cocok dengan kulitnya. Di tambah lagi pita merah jambu di rambutnya, aduhai sempurna...
Kemudian bus pun terhenti di halte “SMA Citra Bangsa” sekolahku. Aku langsung bergegas turun dan harus merelakan kehilangan pandangan indah itu. Setelah turun, aku sempatkan menitipkan senyum kepada gadis mungil itu dan ternyata? Dia membalas senyumanku..
Aku segera turun dari bus, dan kawan-kawanku pun sudah banyak yang memasuki gerbang sekolah. Aku masih tersenyum-senyum membayangkan gadis mungil itu. Ah kenapa tadi aku tak menanyakan namanya? Mungkin bila nanti di pertemukan lagi, aku akan menanyakan namanya. Tuhan, pertemukan aku lagi dengan gadis mungil itu. Ia menjadi alasan kenapa hatiku tak segelap pagi ini...

Langit gelap, aku sudah mengira akan hujan dan ternyata benar saja tak lama kemudian gerimis pun hadir di pagi ini. Tapi itu tak masalah, gadis mungil itu sudah membuat kemalasanku hilang..
Dan beruntungnya cuaca pagi ini gerimis jadi tak ada upacara di hari Senin ini, semua murid di kelasku pun gembira bukan main. Terang saja, tak sedikit yang malas sekali upacara di hari Senin, panas, membosankan..

“Eh tadi di bus gue ketemu cewek. Cantik banget..” kataku kepada Rini
“Oh iya? Cantik? Anak mana? Terus kenalan?” jawabnya sedikit ketus
“Gue gak sempet kenalan, Rin. Tapi gue janji kalo nanti gue ketemu itu cewek lagi, gue bakalan tanya namanya..”
“Oh, gitu. Ya, udah congrats deh..” katanya
Aku pun diam, entah kenapa Rini menjadi berbeda kepadaku pagi ini. Padahal kemarin-kemarin Rini adalah sahabatku yang paling ceria, paling ramah. Entah kenapa di pagi ini dia terlihat begitu enggan berbicara denganku.
“Bu Desy gak masuk?” tanyaku pada Rini
Rini menggeleng, “Gak tau, Mar..”
Pagi ini kelasku di ramaikan dengan gurauan murid-murid di kelasku. Ada yang asyik bergosip ria, ada yang mendengarkan musik, ada yang lari-larian, ada yang serius membaca tapi bukan buku pelajaran yang di bacanya, buku komik. Sedangkan aku hanya duduk sambil memikirkan gadis mungil tadi, aku masih terbayang-bayang senyumannya, bibir mungilnya itu..
“Woi! Ngelamun aja lo. Mikirin apaan? Utang? Haha.” Yusna mengagetkan lamunanku
“Ah lo, Yus. Ngagetin aja sih.”
“Hahaha, emang lo mikirin apaan? Sampe bengong gitu.” katanya kemudian duduk di sampingku.
“Tadi pagi gue satu bus sama malaikat, Yus.” jawabku sambil membayangkan gadis mungil itu.
“Cewek? Siapa?” jawab Yusna dengan muka serius.
“Gue belum sempet tanya siapa namanya, Yus..”
“Gue kira lo udah tau namanya, Mar..” jawab Yusna kemudian kembali membolak-balik buku yang ada dimeja, aku yakin dia tak sepenuhnya membaca buku itu.

***
“Pulang sama siapa Mar?” tanya Rini setelah aku bersiap-siap untuk pulang.
“Naik bus seperti biasa, Rin. Ada apa?”
“Pulang sama gue gimana? Ngirit ongkos.”
“Yah gimana ya, Rin. Gue naik bus aja deh, besok-besok aja ya?”
“Ya, udah deh.” jawabnya kecewa.
Aku merapihkan dasiku dan kemudian bersiap keluar kelas.
“Duluan ya, Yus.” kataku pada Yusna yang sedang mengeluarkan motornya dari parkiran
“Oke, sip! Hati-hati, Mar.” jawabnya
Aku berjalan sedikir santai menuju halte bus dekat sekolahku. Matahari tak terlalu tinggi siang ini jadi tak terlalu panas, pohon-pohon pun nampak basah karena di guyur gerimis tadi pagi.  “Lumayan sejuk..” aku duduk di kursi halte, menanti bus datang menjemputku.
“Na..na..na..na” mulutku berkicau ria menghilangkan kebosanan yang nampaknya sudah melanda. Ya menunggu bus sendiri seperti ini memang membosankan. Ku sapu pandanganku ke sekelilingku, hanya ada murid-murid sekolahku yang sedang berkumpul. Dan tengok, ada Lusy, mantan kekasihku. Dia membonceng Wandi, cowok kaya yang populer di sekolahku. Kisahku dengan Lusy tak terlalu menyenangkan, lebih tepatnya menyedihkan. Ia memutuskan hubunganku dengannya hanya karena aku tak mempunyai kendaraan yang bisa mengantar jemputnya, hanya karena itu? Sepele kan? Bagiku itu amat sangat konyol, tapi ya mau gimana lagi? Toh dia sendiri yang bilang, dia mau pacaran sama cowok yang keren dan punya kendaraan, sedangkan aku? Pergi pulang sekolah aja hanya dengan menggunakan bus umum. Walaupun begitu itu gak terlalu membuatku pusing, aku juga yakin Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, ya alasan itu pula lah yang membuatku tak terlalu memikirkan masalah “pacar”.



*bersambung...

Selasa, 06 Maret 2012

Ada Kamu dibalik Teddy Bear


“Kenapa harus ada pertemuan kalo akhirnya di pisahin?”
Hanya satu pertanyaan itu yang terus ada di pikiranku, kenapa harus ada perpisahan ini? Perpisahan dari pertemuan yang amat indah. Ya Tuhan, lebih baik tak usah kau pertemukan aku dengannya jikalau hanyalah perpisahan yang terjadi. Apakah kau mempunyai maksud lain dari semua kehendakmu? Tuhan, beri aku jawaban atas semua ini..

“Kita putus..”
Satu pesan dari Rafa malam ini, ya satu . Satu pesan saja di hari ini, satu-satunya dan gak akan pernah ada  lagi pesan darinya. Aku masih diam, tak bicara. Hatiku kacau, pikiranku tak menentu. Tuhan, inikah yang kau bilang “Cinta” ? Inikah yang kau bilang “Janji” ? Mengapa begitu sakit, mengapa begitu menyiksa?  Aku masih terpaku, terdiam menatap pesan dari Rafa.
“Kita putus..” 2 kata itu amat sangat membuatku di rundung sedih, gundah, kecewa. Apakah semua yang di awali dengan kebersamaan harus berpisah hanya dengan 2 kata menyakitkan itu? Aku mengacuhkan pesan dari Rafa, tak lama Rafa mengirim pesan lagi,
“Jangan ganggu gue lagi. Gue mau jauh dari lo..”
Cukup! Cukup kirimi aku pesan jika hanya ingin membuat hatiku semakin hacur. Ya Tuhan...

“Lo putus sama Rafa, Mit?” tanya Hana ketika di sekolah.
“Lo tau dari mana, Na?” jawabku dengan suara kecil.
“Gue liat status hubungan Rafa di facebook. Statusnya single. Ada masalah apa Mit? Bukannya selama ini lo baik-baik aja sama dia?” lanjut Hana.
“Gue gak tau Na, udah ya gak usah di bahas. Gue pusing, Na..” jawabku sambil menundukkan kepalaku di meja kelas.

Ternyata Rafa serius. Dia benar-benar ingin jauh dariku, ada apa? Kenapa harus secepat ini? Aku saja belum tau kalau dia mengganti status hubungannya di facebook. Ah pagi yang tak menyenangkan. Menangis lagi...
Sekarang rasanya malas membuka facebook. Entah kenapa..
Aku sekarang sendiri, Rafa pergi dariku..

Segampang itukah mengucap kata “putus” ? Tak pernahkah ia ingat semua kebahagiaan yang pernah ada? Semua canda tawa yang pernah terlukis? Semua kenangan itu. Aku masih mengingatnya, masih merindukannya, bahkan aku masih menganggapnya pacar..
Maafkan aku yang terlalu sulit membuang kenangan ini, andai aku mempunyai hati seperti hatimu yang dengan mudahnya membuang semua kenangan indah itu..
Beri aku jawab atas semua ini, kenapa? Kenapa hanya aku yang masih berharap diatas semua kemunafikan ini? Kenapa harus ada sayang berbalas tangis?
Rafa, ini sakit. Terima kasih...

Air mata masih mewarnai mataku. Hana berusaha menenangkanku.
“Jangan nangis lagi Mita. Percaya ya Allah udah mempersiapkan seseorang yang lebih dari Rafa...”
Tapi percuma saja. Rafa sudah terlalu dalam masuk ke hatiku. Ini salah siapa? Ini salahku, yang terlalu dalam memendam rasa. Rafa, kenapa kamu pergi tanpa alasan? Apa ada wanita lain? Kalaupun ia, aku akan merelakan kamu untuknya jika ia dapat menyayangimu lebih dari aku..

***
Rafa, Rafa dan Rafa...
Dua hari setelah kejadian itu. Air mata masih setia menemaniku, tertetes. Rafa, tengok berapa banyak kebahagiaan yang telah kau teteskan dan telah kau lunaskan dengan air mata ini. Setetes air mataku adalah setitik kebahagiaan yang telah kau lukai...
Malam itu, aku masih sendiri..
“Hei kamu...”
Terdengar suara seseorang entah siapa, sepertinya ia menyapaku..
Aku menoleh ke kanan, kiri, dan belakang. Tak ada siapa-siapa, “suara siapa itu?”

Mungkin imajinasiku. Suara itu terdengar jelas, memanggilku. Ah apa ini hanya bayang-bayangku saja? Yang masih terpikirkan Rafa?
Kejadian ini terjadi bukan hanya sekali, setiap malam saat aku sendiri aku masih mendengar panggilan-panggilan itu.  Aku belum terlalu serius memikirkan panggilan aneh itu, aku masih menganggapnya imajinasiku. Sampai pada suatu ketika, aku di kagetkan dengan tulisan-tulisan yang tiba-tiba ada di buku harianku.
“Hah? Tulisan siapa ini?”
Aku membaca semua tulisan-tulisan yang ada di buku harianku.

“ Aku masih memperhatikanmu, bahkan aku tau apa-apa saja yang kamu sukai. Pada saat ketika aku melihatmu bercermin, aku terkesima sungguh aku terpesona akan keindahan wanita yang ada di cermin itu, maaf aku lancang. Satu yang ku tau, aku masih menyukaimu”

“Siapa pun orang yang menulis ini, dia ada di kamarku. Dia memperhatikanku..” gumamku
Hah? Apa? Di kamar? Siapa dia? Dia tinggal dimana? Di kamarku? Aku masih terdiam dan memperhatikan tulisan asing ini. Aku kembali menyapu pandanganku ke sudut-sudut kamarku. Tak ada siapa-siapa di kamar ini selain aku. Apa ini tulisan kakakku? Dia kan iseng, tapi apa iya dia se-iseng ini padaku? Ah ya,udah aku gak mau terlalu jauh memikirkan hal konyol ini..

“Na, masa ada yang iseng nyoret-nyoret buku harianku..”  kataku pada Hana yang sedang main ke rumahku.
“Orang iseng? Coret-coret apa Mit?”
Aku pun menunjukkan semua coretan-coretan konyol itu. Hana terbengong-bengong, dan bertanya-tanya, siapa ini? Tapi Hana bilang, itu hanyalah orang-orang iseng.
Aku pun melupakan itu..
Dua kali, tiga kali kejadian ini berkelanjutan. Aku semakin merasa ada yang memperhatikanku tanpa sepengetahuanku.
“Siapa pun orang iseng itu, ia pasti memperhatikanku. Dia tau apa-apa aja kesukaanku. Mungkin jika nanti aku tau orang itu, aku akan memperkenalkannya pada teman-temanku..”
Hal aneh itu terjadi lagi, satu lagi kertas di buku harianku diwarnai tulisannya. Dan kali ini benar-benar membuat aku tercengang.
“ Aku tau saat kamu sedih karena Rafa. Rafa gak benar-benar ninggalin kamu, dia cuma lagi pengen sendiri, suatu saat nanti dia butuh kamu Mita. Kamu harus percaya itu..”
Siapa ini! Kenapa membuatku benar-benar penasaran.
Satu pesan masuk di handphoneku, “Tania” . Adiknya Rafa.  Ada apa dia mengirimiku pesan?  Dengan penuh rasa ingin tahu, aku pun membuka pesan dari Tania yang isinya,
“kak, kakak dimana? Kak Rafa koma kak. Dia masih belum siuman sampe sekarang, kakak aku tungguin disini, tapi kakak gak dateng2. Kakak kesini dong kak L aku mohon. Aku dirumah sakit Harapan, ke sini ya kak please.”
“Hah? Rafa koma? Sakit apa?” tanyaku dalam hati
Tanpa membalas pesan Tania, aku langsung pergi ke rumah sakit Harapan. Ya Tuhan, apa yang terjadi sama Rafa. Tolong jaga nafasnya ya Tuhan..
Saat di taksi, Tania meneleponku.
“Halo kak, dimana? Cepet kesini..”
“Iya sayang, aku otw ke sana. Kamu tunggu di depan ya..”
“Iya kak, cepet ya..”
Klik.
“Nih pak, kembaliannya ambil aja. Makasih ya..” kataku pada supir taksi yang memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah sakit harapan
“Makasih mbak..”
Aku langsung berlari dan ku lihat Tania sudah berdiri di depan ruang UGD. Aku segera menghampirinya.
“Kak,ayo cepet lihat keadaannya Kak Rafa..” katanya sambil menarik tanganku
Aku menurut.
Di dalam ruang UGD.
“Astagfirullah.. Rafa kenapa? Ya Tuhan..” kataku sambil mendekat ke arah Rafa
Rafa tertidur.
“Rafa kenapa Tania?” tanyaku pada Tania
“Kak Rafa kecelakaan kak, kepalanya bocor. Dia terkena gegar otak kak, dari tiga hari yang lalu dia belum sadar..”
Aku menangis.
Ku lihat di meja kecil yang ada di situ terdapat sebuah buku.
“Itu bukunya Kak Rafa yang aku temui di kamarnya kak..”
Aku membacanya. Dan apa yang aku lihat, tulisan di buku itu sama seperti apa yang ada di buku harianku. Ya tulisan aneh itu. Ya Tuhan, ada apa ini? Apa rencanamu kali ini?
Dibuku itu tertulis..
Mita, putri kecilku.
Maafkan aku, aku terpaksa menyuruhmu pergi dari hidupku. Aku tau kamu sayang aku, dan aku pun lebih menyayangimu. Aku merasa, sayangmu terlalu berarti. Aku takut akan melukai hatimu, dan bila saat itu terjadi, kamu pasti akan menangis. Aku gak siap kalau harus melihat kristal-kristal-kristal itu tertetes, itu terlalu berarti jikalau kamu teteskan untukku, Mita.. Aku harap, setelah kamu membaca ini, aku sudah kembali ke pangkuan-Nya. Aku gak akan buka mata lagi, karena aku gak mau lihat air matamu yang mulia itu. Mita, sekali lagi maafkan aku. Jangan takut, aku akan tetap ada, aku ada di sudut kamarmu, dekat boneka teddy dariku. Aku ada disitu saat kamu sedang memikirkanku. Maaf juga aku sudah membuatmu penasaran akan tulisan-tulisan aneh itu. Aku hanya ingin kamu tau, aku masih memperhatikanmu walaupun aku sudah berusaha keras untuk melupakanmu. Aku tau dan aku yakin itu mustahil. Sekali lagi aku mohon, jangan kamu teteskan air mata itu ya? Aku sedih kalo lihat kamu sedih. Love u Mita
J

Aku langsung menoleh ke arah Rafa. Dan ternyata Rafa sudah tak bernyawa. Aku menangis, Tania menenangkanku.
“Rafa bangun..” bisikku di telinga Rafa
“Kak, ternyata Kak Rafa nungguin Kak Mita kesini buat baca apa yang ada di buku itu..”

Ku kecup keningnya. Tunggu aku disana ya. Aku akan nyusul kamu secepatnya agar tak ada air mata lagi tertetes dari mataku. Itu kan yang kamu mau?
Tuhan, rencanamu kali ini benar-benar membuat aku terkagum-kagum. Kau membawa Rafa kembali padamu. Aku tau sayangku tak berarti apa-apa jika dibanding sayangmu pada Rafa..

Siang itu Rafa di makamkan. Berat rasanya, sangat berat untuk merelakannya. Matanya tertutup, senyumnya tetap mewarnai jasadnya.  Selamat jalan, Rafa. Aku selalu menyayangimu...
Malam ini, aku terdiam. Sambil terus memandangi boneka teddy. Berharap Rafa ada di balik situ, memperhatikanku yang sedang memperhatikannya...

Senin, 05 Maret 2012

Yurita dan Johan


Yurita dan Johan
( oleh : Rizki Kusuma Wardani )
“Aku gak bisa..”
“Kenapa? Aku janji akan selalu ada buat kamu..”
“Aku gak bisa, Jo..”
“Gak bisa kenapa, Yur?”
“Aku gak bisa nerima semua janji-janji itu, aku terlalu muak. Aku terlalu lelah sama semua janji-janji gak bermutu itu..”
“Kali ini aku serius sama kamu..” kata Johan sambil menatap mata Yurita
Yurita menangis. Dalam hati berkata, buktikan semua janjimu itu, Jo. Jangan hanya berbicara. Aku terlalu penat dengan semua kegelisahan ini. Yakinkan aku jika kamu benar-benar mencintaiku, Jo. Kamu datang dengan janji-janji lagi, sedangkan dulu? Kamu pergi membawa janji-janjimu yang belum kamu tepati. Apa yang harus aku percayai akan dirimu sekarang? Adakah satu alasan yang membuatku mau menerimamu lagi?
Jo menghapus tetesan air mata Yurita.
“Tolong, percaya sama aku. Aku sadar, karma sudah menghampiriku sekarang, aku sadar aku membutuhkanmu. Kamu yang benar-benar mencintaiku, dulu aku datang ke hati dia, ya hati yang salah. Hati yang seharusnya gak aku sambut. Aku sadari semua itu, Yur. Tolong terima aku lagi..” sambil berlutut
“Bangun, Jo. Jangan berlutut seperti itu..”
“Kamu ingat saat pertama kali aku memintamu untuk menjadi kekasihku? Aku berlutut seperti ini. Membawakan bunga-bunga indah untukmu..”
“Ya, aku ingat. Tapi semua itu terasa sampah saat aku tau kalau kamu lebih memilih bersamanya dibanding aku...”
Air mata itu tertetes lagi.
Johan tertunduk.
“Aku mencintai kamu, Yurita..” bisiknya
Johan adalah sosok lelaki yang memiliki sifat teguh pada pendiriannya. Tapi terkadang ia amat sangat menjengkelkan. Aku ingat 2 tahun yang lalu, saat hubungan ini sempat terputus, ya Johan pernah memutuskan hubungan ini karena ada seorang wanita di luar sana. Sakit? Engga. Sedih? Engga. Cuma satu, kecewa. Merelakannya untuk bersama yang lain itu bukan sesuatu yang mudah. Aku ingat kata-kata terakhirnya,
“Lupain aku ya, Yur. Maaf kalau aku udah nyakitin kamu..”
Ya. Itu kata terakhirnya. Dia memilih untuk melupakanku dan memilih untuk bersama wanita itu. Aku menangis pun percuma, semuanya tak akan kembali lagi. Johan sudah memilih jalan untuk bersama wanita itu dan mengehempaskan hubungannya denganku yang sudah berjalan gak sebentar ya...
Aku hanya menunggu, menunggu karma datang kepadanya. Dan benar saja, sekarang ia datang padaku lagi. Menceritakan semua kesalahan yang telah di perbuatnya dulu. Maaf, bukannya aku tak ingin memaafkanmu, aku masih belum mempercayai semuanya. Aku hanya perlu beberapa waktu untuk kembali seutuhnya menyayangimu seperti dulu. Sayangku tulus, tapi sayang kamu mengacuhkannya.
“Please, terima aku lagi. Sekali lagi, izinin aku buat ada di hati kamu untuk selamanya..” ujar Johan sambil menggenggam tangan Yurita.
“Aku masih belum bisa sembuhin luka aku yang dulu digoresin sama kamu..” jawab Yurita
“Iya. Biarin aku yang sembuhin luka itu, aku janji akan buang jauh-jauh semua luka itu. Aku mohon, biarin aku ganti semua itu dengan ini..” katanya sambil berlutut kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantongnya
“Yurita. Will you marry me?”
Ya, Tuhan..
Johan menginginkan aku untuk menjadi istrinya. Astaga, ini mimpi? Kalau memang ini mimpi, bangunkan aku ya Tuhan.. Aku ingin menjadi istrinya di alam nyata, bukan mimpi. Ia meminangku disini, di taman tempat pertama kali kita di pertemukan. Sebuah cincin emas dipegangnya..
“Jawab aku, Yurita..”
Aku masih terdiam. Aku bingung harus bagaimana. Aku ingin mengganggukkan kepala ini tapi masih ada keraguan dihatiku. Aku pun memberikan satu pertanyaan untuk Johan.
“Tolong yakinkan aku, bila ini serius. Aku ingin besok pagi-pagi sekali kamu datang ke rumahku untuk meyakinkan kedua orang tuaku. Bilamana mereka setuju, aku pun akan setuju..”
“Oke. Itu gak masalah, Yur. Aku mencintaimu dari dulu hingga sekarang...”
Keesokan harinya, pukul 3 pagi. Johan mempersiapkan semuanya untuk di bawa ke rumah Yurita. Ia merapihkan jas hitam, dasi kupu-kupunya dan kemudian membawa serta kedua kakaknya dan budenya. Sebenarnya ia ingin membawa serta kedua orang tuanya tapi sayang kedua orang tuanya telah berpulang ke yang Maha Agung.
“Assalamualaikum Mah, Pah, aku akan meminang Yurita, gadis yang dulu kalian banggakan itu. Aku senang kalian sempat mengenalnya meskipun kalian tak dapat hadir dihari  bahagia ini. Mah, Pah, bantu doa ya semoga hari ini lancar. Aku gak berharap apa-apa. Aku hanya berharap semoga Yurita mau menemaniku, mendampingi hidupku sampai maut menjemput, seperti Mamah dan Papah. Wassalamualaikum Mah, Pah..” kata Johan sambil memandang foto kedua orang tuanya.
“Kak, lo pegang bunga ini ya. Nanti lo kasih ke Yurita..” kata Johan kepada Kak Andre
“Kok gue yang kasih? Kenapa gak lo aja?”
“Gue nanti yang kasih cincinnya, Kak..”
Kak Andre menggangguk. Dan kemudian mengambil kunci mobil yang ada di meja.
“Gue aja yang bawa mobilnya, Kak..” kata Johan
“Yee, lo duduk aja di belakang. Biar gue yang bawa..” jawab Kak Andre
“Udah sini gue yang bawa..” kata Johan sambil merampas kunci mobil yang di pegang Kak Andre
“Ya, udah terserah lo aja deh..”
Johan pun duduk di belakang setir mobil. Kak Andre, Kak Dion dan Bude Suci pun masuk dan duduk di dalam mobil. Semuanya sudah siap. Oh iya Johan lupa mengirimkan pesan untuk Yurita, permata hatiku..
“ Sayang, aku on the way ke rumah kamu. See u honey”
Johan mengendarai mobil dengan perasaan hati yang tak menentu. Antara senang, bercampur was-was. Bude Suci menceramahiku, beliau menjelaskan apa-apa saja yang harus aku lakukan jikalau kelak aku akan menjadi imam bagi Yurita, gadis cantik itu.  Tapi di tengah-tengah perjalanan..
Johan kehilangan konsentrasi mengemudinya. Jalanan di depan semakin menurun, rem mobil blong. Kak Andre berusaha mengambil alih kemudi, namun naas. Mobil itu menabrak pohon besar. Johan terbanting ke depan setir, kepalanya berdarah. Ia tak sadarkan diri. Bude Suci pun begitu, Kak Dion dan Kak Andre hanya terbentur sedikit, Kak Dion luka di kepalanya, sedangkan Kak Andre hanya lecet. Kak Andre langsung berusaha mengeluarkan Johan dari dalam mobil, Kak Dion mengeluarkan Bude Suci.
Handphone Johan berdering. “My Pretty” .
“Pasti ini Yurita..” gumam Kak Andre sebelum mengangkat teleponnya
“Yur, kita kecelakaan! Di jalan Kemuning 3. Tolong kesini, Johan gak sadar..”
Telepon terputus.
Kak Andre buru-buru menelepon Rumah Sakit terdekat untuk membawa Johan dan Bude Suci. 20 menit kemudian ambulance tak kunjung datang, namun Yurita datang dan langsung berteriak memanggil-manggil Johan.
“ Ya Tuhan.. Johan bangun sayang..” kata Yurita sambil mengelus-ngelus kening Johan.
“Kak, Johan gak sadar..” kata Yurita pada Kak Andre yang sedang was-was menunggu ambulance.
“Iya, sabar. Tunggu ambulance, gak lama lagi..”
Dan benar saja, ambulance datang. Kak Dion menggotong Bude Suci ke ambulance. Yurita masih menggenggam tangan Johan, berharap ia akan segara sadar. Kak Andre menggotong Johan. Yurita duduk di samping Johan sambil terus membisikkan doa-doa di telinganya.
Yurita menangis. Kemudian ia memegang nadi di tangannya Johan, nadinya tak bergerak. Terhenti. Yurita panik..
“Kak! Johan nadinya berhenti..”
Kak Andre mencoba menaruh tangannya di jantungnya Johan, ternyata benar. Jantungnya terhenti. Innalillahi. Johan berpulang..
Yurita menangis sejadi-jadinya. Ia terus menyebut-nyebut nama Johan dan menciumi kening Johan. Sesampainya di rumah sakit, aku masih berusaha keras menyuruh dokter untuk menyelamatkan Johan. Tapi dokter bilang, benturan keras di kepala Johan mengakibatkan nyawanya tak dapat di tolong lagi. Sementara itu, Bude Suci selamat. Hanya luka sedikit di bagian kepalanya..
Pagi, pukul 07:00 aku terduduk sendiri di depan kamar jenazah. Dimana ada Johan yang tak bernyawa sedang tertidur disana.
“Yur, ini bunga dari Johan. Tadi sebelum berangkat, dia nyuruh gue buat ngasih bunga ini ke lo..” kata Kak Andre
“Sabar ya, Yur. Ini rencana Tuhan, kita gak bisa mengelak..” kata Kak Dion sambil mengusap-usap kepala Yurita
Yurita menangis. Ya Tuhan, apa ini rencanamu? Memanggilnya di hari bahagia ini? Kenapa?!
Bude Suci berusaha menenangkanku saat aku menyaksikan jenazah calon suami ku, Johan tengah di kafani. Entah berapa banyak air mata tertetes di pagi ini. Aku benar-benar kehilangan, kehilangan orang yang baru akan menepati janjinya. Tuhan, jaga dia untukku disana.  
Di pemakaman, Yurita menaruh kotak kecil, berisi cincin yang tadinya akan diberikan kepadanya. Semoga cincin ini akan mempersatukan kami di alam sana nanti.
Tuhan, terima kasih atas cinta yang kau beri...