Rabu, 01 Agustus 2012

Cinta Itu, Aku ( Part 2 - Ending )


Kejadian kemarin benar-benar membuatku shock. Bagaimana tidak? Aku yang telah menghabiskan waktuku hanya untuk menunggunya kembali, kini hanya mampu melihat sepucuk surat undangan pernikahan dirinya dengan wanita lain. Tak pantaskah namaku bersanding dengan namanya disurat undangan tersebut? Ah lagi-lagi aku hanya menjadi seorang pengecut yang hanya mengandalkan air mata. Aku harus bagaimana? Merebutnya yang sudah menjadi milik wanita lain? Apa itu tak terlalu egois? Tapi kalau aku tinggal diam, sama aja aku tak mempertahankan cintaku.
Pernikahan mereka dilangsungkan minggu depan. Masih ada waktu untuk meraih genggamannya lagi, aku tak sudi ada tangan lain yang menggenggam jemarinya. Tapi apa aku mampu? Tuhan, bantu aku. Aku tak mungkin berhasil tanpa restumu.
Ku ambil handphoneku. Ternyata ada satu pesan masuk dari Fariz.          

“Aku kangen kamu, Wina”

Aku terdiam, kenapa Fariz seolah-seolah memberikan harapan lagi? Padahal pernikahannya dengan wanita itu tak akan lama lagi. Kenapa Fariz seolah-seolah tak ingin aku lupakan? Aku tak mungkin mengelak, aku tak mungkin pergi darinya selama ia masi terus menerus seperti ini.
Aku mengacuhkan pesannya. Aku coba pikirkan lagi bagaimana nanti ke depannya. Inginku gagalkan pernikahan itu, tapi aku akan berdosa karena sudah membatalkan kebahagiaan wanita itu. Lalu aku harus bagaimana? Tersenyum palsu menyaksikan senyuman merekah wanita itu? Apa aku harus tetap menyaksikan pernikahannya dan menangis tersedu? Ah aku benar-benar risau. Disaat kerisauanku ini mengganggu pikiranku, Kak Hamdan meneleponku. Kak Hamdan adalah kakak kandung dari Fariz. Ya, aku memang kenal akrab dengannya, terlebih saat ia menjadi kakak kelasku waktu SMA.
“Assalamualaikum.” salamnya ramah.
 “Waalaikumsalam, kak. Ada apa? Tumben banget loh telepon aku.”
“Hmm, gak ada apa-apa, dek. Cuma mau ngobrol aja, kita bisa ketemu gak sore ini? Ada yang mau aku omongin.”
“Sore ini, kak? Dimana?”
“Iya, dek. Hmm, di cafe Rainbow aja gimana, dek?”
“Oke, kak. Jam berapa?”
“Jam 4 aja, dek.”
“Jam 4, kak? Oke sip, kak. See you.”
“Iya dek. Wassalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Huh, ada apa ya dengan Kak Hamdan? Tumben sekali ia meneleponku dan mengajak bertemu. Aku rasa akan ada pembicaraan yang penting. Semoga ia dapat membantuku untuk menghilangkan kerisauan yang sedari tadi ku keluhkan. Ku tengok jam, masih pukul 1 siang. Aku tidur-tiduran sebentar selagi menunggu jam 4.
***

Di Cafe Rainbow..
“Wina ya?” sapa seorang lelaki berparas mirip Fariz, ya dialah Hamdan, kakak kandung dari Fariz.
“Iya, kak.”jawabku lalu menyalaminya.
Kak Hamdan duduk di depanku.
“Udah pesen minuman belum?” tanya Kak Hamdan.
“Udah kok, kak. Tinggal ditunggu aja.”
“Oh iya, Win. Hmm, maaf ya udah nunggu lama. Tadi macet banget.”
“Iya, gak apa-apa, kak. Ngomong-ngomong ada apa ya, kak? Tumben banget ngajak ketemu.”
“Iya, Win. Hmm, kamu udah tau pernikahannya Fariz sama Putri?” Kak Hamdan membuka pembicaraan.
“Iya, aku udah tau kak. Kemarin Fariz ke rumahku, bawa undangan pernikahannya.”
“Aku bener-bener kaget waktu tau pernikahan mereka. Karena jujur aja, semuanya serba mendadak, Win.”
“Mendadak? Mendadak gimana maksudnya, kak?”
“Ya, waktu Fariz kuliah di Ausy, kan aku nemenin dia disana. Terus ya tiba-tiba aja mama dan papanya aku tuh telepon ke nomor aku, mereka nyuruh aku buat pulang ke Jakarta. Ada masalah penting. Setelah aku pulang, ya terjadilah rencana pernikahan itu.” Jelas Kak Hamdan panjang lebar sampai kemudian pelayan datang membawakan dua gelas orange juice pesananku.
“Terima kasih, Mas.” kataku pada pelayan.
“Terus kak, Putri itu siapa? Kakak udah kenal siapa dia sebelumnya?” lanjutku.
“Putri itu anak dari temennya papah kakak, dek. Dan kayaknya emang mereka itu udah dijodohin sejak lama, dek.”
Aku menahan tangisku. Disela-sela tangis aku berkata, “aku sayang banget sama Fariz, kak. Aku gak rela dia sama wanita lain.”
Kak Hamdan menyeka air mataku, “jangan nangis, Wina. Aku tau apa yang kamu rasain. Sekarang tinggal bagaimana kita harus membatalkan acara pernikahan itu.”
“Bagaimana mungkin, kak? Undangan pernikahan mereka udah tersebar, semuanya mungkin sudah memiliki rencana yang baik.”
“Jangan nyerah dong, Wina. Kamu sendiri bilang gak rela ngeliat dia sama wanita lain, kan? Ayolah, tunjukin kalo kamu lebih pantas jadi pendamping Fariz.”
“Lalu aku harus gimana, kak?”
“Nanti aku akan bilang ini ke Fariz, aku cuma gak mau Fariz jatuh ke tangan wanita yang salah.”
“Rencana kakak apa?”
“Jadi gini, nanti aku akan suruh Fariz untuk berontak untuk pernikahan itu.”
“Tapi apa Fariz bisa, kak?”
“Gak ada kata gak bisa untuk sebuah ketulusan, dek.”
“Aku cuma bisa berdoa kak. Lalu nanti aku datang ke pernikahan mereka?”
“Iya, kamu datang. Setelah nanti dia berontak, dia akan gandeng kamu dan bilang ke mama papah, kalo kamulah yang selama ini dicintai Fariz. Ngerti, kan?”
“Oh, gitu, kak. Kalau begitu, aku ikut gimana kakak aja deh. Sekali lagi terima kasih ya, kak. Tadinya aku bingung banget harus gimana, dan setelah ketemu kakak ternyata kakak bisa bantuin aku. Sekali lagi terima kasih, kak.”
“Iya, dek. Diminum dulu yuk.” kata Kak Hamdan lalu menyeruput segelas orange juice ini.

Pertemuanku siang ini dengan Kak Hamdan benar-benar membuat kerisauanku hilang. Semoga semua rencana itu berjalan lancar.
***

Seminggu kemudian..
Satu pesan dari Fariz membuatku bersemangat menjalani pagi ini.
Wina, hari ini pernikahan yang tidak aku inginkan akan terlaksana. Aku sayang kamu, Wina. Kamu udh tau ttg rencananya Kak Hamdan? Aku harap semuanya akan berhasil, karena aku sama sekali tak ingin semuanya terjadi diatas kasih sayangku untukmu. Sampai ketemu nanti, sayang.
Senyuman langsung terpancar dari wajahku kala membaca pesannya. Ya, semoga semuanya berjalan lancar. Pukul 10 pagi, aku bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Fariz. Kak Hamdan sudah menyuruhku untuk datang tepat waktu. Karena ia mau semuanya berjalan lancar, tak berkurang sedikitpun. Aku naik taksi untuk menuju rumah Fariz. 10 menit diperjalanan, aku belum sampai juga di rumah Fariz. Kak Hamdan meneleponku.
“Kamu dimana, dek? Kok belum sampai? Cepet, jangan sampe semuanya terlambat.”
“Aku di jalan kak, macet banget ini.”
“Masih jauh?”
“Lumayan, kak.”
“Haduh, Wina. Acara akan dimulai 3o menit lagi.”
“Iya, kak. Aku usahain kesana kurang dari 30 menit.”
“Hati-hati ya, Wina.”
“Iya, kak.”
Klik.
Untungnya setelah macet disini, di depan sudah lancar lagi jalannya. Alhamdulillah, aku mengelus dada.
“Pak, bisa tolong agak cepat sedikit, gak?” pintaku kepada supir taksi.
“Iya, Mbak.”
Aku berharap-harap cemas. Aku takut rencanaku tak akan berjalan lancar. Ah sial, kemacetan yang lebih parah terdapat didepan. Aku harus bagaimana? Akhirnya aku pun turun dari taksi, lalu membayar argo taksinya dan berlari menuju rumah Fariz, karena sedari tadi aku mencari ojek tak ada satupun ojek yang ada di pangkalannya. Aku berlari sekuatku, rumah Fariz masih lumayan jauh dari sini. Aku tak peduli, aku terus berlari.
30 menit kemudian, tibalah aku di depan rumah Fariz. Ternyata semua harapan, semua doa, semua rencanaku gagal. Kalian tau bagaimana rasanya menyaksikan seseorang yang sangat kalian cintai tengah berijab kabul untuk wanita lain? Sakit, ya itu yang teramat dalam kurasakan. Kalian tau bagaimana reaksiku ketika melihat Fariz mengecup kening wanita itu? Aku hanya mampu diam, dengan keringat yang belum berhenti mengalir. Pernikahan itu telah tejadi. Aku terlambat, semua hadirin menyaksikanku penuh muka heran.
Kak Hamdan menghampiriku, “kita terlambat waktu.” Katanya singkat.
“Maafin aku, kak. Tadi bener-bener macet dan akhirnya aku kesini berlari sekuat tenaga aku. Tapi ternyata aku terlambat.”

Kak Hamdan memelukku, menyeka air mataku. Dari kejauhan aku menyaksikan Fariz tengah berbahagia bersama Putri. Fariz tak nampak sedih sedikitpun bersedih, aku masih ingat pesan Fariz tadi pagi, ia sempat bilang sayang kepadaku. Apakah arti sayang itu? Apa hanya untuk membuatku tersenyum sementara saja? Fariz, aku tak mengerti maksud permainanmu ini. Apa ini yang kamu mau? Menyaksikan dan menahan perih melihat kebahagiaanmu bersama wanita lain? Ini bukan kemauanku, Fariz.
Langkah gontai menyertaiku, Kak Hamdan mengantarkan aku pulang.
Di dalam mobil,
“Maafin aku, dek. Aku gak bisa bikin impian kamu terwujud.” Kata Kak Hamdan penuh muka bersalah.
“Gak apa-apa, kak. Mungkin emang udah jalannya kayak gini. Aku gak kenapa-kenapa dan aku akan coba rela, kak.” Aku menangis.
“Kamu jangan nangis, dek.” Kak Hamdan memberhentikan mobilnya, lalu menyeka air mataku.
Aku menoleh ke arah Kak Hamdan, matanya berkaca-kaca. Sepertinya ia benar-benar merasa bersalah. Aku berusaha meyakinkan kalau semua ini memang sudah takdir yang tak mungkin bisa diubah lagi.
“Fariz gak akan bahagia sama wanita itu.” Celetuk Kak Hamdan lalu mengendarai mobilnya lagi.
“Huss, kak. Jangan nogmong kayak gitu. Gimanapun juga, aku sayang dan cinta sama Fariz. Walaupun sekarang, Fariz udah jadi milik wanita lain.”
“Jodoh gak akan kemana, Win. Kalau memang takdirnya Fariz sama kamu, dia gak akan jauh kok.”
“Iya, kak.”
***

Hari ini benar-benar menjadi hari yang tak pernah aku inginkan. Fariz sudah berbahagia bersama wanita lain, wanita pilihan keluarganya. Mungkin ia akan bahagia, tapi aku akan lebih membahagiakan dia. Tapi yasudahlah, tak ada waktu lagi untuk berharap. Semuanya sudah terlambat. Biarkan Tuhan mengukir kehidupannya, tanpa aku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar