Aku mencintai
ketidaknyataan. Aku mencintai maya. Aku mencintai semu.
Kemana dia yang dulu?
Kemana dia yang selalu ku rindu? Kemana dia
yang selalu ada? Kemana? Aku rindu dia, aku rindu semua tentangnya. Akankah
kerindukanku berbalas?
Semuanya berawal dari sini, dari pertemuan yang enggan ku lupakan . Semuanya
terasa indah, semuanya berjalan sesuai apa adanya kebahagiaan yang terjadi.
Saat bersamanya, aku lupa apa itu sedih. Aku tak ingat apa itu tangis. Karena
kebahagiaan yang terlalu itu membuatku buta akan semua itu. Ya, ini nyata, kamu
pernah ada. Pernah menjadi alasan dari sumringah senyumanku. Tapi kini semuanya
seakan berbalik, aku lupa apa itu senang. Aku sama sekali tak tau bagaimana
caranya untuk mengembalikan kebahagiaan yang dulu menemaniku. Karena
kebahagiaan itu telah pergi. Jauh. Aku tak tau kenapa dia pergi, aku tak tau
kenapa dia meninggalkanku bersama hatinya yang masih tertinggal disampingku.
***
“Aku gak suka kamu.”
“Tapi aku suka kamu.”
“Aku gak sayang kamu.”
“Tapi aku sayang kamu.”
“Aku gak mau kamu jadi pacar aku.”
“Tapi aku akan tetep nunggu kamu sampai mau nerima aku.”
“Aku gak suka kamu.”
“Tapi aku suka kamu.”
“Aku gak sayang kamu.”
“Tapi aku sayang kamu.”
“Aku gak mau kamu jadi pacar aku.”
“Tapi aku akan tetep nunggu kamu sampai mau nerima aku.”
Ku cubit hidungnya, ku
genggam tangannya. Nyaman, aku memang sering berguyon dengannya, kekasihku.
Tunggu, kekasih? Kami tak pernah mengucap janji berpacaran, kami tak ada ikatan
pacaran. Tapi kenapa aku begitu menggaguminya sebagai kekasihku? Mungkin,
pendekatan ini terlalu mengesankan.
Terkadang aku bingung,
apa arti genggaman ini. Genggaman tanganku dan tangannya yang sedari tadi belum
terlepas. Aku menolak untuk melepaskannya, aku nyaman digenggamnya. Mentari
senja perlahan mendekat, semakin indah cahayanya. Semakin hangat pula
genggamanku. Di sisi pantai, terdudukku bersamanya.
“Apa yang kamu lakukan
andai aku jadi matahari itu yang perlahan tenggelam?” tanya Fariz memecah
keromantisan.
“Hmm, ada pertanyaan lain gak? Aku gak mau kamu tenggelam seperti matahari itu.” Jawabku sambil menatap bola matanya.
“Sekarang waktunya kita berandai-andai, aku tanya itu ke kamu.”
“Aku akan memohon pada Tuhan agar menghilangkan bulan, supaya kamu tetap menjadi matahari yang tak pernah tenggelam.”
“Hmm, ada pertanyaan lain gak? Aku gak mau kamu tenggelam seperti matahari itu.” Jawabku sambil menatap bola matanya.
“Sekarang waktunya kita berandai-andai, aku tanya itu ke kamu.”
“Aku akan memohon pada Tuhan agar menghilangkan bulan, supaya kamu tetap menjadi matahari yang tak pernah tenggelam.”
Fariz menatapku
cekat-cekat, “sungguh?”
Aku mengangguk, lalu memeluknya. Tuhan, aku memeluknya. Mimpikah ini? Ini yang pertama. Tiba-tiba saja Fariz melepaskan pelukanku.
Aku mengangguk, lalu memeluknya. Tuhan, aku memeluknya. Mimpikah ini? Ini yang pertama. Tiba-tiba saja Fariz melepaskan pelukanku.
“Gak bisa, Win.” katanya
lalu membelakangiku.
“Gak bisa? Gak bisa kenapa?” tanyaku bingung.
“Kita gak bisa saling memiliki.” katanya pelan.
“Gak bisa? Gak bisa kenapa?” tanyaku bingung.
“Kita gak bisa saling memiliki.” katanya pelan.
Aku terdiam.
Memiliki? Apa harus memiliki untuk saling sayang? Apa harus memiliki untuk berbagi rindu?
Memiliki? Apa harus memiliki untuk saling sayang? Apa harus memiliki untuk berbagi rindu?
“Lalu mau kamu apa?”
tanyaku sambil menahan tangis.
“Lebih baik kamu menjauh dariku.”
“Lebih baik kamu menjauh dariku.”
Astaga, ya Tuhan.. Dada
ini terasa sesak, hati ini terasa sakit, kenapa ia goreskan kebahagiaan itu
hanya dengan perkataannya yang menyakitkan ini? Aku diam, Fariz pun diam. Ombak
seakan memaksa kami untuk menyaksikan keindahan mereka. Aku bingung, aku
gundah, aku tak tau apa yang harus ku lakukan saat ini, detik ini. Ku mainkan
jariku diatas pasir putih, ku coba buang kebingunganku. Tapi tak bisa,
kebingungan itu semakin melekat. Inginku raih tangannya, ku genggam penuh
kasih, tapi ya itu hanya sekedar inginku. Inginku yang belum tentu menjadi
inginnya.
“Pergilah sebelum aku
yang akan meninggalkanmu.” tegasnya lagi.
“Tidak, aku tak akan pergi dari sini.”
“Baiklah kalau itu maumu. Aku yang akan pergi.” Suaranya terdengar sedikit terisak.
“Tidak, aku tak akan pergi dari sini.”
“Baiklah kalau itu maumu. Aku yang akan pergi.” Suaranya terdengar sedikit terisak.
Ia berdiri. Tapi ia belum
berlalu dari sampingku. Aku mampu
menatap punggungnya, perlahan punggung itu semakin menjauh.
“Kamu mau kemana, Fariz? Tolong
jangan menjauh.” teriakku.
Tapi Fariz sama sekali
tak menoleh sedikitpun. Dia malah semakin menjauh, aku ingin berlari
mengejarnya. Tapi Fariz terlalu jauh berjalan, aku tak mampu meraihnya. Ya,
Tuhan, tolong bantu aku bangkit. Tolong bantu aku bangun dari semua anganku. Kenapa
semuanya baru terasa menyakitkan? Kenapa semuanya baru terjadi kala sayang ini
semakin bertambah, aku tak mampu lagi berkata-kata.
Keesokan pagi, ada
sepucuk surat di depan pintu rumahku dan ini dari Fariz. Dengan bersemangat aku
membukanya lalu membacanya.
Wina,
Aku tau kamu sayang sama aku, aku tau itu, sangat tau. Tapi maaf, aku tak pernah bermaksud membuatmu menangis, membuatmu kecewa, membuatmu tenggelam dalam kesedihan. Aku hanya mau menghabiskan sisa-sisa hidupku bersamamu, walau kita belum saling memiliki tapi aku bersyukur, aku bersyukur karena kamu sudah melengkapi kekosongan sisa-sisa waktuku.
Aku tau kamu sayang sama aku, aku tau itu, sangat tau. Tapi maaf, aku tak pernah bermaksud membuatmu menangis, membuatmu kecewa, membuatmu tenggelam dalam kesedihan. Aku hanya mau menghabiskan sisa-sisa hidupku bersamamu, walau kita belum saling memiliki tapi aku bersyukur, aku bersyukur karena kamu sudah melengkapi kekosongan sisa-sisa waktuku.
Wina,
Kamu tau kenapa aku tak pernah mau menjawab pertanyaanmu tentang hubungan aku dan kamu? Aku takut, kamu gak akan kuat menjalani hubungan denganku nantinya. Maaf kalau aku menyembunyikan ini. Setelah pertemuan kita kemarin, aku langsung pergi ke bandara. Aku akan kuliah di Australia. Dan aku akan pulang ke Jakarta 8 tahun lagi. Aku tak ingin membuatmu menunggu lebih lama, Wina. Karena aku tau, tak pernah ada lelaki yang mau menyia-nyiakan wanita secantik kamu.
Kamu tau kenapa aku tak pernah mau menjawab pertanyaanmu tentang hubungan aku dan kamu? Aku takut, kamu gak akan kuat menjalani hubungan denganku nantinya. Maaf kalau aku menyembunyikan ini. Setelah pertemuan kita kemarin, aku langsung pergi ke bandara. Aku akan kuliah di Australia. Dan aku akan pulang ke Jakarta 8 tahun lagi. Aku tak ingin membuatmu menunggu lebih lama, Wina. Karena aku tau, tak pernah ada lelaki yang mau menyia-nyiakan wanita secantik kamu.
Wina,
Maaf kalau aku memintamu pergi meninggalkanku, karena semakin lama kamu disampingku, akan semakin bertambah pula harapanmu untuk menjadi kekasihku. Aku tak pungkiri, aku mengagumimu, aku menyukai senyumanmu, aku menyukai keramahanmu, tapi lagi-lagi jarak yang memaksaku untuk menyuruhmu menjauhiku. Sekali lagi, maafkan aku, Wina. Aku berjanji, setelah aku kembali dari Australia, aku akan meminangmu, aku akan memelukmu erat, aku akan berikan ciuman pertamaku untukmu.
Maaf kalau aku memintamu pergi meninggalkanku, karena semakin lama kamu disampingku, akan semakin bertambah pula harapanmu untuk menjadi kekasihku. Aku tak pungkiri, aku mengagumimu, aku menyukai senyumanmu, aku menyukai keramahanmu, tapi lagi-lagi jarak yang memaksaku untuk menyuruhmu menjauhiku. Sekali lagi, maafkan aku, Wina. Aku berjanji, setelah aku kembali dari Australia, aku akan meminangmu, aku akan memelukmu erat, aku akan berikan ciuman pertamaku untukmu.
Wina,
Tunggu aku 8 tahun lagi. Aku akan bawa semua cintaku untukmu. Sudikah kamu menungguku? Aku mohon, jangan menggeleng.
Tunggu aku 8 tahun lagi. Aku akan bawa semua cintaku untukmu. Sudikah kamu menungguku? Aku mohon, jangan menggeleng.
Yang
mencintaimu,
Fariz
Ilham Majid
Menangis, itu yang
pertama kali ku lakukan ketika membaca surat dari Fariz.
“Jadi kemarin pertemuan terakhirku dengannya?” gumamku lalu kembali menangis.
“Jadi kemarin pertemuan terakhirku dengannya?” gumamku lalu kembali menangis.
Aku duduk di teras
rumahku, memandang indahnya langit pagi yang masih memaksaku untuk menikmati
keindahannya. Tapi itu saja tak membuat air mataku berhenti menetes. Ku genggam
surat dari Faris, ku ucapkan dalam hati.
“Mampukah aku menunggu selama itu? Aku memang menyayanginya, tapi aku ragu untuk menunggu selama itu.”
Tapi ku kuatkan dalam hati, aku akan menunggunya kembali, menunggunya yang telah membuatku bahagia, menunggunya yang telah membuatku mengerti apa itu cinta, ya Fariz. Hanya dia...
“Mampukah aku menunggu selama itu? Aku memang menyayanginya, tapi aku ragu untuk menunggu selama itu.”
Tapi ku kuatkan dalam hati, aku akan menunggunya kembali, menunggunya yang telah membuatku bahagia, menunggunya yang telah membuatku mengerti apa itu cinta, ya Fariz. Hanya dia...
***
Rasanya baru kemarin Fariz pergi ke Australia, sekarang tepat sudah 8 tahun
kepergiannya. Tak ada kabar sama sekali, tak taukah dia kalau aku memendam
rindu?
Aku tak pernah bosan menunggunya. Setiap hari ku cek emailku, tapi tak ada satupun email dari Fariz. Apa dia lupa denganku? Apa dia lupa akan janjinya yang akan kembali lagi kesini? Aku tau dia bukan seorang yang pelupa.
Aku tak pernah bosan menunggunya. Setiap hari ku cek emailku, tapi tak ada satupun email dari Fariz. Apa dia lupa denganku? Apa dia lupa akan janjinya yang akan kembali lagi kesini? Aku tau dia bukan seorang yang pelupa.
Aku tak tau lagi kemana
harus ku cari Fariz. Aku tak tau lagi apa yang harus ku lakukan. Aku hanya
mampu menunggu dan terus menunggu sampai pada waktunya apa yang ku lakukan
selama ini menjadi sesuatu yang sia-sia..
Seseorang datang ke rumahku, seorang pria. Ia memakai jas hitam, layaknya orang sukses kebanyakan. Ia membelakangi pintu rumahku. Nampaknya aku mengenali sosok ini.
Seseorang datang ke rumahku, seorang pria. Ia memakai jas hitam, layaknya orang sukses kebanyakan. Ia membelakangi pintu rumahku. Nampaknya aku mengenali sosok ini.
“Ada apa ya, Mas?”
tanyaku.
Ia menoleh, ternyata dia Fariz. Dengan mata berkaca-kaca ku coba dekati dia, ku raba pipinya, dia tersenyum sambil memandangku. Matanya memancarkan kerinduan yang mendalam.
Ia menoleh, ternyata dia Fariz. Dengan mata berkaca-kaca ku coba dekati dia, ku raba pipinya, dia tersenyum sambil memandangku. Matanya memancarkan kerinduan yang mendalam.
“Wina..” sapaan lembut
dari bibirnya.
Tanpa menunggu waktu
lama, aku peluk erat dirinya. Tapi Fariz tak membalas pelukanku, ada apa ini?
Apa pancaran kerinduan dimatanya hanyalah kepalsuan? Aku melepaskan pelukanku.
Fariz menangis, kemudian duduk di kursi dekat taman rumahku.
“Ada apa? Kenapa kamu
dingin? Aku kangen kamu, Riz.” kataku penuh rindu.
“Maafin aku.” katanya sambil mengeluarkan sepucuk kertas dari saku jasnya lalu memberikannya kepadaku.
Aku menerima kemudian membacanya. Ini undangan pernikahan. Terlihat dari cover depannya terdapat tulisan “Happy Wedding” . Fariz masih dingin, sesekali ia menyeka air matanya. Aku membuka halaman pertama dari undangan ini. Tertulis dua buah nama.
“Maafin aku.” katanya sambil mengeluarkan sepucuk kertas dari saku jasnya lalu memberikannya kepadaku.
Aku menerima kemudian membacanya. Ini undangan pernikahan. Terlihat dari cover depannya terdapat tulisan “Happy Wedding” . Fariz masih dingin, sesekali ia menyeka air matanya. Aku membuka halaman pertama dari undangan ini. Tertulis dua buah nama.
“Fariz Ilham Majid & Rahmadina Putri Santoso”
Aku tersentak kaget, air
mataku langsung tercurah semua. Tanganku bergetar, mulutku kaku, menoleh pun
aku tak mampu.
“Maafin aku, ini bukan kemauan aku, Win.” terdengar suara Fariz yang begitu lembut.
“Maafin aku, ini bukan kemauan aku, Win.” terdengar suara Fariz yang begitu lembut.
Aku masih terdiam. Surat undangan
itu terjatuh dari tanganku.
“Jadi ini yang aku dapat setelah aku masih setia menunggumu kembali?” suaraku perlahan muncul.
“Ini kemauan mama. Kamu tau? Aku gak pernah nolak apapun yang mamaku suruh. Asal itu untuk kebahagiaan mama.” katanya lagi lalu meraih tanganku.
“Jangan pegang tanganku lagi, Riz. Ada tangan lain yang lebih pantas kamu raih.” kataku lalu melepaskan genggamannya, jujur aku merindukan genggamannya.
“Aku cinta sama kamu, Wina.”
“Aku gak pantas untuk kamu cintai.” aku berlalu meninggalkan Fariz yang masih diam.
“Kamu pantas! Karena kamu sudah menunggu aku 8 tahun! Aku akan batalkan pernikahan ini, Wina! Demi kamu! Kamu yang sudah setia menungguku kembali kesini.” teriaknya.
“Jadi ini yang aku dapat setelah aku masih setia menunggumu kembali?” suaraku perlahan muncul.
“Ini kemauan mama. Kamu tau? Aku gak pernah nolak apapun yang mamaku suruh. Asal itu untuk kebahagiaan mama.” katanya lagi lalu meraih tanganku.
“Jangan pegang tanganku lagi, Riz. Ada tangan lain yang lebih pantas kamu raih.” kataku lalu melepaskan genggamannya, jujur aku merindukan genggamannya.
“Aku cinta sama kamu, Wina.”
“Aku gak pantas untuk kamu cintai.” aku berlalu meninggalkan Fariz yang masih diam.
“Kamu pantas! Karena kamu sudah menunggu aku 8 tahun! Aku akan batalkan pernikahan ini, Wina! Demi kamu! Kamu yang sudah setia menungguku kembali kesini.” teriaknya.
Langkahku terhenti. Air
mataku semakin deras, ya Tuhan, benarkah yang Fariz katakan. Belum sempat ku
berbalik terdengar suara wanita memanggil Fariz. Aku rasa itu adalah calon
istrinya. Aku mengurungkan niatku untuk berbalik kepadanya. Aku langsung masuk
ke rumah dengan linangan air mata.
Di kamar, aku menangis
sejadi-jadinya. Aku melampiaskan semuanya dengan air mata. Mungkin dengan ini
semuanya menjadi lebih baik. Tak lama kemudian, handphoneku bergetar. Fariz
meneleponku.
“Aku sayang kamu, Wina.” Suaranya
terdengar serak.
Aku terdiam.
“Jawab aku, aku kangen
kamu. Aku gak mau terpaksa sama semua ini. Aku mau kamu. “
“Gak bisa, Riz. Ya, sudah
ikuti saja apa kemauan mama kamu. Aku gak apa-apa kok, aku rela kamu sama dia. Mungkin
dia bisa kasih kebahagiaan ke kamu, lebih dari apa yang aku mampu.”
“Gak. Dia gak akan bisa seperti
kamu, Win.”
Klik.
Sengajaku matikan telepon
itu karena aku tak sanggup mendengar suaranya, semakin lama ku dengar, semakin
bertambah cinta ini.
- Bersambung -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar