Aliran darah dari kantong darah itu terus mengalir
untukku. Ah, penat didalam ruangan ini. Aku ingin keluar, aku ingin lepas dari
penyakit ini, Bu.
Aku sendiri disini dan begitu
mengkhawatirkannya, kekasihku, sungguh. Aku tak berniat mengganggu waktunya,
aku tak ingin membuat amarahnya tumbuh. Aku betul betul takut akan terjadi
hal-hal yang tidak ku inginkan. Aku
takut ia berpaling, berlebihankah? Aku tak ingin ia dimiliki wanita lain,
egoiskah?
Kenapa begitu marahnya kamu ketika aku bertanya, “Kamu lagi sama siapa
disana?”
Aku hanya ingin tau siapa
yang ada disampingmu saat itu. Kenapa dengan mudahnya kamu membentakku?
“Gak usah berlebihan bisa gak? Aku merasa terganggu kalau setiap menit kamu
telepon aku dan bertanya seperti itu.”
Ya, Tuhan. Sesak rasanya.
Kenapa harus membentak? Kau pikir hatiku karang yang tetap bertahan ketika
dihempas emosi dari sang ombak? Sabar, aku percaya semua akan indah sesuai
rencana yang kuasa.
Aku hanya ingin kamu
mengerti, perhatianku ini hanya karena aku ingin merasakan bahagia yang sedari
dulu aku impikan, bersama kamu. Tapi kenapa perlahan-lahan rasanya kebahagiaan
itu semakin menjauh.
“Aku mau ketemu kamu, bisa?”
Pesanku untuknya yang ku
kirim dua hari lalu, sebelum aku tergeletak di ruangan yang memuakkan ini. Aku
menunggu balasan pesanku tapi ternyata tak ada satu pesan pun darinya. Kemana
kamu, sayang? Apa kamu tau kalau aku lagi butuh kamu disini?
Gordyn rumah sakit masih
setia membelai jendela. Begitupun aku yang masih begitu setia menunggumu
membelai rinduku yang hampir membusuk.
Kenapa tak ada teleponmu?
Kenapa tak ada pesanmu?
Kemana kamu?
Apa rinduku tak sampai?
Apa kamu yang terlalu jauh melangkah?
Dokter bilang, kanker
darah yang ku alami sekarang sudah semakin parah. Dokter sudah tak sanggup
untuk terus menerus mempertahankan nyawaku. Aku ingin lepas dari jeratan mematikan
ini, tapi apa mungkin?
Aku ingin sebelum aku
pergi untuk selama-lamanya, aku bisa memelukmu penuh rindu. Tak sadarkah kamu?
Sudah hampir dua bulan ini kita tak saling mengirim pesan, tak saling
komunikasi. Andai kamu tau kondisiku saat ini..
***
“Kamu istirahat dulu ya, Wi.” Kata Ibu setelah aku diturunkan dari mobil.
“Kamu istirahat dulu ya, Wi.” Kata Ibu setelah aku diturunkan dari mobil.
“Iya, Bu. Dewi ke kamar
ya.”
Aku berjalan tertatih
menahan sakit yang terus menerus menyiksa. Aku duduk di tepi ranjangku. Ku
ambil handphone-ku dan langsung mengirimi pesan untukmu.
“Sayang,
kamu kemana aja? Aku kangen banget sama kamu loh.”
Aku menunggu balasannya,
satu menit, dua menit, dan 10 menit tak ada balasan darinya. Aku sudah hampir
putus asa dan memutuskan untuk segera datang ke rumahnya tapi disisa
keputus-asaanku, ternyata Reza membalas pesanku.
“Gue lagi
sibuk! Banyak kerjaan! Gak usah ganggu.”
Astaga, aku fikir
semuanya akan berubah. Ternyata semuanya sama, ia masih membentakku seperti
ini. Aku menangis beserta tetesan darah yang perlahan mengucur dari hidungku.
Ku bersihkan darahku. Reza, aku ingin kamu yang membersihkan darah ini. Tapi,
apakah kamu mau dan rela tanganmu harus berlumuran darahku?
Ku kirimi lagi pesan
untuknya.
“Kamu
lagi sibuk, sayang? Ya, udah. Aku gak sms dulu ya. Kamu jangan lupa makan ya.
Take care ya, sayang. I love you.”
Take care ya, sayang. I love you.”
Dan tak ada balasan lagi
darinya. Dia memang benar-benar sedang sibuk, dan sekarang memang waktunya aku
untuk mengerti. Tapi apa cinta selamanya harus mengerti walau jarang untuk
dimengerti? Tolong beri aku alasan kenapa aku harus mengerti kamu tanpa peduli
sakit yang sekarang ku rasakan.
***
Desiran angin yang cukup besar menggoyahkan foto-fotoku yang tertata rapih di depan jendela. Perasaanku menjadi tak enak kala melihat fotoku dan Reza pecah kacanya.
Desiran angin yang cukup besar menggoyahkan foto-fotoku yang tertata rapih di depan jendela. Perasaanku menjadi tak enak kala melihat fotoku dan Reza pecah kacanya.
“Wi, jendelanya di tutup
dong. Anginnya lagi kenceng tuh.” Teriak Ibu dari kamar.
“Iya, Bu.”
Aku segera menutup
jendela.
Ah, kenapa hatiku menjadi
risau seperti ini. Aku segera menelepon Reza.
“Halo, Reza. Kamu baik-baik aja, kan, sayang?”
“Wi, aku kedinginan.” Suaranya bergetar.
“Kamu dimana? Daritadi firasatku jelek terus, Za.”
“Aku di dekat kantorku, Wi. Bantu aku.”
“Aku kesana sekarang. Kamu tunggu ya.”
Klik.
Benar firasatku, Reza
dalam keadaan yang buruk. Aku segera mengambil jaketku dan segera mencari
angkutan umum untuk menuju ke kantor Reza.
“Kamu mau kemana, Wi?
Kamu gak lihat diluar angin lagi besar banget. Sebentar lagi hujan.” kata Ibu
saat melihat aku mengambil jaket dengan tergesa-gesa.
“Aku mau jemput Reza, Bu.
Reza kedinginan sekarang.”
“Tapi nanti penyakit kamu
kambuh lagi, sayang.”
“Aku gak peduli, Bu.”
“Hati-hati, sayang.”
Pesan Ibu
“Iya, Bu. Aku pergi ya.”
Aku berjalan melawan kencangnya angin. Dan ternyata perlahan hujan mulai turun, aku berlari lebih kuat. Tapi ternyata darah itu menetes lagi. Aku menahannya dengan telunjukku. Aku berdiri di pinggir jalan untuk mencari taksi. 5 menit aku menunggu, terlihat sebuah taksi dari kejauhan, aku segera menghampirinya dan langsung masuk ke dalamnya.
“Pak, ke Kantor Ciwa
Yuna, ya.” kataku kepada supir taksi.
Taksi melaju dengan
cepat. Ah, aku tak menyadari, darah yang menetes dari hidungku semakin banyak.
Tuhan, selamatkan aku..
“Mbak sakit ya?” tanya
supir taksi yang melihat tanganku berlumuran darah.
“Gak kok, Pak. Biasa
kalau lagi kedinginan memang seperti ini.” aku berbohong. Andai supir taksi ini
tau penyakitku, mungkin sekarang ia akan mengantarku pulang dan membawaku ke
rumah sakit. Ah, aku tak memikirkan penyakit ini, hanya satu yang ku pikirkan
sekarang, Reza.
Taksi berhenti di depan
kantor Reza, aku segera membayar argo taksi dan segera turun dari dalam taksi.
Astaga, hujannya semakin deras. Aku melihat Reza tengah terduduk lesu di depan
kantornya. Aku tersenyum, aku sangat senang aku mampu melihatnya lagi. Aku
berlari menghampirinya. Tapi apa yang ku lihat? Sebuah mobil berhenti di depan
Reza dan keluarlah seorang gadis yang sangat cantik. Ah, aku benci pemandangan
ini. Gadis itu membawa Reza untuk masuk ke dalam mobilnya. Air mataku menetes,
pertanyaan-pertanyaan mulai menghampiri otakku.
“Siapa gadis itu?”
“Kenapa dengan leluasanya
ia menyentuh kekasihku?”
“Kenapa kelihatannya ia
memiliki sebuah hubungan khusus dengan kekasihku?”
Aku masih terdiam.
Melihat deruan mobil gadis yang membawa kekasihku itu menjauh. Aku tak
menyadari darah yang terus menetes dari hidungku. Kakiku terasa sangat lemas.
Aku pingsan...
***
Ku membuka mata. Hmm, rasanya sudah lama sekali aku tertidur. Aku melihat Ibu dan Ayah di sisi kanan dan kiriku. Ibu menangis. Sementara Ayah terus menerus mengelus tanganku.
Ku membuka mata. Hmm, rasanya sudah lama sekali aku tertidur. Aku melihat Ibu dan Ayah di sisi kanan dan kiriku. Ibu menangis. Sementara Ayah terus menerus mengelus tanganku.
“Ayah, Ibu, Dewi kenapa?”
jawabku lemas.
“Dewi bangun?
Alhamdulillah..” kata Ayah lalu mengecup keningku.
“Bu, dimana Reza?”
“Ibu gak tau. Ibu gak
peduli dimana dia. Ibu cuma takut kamu kenapa-kenapa.”
“Ibu, tolong telepon
Reza. Suruh dia kesini, oh iya suruh dia ajak pacarnya juga.”
“Pacarnya Reza?” Ayah
bingung.
“Nanti Ayah dan Ibu tau
sendiri semuanya. Sekarang Dewi mau ngomong sama Reza, Bu.”
Ibu segera menelepon Reza
menggunakan handphoneku.
“Assalamualaikum, Reza.”
“Waalaikumsalam. Eh Ibu, ada apa, Bu?”
“Kamu bisa kesini?”
“Kemana, Bu?”
“Rumah Sakit Sejahtera.”
“Loh, siapa yang sakit, Bu?”
“Dewi. Dia bilang, dia mau ngomong sama kamu dan
sama pacar kamu?”
“Hmm, pacar, Bu?”
“Dewi hanya bilang begitu.”
“Bisa saya bicara sama Dewi-nya, Bu?”
Ibu memberikan
handphoneku, aku menerimanya.
“Ada apa, Za?”
“Maksud kamu pacar aku siapa? Pacar aku ya kamu.”
“Gak. Yang waktu itu jemput kamu hujan-hujan naik
mobil. Kamu ajak dia kesini, ya.”
“Siska?”
“Entah siapa namanya, yang penting aku mau ketemu
sama dia.”
“Kamu kenapa sih?”
“Cepat kesini atau semuanya terlambat.
Klik.
***
Ibu dan Ayah berdiri di sisi kiriku, sementara Reza dan Siska duduk di sisi kananku.
Ibu dan Ayah berdiri di sisi kiriku, sementara Reza dan Siska duduk di sisi kananku.
“Kamu sakit apa, Wi?”
“Gak perlu tau aku sakit
apa. Za, maaf kalau selama ini kamu merasa terganggu dengan semua perhatianku,
semua berlebihanku, semua yang udah aku lakuin ke kamu. Tapi aku Cuma mau
disisa-sisa waktu aku, aku bisa jalanin bersama kekasih yang selama ini aku
cintai, dan itu kamu. Tapi ternyata kamu udah menemukan sosok lain yang kamu
sayang, dan itu bukan aku...”
“Wi, kamu ngomong apa
sih. Aku tuh...”
“Aku lagi ngomong. Tolong
jangan dipotong. Kalau memang Siska bisa menjadi apa yang kamu mau dan apa yang
kamu inginkan, aku rela kamu pacaran sama dia.” Air mata menetes dari mataku,
berat rasanya merelakan seseorang yang sangat ku cintai untuk bersama wanita
lain.
“Kamu jangan ngomong
gitu. Aku sayang sama kamu.”
“Terlambat untuk ngomong
itu, Za. Sekarang aku mau tenang dan aku mau orang yang aku cintai bahagia
walau bukan aku yang menciptakan kebahagiaan itu.”
Reza menggenggam tanganku
erat, ia menundukkan kepalanya. Sepertinya ia menyesalkan sesuatu.
“Bu, aku mau tidur.”
Pintaku pada Ibu dengan suara kecil.
Aku pun menutup mata dan
aku tau mata ini tak akan terbuka lagi, usai sudahlah tugasku untuk hadir di
dalam hidup Reza walau aku tak berarti apa-apa dihidupnya.
***
Seusai pemakamanku, Reza berbicara dengan Ibuku.
Seusai pemakamanku, Reza berbicara dengan Ibuku.
“Bu, Reza gak tau kalau Dewi punya penyakit ini.”
“Iya. Lagi pula Dewi
meminta Ibu dan Ayah untuk merahasiakan ini. Dewi teramat sangat menyayangi
kamu, Za.”
“Bu, Reza menyesal udah
pernah bentak Dewi. Reza sering marahin Dewi.”
“Begitu banyaknya
kesalahan yang kamu sesali? Tapi sadarkah kamu Dewi selalu membukakan maaf
untukmu dan tak pernah melempar balik amarahnya?”
Reza benar-benar
terpukul. Sekarang ia sadar, perhatian dari Dewi semata-mata hanya wujud kasih
sayang dari seseorang untuk kekasihnya.
Reza menjalin kasih dengan Siska, tapi hubungannya tak bertahan lama. Karena
Reza selalu saja membanding-bandingkan Siska dengan Dewi. Ia rindu perhatian
Dewi yang membosankan itu. Ia rindu semua cerewetnya Dewi.
Reza, sekarang kamu tau,
perhatianku yang membosankan itu sesungguhnya adalah hal yang sangat kau
rindukan. Tapi sayang, sesuatu yang kau rindukan itu tak akan datang lagi.
Terima kasih sudah menyia-nyiakan perhatianku yang membosankan itu, Reza...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar