Kamis, 26 Juli 2012

Cinta Itu, Aku. ( Part 1 )


Aku mencintai ketidaknyataan. Aku mencintai maya. Aku mencintai semu.
Kemana dia yang dulu? Kemana dia yang selalu ku rindu? Kemana  dia yang selalu ada? Kemana? Aku rindu dia, aku rindu semua tentangnya. Akankah kerindukanku berbalas?
Semuanya berawal dari sini, dari pertemuan yang enggan ku lupakan . Semuanya terasa indah, semuanya berjalan sesuai apa adanya kebahagiaan yang terjadi. Saat bersamanya, aku lupa apa itu sedih. Aku tak ingat apa itu tangis. Karena kebahagiaan yang terlalu itu membuatku buta akan semua itu. Ya, ini nyata, kamu pernah ada. Pernah menjadi alasan dari sumringah senyumanku. Tapi kini semuanya seakan berbalik, aku lupa apa itu senang. Aku sama sekali tak tau bagaimana caranya untuk mengembalikan kebahagiaan yang dulu menemaniku. Karena kebahagiaan itu telah pergi. Jauh. Aku tak tau kenapa dia pergi, aku tak tau kenapa dia meninggalkanku bersama hatinya yang masih tertinggal disampingku.
***

“Aku gak suka kamu.”
“Tapi aku suka kamu.”
“Aku gak sayang kamu.”
“Tapi aku sayang kamu.”
“Aku gak mau kamu jadi pacar aku.”
“Tapi aku akan tetep nunggu kamu sampai mau nerima aku.”

Ku cubit hidungnya, ku genggam tangannya. Nyaman, aku memang sering berguyon dengannya, kekasihku. Tunggu, kekasih? Kami tak pernah mengucap janji berpacaran, kami tak ada ikatan pacaran. Tapi kenapa aku begitu menggaguminya sebagai kekasihku? Mungkin, pendekatan ini terlalu mengesankan.
Terkadang aku bingung, apa arti genggaman ini. Genggaman tanganku dan tangannya yang sedari tadi belum terlepas. Aku menolak untuk melepaskannya, aku nyaman digenggamnya. Mentari senja perlahan mendekat, semakin indah cahayanya. Semakin hangat pula genggamanku. Di sisi pantai, terdudukku bersamanya.
“Apa yang kamu lakukan andai aku jadi matahari itu yang perlahan tenggelam?” tanya Fariz memecah keromantisan.
“Hmm, ada pertanyaan lain gak? Aku gak mau kamu tenggelam seperti matahari itu.” Jawabku sambil menatap bola matanya.
“Sekarang waktunya kita berandai-andai, aku tanya itu ke kamu.”
“Aku akan memohon pada Tuhan agar menghilangkan bulan, supaya kamu tetap menjadi matahari yang tak pernah tenggelam.”
Fariz menatapku cekat-cekat, “sungguh?”
Aku mengangguk, lalu memeluknya. Tuhan, aku memeluknya. Mimpikah ini? Ini yang pertama. Tiba-tiba saja Fariz melepaskan pelukanku.
“Gak bisa, Win.” katanya lalu membelakangiku.
“Gak bisa? Gak bisa kenapa?” tanyaku bingung.
“Kita gak bisa saling memiliki.” katanya pelan.

Aku terdiam.
Memiliki? Apa harus memiliki untuk saling sayang? Apa harus memiliki untuk berbagi rindu?
“Lalu mau kamu apa?” tanyaku sambil menahan tangis.
“Lebih baik kamu menjauh dariku.”

Astaga, ya Tuhan.. Dada ini terasa sesak, hati ini terasa sakit, kenapa ia goreskan kebahagiaan itu hanya dengan perkataannya yang menyakitkan ini? Aku diam, Fariz pun diam. Ombak seakan memaksa kami untuk menyaksikan keindahan mereka. Aku bingung, aku gundah, aku tak tau apa yang harus ku lakukan saat ini, detik ini. Ku mainkan jariku diatas pasir putih, ku coba buang kebingunganku. Tapi tak bisa, kebingungan itu semakin melekat. Inginku raih tangannya, ku genggam penuh kasih, tapi ya itu hanya sekedar inginku. Inginku yang belum tentu menjadi inginnya.

“Pergilah sebelum aku yang akan meninggalkanmu.” tegasnya lagi.
“Tidak, aku tak akan pergi dari sini.”
“Baiklah kalau itu maumu. Aku yang akan pergi.” Suaranya terdengar sedikit terisak.

Ia berdiri. Tapi ia belum berlalu dari sampingku.  Aku mampu menatap punggungnya, perlahan punggung itu semakin menjauh.

“Kamu mau kemana, Fariz? Tolong jangan menjauh.” teriakku.

Tapi Fariz sama sekali tak menoleh sedikitpun. Dia malah semakin menjauh, aku ingin berlari mengejarnya. Tapi Fariz terlalu jauh berjalan, aku tak mampu meraihnya. Ya, Tuhan, tolong bantu aku bangkit. Tolong bantu aku bangun dari semua anganku. Kenapa semuanya baru terasa menyakitkan? Kenapa semuanya baru terjadi kala sayang ini semakin bertambah, aku tak mampu lagi berkata-kata.

Keesokan pagi, ada sepucuk surat di depan pintu rumahku dan ini dari Fariz. Dengan bersemangat aku membukanya lalu membacanya.

Wina,
Aku tau kamu sayang sama aku, aku tau itu, sangat tau. Tapi maaf, aku tak pernah bermaksud membuatmu menangis, membuatmu kecewa, membuatmu tenggelam dalam kesedihan. Aku hanya mau menghabiskan sisa-sisa hidupku bersamamu, walau kita belum saling memiliki tapi aku bersyukur, aku bersyukur karena kamu sudah melengkapi kekosongan sisa-sisa waktuku.
Wina,
Kamu tau kenapa aku tak pernah mau menjawab pertanyaanmu tentang hubungan aku dan kamu? Aku takut, kamu gak akan kuat menjalani hubungan denganku nantinya. Maaf kalau aku menyembunyikan ini. Setelah pertemuan kita kemarin, aku langsung pergi ke bandara. Aku akan kuliah di Australia. Dan aku akan pulang ke Jakarta 8 tahun lagi. Aku tak ingin membuatmu menunggu lebih lama, Wina. Karena aku tau, tak pernah ada lelaki yang mau menyia-nyiakan wanita secantik kamu.
Wina,
Maaf kalau aku memintamu pergi meninggalkanku, karena semakin lama kamu disampingku, akan semakin bertambah pula harapanmu untuk menjadi kekasihku. Aku tak pungkiri, aku mengagumimu, aku menyukai senyumanmu, aku menyukai keramahanmu, tapi lagi-lagi jarak yang memaksaku untuk menyuruhmu menjauhiku. Sekali lagi, maafkan aku, Wina. Aku berjanji, setelah aku kembali dari Australia, aku akan meminangmu, aku akan memelukmu erat, aku akan berikan ciuman pertamaku untukmu.
Wina,
Tunggu aku 8 tahun lagi. Aku akan bawa semua cintaku untukmu. Sudikah kamu menungguku? Aku mohon, jangan menggeleng.
                                                               
                                                                                                                                                                           
Yang mencintaimu,
Fariz Ilham Majid

Menangis, itu yang pertama kali ku lakukan ketika membaca surat dari Fariz.
“Jadi kemarin pertemuan terakhirku dengannya?” gumamku lalu kembali menangis.

Aku duduk di teras rumahku, memandang indahnya langit pagi yang masih memaksaku untuk menikmati keindahannya. Tapi itu saja tak membuat air mataku berhenti menetes. Ku genggam surat dari Faris, ku ucapkan dalam hati.
“Mampukah aku menunggu selama itu? Aku memang menyayanginya, tapi aku ragu untuk menunggu selama itu.”

Tapi ku kuatkan dalam hati, aku akan menunggunya kembali, menunggunya yang telah membuatku bahagia, menunggunya yang telah membuatku mengerti apa itu cinta, ya Fariz. Hanya dia...
***
Rasanya baru kemarin Fariz pergi ke Australia, sekarang tepat sudah 8 tahun kepergiannya. Tak ada kabar sama sekali, tak taukah dia kalau aku memendam rindu?
Aku tak pernah bosan menunggunya. Setiap hari ku cek emailku, tapi tak ada satupun email dari Fariz. Apa dia lupa denganku? Apa dia lupa akan janjinya yang akan kembali lagi kesini? Aku tau dia bukan seorang yang pelupa.
Aku tak tau lagi kemana harus ku cari Fariz. Aku tak tau lagi apa yang harus ku lakukan. Aku hanya mampu menunggu dan terus menunggu sampai pada waktunya apa yang ku lakukan selama ini menjadi sesuatu yang sia-sia..

Seseorang datang ke rumahku, seorang pria. Ia memakai jas hitam, layaknya orang sukses kebanyakan. Ia membelakangi pintu rumahku. Nampaknya aku mengenali sosok ini.  

“Ada apa ya, Mas?” tanyaku.
Ia menoleh, ternyata dia Fariz. Dengan mata berkaca-kaca ku coba dekati dia, ku raba pipinya, dia tersenyum sambil memandangku. Matanya memancarkan kerinduan yang mendalam.
“Wina..” sapaan lembut dari bibirnya.
Tanpa menunggu waktu lama, aku peluk erat dirinya. Tapi Fariz tak membalas pelukanku, ada apa ini? Apa pancaran kerinduan dimatanya hanyalah kepalsuan? Aku melepaskan pelukanku. Fariz menangis, kemudian duduk di kursi dekat taman rumahku.
“Ada apa? Kenapa kamu dingin? Aku kangen kamu, Riz.” kataku penuh rindu.
“Maafin aku.”  katanya sambil mengeluarkan sepucuk kertas dari saku jasnya lalu memberikannya kepadaku.
Aku menerima kemudian membacanya. Ini undangan pernikahan. Terlihat dari cover depannya terdapat tulisan “Happy Wedding” . Fariz masih dingin, sesekali ia menyeka air matanya. Aku membuka halaman pertama dari undangan ini. Tertulis dua buah nama.

“Fariz Ilham Majid & Rahmadina Putri Santoso”

Aku tersentak kaget, air mataku langsung tercurah semua. Tanganku bergetar, mulutku kaku, menoleh pun aku tak mampu.
“Maafin aku, ini bukan kemauan aku, Win.” terdengar suara Fariz yang begitu lembut.
Aku masih terdiam. Surat undangan itu terjatuh dari tanganku.
“Jadi ini yang aku dapat setelah aku masih setia menunggumu kembali?” suaraku perlahan muncul.
“Ini kemauan mama. Kamu tau? Aku gak pernah nolak apapun yang mamaku suruh. Asal itu untuk kebahagiaan mama.” katanya lagi lalu meraih tanganku.
“Jangan pegang tanganku lagi, Riz. Ada tangan lain yang lebih pantas kamu raih.” kataku lalu melepaskan genggamannya, jujur aku merindukan genggamannya.
“Aku  cinta sama kamu, Wina.”
“Aku gak pantas untuk kamu cintai.” aku berlalu meninggalkan Fariz yang masih diam.
“Kamu pantas! Karena kamu sudah menunggu aku 8 tahun! Aku akan batalkan pernikahan ini, Wina! Demi kamu! Kamu yang sudah setia menungguku kembali kesini.” teriaknya.

Langkahku terhenti. Air mataku semakin deras, ya Tuhan, benarkah yang Fariz katakan. Belum sempat ku berbalik terdengar suara wanita memanggil Fariz. Aku rasa itu adalah calon istrinya. Aku mengurungkan niatku untuk berbalik kepadanya. Aku langsung masuk ke rumah dengan linangan air mata.
Di kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Aku melampiaskan semuanya dengan air mata. Mungkin dengan ini semuanya menjadi lebih baik. Tak lama kemudian, handphoneku bergetar. Fariz meneleponku.

“Aku sayang kamu, Wina.” Suaranya terdengar serak.
Aku terdiam.
“Jawab aku, aku kangen kamu. Aku gak mau terpaksa sama semua ini. Aku mau kamu. “
“Gak bisa, Riz. Ya, sudah ikuti saja apa kemauan mama kamu. Aku gak apa-apa kok, aku rela kamu sama dia. Mungkin dia bisa kasih kebahagiaan ke kamu, lebih dari apa yang aku mampu.”
“Gak. Dia gak akan bisa seperti kamu, Win.”
Klik.

Sengajaku matikan telepon itu karena aku tak sanggup mendengar suaranya, semakin lama ku dengar, semakin bertambah cinta ini.

- Bersambung - 

                                                                                                                                                                               
                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar