Mencintai selembar foto.
Mengaguminya yang tak nyata. Aku tak tau dimana gadis itu. Aku tak tau dimana
gadis yang dulu pernah menemani hatiku. Aku tak tau dimana gadis yang dulu
selalu berkuasa dipikiranku.
“Kamu tau gak kalau aku kangen
kamu?” gumamku menatap selembar foto yang hampir usang.
Tentu saja usang. Sudah
sejak lama foto ini abadi diselipan buku besar milikku. Aku sengaja menaruhnya
disitu, agar tak ada siapapun yang melihatnya.
Aku tak ingin ada lelaki lain yang akan menaruh hati kepada sosok
diselembar foto ini. Biarkan aku dan hanya aku yang mencintainya, sampai detik
ini.
“Kamu sayang
aku, kan?”
“Kamu
masih inget aku, kan?”
“Kenapa
kamu pergi secepat kilat?”
Ucapku sendiri dipojok taman.
Sekelilingku nampak ramai, semuanya tertawa. Tapi kenapa mereka semua tak mampu
menarik perhatianku dari sosok yang ada difoto ini.
“Asha, kamu
bisa kesini gak? Temani aku, aku penat sendiri.”
Tak ada jawaban darinya.
Aku masih menunggu sampai aku dengar lagi desis suaranya.
“Eh kok lo disini aja? Gak gabung sama yang lain?” sapa teman sekelasku.
“Gak, gue disini aja.”
“Lo tuh misterius banget
sih, Lang.”
Aku tersentak.
“Misterius gimana maksud
lo, Das?”
“Ya, setiap hari lo
selalu sendiri disini. Terus kadang gue lihat lo ngomong sendiri dan lo terus
bawa-bawa foto itu.” katanya sambil menunjuk ke arah foto Asha.
Aku terdiam. Ternyata
banyak juga yang memperhatikanku.
“Ini?” jawabku sambil memperlihatkan
foto Asha.
“Iya. Foto ini. Ini
siapa, Lang?” tanya Dasta lagi.
Ah haruskah aku
menceritakan ini kepada Dasta? Aku ragu. Tak lama, aku terdiam. Ku tarik
nafasku.
“Kenapa, Lang? Gak mau
cerita sama gue? Ya, gak apa-apa sih, mungkin itu privasi lo. Tapi gue sebagai
teman, cuma mau bantu aja, Lang.”
“Ini foto orang yang amat
sangat gue sayangi, Das.” Kataku sambil memandangi senyuman Asha.
“Pacar lo, Lang?”
Aku mengangguk, “ya, ini
pacar gue. Dan sekarang, dia udah gak ada.”
“Gak ada? Dia meninggal?”
“Gak. Dia gak meninggal.
Dia masih ada, Das. Gue bisa rasain dia ada disamping gue.”
Dasta terdiam.
“Gue gak ngerti, Lang. Lo
bisa ceritain lebih detailnya gak? “
“Nanti siang, pulang
sekolah, gue ceritain lebih banyak dari ini.”
“Oke, Lang. Jangan murung
sendiri terus ya.”
***
Di sebuah rumah pohon
yang hampir rapuh...
“Ini tempat apaan, Lang?”
tanya Dasta ketika diajak masuk ke dalam rumah pohon ini.
“Disini pernah ada
cerita, Das. Antara gue sama dia.”
“Dia? Dia siapa, Lang?”
“Asha.”
“Asha? Gadis yang ada di
foto ini?”
Aku mengangguk. Lalu
menarik sebuah kursi plastik dan ku duduki.
“Mungkin banyak orang
yang menganggap gue ini aneh. Banyak yang menganggap gue misterius. Padahal sebenarnya
nggak, Das. Gue cuma bingung gimana caranya melampiaskan semua kerinduan gue
sama gadis yang ada di foto-foto itu. Lo tau? Disaat gue bener-bener sayang
sama dia, dia pergi dan gak akan pernah kembali lagi. Itu bikin gue semakin
terpuruk, Das. Gue gak bisa terima kenyataan pahit itu.” Aku mulau bercerita.
“Pergi dan gak akan
kembali? Dia meninggal?” tanya Dasta.
“Kecelakaan itu, Das. Gue
seharusnya pergi sama dia, dan gak disini.” Air mata perlahan menetes.
“Dia udah tenang disana,
Lang. Jangan lo tangisin terus.” Dasta duduk disampingku.
“Dia gak akan tenang,
Das. Gue belum nyusul dia, dia pasti sendirian disana.”
***
Angin perlahan menyapu pekarangan rumah. Matahari perlahan terbenam, hari mulai malam. Dasta izin pulang karena ia sudah tau apa yang sebenarnya aku alami dan hanya Dasta-lah yang pertama kali ku ceritakan tentang Asha. Mungkin aku memang sudah ditakdirkan untuk bertemu seorang sobat seperti Dasta, ia cantik tapi Asha jauh lebih cantik dari Dasta. Aku tak tau kenapa Dasta begitu ingin tau lebih banyak tentangku dan tentang hidupku yang tak terlalu menyenangkan ini. Tapi Dasta bilang, ia kagum denganku yang masih menunggu Asha, walaupun ia tau Asha telah tiada.
Angin perlahan menyapu pekarangan rumah. Matahari perlahan terbenam, hari mulai malam. Dasta izin pulang karena ia sudah tau apa yang sebenarnya aku alami dan hanya Dasta-lah yang pertama kali ku ceritakan tentang Asha. Mungkin aku memang sudah ditakdirkan untuk bertemu seorang sobat seperti Dasta, ia cantik tapi Asha jauh lebih cantik dari Dasta. Aku tak tau kenapa Dasta begitu ingin tau lebih banyak tentangku dan tentang hidupku yang tak terlalu menyenangkan ini. Tapi Dasta bilang, ia kagum denganku yang masih menunggu Asha, walaupun ia tau Asha telah tiada.
Aku masih terdiam disini,
seperti biasa, melampiaskan rinduku pada selembar foto. Ku pandang lagi senyumannya, aku masih sangat
mencintai sosok difoto ini. Andai kecelakaan itu tak akan pernah terjadi.
“Pelan-pelan bawa mobilnya, Lang.” Pesan Asha.
“Kalo pelan-pelan, nanti kita gak kebagian tiket,
sayang.” Jawabku lalu memacu lagi laju mobilku.
“Nanti kecelakaan, gimana?”
Aku menoleh ke arah Asha yang duduk disampingku.
“Gak akan, sayang.” Ku elus rambutnya.
Naas, saat kejadian itu
aku tak memandang lurus ke arah depan. Sebuah mobil truk gandeng menghantam
mobilku. Asha berteriak sejadi-jadinya, aku langsung membanting stir mobil ke
arah kiri, sial aku menabrak sebuah pohon besar.
“Elaaaaaaang...”
Aku sempat dengar
teriakan Asha menyebut namaku. Aku
genggam erat tangannya saat hantaman itu terjadi, aku tak dapat rasakan
apa-apa. Kakiku tak mampu ku gerakkan lagi. Aku hanya mampu melihat kening Asha
yang berlumuran darah. Aku lemas, tak mampu lagi dan tak tau harus melakukan
apapun. Aku dan Asha pun tergeletak lemah didalam mobil yang hampir hancur ini.
Sekumpulan orang datang
menghampiri mobilku. Mereka semua berusaha mengeluarkanku yang tergencet didalam
mobil. Asha berhasil dikeluarkan terlebih dulu, untunglah. 10 menit kemudian,
aku berhasil dikeluarkan. Aku dan Asha dibawa menuju Rumah Sakit terdekat.
“Asha dimana?” teriakanku
yang pertama kali keluar dari mulutku.
“Tenang, Mas. Lebih baik sekarang
anda istirahat dan jangan banyak gerak dulu, supaya lukanya cepat kering.” Seorang
suster berdiri disampingku.
“Pacar saya dimana,
Suster?” tanyaku.
“Wanita yang bersama
anda? Dia sedang ditangani tim medis lain di UGD.”
“Dia baik-baik aja, kan,
Suster?”
“Berdoalah.”
***
4 hari aku masih terbaring lemah di Rumah Sakit ini. Dan sudah 4 hari pula aku tak melihat Asha, dokter selalu melarangku untuk menemuinya. Aku tak tau kenapa. Ayah dan Bunda selalu datang menemaniku disini, mereka juga melarangku dan selalu mengelak ketika aku menanyakan Asha. Sebenarnya ada sandiwara apa disini? Kenapa mereka seakan-akan menyembunyikan ini?
4 hari aku masih terbaring lemah di Rumah Sakit ini. Dan sudah 4 hari pula aku tak melihat Asha, dokter selalu melarangku untuk menemuinya. Aku tak tau kenapa. Ayah dan Bunda selalu datang menemaniku disini, mereka juga melarangku dan selalu mengelak ketika aku menanyakan Asha. Sebenarnya ada sandiwara apa disini? Kenapa mereka seakan-akan menyembunyikan ini?
“Bunda, dimana Asha?
Elang kangen dia.”
“Lebih baik kamu
istirahat supaya cepat sembuh.”
“Asha gak kenapa-kenapa,
kan, Bunda?”
Bunda terdiam.
***
Seminggu sudah aku disini dan masih belum bisa menemui Asha. Aku tak mampu menahan rindu lebih lama dari ini. Aku bangkit dari ranjang dan langsung duduk dikursi rodaku, lalu menuju UGD dimana Asha berada. Aku menuju meja receptionist.
Seminggu sudah aku disini dan masih belum bisa menemui Asha. Aku tak mampu menahan rindu lebih lama dari ini. Aku bangkit dari ranjang dan langsung duduk dikursi rodaku, lalu menuju UGD dimana Asha berada. Aku menuju meja receptionist.
“Suster, saya mau tanya
dimana pacar saya berada.”
“Pacar?” suster menaikkan
alisnya, heran.
“Iya, seminggu yang lalu.
Saya mengalami kecelakaan bersama dia. Dan Dokter bilang, pacar saya ada
diruang UGD.”
“Namanya siapa?”
“Asha.” Jawabku singkat.
“Pasien bernama Asha yang
mengalami kecelakaan seminggu yang lalu telah meninggal, Dek.”
Aku tersentak, tak
percaya? Tentu.
“Apa, Suster? Meninggal? Gak
mungkin, Suster. Dokter dan Suster yang lain bilang kalau dia masih dirawat
disini.”
“Tapi pasien bernama Asha
telah meninggal 3 jam setelah kecelakaan itu, Dek.”
Air mataku rasanya terkuras
saat itu juga. Aku tak sangka semuanya telah membohongiku. Asha telah tiada,
dan semuanya? Semuanya karena ulahku. Tapi aku belum percaya kalau Asha telah
tiada, aku langsung menanyakan semuanya kepada Ayah dan Bunda.
“Ayah, apa benar Asha
udah gak ada? Kenapa gak ada yang kasih tau Elang?”
Ayah dan Bunda terdiam.
“Ayah sama Bunda kenapa
diam? Ayah sama Bunda gak sayang ya sama Elang? Ayah sama Bunda seneng lihat
Elang sedih?”
Bunda memelukku.
“Bunda cuma gak mau Elang
sedih, lagi pula Elang harus sembuhin luka dikaki Elang.”
“Tapi ini soal Asha,
Bunda. Bukan soal sakit yang ada di diri Elang.”
***
Siang itu, Ayah dan Bunda mengajakku ke sebuah pemakaman. Aku tau disinilah jasad kekasihku tinggal. Ayah mendorong kursi rodaku, aku masih belum mampu berjalan saat itu, luka dikakiku belum kering.
Siang itu, Ayah dan Bunda mengajakku ke sebuah pemakaman. Aku tau disinilah jasad kekasihku tinggal. Ayah mendorong kursi rodaku, aku masih belum mampu berjalan saat itu, luka dikakiku belum kering.
Ayah berhenti di depan
sebuah makam, bertuliskan “Asharina Wardana” makam ini nampak masih basah,
belum terlalu kering. Aku meminta Ayah untuk menurunkanku dari kursi roda,
terdudukku disamping makam Asha yang nampak mewangi harum bunga kenanga.
Ku usap batu nisannya, ku
pandangi sederet nama itu.
“Asha, maafin aku. Seharusnya kita
pergi bersama-sama.” ucapku.
Bunda datang membawa sebotol air mawar dan serangkaian
bunga. Aku menyiram air mawar ini ke atas makam Asha. Ku taburkan bunga-bunga
ini diatasnya. Ku sesalkan dalam hati kenapa kepergiannya hanya seorang diri?
Kenapa aku tak habis dalam kecelakaan itu?
“Tuhan punya rencana lain.”
Begitu kata Bunda yang sampai sekarang masih terngiang ditelingaku.
***
Dasta menghampiriku.
Dasta menghampiriku.
“Gue cemburu sama Asha.” Katanya
mengagetkanku.
“Cemburu? Tapi lo gak
kenal dia, Das.”
“Memang. Tapi gue cemburu
sama dia, karena orang yang gue sayang dari dulu ternyata masih sayang banget
sama dia.”
“Orang yang lo sayang?”
“Iya, lo, Lang!”
“Lo sayang sama gue?”
“Udah lama. Tapi lo gak
pernah sadar.”
Aku terdiam.
“Tapi lo tau, kan? Gue gak
akan bisa sayang sama lo. Gue bener-bener gak bisa buang Asha dari hati gue.”
“Iya, gue tau. Gue juga
gak maksa, gue Cuma mau lo tau aja. Ya, udah gue duluan ya.”
Dasta meninggalkanku.
***
Seperti biasa, dinginnya malam ini menemaniku, bersender rindu untuk Asha. Fotonya masih abadi disini. Tak tau kenapa tiba-tiba terdesis segumpalan suara. Aku mengenali suara itu, ya, itu Asha. Tapi tak ada sosok Asha, aku hanya mampu mendengar suaranya.
Seperti biasa, dinginnya malam ini menemaniku, bersender rindu untuk Asha. Fotonya masih abadi disini. Tak tau kenapa tiba-tiba terdesis segumpalan suara. Aku mengenali suara itu, ya, itu Asha. Tapi tak ada sosok Asha, aku hanya mampu mendengar suaranya.
“Asha, dimana kamu?”
“Lebih baik, kamu terima
Dasta. Ia tulus menyayangi kamu.”
“Gak bisa, Sha. Aku gak
bisa sayang sama dia sementara sayang aku untuk kamu gak pernah hilang. Kamu
dimana, Sha? Tolong duduk disamping aku.”
“Aku akan bahagia sekali
kalau kamu menjadikan ia kekasihmu.”
Aku tak tau kenapa Asha
begitu memaksaku untuk menjadikan Dasta kekasihku. Padahal sayangku untuk Asha
belum luntur.
“Aku mohon, jadikan dia
kekasihmu, Lang.” Suara itu terdengar lagi.
Aku menggeleng lagi.
“Aku sedih melihat kamu
terus menerus menangisiku. Aku tak ingin melihat kamu terus dirundung sedih. Aku
yakin, dia akan berikan kamu kebahagiaan, lebih dari yang aku bisa.”
Perlahan suara itu
semakin menghilang, aku sontak terbangun. Astaga tadi itu mimpi. Aku memimpikan
Asha untuk yang kesekian kalinya. Tapi baru kali ini Asha berbicara seperti
itu. Apa maksudnya?
Aku keluar dari kamarku
di rumah pohon ini dan ada Dasta disana. Ia sedang menyiapkan sarapan untukku.
Entah kenapa aku merasakan ada sosok Asha dalam dirinya. Ia menoleh.
“Udah bangun? Ini udah
aku bikinin sarapan.”
Aku duduk dikursi, sambil
menatap wajah Dasta. Tapi apa yang kulihat? Selintas wajah Asha ada diwajahnya.
Aku langsung memeluknya penuh rindu.
“Aku kangen kamu, Sha. Jangan
pergi lagi, sebentar saja disini.”
Aku tak tau siapa sosok yang ku peluk ini, entah Asha ataupun Dasta. Yang pasti aku merasakan ada senyuman Asha terselip disenyum Dasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar