Kamis, 26 Juli 2012

Cinta Itu, Aku. ( Part 1 )


Aku mencintai ketidaknyataan. Aku mencintai maya. Aku mencintai semu.
Kemana dia yang dulu? Kemana dia yang selalu ku rindu? Kemana  dia yang selalu ada? Kemana? Aku rindu dia, aku rindu semua tentangnya. Akankah kerindukanku berbalas?
Semuanya berawal dari sini, dari pertemuan yang enggan ku lupakan . Semuanya terasa indah, semuanya berjalan sesuai apa adanya kebahagiaan yang terjadi. Saat bersamanya, aku lupa apa itu sedih. Aku tak ingat apa itu tangis. Karena kebahagiaan yang terlalu itu membuatku buta akan semua itu. Ya, ini nyata, kamu pernah ada. Pernah menjadi alasan dari sumringah senyumanku. Tapi kini semuanya seakan berbalik, aku lupa apa itu senang. Aku sama sekali tak tau bagaimana caranya untuk mengembalikan kebahagiaan yang dulu menemaniku. Karena kebahagiaan itu telah pergi. Jauh. Aku tak tau kenapa dia pergi, aku tak tau kenapa dia meninggalkanku bersama hatinya yang masih tertinggal disampingku.
***

“Aku gak suka kamu.”
“Tapi aku suka kamu.”
“Aku gak sayang kamu.”
“Tapi aku sayang kamu.”
“Aku gak mau kamu jadi pacar aku.”
“Tapi aku akan tetep nunggu kamu sampai mau nerima aku.”

Ku cubit hidungnya, ku genggam tangannya. Nyaman, aku memang sering berguyon dengannya, kekasihku. Tunggu, kekasih? Kami tak pernah mengucap janji berpacaran, kami tak ada ikatan pacaran. Tapi kenapa aku begitu menggaguminya sebagai kekasihku? Mungkin, pendekatan ini terlalu mengesankan.
Terkadang aku bingung, apa arti genggaman ini. Genggaman tanganku dan tangannya yang sedari tadi belum terlepas. Aku menolak untuk melepaskannya, aku nyaman digenggamnya. Mentari senja perlahan mendekat, semakin indah cahayanya. Semakin hangat pula genggamanku. Di sisi pantai, terdudukku bersamanya.
“Apa yang kamu lakukan andai aku jadi matahari itu yang perlahan tenggelam?” tanya Fariz memecah keromantisan.
“Hmm, ada pertanyaan lain gak? Aku gak mau kamu tenggelam seperti matahari itu.” Jawabku sambil menatap bola matanya.
“Sekarang waktunya kita berandai-andai, aku tanya itu ke kamu.”
“Aku akan memohon pada Tuhan agar menghilangkan bulan, supaya kamu tetap menjadi matahari yang tak pernah tenggelam.”
Fariz menatapku cekat-cekat, “sungguh?”
Aku mengangguk, lalu memeluknya. Tuhan, aku memeluknya. Mimpikah ini? Ini yang pertama. Tiba-tiba saja Fariz melepaskan pelukanku.
“Gak bisa, Win.” katanya lalu membelakangiku.
“Gak bisa? Gak bisa kenapa?” tanyaku bingung.
“Kita gak bisa saling memiliki.” katanya pelan.

Aku terdiam.
Memiliki? Apa harus memiliki untuk saling sayang? Apa harus memiliki untuk berbagi rindu?
“Lalu mau kamu apa?” tanyaku sambil menahan tangis.
“Lebih baik kamu menjauh dariku.”

Astaga, ya Tuhan.. Dada ini terasa sesak, hati ini terasa sakit, kenapa ia goreskan kebahagiaan itu hanya dengan perkataannya yang menyakitkan ini? Aku diam, Fariz pun diam. Ombak seakan memaksa kami untuk menyaksikan keindahan mereka. Aku bingung, aku gundah, aku tak tau apa yang harus ku lakukan saat ini, detik ini. Ku mainkan jariku diatas pasir putih, ku coba buang kebingunganku. Tapi tak bisa, kebingungan itu semakin melekat. Inginku raih tangannya, ku genggam penuh kasih, tapi ya itu hanya sekedar inginku. Inginku yang belum tentu menjadi inginnya.

“Pergilah sebelum aku yang akan meninggalkanmu.” tegasnya lagi.
“Tidak, aku tak akan pergi dari sini.”
“Baiklah kalau itu maumu. Aku yang akan pergi.” Suaranya terdengar sedikit terisak.

Ia berdiri. Tapi ia belum berlalu dari sampingku.  Aku mampu menatap punggungnya, perlahan punggung itu semakin menjauh.

“Kamu mau kemana, Fariz? Tolong jangan menjauh.” teriakku.

Tapi Fariz sama sekali tak menoleh sedikitpun. Dia malah semakin menjauh, aku ingin berlari mengejarnya. Tapi Fariz terlalu jauh berjalan, aku tak mampu meraihnya. Ya, Tuhan, tolong bantu aku bangkit. Tolong bantu aku bangun dari semua anganku. Kenapa semuanya baru terasa menyakitkan? Kenapa semuanya baru terjadi kala sayang ini semakin bertambah, aku tak mampu lagi berkata-kata.

Keesokan pagi, ada sepucuk surat di depan pintu rumahku dan ini dari Fariz. Dengan bersemangat aku membukanya lalu membacanya.

Wina,
Aku tau kamu sayang sama aku, aku tau itu, sangat tau. Tapi maaf, aku tak pernah bermaksud membuatmu menangis, membuatmu kecewa, membuatmu tenggelam dalam kesedihan. Aku hanya mau menghabiskan sisa-sisa hidupku bersamamu, walau kita belum saling memiliki tapi aku bersyukur, aku bersyukur karena kamu sudah melengkapi kekosongan sisa-sisa waktuku.
Wina,
Kamu tau kenapa aku tak pernah mau menjawab pertanyaanmu tentang hubungan aku dan kamu? Aku takut, kamu gak akan kuat menjalani hubungan denganku nantinya. Maaf kalau aku menyembunyikan ini. Setelah pertemuan kita kemarin, aku langsung pergi ke bandara. Aku akan kuliah di Australia. Dan aku akan pulang ke Jakarta 8 tahun lagi. Aku tak ingin membuatmu menunggu lebih lama, Wina. Karena aku tau, tak pernah ada lelaki yang mau menyia-nyiakan wanita secantik kamu.
Wina,
Maaf kalau aku memintamu pergi meninggalkanku, karena semakin lama kamu disampingku, akan semakin bertambah pula harapanmu untuk menjadi kekasihku. Aku tak pungkiri, aku mengagumimu, aku menyukai senyumanmu, aku menyukai keramahanmu, tapi lagi-lagi jarak yang memaksaku untuk menyuruhmu menjauhiku. Sekali lagi, maafkan aku, Wina. Aku berjanji, setelah aku kembali dari Australia, aku akan meminangmu, aku akan memelukmu erat, aku akan berikan ciuman pertamaku untukmu.
Wina,
Tunggu aku 8 tahun lagi. Aku akan bawa semua cintaku untukmu. Sudikah kamu menungguku? Aku mohon, jangan menggeleng.
                                                               
                                                                                                                                                                           
Yang mencintaimu,
Fariz Ilham Majid

Menangis, itu yang pertama kali ku lakukan ketika membaca surat dari Fariz.
“Jadi kemarin pertemuan terakhirku dengannya?” gumamku lalu kembali menangis.

Aku duduk di teras rumahku, memandang indahnya langit pagi yang masih memaksaku untuk menikmati keindahannya. Tapi itu saja tak membuat air mataku berhenti menetes. Ku genggam surat dari Faris, ku ucapkan dalam hati.
“Mampukah aku menunggu selama itu? Aku memang menyayanginya, tapi aku ragu untuk menunggu selama itu.”

Tapi ku kuatkan dalam hati, aku akan menunggunya kembali, menunggunya yang telah membuatku bahagia, menunggunya yang telah membuatku mengerti apa itu cinta, ya Fariz. Hanya dia...
***
Rasanya baru kemarin Fariz pergi ke Australia, sekarang tepat sudah 8 tahun kepergiannya. Tak ada kabar sama sekali, tak taukah dia kalau aku memendam rindu?
Aku tak pernah bosan menunggunya. Setiap hari ku cek emailku, tapi tak ada satupun email dari Fariz. Apa dia lupa denganku? Apa dia lupa akan janjinya yang akan kembali lagi kesini? Aku tau dia bukan seorang yang pelupa.
Aku tak tau lagi kemana harus ku cari Fariz. Aku tak tau lagi apa yang harus ku lakukan. Aku hanya mampu menunggu dan terus menunggu sampai pada waktunya apa yang ku lakukan selama ini menjadi sesuatu yang sia-sia..

Seseorang datang ke rumahku, seorang pria. Ia memakai jas hitam, layaknya orang sukses kebanyakan. Ia membelakangi pintu rumahku. Nampaknya aku mengenali sosok ini.  

“Ada apa ya, Mas?” tanyaku.
Ia menoleh, ternyata dia Fariz. Dengan mata berkaca-kaca ku coba dekati dia, ku raba pipinya, dia tersenyum sambil memandangku. Matanya memancarkan kerinduan yang mendalam.
“Wina..” sapaan lembut dari bibirnya.
Tanpa menunggu waktu lama, aku peluk erat dirinya. Tapi Fariz tak membalas pelukanku, ada apa ini? Apa pancaran kerinduan dimatanya hanyalah kepalsuan? Aku melepaskan pelukanku. Fariz menangis, kemudian duduk di kursi dekat taman rumahku.
“Ada apa? Kenapa kamu dingin? Aku kangen kamu, Riz.” kataku penuh rindu.
“Maafin aku.”  katanya sambil mengeluarkan sepucuk kertas dari saku jasnya lalu memberikannya kepadaku.
Aku menerima kemudian membacanya. Ini undangan pernikahan. Terlihat dari cover depannya terdapat tulisan “Happy Wedding” . Fariz masih dingin, sesekali ia menyeka air matanya. Aku membuka halaman pertama dari undangan ini. Tertulis dua buah nama.

“Fariz Ilham Majid & Rahmadina Putri Santoso”

Aku tersentak kaget, air mataku langsung tercurah semua. Tanganku bergetar, mulutku kaku, menoleh pun aku tak mampu.
“Maafin aku, ini bukan kemauan aku, Win.” terdengar suara Fariz yang begitu lembut.
Aku masih terdiam. Surat undangan itu terjatuh dari tanganku.
“Jadi ini yang aku dapat setelah aku masih setia menunggumu kembali?” suaraku perlahan muncul.
“Ini kemauan mama. Kamu tau? Aku gak pernah nolak apapun yang mamaku suruh. Asal itu untuk kebahagiaan mama.” katanya lagi lalu meraih tanganku.
“Jangan pegang tanganku lagi, Riz. Ada tangan lain yang lebih pantas kamu raih.” kataku lalu melepaskan genggamannya, jujur aku merindukan genggamannya.
“Aku  cinta sama kamu, Wina.”
“Aku gak pantas untuk kamu cintai.” aku berlalu meninggalkan Fariz yang masih diam.
“Kamu pantas! Karena kamu sudah menunggu aku 8 tahun! Aku akan batalkan pernikahan ini, Wina! Demi kamu! Kamu yang sudah setia menungguku kembali kesini.” teriaknya.

Langkahku terhenti. Air mataku semakin deras, ya Tuhan, benarkah yang Fariz katakan. Belum sempat ku berbalik terdengar suara wanita memanggil Fariz. Aku rasa itu adalah calon istrinya. Aku mengurungkan niatku untuk berbalik kepadanya. Aku langsung masuk ke rumah dengan linangan air mata.
Di kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Aku melampiaskan semuanya dengan air mata. Mungkin dengan ini semuanya menjadi lebih baik. Tak lama kemudian, handphoneku bergetar. Fariz meneleponku.

“Aku sayang kamu, Wina.” Suaranya terdengar serak.
Aku terdiam.
“Jawab aku, aku kangen kamu. Aku gak mau terpaksa sama semua ini. Aku mau kamu. “
“Gak bisa, Riz. Ya, sudah ikuti saja apa kemauan mama kamu. Aku gak apa-apa kok, aku rela kamu sama dia. Mungkin dia bisa kasih kebahagiaan ke kamu, lebih dari apa yang aku mampu.”
“Gak. Dia gak akan bisa seperti kamu, Win.”
Klik.

Sengajaku matikan telepon itu karena aku tak sanggup mendengar suaranya, semakin lama ku dengar, semakin bertambah cinta ini.

- Bersambung - 

                                                                                                                                                                               
                                

Rabu, 25 Juli 2012

Jaga Tetesan Air Itu.


Ini bukan sesuatu yang mudah. Menerima kenyataan ini, kenyataan pahit dalam hidupku. Kehilangan seseorang yang amat sangat ku cintai, seseorang yang amat sangat ku sayangi. Kenapa semuanya harus tertutup kebohongan? Kenapa aku baru mengetahui semuanya saat ia telah sampai diujung waktunya? Apa semuanya senang melihat aku kehilangan? Apa semuanya berbahagia melihatku bersedih? Tuhan, beri aku jawaban.  Apa setelah kepergiannya aku akan mendapatkan sosok yang lebih baik darinya? Kalaupun iya, aku tak yakin akan ada yang lebih baik darinya. Karena, dialah yang terbaik untukku..
***

Suatu pagi, di dalam kelas.
“Hei, Rani ya?” sapa seorang cowok yang memiliki tinggi lebih dariku.
Sepintas aku pun menoleh, “ya? ada apa ya?”
Cowok itu menampakkan senyumannya, “aku Bayu, anak kelas 2 IPA 1..”
Aku masih terpaku dan diam. Aku tak mengerti kenapa cowok ini menyebutkan namanya, padahal aku sama sekali tak menanyakan siapa namanya. Ah tapi cowok ini lumayan tampan. Tapi apa maksud dia datang menghampiriku ya?
“Hei?” katanya lagi sambil menggoyang-goyangkan tangannya di depan mukaku.
“Eh iya, kak. Ada apa ya, kak? Kok ke kelas aku?”
“Aku mau kenal kamu, boleh? Oh ya, ke sana yuk?” katanya sambil menunjuk ke arah pameran yang sedang dilangsungkan di sekolahku.
Aku diam, kemudian menatap wajah Kak Bayu yang sedikit memohon agar aku mau menuruti ajakannya. Dan akhirnya, aku mengangguk. Kak Bayu tersenyum lebar, kemudian meraih tanganku. Ah kenapa ia begitu bersemangat, aku yang sedikit risih lalu melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Eh, maaf ya. Aku terlalu seneng sih..” katanya.
“Iya, gak apa-apa, kak..” jawabku lalu berjalan disampingnya.
Ah kenapa hatiku jadi berdebar-debar seperti ini. Rasanya aku menjadi salah satu cewek beruntung yang bisa berjalan disamping Kak Bayu ini. Ia nampak begitu keren dengan sepatu sportnya. Ia nampak begitu mempesona dengan senyumannya yang indah itu. Ah rasanya masih banyak pujian yang harus ku lontarkan kepadanya. Tapi aku tau tak ada manusia yang sempurna, maka dari itu ia adalah sosok yang mendekati sempurna dengan keindahan yang dimilikinya.
“Mau makan apa, Ran?” tanya Kak Bayu.
“Terserah kakak aja..” jawabku.
Akhirnya Kak Bayu mengajakku duduk di kantin dan ia memesan makanan.
“Hmm, aku mau ngomong sama kamu, Ran. Boleh?” katanya dengan nada yang sedikit serius.
“Ini daritadi kan ngomong sama aku, kak?”
“Aduh jangan panggil kakak. Panggil Bayu aja, ya?”
“Ya tapi kakak kan kakak kelas aku?”
“Cuek aja, oke? Kita juga kan Cuma beda satu tahun, Ran..”
“Jadi aku manggilnya Bayu aja?”
“Iya, eh kamu cantik banget sih..” katanya lagi dan kali ini benar-benar membuat jantungku berdetak tak menentu. Entah apa yang kurasakan.
Pesanan makanan kami berdua pun datang, tapi kali ini agak aneh. Aku hanya diberikan satu piring kosong, bersih. Aku menaikkan alisku.
“Kok kosong?” kataku sedikit pelan.
“Coba kamu balik deh piringnya..” kata Bayu.
Aku pun segera membalik piring yang ada di depanku dan apa yang ku lihat. Terdapat tulisan disitu. Tulisannya, “Wanna be my girlfriend?”
Aku tersentak, aku bingung apa yang harus ku lakukan sekarang. Aku masih terpana melihat deretan tulisan yang ada dibalik piring ini.
“Ini maksudnya apa?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran.
“Itu buat kamu..”
“Dari siapa?”
“Yang sekarang ada dihadapanmu siapa?”
“Kamu..”
“Ya berarti dari aku untuk kamu..”
“Serius?”
“Enggak, ini bercanda. Seriusnya yang ada dibelakang kamu tuh..”
Aku segera menoleh ke belakangku dan ternyata teman-teman Bayu dan teman-temanku berdiri berderet membawa kertas yang bertulisan satu huruf, semua huruf itu digabungkan dan satu kalimat pun terbaca. Sama seperti apa yang ada dibalik piring tadi. Lalu dengan serentak mereka semua berteriak.
“Rani, terima Bayu ya...”
Aku benar-benar terkejut melihat semuanya. Aku benar-benar tak mengira kalau semuanya harus seperti ini. Mataku masih terpaku melihat deretan huruf-huruf itu. Bayu menyadarkanku.
“Hei, wanna be my girlfriend?” ia mengulanginya lagi.
“Kita baru kenal, Bayu. Kenapa secepat ini? Kamu belum tau siapa aku, begitu pula kamu..”
“Aku gak mau terlambat. Sudah sejak lama aku menyukaimu, aku memandangimu, namun belum tercetus niatku untuk mengungkapkan semuanya. Dan aku rasa aku tak ingin lagi terlalu lama memendam perasaan yang menyiksa ini. Aku menyayangi kamu, Rani..”
Aku melihat ketulusan terpancar dari mata milik Bayu. Lalu aku menoleh ke arah teman-temanku. Dan teman-temanku terus berteriak agar aku menerima Bayu. Dan akhirnya dengan kesungguhan hati, aku pun menganggukkan kepalaku.
“Kamu terima aku, Ran?”
“Iya, Bayu..”
Semua teman-temanku dan teman-temannya Bayu pun berteriak kegirangan. Bayu pun memelukku.
“Aku sayang kamu, Rani..” bisiknya ditelingaku.
“Aku juga sayang kamu, Bayu..”

***
Hari demi hari, bulan demi bulan kami lewati bersama. Kasih sayang ini terus bertambah. Entah kenapa Bayu terus menerus memanjakanku, ia terus menerus melakukan hal-hal yang membuatku terkagum-kagum dan membuatku sulit melupakan semuanya. Terlebih saat Bayu mengajakku untuk bertemu keluarga besarnya.

“Sayang, kamu dimana?” Bayu meneleponku.
“Di rumah, kenapa?”
“Malam ini ada acara? Aku mau ngajak kamu makan malam sama keluarga aku..”
“Jam berapa, sayang?”
“Jam 7 aku jemput ya?”
“Oke, sayang. See u ya..”
“Bye, love you..”
“Love you too, Bayu..”
Klik.
Malam ini aku harus berdandan yang istimewa agar keluarga besar Bayu senang melihatku. Aku membuka lemari pakaianku lalu mengambil dress kesayanganku. Aku sangat menyayangi dress ini, ini pemberian dari Ayahku. Dan aku akan menggunakan ini untuk acara nanti malam.

Pukul 7 malam.
“Assalamualaikum..” terdengar suara Bayu dibalik pintu depan rumahku.
“Waalaikumsalam..” aku menjawabnya lalu segera membukakan pintu.
Bayu masuk ke rumahku lalu bersalaman dengan kedua orang tuaku, kemudian meminta izin untuk mengajakku ke rumahnya. Karena sebelumnya aku sudah bilang kepada Ayah dan Ibu kalau malam ini aku akan ke rumah Bayu, akhirnya Ayah dan Ibu pun mengizinkanku untuk pergi bersama Bayu malam ini.
“Bu, Yah, Rani pergi dulu ya..” kataku kemudian mencium tangan Ayah dan Ibu.
Bayu pun melakukan hal yang sama.
Aku langsung masuk ke dalam mobilnya Bayu, di dalam mobil aku melihat wajah Bayu tak seperti biasanya. Ia nampak sedikit pucat.
“Kamu sakit ya?” tanyaku sambil mengelus pipinya manja.
Bayu menoleh lalu menggenggam tanganku, “mana mungkin aku sakit kalau mau makan malam sama kamu..”
Tapi tatapan matanya menandakan kalau ia sedang dalam kondisi yang kurang baik. Aku sedikit khawatir melihat kondisinya. Karena melihat wajahku yang sedari tadi khawatir akan kondisi Bayu, ia pun meyakinkanku kalau ia baik-baik saja.
Setelah beberapa lama di dalam mobil tiba-tiba saja aku melihat tetesan darah menetes dari hidungnya. Aku segera mengambil tissue yang ada didalam tasku, lalu segera mengusapkannya ke hidungnya. Bayu meraih tanganku yang tengah berusaha membersihkan darah yang terus menetes dari hidungnya.
“Kamu kenapa, sayang? Kalau emang kamu sakit, tolong bilang ke aku..” kataku kemudian menangis.
“Aku cuma kecapekan, sayang. Aku baik-baik aja selama ada kamu disamping aku..”
“Tapi hidung kamu berdarah terus daritadi..” air mataku semakin menjadi.
Bayu menggenggam tanganku.
“Jangan nangis ya? Ini cuma mimisan biasa aja kok, gak lebih. Jangan nangis dong..”
“Iya, janji ya kamu jangan sakit..”
“Iya sayang..”
Untunglah darah yang menetes dari hidungnya sudah berhenti. Tenanglah hatiku, ya Allah tolong jauhkan orang yang kusayangi ini dari segala macam penyakit..

Sesampainya di rumah Bayu.
“Kamu cantik sayang..” kata Bayu kemudian mengecup keningku sebelum turun dari mobil.
“Ah kamu bikin aku malu aja deh..”
“Bener kok, ya, udah yuk turun kasian tuh keluarga aku udah gak sabar mau liat kamu..”
Aku dan Bayu pun turun dari mobil, Bayu menggandeng tanganku. Wajahnya masih terlihat pucat, mungkin karena tadi darah yang menetes dari hidungnya lumayan banyak.

Saat masuk ke rumahnya Bayu, aku melihat keluarga besarnya sudah duduk di meja makan yang lumayan besar. Mama Bayu menghampiriku ramah.
“Oh ini yang selalu diceritain Bayu. Ayo duduk disini, Rani..” kata mamanya.
Aku pun duduk di kursi yang telah disediakan untukku. Bayu duduk disampingku. Keluarga ini sangat ramah dan hangat. Kami makan bersama, lalu setelah makan kami bergurau ria. Tapi di sela-sela perbincangan kami, Bayu meminta izin untuk pergi ke kamar mandi. Perasaanku tidak enak, akhirnya aku mengikutinya. Dan ternyata aku lihat Bayu tengah membersihkan darah yang keluar dari mulutnya. Apa yang terjadi pada diri Bayu? Kenapa ia mengeluarkan darah terus menerus? Apa dia sakit? Kenapa dia tak memberitahuku? Aku yang tak tahan melihat kondisi Bayu, langsung menghampirinya. Bayu yang kaget ketika melihat aku ada disampingnya, langsung buru-buru menyiram darah yang ada dilantai kamar mandi.
“Kamu kenapa? Itu darah apa? Kamu sakit? Cerita sama aku..” kataku sambil menahan air mataku.

Bayu menggandengku ke belakang rumahnya. Ia hanya berkata kalau ia kelelahan dan kurang tidur, tapi apakah separah ini? Ah semoga tak terjadi apa-apa pada dirinya. Bayu mengajakku lagi untuk berkumpul bersama keluarganya.
Pukul 9 malam, aku meminta izin untuk pulang ke rumah. Dan Bayu pun mengantarkanku pulang.
“Bilang terima kasih ya sama keluarga kamu, soalnya mereka semua udah baik banget sama aku..” kataku saat hendak turun dari mobil.
“Ya, kan kamu akan jadi bagian dari keluargaku juga, sayang..” jawab Bayu lalu mencium keningku.
“Aku pulang dulu ya, kamu hati-hati bawa mobilnya..” kataku lalu mencium punggung tangan Bayu.
“Iya, love you..”
“Love you too, sayang..” kataku lalu segera turun dari mobil Bayu.
Malam ini tak akan ku lupakan. Air mata yang metes seakan terbayar kala ku ingat keramahan keluarga besar Bayu yang amat sangat menerimaku. Lancarkan hubungan ini ya, Allah..
***

Sebulan kemudian.

Pagi, Rani. Maaf ya kalau selama 8 bulan ini aku ngga ngasih kamu kebahagiaan, aku sadar aku gak pantes buat kamu.
Satu pesan singkat dari Bayu yang sedikit membuatku kaget. Ada apa dengan Bayu? Kenapa tiba-tiba ia mengirimiku pesan seperti ini. Aku segera meneleponnya.
“Apa maksud sms kamu ini?” tanyaku.
“Maafin aku..” kata Bayu sedikit lemas terdengar dijauh sana.
“Maaf kenapa? Kamu gak punya salah sama aku..”
Kemudian hening.
“Kita harus putus..” suara Bayu memecahkan keheningan.
Aku tersentak, mataku mulai berkaca-kaca.
“Kenapa? Ada apa?”
“Maaf, kamu harus bisa tanpa aku..”
“Tolong jelasin ke aku..”
“Nanti kamu tau sendiri, sekali lagi maaf..”
“Bayu, kenapa?” suara ku sedikit terisak.
Klik.
Telepon mati begitu saja. Pagi ini bukanlah awal yang menyengkan. Tangisku semakin menjadi. Ada apa dengan Bayu?

Sementara itu di rumah sakit.
Bayu terlihat sangat lemas diatas ranjang rumah sakit. Ia ditemani oleh Dimas, adiknya.
“Dimas, tolong ambilin kertas sama pulpennya dong..” pinta Bayu kepada Dimas.
Dimas pun segera mengambilkan apa yang diminta kakaknya itu. Setelah memegang selembar kertas dan sebuah pulpen, Bayu pun menuliskan sesuatu dikertas itu. Setelah selesai menuliskan sesuatu dikertas itu, ia melipatnya dan memberikannya kepada Dimas.
“Dimas, lo kasihin ini ya sama Rani kalo nanti gue udah pergi. Gue mau tenang, Dim. Gue gak kuat nahan sakit ini..”
“Tapi kak, lo harus kuat. Gue gak mau sendirian di rumah..”
“Lo bisa, Dim. Jagain mama sama papah ya. Gue mau tidur dulu, Dim. Tolong selimutin gue..”
Dimas menangis lalu menutup setengah badan Bayu dengan selimut. Bayu pun menutup matanya dan tertidur. Dimas melihat ada ketenangan dimata milik kakaknya yang amat ia sayangi itu.

Rani yang tak kuat menahan tangisnya segera menelepon Bayu untuk meminta kejelasan dari semua ini.
“Bayu, kamu dimana? Aku perlu ketemu sekarang..”
“Kak, ini aku Dimas..”
“Dimas? Bayu dimana, dek? Aku mau ngomong sama dia..” air mataku menetes.
“Kak Bayu udah pergi, kak..” kata Dimas pelan.
“Pergi? Maksudnya?”
“Kakak kesini aja ya, sekarang kak..”
“Kamu dimana?”
“Di Rumah Sakit Harapan, kak. Cepetan ya, kak..”
Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung berlari keluar rumah untuk menghampiri Bayu. Kemana Bayu pergi? Kenapa Dimas ada di Rumah Sakit? Aku menunggu taksi di depan gang rumahku, akhirnya datanglah taksi yang akan membawaku menuju Rumah Sakit Harapan.
Sesampainya di Rumah Sakit Harapan...
Ku lihat Dimas tengah menangis di depan ruang UGD.
“Dimas? Kamu kenapa? Bayu dimana?” kataku sambil memeluk Dimas.
Dimas memelukku amat erat, “Kak Bayu pergi, kak..”
“Pergi?”
Dimas langsung menggandengku menuju suatu ruangan. Aku melihat Bayu tertidur diatas ranjang dengan selimut yang menutupi setengah badannya.
Matanya tertutup rapat.
“Bayu..” kataku lalu mendekat ke arahnya.
Tak ada jawaban dari Bayu.
Ku genggam tangannya, sejenak ku tak merasakan nadinya. Dan ternyata Bayu telah tiada.
“Tadi Kak Bayu nitip ini untuk Kak Rani. Dia bilang dia mau tidur..” kata Dimas sambil menyerahkan selembar kertas.
Air mataku perlahan menetes, lalu membaca isi surat dari Bayu.

Dear Rani sayangku,
Maaf kalau aku mendahuluimu. Maaf kalau aku membuatmu menangis 2 jam yang lalu. Maaf kalau aku memutuskan hubungan kita. Ini bukan kemauanku, aku hanya tak ingin kamu bersedih karena sakit yang ku derita ini.
2 tahun yang lalu, aku di vonis dokter terkena penyakit leukemia, sayang. Ini bukan sesuatu yang mudah untuk diterima. Aku tersiksa menahan sakit yang kurasa. Aku lelah dengan banyaknya darah yang tak henti-hentinya terus menetes disetiap waktuku.
Aku tak bermaksud menyembunyikan ini, aku hanya tak mau melihatmu bersedih karena harus tau penyakitku ini.
Jujur, kehidupanku berubah sejak kamu hadir. Sakitku seakan sirna sesaat kala ku jalani kebahagiaan bersamamu. Senyumanmu, membuatku mengerti sayangmu tulus. Sayangmu mampu kurasakan. Kamu menyayangiku? Aku lebih menyayangimu lebih dari yang kamu tau.
Jaga tetesan air matamu ya. jangan sampai menetes terus menerus ya.
Aku sayang kamu, Rani..
Bayu

Aku tak kuat menapaki kenyataan ini. Air mataku semakin deras, orang tua Bayu berusaha menenangkanku. Tapi semua ini terlalu sulit untuk diterima. Aku mencium kening Bayu untuk yang terakhir kalinya sebelum jasadnya dimandikan.
“Aku sayang kamu, Bayu..” ku bisikkan ditelinganya dan aku yakin ia mendengarnya walau ia tak mampu menjawabnya.