Selasa, 22 Mei 2012

Alone With MyFeel


“Senyumannya itu loh yang bikin aku  kepikiran terus sama dia..” gumam Permata sambil terus memperhatikan seuntai senyum yang dimiliki  Marvin, seorang cowok yang sedari dulu ia sukai. Ya, inilah yang biasa dilakukan Permata, seorang gadis pendiam. Mungkin karena memang sifatnya yang pendiam, ia lebih suka memandangi Marvin dari kejauhan, mulutnya tak berhenti mengagumi sosok Marvin.

“Gak bosen ngeliatin dia terus?” celetuk Renata, teman dekat Permata.
“Aku hanya mampu memandanginya, karena aku yakin aku tak akan mampu menggapainya..”  jawab Permata sambil terus memperhatikan Marvin.
“Ya ampun, Permata. Kamu sadar gak sih? Udah dua tahun loh kamu kayak gini..”
“Aku sadar banget, Ren. Mungkin suatu saat nanti dia akan ngeliat kalau ada aku disini yang udah sejak lama mengagumi sosoknya..”
“Kamu gak capek?”
“Kalau capek kenapa aku masih bertahan dengan perasaan ini?”
“Kamu hebat banget, Ta. 2 tahun kamu bertahan tetap suka sama Marvin tanpa pernah Marvin tau..”

Permata menahan tetesan air matanya, ia terharu ketika mendengar Renata berkata kalau ia hebat. Tanpa pernah Renata tau, kalau Permata seringkali menangis, bahkan hampir setiap hari ia selalu menangis kala ingat apa yang ia rasakan sekarang. Pertemuan 2 tahun yang lalu di SMA ini adalah pertemuan yang amat sangat disyukurinya. Pertemuan yang terlalu singkat memang, tapi sesingkat-sesingkatnya pertemuan itu kini masih menjadi kenangan yang diingat oleh Permata. Sama sekali tak pernah ada dikhayalannya kalau ia akan berkenalan dengan cowok seperti Marvin, cowok yang bisa dibilang adalah cowok populer di sekolahnya sekarang. Marvin adalah kapten basket dan dia juga adalah seorang ketua OSIS.
Pertemuannya dengan Marvin diawali saat ia pertama kali masuk ke SMA ini, sebenarnya ia baru sekali bercakap-cakap dengan Marvin, itu juga hanya saat perkenalan saja.

“Marvino Aderisya, panggil aja Marvin..” katanya pada saat itu.
Dengan gugup, Permata menyambut tangan Marvin.
“Permata Putri Shubhan, panggil aja Permata..”
Mereka saling berjabat tangan. Hati Permata terus menerus bergetar sampai pada saat Marvin melepaskan jabatan tangannya.  Kenapa ini? Kenapa senyumannya begitu menawan? Sampai lupa daratan aku dibawanya.
Sejak saat itu, Permata terus menerus memperhatikan dan mengagumi Marvin dari jauh. Ya, kenapa begitu? Karena ia sadar, Marvin terlalu indah untuknya. Apalagi ia tau, saat ini Marvin sudah mempunya kekasih, Lusi namanya. Ini bukan kali pertama Permata diam memendam cemburu yang mendalam kala ia tau Marvin sudah menjadi kekasih orang lain. Marvin pernah beberapa kali berpacaran dengan beberapa cewek populer di sekolah ini. Permata hanya mampu diam dan terus diam sambil menangis. Tapi kenapa ia menangis? Menangisinya yang bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Ah Permata bukanlah gadis yang bodoh, ia pasti melakukan semua itu karena ada suatu alasan, meskipun alasan itu hanyalah ia dan Tuhan yang tau.

“Kapan aku bisa ada disamping kamu? Kapan aku ada diposisinya “dia” pacar kamu?”
“Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku, Marvin?”
“Apa diam adalah cara terbaik untuk tetap menyayangi dan mengagumimu?”
“Aku akan tetap bertahan, aku akan tetap disini, aku akan tetap mengagumimu dari kejauhan..”
Ungkapan-ungkapan itu nampaknya hanyalah menjadi sampah yang akan terbuang sia-sia oleh Marvin.

Ketika tengah asyik memperhatikan Marvin yang tengah bermain basket, seorang mantan kekasih Marvin menghampiri Permata, Gendis namanya.
“Hai..” sapanya ramah.
Permata menengok dan sedikit kaget karena melihat Gendis ada disampingnya.
“Iya, Gendis. Ada apa?”
“Kamu tau namaku?”
“Iyalah, siapa sih yang gak kenal kamu? Gendis mantannya Marvin si kapten basket itu..”
“Hoalah gitu ya? Kamu suka ya sama Marvin?” tanyanya yang membuatku bingung apa yang harus aku jawab.
Aku diam sesaat.
“Kenapa kamu tanya gitu?”
“Aku sering melihat kamu sedang memperhatikan Marvin dari jauh..”
“Memangnya memandangi orang dari jauh itu berarti menyukai orang tersebut ya?”
“Ya, enggak sih. Tapi tatapan mata kan gak bisa bohong. Kamu jujur aja kalau kamu emang suka sama Marvin, aku bisa bantu kamu kok buat deket sama dia..”
“Hah?” Permata tersentak kaget.
“Bagaimana mungkin mantan pacar Marvin ingin membantunya untuk dekat dengan Marvin?” pikirnya.  Tapi Permata harus berpikir untuk ke depannya, bagaimana kalau Marvin malah menjauhinya kalau Marvin tau jika Permata menyukainya? Permata pun menolak apa yang ditawarkan Gendis.
“Aku gak suka kok sama Marvin, aku cuma seneng aja ngeliat dia main basket..” jawabku berbohong.
“Ya, udah kalau gak mau aku bantu. Maaf ya ganggu waktunya. Semoga gak ada penyesalan..” katanya lalu berlalu meninggalkan Permata.
“Penyesalan? Penyesalan apa?” gumamku.
***

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berganti tahun. Kini, aku telah mencapai kelulusan SMA ku.  Angkatanku tahun ini lulus 100%, terima kasih ya, Tuhan.

“Permataaaaa, aku lulus!” teriak Marvin sambil berlari ke arahku.
Aku tersenyum bangga, sambil menyaksikan kebahagiaan yang memancar dari wajah Marvin, wajah yang sedari dulu ku kagumi.
“Iya, selamat ya. Aku ikut seneng kok..”
“Makasih, Permata..” Marvin memelukku.

Astaga, ya Tuhan, bolehkah aku memintamu untuk menghentikan waktu saat ini? Aku tak ingin semuanya berakhir. Aku ingin terus merasakan pelukan ini. Marvin masih memelukku, entah apa maksudnya. Ingin rasanya saat ini juga aku ungkapkan bahwa aku menyayanginya, dari dulu sampai sekarang perasaan itu tak akan pernah berubah dan masih tetap bertahan. Tapi, aku tak mampu mengatakan semuanya. Tanpa terasa air mataku menetes, aku tak kuasa menahan semua ini. Andai Marvin tau perasaanku yang kupendam selama 3 tahun ini. Perasaan ini masih abadi, terbungkus senyumanmu yang selalu ku temui setiap hari. Perasaan ini tak pernah hilang, walau aku tau perasaan ini tak pernah ada di dirimu.

“Selamat juga ya kamu lulus, Ta..” kata Marvin seraya melepaskan pelukannya.
“Iya, makasih ya, Vin..” jawabku.

Setelah itu Marvin meninggalkan Permata dan berlari menuju teman-temannya yang lain. Sedangkan Permata hanya kembali diam dan duduk didalam kelas. Ia kembali mengingat apa yang dibilang Gendis, mantan kekasih Marvin. Ia bilang “Semoga gak ada penyesalan..” sampai sekarang kata-kata itu masih terus diingatnya.
“Penyesalan apa? Apa aku akan menyesal kalau terlalu lama memendam semua ini?” gumamku.

Permata mengambil beberapa lembar kertas dari dalam tasnya, lalu dituliskan diatasnya.

Dear Marvin, sampai kapan aku menunggu? Sampai kapan aku memandangimu? Sampai kapan aku mengharapkanmu? Hanya waktu yang akan menjawab semua pertanyaan bodohku ini. Aku tau, aku tak secantik mereka, aku tak sepopuler mereka. Ya, mereka. Mereka yang pernah dekat denganmu atau bahkan berpacaran denganmu. Aku iri dengan mereka, Vin. Aku ingin ada diposisi mereka, tapi aku bisa apa? Aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa bagimu.
3 tahun aku mengenalmu, tapi kenapa aku masih merasa menjadi orang asing untukmu? Kenapa Tuhan tak memberiku kesempatan untuk lebih dekat denganmu? Apa Tuhan memang menginginkan kita untuk bertemu, berbincang dna berjabat tangan denganmu sekali saja? Apa aku salah kalau aku berharap kita dapat lebih dari semua itu? Apa aku salah kalau aku ingin lebih dekat denganmu? Sekali saja.
Bahkan kalau bisa tadi aku ingin memberhentikan waktu saat kamu memelukku penuh rasa bahagia. Itu yang aku inginkan sedari dulu, saat pertama kali kurasakan sayang ini. Eh tunggu, ini bukan sayang, lebih dari itu, aku ingin memilikimu walau kamu terlalu abu-abu untukku. Kamu terlalu sulit kuraih. Jadi bagiku, cukuplah mengagumimu, memikirkanmu, merindukanmu, menyayangimu, tanpa perlu memilikimu.
Aku berharap, biarkanlah halangan untuk memilikimu itu ada tapi jangan sampai ada halangan untuk tetap merindukan dan mengagumimu.
Aku ingin kamu tau perasaanku, meski aku tak tau bagaimana reaksimu ketika mengetahui semuanya. Jadi lebih baik ku urungkan keinginanku itu, lebih baik aku diam dan biarkan waktu membuka semua rahasia ini.

Dari dalam kelas, Permata melihat Marvin tengah bercanda gurau dengan “Jasmin” seorang siswi kelas 1 yang sudah sekitar 4 bulan ini menjadi kekasihnya. Ia terlihat sangat bahagia ketika ternyata Jasmin memberikannya sepasang sepatu basket untuk hadiah kelulusannya.  Marvin memeluk  gadis yang disayanginya itu dengan penuh kasih. Aku yakin, Marvin dan Jasmin amat sangat saling menyayangi.
Tuhan, bolehkah aku cemburu diantara kasih sayang mereka? Bolehkah aku menangis melihat kebahagiaan mereka?

Berteman air mata, disisi kelas, berhadapan dengan pemandangan yang membuat air mata terkuras habis. Marvin, terima kasih atas pelukanmu tadi. Walaupun tak disertai rasa sayang, aku cukup senang. Dan aku tau pelukan itu takkan sama dengan pelukan yang kamu berikan kepada Jasmin, kekasihmu.
Biarkanlah air mata ini berbicara tentang semua perasaan yang kupendam sendiri, tak diketahui siapapun. Biarkan semua ini menjadi kisah, kisah yang belum terungkap bagaimana endingnya. Biarkan aku tetap mengagumi dan menyayangimu dari kejauhan. Biarkan aku memimpikanmu, karena aku yakin kamu takkan pernah menjadi nyata untukku. Biarkan aku tersiksa sendiri menahan cemburu yang membara. Biarkan aku selalu bersahabat dengan perasaan ini. Biarkan aku tersenyum menahan air mata, melihatmu bersamanya. Biarkan aku menyimpan semua harapan yang tak tau kapan akan terwujud.

Sampai saat ini, aku masih menunggu alasan, alasan dari kenapa aku masih menyayangimu sendiri, kenapa aku masih menunggu penyesalan dari alasan kenapa aku menyayangimu? Mungkin penyesalan itu takkan pernah ada, karena perasaan ini tulus, teramat tulus. Kalaupun memang ada penyesalan, biarkanlah penyesalan itu menjadi kenangan yang takkan pernah terlupa oleh masa. 

1 komentar: