Senin, 08 Oktober 2012

Doa Jahatku

Setiap cinta punya cerita.

Mungkin kata itu tepat untuk menggambarkan perasaanku sekarang. Kisah cintaku ini tak terlalu menyenangkan. Aku kehilangannya, cinta pertamaku, dan sekarang aku harus ikut bahagia dalam bingkai cintanya bersama yang baru. Ah, dosa apa aku..

Aku memang belum merelakanmu, masalahkah? Jujur, aku tak pernah melepasmu sepenuh hati ini. Tapi, aku bisa apa jika kamu sudah ingin melepasku?

Kisah ini belum usai, rindu ini belum habis. 

Ini kisahku, seorang gadis yang tak terlalu dihujai keberuntungan. Kenalkan kawan, namaku Cersy, mereka biasa memanggilku Esy. Aku hanyalah gadis biasa berusia hampir 20 tahun. Tapi postur tubuhku tak terlalu tinggi, jadi banyak yang mengira aku masih berusia belasan tahun, begitu juga wajahku yang sebenarnya masih terlalu muda untuk menginjak di usia ini.

Di usiaku yang hampir 20 tahun ini sebenarnya adalah saat-saat dimana aku harus mencari seseorang yang akan menjadi imamku kelak dan kali ini aku tak mencari seorang pacar, melainkan seorang pedamping hidup yang akan membawaku meniti biduk rumah tangga. Tapi apa daya, seseorang yang ku dambakan tak pernah ku peluk.

Aku pernah mencintai seorang pria, dan itu cinta yang pertama. Itu dulu, sekitar 4 tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Pria itu bernama Yuji, seorang pria imut yang sangat pandai. Ya, Yuji memang sangat imut. Matanya tak terlalu besar dengan bulu matanya yang sedikit tebal. Alisnya tipis, tak lupa bibirnya yang begitu mempesona. Ya, semua wanita pasti mengaguminya. Yuji berada dua tahun di atasku. Aku mengenalinya sejak aku mengikuti ekstrakulikuler yang sama, yaitu Tata Busana. Ya, Yuji adalah ketua dari ekskul ini. Tak heran jika setiap harinya, mataku selalu dihiasi oleh kilau keindahan Yuji, ia selalu pandai berpakaian. Tak pernah sedikitpun ada lecek menempel di pakaiannya. Yuji begitu bersih, indah dan menawan.

Memilikinya? Ya, itu mimpiku.

Tapi tunggu dulu, itu semua tak mimpi. Aku berhasil mendapatkan hatinya, aku berhasil meraih cinta pertamaku, Yuji. Ah, indahnya saat mengenangmu, Yuji..
***

Yuji memperhatikanku, ya, mata indah itu. Aku semakin salah tingkah, terlebih saat ia mendekatiku.

                “Kamu Cersy anak 1 IPA A, kan?” tanyanya dengan ramah.

                “I...Iya, Kak, he..he..” aku terbata-bata. Aku benar-benar gugup, Tuhan..

                “Hmm, bisa aku bantu merancang busanamu?”

Aku semakin bingung. Mulutku terasa terkunci, aku benar-benar tak tau harus bagaimana. Bahkan pensil yang sedari tadi ku pegang dengan tiba-tiba terlepas begitu saja. Aku hanya mampu mengangguk dan membiarkan Yuji membantuku merancang busana.

Aku masih terpaku dengan lekukan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya itu. Menyaksikan setiap goresan pensil yang ia torehkan di kertas.

                “Di bagian ini, mau kamu tambahkan apa? Bunga-bunga atau apa?” tanya Yuji.

Aku masih diam, memperhatikan matanya. Yuji terlihat bingung dengan kelakuanku yang aneh ini. Ya, kamu telah berhasil membuatku menjadi sosok yang aneh, Yuji..

                “Hei? Esy? Hello?” Yuji menggerak-gerakkan tangannya di depan pandanganku

Aku tersentak. Aku malu.

                “Eh, hmm, iya, Kak, he..he. Ma..af yaa, Kak..” aku terbata-bata

                “Kamu kenapa? Kok ngeliatin aku begitu amat?”

Aku kembali diam dan memperhatikan bola matanya yang sangat indah itu.

                “Kak, kok ganteng sih.” Aku spontan mengeluarkan kata-kata itu, karena hanya itu yang aku
                pikirkan.

                “Hah? Aku ganteng? Ah, kamu bisa aja sih.” Yuji terlihat malu-malu.

Yuji diam, aku pun diam. Aku diam menahan malu, bagaimana bisa mulutku mengucap spontan seperti itu? Ah, itulah cinta...
***

Aku dan Yuji semakin dekat. Aku rasa, Yuji menyukaiku. Eh  kenapa aku begitu berharap?
Pesan singkatmu tak pernah lepas dari ingatanku. Kata-kata manismu, selalu terbayang di setiap ku membuka mata. Aku benar-benar cinta, aku jatuh dalam lautan cintamu, Yuji..
Aku menunggumu menyatakan cinta itu. Entah kapan, tapi aku sangat berharap.  Dan saat-saat itu pun tiba.

                “Aku menyayangimu, Esy. Sejak pertama aku melihatmu di ekskul itu, aku benar-benar
                tertarik.” Kata-katanya yang sedari dulu hanya ada di mimpiku.

Aku terdiam malu. Sore itu seakan menjadi sore yang paling indah seumur hidupku, aku tak pernah merasakan getaran ini. Aku tak pernah merasakan cinta sebelumnya dan ini yang pertama kalinya. Dengan rona wajah yang memerah, aku menjawab perkataan Yuji.

                “Aku pun merasakan hal yang sama denganmu.”

                “Kita sama-sama mempunyai rasa itu, Sy. Aku tak mau berlama-lama. Maukah kamu menjadi
                kekasihku?”

Deg! Hatiku terasa di bom sebuah truk yang berisi bunga-bunga yang mewangi.

                “Aku mau menjadi kekasihmu, Yuji.”

Yuji memelukku. Dan kini, aku telah merasakan indahnya cinta pada tatapan pertama, di lekuk senyumnya.
***

Tapi semua keindahan itu tak berjalan seusai skenarioku. Yuji memutuskan hubungan ini ketika ia akan melanjutkan kuliah di Jepang, negara yang terkenal akan busananya yang trendi.

                “Maafkan aku, Sy. Aku gak bisa menolak kemauan kedua orang tuaku.” Katanya sambil
                menangis.

                “Tak perlu minta maaf. Aku pun mengerti.” Jawabku yang sok tegar.

                “Kalau kita berjodoh, nantinya kita akan bersatu lagi. Kamu cinta pertamaku, Esy.”

                “Ya, kalau berjodoh, kalau tidak?” gumamku dalam hati.

Aku memang sangat menyayangkan keputusan Yuji untuk memutuskanku dengan alasan yang seperti ini. Padahal jika rasa saling percaya dan setia itu ditanamkan, jarak tak akan menjadi masalah. Tapi ya, sudahlah, mungkin memang itu yang terbaik. Dan kali ini aku tak akan menyalahkan Tuhan.
***

Aku masih mengingat semua tentang Yuji. Bagaimana bisa aku ,melupakan kisah cinta pertamaku yang sangat indah dan menyedihkan itu?

Tapi sayang, sejak ia kuliah di Jepang dan aku lulus dari SMA itu, aku tak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Aku tak tau bagaimana Yuji yang sekarang dan apakah ia masih mengingat cinta pertamanya? Biarkan Tuhan yang punya rencana atas semuanya. Dan aku pun harus tetap menjalani hidup tanpa bayang-bayang Yuji.

Di saat-saat aku tengah melupakannya, kenapa ia hadir lagi?
***

                “Selamat siang, dengan Cersy Collection disini, ada yang bisa dibantu?” 

                “Siang. Saya akan merencanakan pernikahan dan kali ini saya akan memakai jasa Nyonya        
                 Cersy untuk membuatkan desain baju saya dan calon suami saya.”

                “Oh begitu. Silahkan datang ke toko kami, Nyonya. Kami akan menyiapkan semua yang
                anda perlukan dalam acara itu.”

                “Baiklah, nanti siang, saya akan ke sana.”

                “Saya tunggu. Maaf dengan Nyonya siapa saya berbicara?”

                “Panggil saja saya Ruhya.”

                “Oke, Nyonya Ruhya. Selamat siang.”

Sebuah job datang lagi dari para pelangganku. Alhamdulillah, usahaku sekarang berkembang semakin pesat, ditambah lagi dengan bakatku merancang desain baju-baju pengantin yang sudah sering menjadi trend dikalangan pasangan-pasangan muda. Aku mengawali usaha ini dengan niatan penuh untuk sukses.

                “Ada job lagi, Mba?” tanya seorang karyawanku. Ya, walaupun aku adalah pemilik usaha ini,
                tapi aku enggan untuk dipanggil ‘bos’ atau sejenisnya.

                “Ada lagi nih, Wis. Nanti siang dia akan kesini. Oh, iya gimana dengan desain yang kemarin?”

                “Yang kemarin, Mba? Oh iya, pelanggan sangat menyukai desain itu. Dan beliau akan
                membayar baju rancangan Mba itu.” Jawabnya penuh antusias.

                “Syukurlah. Kalau begitu sekarang saya mau kembali ke ruangan saya.”
***

Seusai makan siang bersama semua karyawanku, kami semua kembali bekerja di bagian masing-masing. Aku duduk di meja dengan tulisan “DIREKTUR” . Dan kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di parkiran. Dan turunlah seorang wanita yang masih muda, mungkin seusiaku. Dan aku langsung teringat dengan telepon dari seorang wanita tadi pagi. Mungkin wanita itu orangnya. Dan beberapa saat kemudian, keluarlah seorang pria gagah mengenakan jas coklat dengan kacamata yang menyangkut di tulang hidungnya. Aku mulai mengenali pria itu. Pria itu, Yuji...

Tapi apa benar itu Yuji?

                “Selamat siang, selamat datang di Cersy Collection. Ada perlu apa, Nyonya, Tuan?”
                salah seorang karyawanku memberi salam kepada mereka.

                “Saya tadi pagi sudah menelepon kesini dan sudah berjanji akan bertemu dengan Nyonya
                Cersy.” Jawab wanita itu.

                “Kalau begitu, Nyonya dan Tuan silahkan menuju meja direktur. Nyonya Cersy sudah
                menunggu.”

Dari kejauhan, aku masih memperhatikan sosok pria yang ada disamping wanita itu. Pria itu Yuji, ya aku yakin sekali. Tapi kalau benar itu Yuji, siapa wanita itu?
Mereka semakin dekat.

                “Nyonya Ruhya, ya?” tanyaku dengan ramah.

                “Iya, saya Ruhya dan ini Yuji, calon suami saya.”

Nah! Benar dugaanku. Dia Yuji, cinta pertamaku. Apakah ia masih mengenaliku? Aku menatapnya sejenak, ia tersenyum. Ya, aku tau ia mengenaliku.

                “Silahkan duduk, Nyonya, Tuan.” Aku mempersilahkan mereka duduk.

Aku memandang lagi mata indah itu. Mata indah yang sedari dulu aku rindukan. Ingin rasanya aku menangis saat ini juga. Aku tak habis pikir, kalau sekarang aku akan merancang busana pernikahan cinta pertamaku. Tuhan, ini benar-benar diluar logikaku..

                “Maaf, saya mau ke toilet sebentar.” Aku pun meninggalkan mereka dan langsung menuju
                kamar mandi.

Yuji memperhatikan mataku, dan mungkin ia tau aku akan menangis sekencang-kencangnya di dalam toilet.
Air mataku menetes. Wisnu dan beberapa karyawan lainnya mendekatiku dan menanyakan keadaanku.

                “Mba, kenapa? Kok nangis?”

                “Aku gak kenapa-kenapa.” Jawabku lemas dan berlalu menuju kamar mandi.

Sonaya mengikutiku.

                “Kamu kenapa, Sy? Ada apa?” tanyanya sambil membelai rambutku.

                “Kamu lihat pasangan tadi?”

                “Iya, lalu?”

                “Pria itu, cinta pertamaku, dia Yuji! Yuji yang selalu ku ceritakan kepadamu.”

                “Kalau begitu wanita itu adalah calon istrinya Yuji?”

                “Iya! Dan mereka akan menikah, lalu aku? Aku harus merancang busana untuk mereka!”

                “Sabar, Esy. Aku tau kamu kuat.”

                “Aku gak kuat, aku harus gimana. Aku masih ingat semua tentang Yuji.”

Sonaya memelukku erat.

                “Aku tau semuanya berat. Tapi coba lalui ini dengan doa dan niat.”

Mendengar itu. Aku langsung berdoa supaya Tuhan memberikanku kekuatan yang lebih untuk melalui semuanya.
Aku pun keluar dari kamar mandi dan menyiapkan hatiku lagi untuk mendengarkan semua keinginan Yuji dan Ruhya..

                “Maaf ya lama, hehe.” Kataku kepada Yuji dan Ruhya.

                “Iya, gak apa-apa. Oh, iya, enaknya saya panggil kamu apa ya?” tanya Ruhya.

                “Panggil saja Esy.” Celetuk Yuji.

Aku tersentak lagi. Astaga, ternyata benar, Yuji masih mengingatku dan mengingat nama panggilanku itu. Bahagia namun sedih mendengarnya.

             “Ya, memang itu nama panggilan saya. Kalau begitu konsep apa yang kalian inginkan untuk
             pernikahan itu?” tanyaku menahan sesak.

“Aku keluar ya. Bilang saja yang tadi malam aku bilang ke kamu sekarang kamu yang urus     semuanya, perutku gak beres nih.”  Suara Yuji di telinga calon istrinya.

Aku tak tau kenapa Yuji keluar dan membiarkan Ruhya mengurusi semua konsep pernikahannya. Aku dan Ruhya saling bercerita satu sama lain. Ternyata Ruhya bertemu Yuji ketika di Jepang. Mereka kuliah di satu universitas yang sama. Dan kini mereka akan menikah. Betapa beruntungnya Ruhya...
Ingin rasanya air mata ini menetes lagi, mendengar semua cerita bahagia dari mulut Ruhya. Andai dia tau kalau aku adalah cinta pertamanya Yuji..

Malamnya, aku telah merancang sebuah busana pengantin untuk Yuji dan Ruhya. Sangat menawan, dan awal dari konsep ini adalah ida dari Yuji, cinta pertamaku.
***

Pernikahan mereka berlangsung hari ini. Aku di minta Ruhya untuk datang, enggan sebenarnya. Tapi, ya, tak apalah. Aku ingin melihat senyum bahagia dari cinta pertamaku..
Yuji sangat tampan dengan busananya. Begitu juga Ruhya yang sangat anggun. Mereka berdua nampak serasi dan aku tak mampu membayangkan betapa bahagianya Ruhya saat itu. Kenapa bukan aku yang ada di sampingmu saat ini, Yuji..

Di sela-sela acara, Yuji sempat menghampiriku.

                “Terimakasih, Esy.”

Kenapa harus ‘terimakasih’ yang ku dengar darimu. Kenapa bukan ‘aku masih menyayangimu sampai detik ini.’ ya, aku hanya bermimpi untuk mendapatkan perkataannya yang seperti itu.

                “Terimakasih? Untuk apa?”

                “Untuk rancangan busana aku dan Ruhya.”

                “Itu sudah menjadi pekerjaanku. Yuji, bolehkah aku berbicara sebentar denganmu?”

                “Boleh. Bicara apa?”

Aku berjalan menuju tempat yang tak terlalu ramai, di sisi gedung. Ingin rasanya aku berbicara kalau aku masih menyayanginya dan aku masih menunggunya untuk kembali merangkul bahagia yang seharusnya ku genggam. Tapi bibirku terasa beku, aku tak mampu mengatakan semua kejujuran itu. Dan keluarlah perkataan yang sama sekali bukan kejujuranku.

                “Selamat menempuh hidup baru bersama Ruhya. Semoga berbahagia selalu.”

                “Hanya itu yang ingin kamu katakan? Aku pikir ada yang lebih penting.”

                “Ya, hanya itu.”

Aku pun meninggalkan Yuji. Dan kembali menikmati hidangan di pesta ini. Yuji menghampiri istrinya, Ruhya. Mereka bergandengan menghampiri para tamu undangan. Yuji sempat menoleh kepadaku, ia tersenyum. Ah, senyuman itu, tak pernah berubah dan luntur pun enggan mendekati senyum itu.

Dalam hati, aku berdoa, mungkin ini doa terjahat yang pernah ku serahkan kepadamu, Tuhan.

“Tuhan, maafkan aku, aku masih belum rela, aku masih belum melepasnya. Cinta ini terlalu dalam, tolong jangan buat mereka bahagia selamanya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar