Kamis, 09 Agustus 2012

Mencintai Selembar Foto


Mencintai selembar foto. Mengaguminya yang tak nyata. Aku tak tau dimana gadis itu. Aku tak tau dimana gadis yang dulu pernah menemani hatiku. Aku tak tau dimana gadis yang dulu selalu berkuasa dipikiranku.

“Kamu tau gak kalau aku kangen kamu?” gumamku menatap selembar foto yang hampir  usang.

Tentu saja usang. Sudah sejak lama foto ini abadi diselipan buku besar milikku. Aku sengaja menaruhnya disitu, agar tak ada siapapun yang melihatnya.  Aku tak ingin ada lelaki lain yang akan menaruh hati kepada sosok diselembar foto ini. Biarkan aku dan hanya aku yang mencintainya, sampai detik ini.
                
                “Kamu sayang aku, kan?”
                “Kamu masih inget aku, kan?”
                “Kenapa kamu pergi secepat kilat?”

Ucapku sendiri dipojok taman. Sekelilingku nampak ramai, semuanya tertawa. Tapi kenapa mereka semua tak mampu menarik perhatianku dari sosok yang ada difoto ini.
               
                  “Asha, kamu bisa kesini gak? Temani aku, aku penat sendiri.”

Tak ada jawaban darinya. Aku masih menunggu sampai aku dengar lagi desis suaranya.

*** 

“Eh kok lo disini aja? Gak gabung sama yang lain?” sapa teman sekelasku.
“Gak, gue disini aja.”
“Lo tuh misterius banget sih, Lang.”

Aku tersentak.

“Misterius gimana maksud lo, Das?”
“Ya, setiap hari lo selalu sendiri disini. Terus kadang gue lihat lo ngomong sendiri dan lo terus bawa-bawa foto itu.” katanya sambil menunjuk ke arah foto Asha.

Aku terdiam. Ternyata banyak juga yang memperhatikanku.

“Ini?” jawabku sambil memperlihatkan foto Asha.
“Iya. Foto ini. Ini siapa, Lang?” tanya Dasta lagi.

Ah haruskah aku menceritakan ini kepada Dasta? Aku ragu. Tak lama, aku terdiam. Ku tarik nafasku.

“Kenapa, Lang? Gak mau cerita sama gue? Ya, gak apa-apa sih, mungkin itu privasi lo. Tapi gue sebagai teman, cuma mau bantu aja, Lang.”
“Ini foto orang yang amat sangat gue sayangi, Das.” Kataku sambil memandangi senyuman Asha.
“Pacar lo, Lang?”
Aku mengangguk, “ya, ini pacar gue. Dan sekarang, dia udah gak ada.”
“Gak ada? Dia meninggal?”
“Gak. Dia gak meninggal. Dia masih ada, Das. Gue bisa rasain dia ada disamping gue.”

Dasta terdiam.

“Gue gak ngerti, Lang. Lo bisa ceritain lebih detailnya gak? “
“Nanti siang, pulang sekolah, gue ceritain lebih banyak dari ini.”
“Oke, Lang. Jangan murung sendiri terus ya.”

***

Di sebuah rumah pohon yang hampir rapuh...

“Ini tempat apaan, Lang?” tanya Dasta ketika diajak masuk ke dalam rumah pohon ini.
“Disini pernah ada cerita, Das. Antara gue sama dia.”
“Dia? Dia siapa, Lang?”
“Asha.”
“Asha? Gadis yang ada di foto ini?”

Aku mengangguk. Lalu menarik sebuah kursi plastik dan ku duduki.

“Mungkin banyak orang yang menganggap gue ini aneh. Banyak yang menganggap gue misterius. Padahal sebenarnya nggak, Das. Gue cuma bingung gimana caranya melampiaskan semua kerinduan gue sama gadis yang ada di foto-foto itu. Lo tau? Disaat gue bener-bener sayang sama dia, dia pergi dan gak akan pernah kembali lagi. Itu bikin gue semakin terpuruk, Das. Gue gak bisa terima kenyataan pahit itu.” Aku mulau bercerita.

“Pergi dan gak akan kembali? Dia meninggal?” tanya Dasta.
“Kecelakaan itu, Das. Gue seharusnya pergi sama dia, dan gak disini.” Air mata perlahan menetes.
“Dia udah tenang disana, Lang. Jangan lo tangisin terus.” Dasta duduk disampingku.
“Dia gak akan tenang, Das. Gue belum nyusul dia, dia pasti sendirian disana.”

***

Angin perlahan menyapu pekarangan rumah. Matahari perlahan terbenam, hari mulai malam. Dasta izin pulang karena ia sudah tau apa yang sebenarnya aku alami dan hanya Dasta-lah yang pertama kali ku ceritakan tentang Asha. Mungkin aku memang sudah ditakdirkan untuk bertemu seorang sobat seperti Dasta, ia cantik tapi Asha jauh lebih cantik dari Dasta. Aku tak tau kenapa Dasta begitu ingin tau lebih banyak tentangku dan tentang hidupku yang tak terlalu menyenangkan ini. Tapi Dasta bilang, ia kagum denganku yang masih menunggu Asha, walaupun ia tau Asha telah tiada.
Aku masih terdiam disini, seperti biasa, melampiaskan rinduku pada selembar foto.  Ku pandang lagi senyumannya, aku masih sangat mencintai sosok difoto ini. Andai kecelakaan itu tak akan pernah terjadi.

“Pelan-pelan bawa mobilnya, Lang.” Pesan Asha.

“Kalo pelan-pelan, nanti kita gak kebagian tiket, sayang.” Jawabku lalu memacu lagi laju mobilku.

“Nanti kecelakaan, gimana?”

Aku menoleh ke arah Asha yang duduk disampingku.

“Gak akan, sayang.” Ku elus rambutnya.

Naas, saat kejadian itu aku tak memandang lurus ke arah depan. Sebuah mobil truk gandeng menghantam mobilku. Asha berteriak sejadi-jadinya, aku langsung membanting stir mobil ke arah kiri, sial aku menabrak sebuah pohon besar.

“Elaaaaaaang...”

Aku sempat dengar teriakan Asha menyebut namaku.  Aku genggam erat tangannya saat hantaman itu terjadi, aku tak dapat rasakan apa-apa. Kakiku tak mampu ku gerakkan lagi. Aku hanya mampu melihat kening Asha yang berlumuran darah. Aku lemas, tak mampu lagi dan tak tau harus melakukan apapun. Aku dan Asha pun tergeletak lemah didalam mobil yang hampir hancur ini.

Sekumpulan orang datang menghampiri mobilku. Mereka semua berusaha mengeluarkanku yang tergencet didalam mobil. Asha berhasil dikeluarkan terlebih dulu, untunglah. 10 menit kemudian, aku berhasil dikeluarkan. Aku dan Asha dibawa menuju Rumah Sakit terdekat.

“Asha dimana?” teriakanku yang pertama kali keluar dari mulutku.
“Tenang, Mas. Lebih baik sekarang anda istirahat dan jangan banyak gerak dulu, supaya lukanya cepat kering.” Seorang suster berdiri disampingku.
“Pacar saya dimana, Suster?” tanyaku.
“Wanita yang bersama anda? Dia sedang ditangani tim medis lain di UGD.”
“Dia baik-baik aja, kan, Suster?”
“Berdoalah.”
***

4 hari aku masih terbaring lemah di Rumah Sakit ini. Dan sudah 4 hari pula aku tak melihat Asha, dokter selalu melarangku untuk menemuinya. Aku tak tau kenapa. Ayah dan Bunda selalu datang menemaniku disini, mereka juga melarangku dan selalu mengelak ketika aku menanyakan Asha. Sebenarnya ada sandiwara apa disini? Kenapa mereka seakan-akan menyembunyikan ini?

“Bunda, dimana Asha? Elang kangen dia.”
“Lebih baik kamu istirahat supaya cepat sembuh.”
“Asha gak kenapa-kenapa, kan, Bunda?”
Bunda terdiam.
***

Seminggu sudah aku disini dan masih belum bisa menemui Asha. Aku tak mampu menahan rindu lebih lama dari ini. Aku bangkit dari ranjang dan langsung duduk dikursi rodaku, lalu menuju UGD dimana Asha berada. Aku menuju meja receptionist.

“Suster, saya mau tanya dimana pacar saya berada.”
“Pacar?” suster menaikkan alisnya, heran.
“Iya, seminggu yang lalu. Saya mengalami kecelakaan bersama dia. Dan Dokter bilang, pacar saya ada diruang UGD.”
“Namanya siapa?”
“Asha.” Jawabku singkat.
“Pasien bernama Asha yang mengalami kecelakaan seminggu yang lalu telah meninggal, Dek.”
Aku tersentak, tak percaya? Tentu.
“Apa, Suster? Meninggal? Gak mungkin, Suster. Dokter dan Suster yang lain bilang kalau dia masih dirawat disini.”
“Tapi pasien bernama Asha telah meninggal 3 jam setelah kecelakaan itu, Dek.”

Air mataku rasanya terkuras saat itu juga. Aku tak sangka semuanya telah membohongiku. Asha telah tiada, dan semuanya? Semuanya karena ulahku. Tapi aku belum percaya kalau Asha telah tiada, aku langsung menanyakan semuanya kepada Ayah dan Bunda.

“Ayah, apa benar Asha udah gak ada? Kenapa gak ada yang kasih tau Elang?”

Ayah dan Bunda terdiam.

“Ayah sama Bunda kenapa diam? Ayah sama Bunda gak sayang ya sama Elang? Ayah sama Bunda seneng lihat Elang sedih?”

Bunda memelukku.

“Bunda cuma gak mau Elang sedih, lagi pula Elang harus sembuhin luka dikaki Elang.”
“Tapi ini soal Asha, Bunda. Bukan soal sakit yang ada di diri Elang.”
***

Siang itu, Ayah dan Bunda mengajakku ke sebuah pemakaman. Aku tau disinilah jasad kekasihku tinggal. Ayah mendorong kursi rodaku, aku masih belum mampu berjalan saat itu, luka dikakiku belum kering.
Ayah berhenti di depan sebuah makam, bertuliskan “Asharina Wardana” makam ini nampak masih basah, belum terlalu kering. Aku meminta Ayah untuk menurunkanku dari kursi roda, terdudukku disamping makam Asha yang nampak mewangi harum bunga kenanga.

Ku usap batu nisannya, ku pandangi sederet nama itu.
                “Asha, maafin aku. Seharusnya kita pergi bersama-sama.” ucapku.
Bunda datang  membawa sebotol air mawar dan serangkaian bunga. Aku menyiram air mawar ini ke atas makam Asha. Ku taburkan bunga-bunga ini diatasnya. Ku sesalkan dalam hati kenapa kepergiannya hanya seorang diri? Kenapa aku tak habis dalam kecelakaan itu?

“Tuhan punya rencana lain.” Begitu kata Bunda yang sampai sekarang masih terngiang ditelingaku.
***

Dasta menghampiriku.
“Gue cemburu sama Asha.” Katanya mengagetkanku.
“Cemburu? Tapi lo gak kenal dia, Das.”
“Memang. Tapi gue cemburu sama dia, karena orang yang gue sayang dari dulu ternyata masih sayang banget sama dia.”
“Orang yang lo sayang?”
“Iya, lo, Lang!”
“Lo sayang sama gue?”
“Udah lama. Tapi lo gak pernah sadar.”
Aku terdiam.
“Tapi lo tau, kan? Gue gak akan bisa sayang sama lo. Gue bener-bener gak bisa buang Asha dari hati gue.”
“Iya, gue tau. Gue juga gak maksa, gue Cuma mau lo tau aja. Ya, udah gue duluan ya.”
Dasta meninggalkanku.
***

Seperti biasa, dinginnya malam ini menemaniku, bersender rindu untuk Asha. Fotonya masih abadi disini.  Tak tau kenapa tiba-tiba terdesis segumpalan suara. Aku mengenali suara itu, ya, itu Asha. Tapi tak ada sosok Asha, aku hanya mampu mendengar suaranya.

“Asha, dimana kamu?”

“Lebih baik, kamu terima Dasta. Ia tulus menyayangi kamu.”

“Gak bisa, Sha. Aku gak bisa sayang sama dia sementara sayang aku untuk kamu gak pernah hilang. Kamu dimana, Sha? Tolong duduk disamping aku.”

“Aku akan bahagia sekali kalau kamu menjadikan ia kekasihmu.”

Aku tak tau kenapa Asha begitu memaksaku untuk menjadikan Dasta kekasihku. Padahal sayangku untuk Asha belum luntur.

“Aku mohon, jadikan dia kekasihmu, Lang.” Suara itu terdengar lagi.
Aku menggeleng lagi.

“Aku sedih melihat kamu terus menerus menangisiku. Aku tak ingin melihat kamu terus dirundung sedih. Aku yakin, dia akan berikan kamu kebahagiaan, lebih dari yang aku bisa.”

Perlahan suara itu semakin menghilang, aku sontak terbangun. Astaga tadi itu mimpi. Aku memimpikan Asha untuk yang kesekian kalinya. Tapi baru kali ini Asha berbicara seperti itu.  Apa maksudnya?
Aku keluar dari kamarku di rumah pohon ini dan ada Dasta disana. Ia sedang menyiapkan sarapan untukku. Entah kenapa aku merasakan ada sosok Asha dalam dirinya. Ia menoleh.

“Udah bangun? Ini udah aku bikinin sarapan.”

Aku duduk dikursi, sambil menatap wajah Dasta. Tapi apa yang kulihat? Selintas wajah Asha ada diwajahnya. Aku langsung memeluknya penuh rindu.

“Aku kangen kamu, Sha. Jangan pergi lagi, sebentar saja disini.”

Aku tak tau siapa sosok yang ku peluk ini, entah Asha ataupun Dasta. Yang pasti aku merasakan ada senyuman Asha terselip disenyum Dasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar