Aku masih menyayanginya.
Aku masih menunggunya.
Aku masih mengharapkannya.
Aku masih menunggunya.
Aku masih mengharapkannya.
Apa semua itu salah? Tidak,
mana mungkin aku menyalahkan perasaanku sendiri. Tuhan, apakah semua yang ku jalani sekarang
akan berbuah manis? Atau justru masam?
Perasaan ini memang sudah terlalu lama ku pendam, sehingga terlalu lama juga
untuk ku buang. Kenapa semuanya tak berbalik kepadaku? Rinduku, bukan rindunya.
Sayangku, bukan sayangnya. Harapku, bukan harapnya. Ah, ini sungguh tak adil
aku yang menyayanginya tapi kenapa harus dia yg memilikinya?
“Kita cuma sahabat, kan? “
( Bodoh, tolol, ya jelas kamu hanya akan menganggapku sahabat! Kenapa juga ku tanyakan pertanyaan seperti itu! )
( Bodoh, tolol, ya jelas kamu hanya akan menganggapku sahabat! Kenapa juga ku tanyakan pertanyaan seperti itu! )
“Lo dimana, Yos?”
terdengar suara ditelepon.
“Di rumah, kenapa?”
jawabku malas.
“Main, yuk!” ajaknya.
“Kemana?”
“Gue mau beli kado buat
Yesah. Temenin yuk?”
Ah lagi-lagi harus ada
nama itu. Aku muak, Jo! Sangat muak!
“Kado? Emang dia ulang
tahun?”
“Gak sih, Cuma mau kasih
ke dia aja. Mau ya?”
Jujur, aku malas.
Bagaimana mungkin aku tidak malas ketika seseorang yang ku sayangi memintaku
untuk mengantarkannya membelikan kado untuk seseorang yang disayanginya? Ah,
cemburu!
“Hmmm, gimana ya...”
“Ayo dong, Yosah! Please banget.”
Mohonnya.
“Ya, udah. Jemput gue.”
“Siaaaap, Yosah sayang.”
Sayang? Ah lagi dan lagi ia menyebut panggilan itu. Membuatku semakin
bingung.
***
“Yos, ada Jo tuh diluar.” Teriak Ibu.
“Yos, ada Jo tuh diluar.” Teriak Ibu.
“Iya, Bu. Sebentar.” Jawabku
sambil menguncir rambutku yang acak-acak.
“Mau kemana?” tanya Ibu
ketika aku keluar kamar.
“Mau nemenin Jo beli kado
buat Yesah.” Jawabku singkat lalu mencium tangan Ibu.
Di luar rumah, Jo sudah
berdiri di depan motornya.
“Lo mau pakai baju kayak
begini?” pandangannya aneh setiap kali melihat gaya berpakaianku.
Aku mengangguk, “Ya,
kenapa? Mau gue anterin gak nih?”
“Mau, mau! Yuk, naik. Nih
helmnya.” Katanya lalu memberikan helm untukku.
Aku memakai helm dan duduk di jok belakang motor milik Jo.
Aku memakai helm dan duduk di jok belakang motor milik Jo.
Jo, seseorang yang sudah ku kenal sejak aku masih bersekolah di Taman
Kanak-Kanak . Nama aslinya Joshua, tapi aku memanggilnya Jo, lebih singkat. Jo
dari kecil sampai sekarang selalu menjadi idaman setiap wanita di sekolahnya.
Entah karena memang sudah digariskan atau bagaimana, aku dan Jo dari dulu
sampai sekarang selalu bersekolah di sekolah yang sama. Mulai dari TK, SD, SMP dan sampailah sekarang di SMA. Jo
memang memiliki karismatk yang sangat menawan dimata para wanita, ya tak salah
memang jika banyak wanita yang tertarik pada ketampanannya. Jo termasuk lelaki
yang royal, ia tak pernah memilih teman dalam bergaul, bahkan dari dulu sampai
sekarang dia
tak pernah mengeluh ketika harus mengantarkanku bermain bola dan
layangan.
Mustahil kalau aku tak menyayanginya lebih dari sahabat. Bagaimana mungkin?
Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu bersamanya. Hampir setiap hari aku
membonceng dimotornya, dan kalian tau? Banyak wanita yang iri kepadaku karena
melihat kedekatanku dengan Jo. Tapi banyak juga loh yang kaget dengan
kedekatanku, bagaimana mungkin seorang Jo mau menghabiskan hari bersama YOSAH,
seorang gadis eh tunggu apa aku seorang gadis? Haha aku sendiri bingung. Aku
selalu menolak jika disuruh menggunakan ROK! Asal kalian tau ya, aku memakai
rok kalau sekolah saja. Tengok saja lemariku, kalian hanya akan menemukan
sepotong celana-celana panjang yang tela ku potong menjadi pendek. Aku juga tak
terlalu mementingkan dandananku, ya, tak seperti teman-temanku di sekolah yang
selalu membawa sisir dan kaca di tasnya. Huh, whatever ‘bout this! Aku benci sisir, aku benci kaca, aku benci
semua hal yang berhubungan dengan kecantikan! Bagiku kecantikan tak perlu
membawa sisir ataupun make up. Bahkan aku pernah mempunyai prinsip, orang-orang
yang memakai make up itu adalah orang-orang yang tidak percaya diri.
***
“Mau beli kado apa buat saudara kembarku?” tanyaku ketika Jo memarkirkan motornya di sebuah mall besar.
“Mau beli kado apa buat saudara kembarku?” tanyaku ketika Jo memarkirkan motornya di sebuah mall besar.
“Dia sukanya apa?”
“Banyak.”
“Ya, udah lihat nanti.”
Aku dan Jo naik menuju
lantai dua. Mencari-cari hadiah yang cocok untuk Yesah, saudara kembarku. Eh
tunggu, aku belum cerita ya tentang dia? Mau aku ceritain gak? Iya, aku cerita
kok. Tenang aja. Jadi aku ini kembar loh, kembaranku namanya Yesah. Kami berdua
beda 5 menit lahirnya. Aku lahir lebih dulu, setelah itu baru Yesah. Tapi
anehnya semenjak dari TK sampai sekarang, aku tak pernah satu sekolah
dengannya. Aku dan Yesah memiliki banyak perbedaan. Yesah sangat mementingkan
penampilannya, ia nampak selalu anggun dengan pakaian-pakaiannya yang bercorak
warna-warni. Ia juga selalu mementingkan make up-nya. Ya, jelas saja Jo begitu
tertarik kepada adikku, Yesah.
Perkenalan Jo dengan
Yesah sebenarnya belum lama. Baru sekitar 1 tahun yang lalu, ketika aku dan
Yesah masuk SMA. Saat itu Jo sedang main ke rumahku dan ia melihat ada sosok
sepertiku di depan rumah. Ya, langsung saja aku ceritakan kalau sebenarnya aku
ini kembar. Ya, sebenarnya agak menyesal kenapa aku harus mengenalkan Jo kepada
adikku, Yesah. Kalau mereka tak saling kenal, tak mungkin mereka saling suka.
Lalu bagaimana denganku?
***
“Eh ini cocok gak buat Yesah?” kata Jo sambil memperlihatkan sebuah mug berwarna merah muda, warna kesukaan Yesah.
“Eh ini cocok gak buat Yesah?” kata Jo sambil memperlihatkan sebuah mug berwarna merah muda, warna kesukaan Yesah.
“Lucu. Ya, udah beli ini
aja.” Aku segera mengiyakan karena aku kurang betah berada ditempat-tempat
seperti ini.
“Bener nih? Yakin Yesah
pasti suka?”
“Yakin! Gue yakin sumpah!
Ayo ah buruan bayar, terus pulang.”
“Iya iya.”
Di perjalanan pulang, Jo
masih terus saja bercerita tentang pendekatannya dengan Yesah. Akan muak
mendengarnya, tapi ya, sudah aku berpura-pura mengikuti alur ceritanya.
“Gue mau nembak dia nih,
Yos. Kira-kira diterima gak ya?”
( Aduh bodoh sekali kamu, Jo! Kenapa
kamu gak nembak aku aja? Jadi kamu gak perlu mengira-ngira akan diterima atau
tidak! )
“Gue gak tau juga sih.
Coba aja.”
“Nanti gue cari tanggal
yang tepat deh buat nembak dia.”
Aku hanya diam sambil
menyeka setetes air mata yang perlahan menetes.
***
Setiap harinya, di sekolah, Jo selalu semangat ketika harus menceritakan pendeketannya dengan adikku, Yesah. Aku harus bagaimana ini? Sampai kapan aku menahan semuanya? Kenapa Jo tak sadar ada aku yang menyayanginya tanpa pernah ia tanya apakah aku menyayanginya atau tidak? Kenapa Jo tak pernah mengerti maksudku yang selalu mengiyakan semua ajakannya untuk menemaninya kesana, kesini? Ah, Jo, peka lah sedikit tentang perasaanku....
Setiap harinya, di sekolah, Jo selalu semangat ketika harus menceritakan pendeketannya dengan adikku, Yesah. Aku harus bagaimana ini? Sampai kapan aku menahan semuanya? Kenapa Jo tak sadar ada aku yang menyayanginya tanpa pernah ia tanya apakah aku menyayanginya atau tidak? Kenapa Jo tak pernah mengerti maksudku yang selalu mengiyakan semua ajakannya untuk menemaninya kesana, kesini? Ah, Jo, peka lah sedikit tentang perasaanku....
“Yosah.” Teriak Jo
memanggilku yang tengah asyik memaca komik di kantin sekolah.
“Ada apaan, Jo?”
“Malam ini gue mau nembak
Yesah! Bantuin ya, please.”
Aku meletakkan komik yang
tadi ku baca diatas meja. Aku menarik nafas panjang.
“Gimana?” tanyanya lagi.
“Bantuin gimana?”
“Ya, nanti pulang sekolah
lo ikut gue beli bunga sama boneka!”
(
Ah, kapan aku akan mendapatkan semua hadiah-hadiah darimu, Jo! )
“Hadiah lagi?”
“Iya, gak afdol dong kalo
gue nembak dia tapi gak bawa hadiah.”
“Ya, terserah deh.” Jawabku sedikit ketus.
“Kok marah?”
“Gak marah!” suaraku meninggi.
“Lo kenapa sih, Yos? Gue ada salah sama lo?”
“Salah lo? Banyak!” aku
lantas pergi meninggalkan Jo di kantin.
Aku lelah, Jo! Aku tak
tau lagi bagaimana caranya agar kamu tau perasaanku. Apa aku harus menjadi
Yesah supaya kamu memberikan semua kasih sayangmu? Apa aku tak cantik? Apa yang
salah pada diriku, Jo! Aku menyayangimu, sungguh! Walaupun aku tak pernah
ungkapkan itu, tapi aku tak pernah berhenti menyimpan rasa itu, Jo.
Malam harinya, Jo datang
ke rumahku. Aku tau, aku lihat dari jendela kamarku. Dan kemudian, Yesah,
adikku keluar menghampirinya. Mereka berdua duduk di teras. Aku menyaksikan
semua pemandangan memuakkan itu. Ingin rasanya aku keluar kamar dan menampar
adikku, tapi aku tak sejahat itu.
Air mataku perlahan
menetes kala Jo menyatakan cintanya pada adikku. Dan matilah aku Yesah menerima
Jo. Dan akhirnya mereka resmi berpacaran. Aku lihat saat Jo menggenggam tangan
Yesah, aku lihat saat Jo mencium kening Yesah. Aku lihat semua yang aku impikan
itu. Ah, Yesah memang sempurna. Tak salah jika Jo sangat mendambakannya.
***
Tak terasa, hubungan Yesah dan Jo sudah hampir dua tahun. Dan selama itu juga aku masih menyayangi Jo, kekasih adikku. Aku benci melihat mereka berpacaran, terlebih sekarang mereka berada di satu kampus dan yang pasti Jo lebih sering menghabiskan waktu bersama Yesah, adikku.
Tak terasa, hubungan Yesah dan Jo sudah hampir dua tahun. Dan selama itu juga aku masih menyayangi Jo, kekasih adikku. Aku benci melihat mereka berpacaran, terlebih sekarang mereka berada di satu kampus dan yang pasti Jo lebih sering menghabiskan waktu bersama Yesah, adikku.
Aku tak kuat lagi menahan
semuanya, Jo. Akhirnya aku menulis surat yang nantinya akan ku berikan pada Jo.
Aku tak akan memaksanya untuk memutuskan adikku dan menjadi pacarku, aku hanya
mau ia tau bagaimana perasaanku kepadanya. Karena mungkin besok aku sudah tak
ada disini, aku akan berangkat menuju Palembang dan melanjutkan kuliah disana.
Setelah ku tulis, aku
mengetuk pintu kamar adikku.
“Yesah, buka dong.”
“Iya, ada apa, kak?”
“Ini, ada surat dari gue
buat Jo. Kan besok gue gak disini. Eh tapi lo gak boleh baca! Ini rahasia
antara sahabat soalnya.” Aku berbohong.
“Oke, kak!”
***
Pagi-pagi pukul 06:00 , aku sudah berangkat menuju bandara.
Pagi-pagi pukul 06:00 , aku sudah berangkat menuju bandara.
“Jaga diri baik-baik ya,
Nak. Ayah dan Ibu selalu mendoakan kamu dari sini.” Pesan Ayah.
“Pasti, Yah.” Jawabku lalu
mencium tangan Ayah.
Ibu memelukku sambil
menangis. Ia membisikkan banyak nasihat untukku. Dan Yesah, ia juga menangis.
Sepertinya ia akan kehilangan sebagian dari raganya.
“Yes, jaga Jo baik-baik,
ya.” pesanku pada Yesah.
“Iya, pasti, kak.”
“Suratnya jangan lupa
loh.”
***
“Sayang, ini ada surat dari kak Yosah.” Kata Yesah saat Jo bertandang ke rumahku. “
“Sayang, ini ada surat dari kak Yosah.” Kata Yesah saat Jo bertandang ke rumahku. “
“Surat apa? Kok
surat-suratan sih?”
“Iya, soalnya kan Kak
Yesah udah gak disini lagi, yang.”
“Gak disini lagi? Maksud
kamu?”
“Memangnya kak Yesah gak
cerita ke kamu?”
“Cerita apa?”
“Dia kuliah di Palembang,
dan tadi pagi dia berangkat.”
Jo diam, perlahan air
matanya menetes. Ia memang menyadari kerenggangan hubungannya sekarang dengan
Yosah. Bahkan Yosah tak mengabari kepergiannya untuk kuliah di Palembang. Jo
meminta izin untuk pulang kepada Yesah.
“Aku pulang ya, sayang. Besok
ketemu lagi.”
“Hmm, ya, udah. Kamu
hati-hati ya.”
***
Dirumah, Jo membaca surat dari Yosah.
Dirumah, Jo membaca surat dari Yosah.
Jakarta, 12 Juni 2010
Dear Jo.
Jo, apa kabar kamu? Hehe,
kesannya kita kayak udah gak ketemu bertahun-tahun ya? Tapi memang itu yang ku
rasakan, Jo. Aku ngerasa gak pernah kenal sama kamu. Aku ngerasa asing buat
kamu, bahkan terkadang aku canggung untuk sms/telepon kamu. Aku gak tau kenapa,
Jo. Tapi ya itu yang aku rasain.
Jo, haruskah aku jujur
sekarang? Setelah hampir 4 tahun aku pendam semuanya, sendiri. Kamu pasti
bakalan ngira kalau aku ini cewek tomboy yang gak pernah kenal apa itu “Cinta”
. Iya kan, Jo? Hmm, kalau iya berarti kamu salah, Jo. Aku gak tau kamu itu gak
peka atau memang gak pernah peka? Apa kamu gak ngerasa aneh setiap aku tatap
mata kamu? Apa kamu gak merasakan ada sayang yang mengalir dari setiap kedipan
mata aku, Jo?
Jo, aku sayang kamu kamu.
Eits! Lebih dari sahabat, ya. Aku tau kok kamu gak akan pernah bisa merasakan
seperti apa yang aku rasain sekarang. Aku selalu siap nemenin kamu beli ini,
beli itu buat adikku, Yesah. Boleh jujur gak? Aku cemburu loh, tapi ya mau
bagaimana lagi kamu kan naksirnya sama adik aku, kan? Bukan sama aku? Bodoh gak
sih kalau aku berharap kamu bisa suka sama aku layaknya aku suka sama kamu?
Jo, maaf sebelumnya kalau aku gak kasih kamu kabar soal kepergian aku ke Palembang ini. Aku Cuma bingung mau ngabarin lewat mana. Teleponku aja jarang kamu angkat, kan? Kamu baik-baik ya, Jo disana. Aku gak akan pernah lupa kalau aku pernah menyayangi bahkan masih menyayangi kekasihnya adikku sendiri.
Jo, terima kasih sudah
membuatku mengerti apa itu tulus. Dari semuanya aku belajar bahwa tulus tak
mesti memiliki. Aku teramat tulus menyayangimu, Jo. Ya, aku, aku yang selalu
berpakaian layaknya lady rocker, aku yang selalu menguncir acak rambutku, aku
yang selalu bermain layangan dan tak pernah menyentuh make up!
Jo, mungkin Cuma ini aja
yang perlu kamu tau. Hehe, selebihnya ya kamu aja yang lanjutin. Aku sayang
kamu, Jo!
Salam sayang,
Yosah
Air mata membendung
dikelopak mata, Jo. Ia tak menyangka kalau sahabatnya yang selama ini hanya
dianggap sahabat olehnya mempunyai perasaan lebih untuknya. Jo mulai sadar dan
kemudian segera menelepon Yosah.
“Yosah..”
“Iya, ada apa, Jo?”
“Maafin gue.”
“Maaf kenapa?”
“Gue gak pernah bisa
ngerti maksud perhatian lo selama ini ke gue. Gue tolol!” Jo menangis.
“Jangan menyalahkan diri
lo sendiri dong. Ya, udah sekarang kan lo udah bahagia sama Yesah, jalanin ya
sama dia. Jangan kecewain dia. Yang penting sekarang lo udah tau perasaan gue
ke lo kayak gimana.”
“Tapi, Yos, gue gak bisa.”
“Selama ini lo bisa, kan?”
“Anggep aja surat tadi
tuh Cuma angin lalu.”
“Yosah, lo sempurna. Gue gak
pernah ketemu cewek kayak lo, Yos.”
“Gak, gue biasa aja kok.
Udah ya, Jo. Gue mau bersih-bersihin kamar dulu.”
“Tapi, Yos....”
Klik.
Maaf, Jo aku mematikan
teleponku. Aku tak kuat menahan air mataku lagi. Sudah terlalu banyak air
mataku tetes untukmu. Tuhan, inikah yang kau sebut tulus? Kalau memang iya,
biarkanlah adikku merasakan kebahagiaan bersama Jo. Aku tak akan marah, hanya
cemburu yang tak pernah absen hadir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar