Selasa, 21 Agustus 2012

Sisa Sesal


Aliran darah dari kantong darah itu terus mengalir untukku. Ah, penat didalam ruangan ini. Aku ingin keluar, aku ingin lepas dari penyakit ini, Bu.

Aku sendiri disini dan begitu mengkhawatirkannya, kekasihku, sungguh. Aku tak berniat mengganggu waktunya, aku tak ingin membuat amarahnya tumbuh. Aku betul betul takut akan terjadi hal-hal yang tidak ku inginkan.  Aku takut ia berpaling, berlebihankah? Aku tak ingin ia dimiliki wanita lain, egoiskah?

Kenapa begitu marahnya kamu ketika aku bertanya, “Kamu lagi sama siapa disana?”

Aku hanya ingin tau siapa yang ada disampingmu saat itu. Kenapa dengan mudahnya kamu membentakku?

“Gak usah berlebihan bisa gak? Aku merasa terganggu kalau setiap menit kamu telepon aku dan bertanya seperti itu.”

Ya, Tuhan. Sesak rasanya. Kenapa harus membentak? Kau pikir hatiku karang yang tetap bertahan ketika dihempas emosi dari sang ombak? Sabar, aku percaya semua akan indah sesuai rencana yang kuasa.
Aku hanya ingin kamu mengerti, perhatianku ini hanya karena aku ingin merasakan bahagia yang sedari dulu aku impikan, bersama kamu. Tapi kenapa perlahan-lahan rasanya kebahagiaan itu semakin menjauh.

                “Aku mau ketemu kamu, bisa?”

Pesanku untuknya yang ku kirim dua hari lalu, sebelum aku tergeletak di ruangan yang memuakkan ini. Aku menunggu balasan pesanku tapi ternyata tak ada satu pesan pun darinya. Kemana kamu, sayang? Apa kamu tau kalau aku lagi butuh kamu disini?

Gordyn rumah sakit masih setia membelai jendela. Begitupun aku yang masih begitu setia menunggumu membelai rinduku yang hampir membusuk.

Kenapa tak ada teleponmu?
Kenapa tak ada pesanmu?
Kemana kamu?
Apa rinduku tak sampai?
Apa kamu yang terlalu jauh melangkah?

Dokter bilang, kanker darah yang ku alami sekarang sudah semakin parah. Dokter sudah tak sanggup untuk terus menerus mempertahankan nyawaku. Aku ingin lepas dari jeratan mematikan ini, tapi apa mungkin?
Aku ingin sebelum aku pergi untuk selama-lamanya, aku bisa memelukmu penuh rindu. Tak sadarkah kamu? Sudah hampir dua bulan ini kita tak saling mengirim pesan, tak saling komunikasi. Andai kamu tau kondisiku saat ini..
***

“Kamu istirahat dulu ya, Wi.” Kata Ibu setelah aku diturunkan dari mobil.

“Iya, Bu. Dewi ke kamar ya.”

Aku berjalan tertatih menahan sakit yang terus menerus menyiksa. Aku duduk di tepi ranjangku. Ku ambil handphone-ku dan langsung mengirimi pesan untukmu.

                “Sayang, kamu kemana aja? Aku kangen banget sama kamu loh.”

Aku menunggu balasannya, satu menit, dua menit, dan 10 menit tak ada balasan darinya. Aku sudah hampir putus asa dan memutuskan untuk segera datang ke rumahnya tapi disisa keputus-asaanku, ternyata Reza membalas pesanku.

                “Gue lagi sibuk! Banyak kerjaan! Gak usah ganggu.”

Astaga, aku fikir semuanya akan berubah. Ternyata semuanya sama, ia masih membentakku seperti ini. Aku menangis beserta tetesan darah yang perlahan mengucur dari hidungku. Ku bersihkan darahku. Reza, aku ingin kamu yang membersihkan darah ini. Tapi, apakah kamu mau dan rela tanganmu harus berlumuran darahku?

Ku kirimi lagi pesan untuknya.

                “Kamu lagi sibuk, sayang? Ya, udah. Aku gak sms dulu ya. Kamu jangan lupa makan ya.
                Take care ya, sayang. I love you.”

Dan tak ada balasan lagi darinya. Dia memang benar-benar sedang sibuk, dan sekarang memang waktunya aku untuk mengerti. Tapi apa cinta selamanya harus mengerti walau jarang untuk dimengerti? Tolong beri aku alasan kenapa aku harus mengerti kamu tanpa peduli sakit yang sekarang ku rasakan.
***

Desiran angin yang cukup besar menggoyahkan foto-fotoku yang tertata rapih di depan jendela. Perasaanku menjadi tak enak kala melihat fotoku dan Reza pecah kacanya.

“Wi, jendelanya di tutup dong. Anginnya lagi kenceng tuh.” Teriak Ibu dari kamar.

“Iya, Bu.”

Aku segera menutup jendela.

Ah, kenapa hatiku menjadi risau seperti ini. Aku segera menelepon Reza.

“Halo, Reza. Kamu baik-baik aja, kan, sayang?”

“Wi, aku kedinginan.” Suaranya bergetar.

“Kamu dimana? Daritadi firasatku jelek terus, Za.”

“Aku di dekat kantorku, Wi. Bantu aku.”

“Aku kesana sekarang. Kamu tunggu ya.”
Klik.

Benar firasatku, Reza dalam keadaan yang buruk. Aku segera mengambil jaketku dan segera mencari angkutan umum untuk menuju ke kantor Reza.

“Kamu mau kemana, Wi? Kamu gak lihat diluar angin lagi besar banget. Sebentar lagi hujan.” kata Ibu saat melihat aku mengambil jaket dengan tergesa-gesa.

“Aku mau jemput Reza, Bu. Reza kedinginan sekarang.”

“Tapi nanti penyakit kamu kambuh lagi, sayang.”

“Aku gak peduli, Bu.”

“Hati-hati, sayang.” Pesan Ibu

“Iya, Bu. Aku pergi ya.”

Aku berjalan melawan kencangnya angin. Dan ternyata perlahan hujan mulai turun, aku berlari lebih kuat. Tapi ternyata darah itu menetes lagi. Aku menahannya dengan telunjukku. Aku berdiri di pinggir jalan untuk mencari taksi. 5 menit aku menunggu, terlihat sebuah taksi dari kejauhan, aku segera menghampirinya dan langsung masuk ke dalamnya.

“Pak, ke Kantor Ciwa Yuna, ya.” kataku kepada supir taksi.

Taksi melaju dengan cepat. Ah, aku tak menyadari, darah yang menetes dari hidungku semakin banyak. Tuhan, selamatkan aku..

“Mbak sakit ya?” tanya supir taksi yang melihat tanganku berlumuran darah.

“Gak kok, Pak. Biasa kalau lagi kedinginan memang seperti ini.” aku berbohong. Andai supir taksi ini tau penyakitku, mungkin sekarang ia akan mengantarku pulang dan membawaku ke rumah sakit. Ah, aku tak memikirkan penyakit ini, hanya satu yang ku pikirkan sekarang, Reza.
Taksi berhenti di depan kantor Reza, aku segera membayar argo taksi dan segera turun dari dalam taksi. 

Astaga, hujannya semakin deras. Aku melihat Reza tengah terduduk lesu di depan kantornya. Aku tersenyum, aku sangat senang aku mampu melihatnya lagi. Aku berlari menghampirinya. Tapi apa yang ku lihat? Sebuah mobil berhenti di depan Reza dan keluarlah seorang gadis yang sangat cantik. Ah, aku benci pemandangan ini. Gadis itu membawa Reza untuk masuk ke dalam mobilnya. Air mataku menetes, pertanyaan-pertanyaan mulai menghampiri otakku.

“Siapa gadis itu?”

“Kenapa dengan leluasanya ia menyentuh kekasihku?”

“Kenapa kelihatannya ia memiliki sebuah hubungan khusus dengan kekasihku?”

Aku masih terdiam. Melihat deruan mobil gadis yang membawa kekasihku itu menjauh. Aku tak menyadari darah yang terus menetes dari hidungku. Kakiku terasa sangat lemas. Aku pingsan...
***

Ku membuka mata. Hmm, rasanya sudah lama sekali aku tertidur. Aku melihat Ibu dan Ayah di sisi kanan dan kiriku. Ibu menangis. Sementara Ayah terus menerus mengelus tanganku.

“Ayah, Ibu, Dewi kenapa?” jawabku lemas.

“Dewi bangun? Alhamdulillah..” kata Ayah lalu mengecup keningku.

“Bu, dimana Reza?”

“Ibu gak tau. Ibu gak peduli dimana dia. Ibu cuma takut kamu kenapa-kenapa.”

“Ibu, tolong telepon Reza. Suruh dia kesini, oh iya suruh dia ajak pacarnya juga.”

“Pacarnya Reza?” Ayah bingung.

“Nanti Ayah dan Ibu tau sendiri semuanya. Sekarang Dewi mau ngomong sama Reza, Bu.”

Ibu segera menelepon Reza menggunakan handphoneku.

“Assalamualaikum, Reza.”

“Waalaikumsalam. Eh Ibu, ada apa, Bu?”

“Kamu bisa kesini?”

“Kemana, Bu?”

“Rumah Sakit Sejahtera.”

“Loh, siapa yang sakit, Bu?”

“Dewi. Dia bilang, dia mau ngomong sama kamu dan sama pacar kamu?”

“Hmm, pacar, Bu?”

“Dewi hanya bilang begitu.”

“Bisa saya bicara sama Dewi-nya, Bu?”

Ibu memberikan handphoneku, aku menerimanya.

“Ada apa, Za?”

“Maksud kamu pacar aku siapa? Pacar aku ya kamu.”

“Gak. Yang waktu itu jemput kamu hujan-hujan naik mobil. Kamu ajak dia kesini, ya.”

“Siska?”

“Entah siapa namanya, yang penting aku mau ketemu sama dia.”

“Kamu kenapa sih?”

“Cepat kesini atau semuanya terlambat.
Klik.
***

Ibu dan Ayah berdiri di sisi kiriku, sementara Reza dan Siska duduk di sisi kananku.

“Kamu sakit apa, Wi?”

“Gak perlu tau aku sakit apa. Za, maaf kalau selama ini kamu merasa terganggu dengan semua perhatianku, semua berlebihanku, semua yang udah aku lakuin ke kamu. Tapi aku Cuma mau disisa-sisa waktu aku, aku bisa jalanin bersama kekasih yang selama ini aku cintai, dan itu kamu. Tapi ternyata kamu udah menemukan sosok lain yang kamu sayang, dan itu bukan aku...”

“Wi, kamu ngomong apa sih. Aku tuh...”

“Aku lagi ngomong. Tolong jangan dipotong. Kalau memang Siska bisa menjadi apa yang kamu mau dan apa yang kamu inginkan, aku rela kamu pacaran sama dia.” Air mata menetes dari mataku, berat rasanya merelakan seseorang yang sangat ku cintai untuk bersama wanita lain.

“Kamu jangan ngomong gitu. Aku sayang sama kamu.”

“Terlambat untuk ngomong itu, Za. Sekarang aku mau tenang dan aku mau orang yang aku cintai bahagia walau bukan aku yang menciptakan kebahagiaan itu.”

Reza menggenggam tanganku erat, ia menundukkan kepalanya. Sepertinya ia menyesalkan sesuatu.

“Bu, aku mau tidur.” Pintaku pada Ibu dengan suara kecil.

Aku pun menutup mata dan aku tau mata ini tak akan terbuka lagi, usai sudahlah tugasku untuk hadir di dalam hidup Reza walau aku tak berarti apa-apa dihidupnya.
***

Seusai pemakamanku, Reza berbicara dengan Ibuku.
“Bu, Reza gak tau kalau Dewi punya penyakit ini.”

“Iya. Lagi pula Dewi meminta Ibu dan Ayah untuk merahasiakan ini. Dewi teramat sangat menyayangi kamu, Za.”

“Bu, Reza menyesal udah pernah bentak Dewi. Reza sering marahin Dewi.”

“Begitu banyaknya kesalahan yang kamu sesali? Tapi sadarkah kamu Dewi selalu membukakan maaf untukmu dan tak pernah melempar balik amarahnya?”

Reza benar-benar terpukul. Sekarang ia sadar, perhatian dari Dewi semata-mata hanya wujud kasih sayang dari seseorang untuk kekasihnya.
Reza menjalin kasih dengan Siska, tapi hubungannya tak bertahan lama. Karena Reza selalu saja membanding-bandingkan Siska dengan Dewi. Ia rindu perhatian Dewi yang membosankan itu. Ia rindu semua cerewetnya Dewi.

Reza, sekarang kamu tau, perhatianku yang membosankan itu sesungguhnya adalah hal yang sangat kau rindukan. Tapi sayang, sesuatu yang kau rindukan itu tak akan datang lagi. Terima kasih sudah menyia-nyiakan perhatianku yang membosankan itu, Reza...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar