“Salah gak
kalo aku cemburu melihat dia sama pacar barunya?”
Berkali-kali
aku ucapkan sepatah kalimat itu. Pentingkah? Haruskah? Dan mengapakah aku harus
terus menerus cemburu kepadanya? Kepadanya, seseorang yang telah membuat orang
yang kusayangi terbalut kebahagiaan disana. Tapi siapa yang kuat menanggung perasaan
yang menyesakkan dada ini? Kalaupun bisa, aku lebih memilih untuk tak
meneruskan perasaan sayang yang enggan untuk berhenti ini.
“Percuma, Kania. Percuma kamu terus-terusan nangis melihat
sama Vikar pacar barunya, percuma dan nggak ada gunanya! Sadar!” bentak Asya
yang kesal karena Kania terus menerus menangis melihat Vikar tengah berbahagia
bersama kekasih barunya.
“Tapi, Sya, aku sayang banget sama dia. Kamu tau itu kan? Dua tahun bukan waktu yang sebentar, Sya..” Kania terisak.
“Ya terus mau sampai kapan kamu terus-terusan kayak gini? Buat apa coba nangisin orang yang udah bahagia sama orang yang lainnya, buang-buang waktu aja. Masih banyak yang lebih baik, masih banyak yang lebih dan lebih dari dia, Kan! Sadar!”
“Aku sadar, Sya. Sadar banget, bahkan aku sadar kalau aku benar-benar sayang sama dia..”
“Tapi, Sya, aku sayang banget sama dia. Kamu tau itu kan? Dua tahun bukan waktu yang sebentar, Sya..” Kania terisak.
“Ya terus mau sampai kapan kamu terus-terusan kayak gini? Buat apa coba nangisin orang yang udah bahagia sama orang yang lainnya, buang-buang waktu aja. Masih banyak yang lebih baik, masih banyak yang lebih dan lebih dari dia, Kan! Sadar!”
“Aku sadar, Sya. Sadar banget, bahkan aku sadar kalau aku benar-benar sayang sama dia..”
***
Hubungan
ini memang telah usai. Semuanya telah berakhir, rasanya aku masih ingat
saat-saat aku masih mampu merangkul rindunya, saat tangannya masih mampu ku
sentuh. Ya, saat itu, dua tahun yang lalu, dan masih sangat melekat di
memoriku. Aku tak mampu melupakan semua kenangan indah itu, entah kenapa,
mungkin semuanya terlalu indah untuk diasingkan.
Kini,
aku masih merindukannya. Aku masih menyayanginya, bahkan aku masih
mengharapkannya. Walau aku tau semua itu tak pernah ada lagi di benaknya.
Biarlah aku sendiri menyusun kepingan rindu yang tersisa. Rinduku sendiri..
“Mereka masih pacaran?” tanyaku kepada Asya.
“Mereka? Siapa?”
“Vikar dan Maria. Siapa lagi pasangan yang selalu
membuatku iri selain mereka?” jawabku ketus.
“Oh, mereka. Kamu masih perhatiin mereka ya?”
“Tiap hari, mereka tak pernah luput dari pandanganku,
Sya.”
“Jangan memaksakan, Kan. Aku tau kamu tersiksa dengan
semua pandanganmu itu.”
“Bohong jika aku tak tersiksa. Tapi mau gimana lagi, Sya?
Mereka selalu berdua kemanapun.”
“Sudahlah. Sekarang, lupain Vikar. Jangan terpaku di masa
lalu, masa depan kamu sudah melambai-lambai, loh.”
“Tapi apa aku mampu melupakan Vikar, Sya?”
“Yakinlah. Rencana Tuhan selalu indah, Kan. Aku selalu
ada di sini buat kamu, sahabatku.”
Aku
dan Asya berpelukan. Aku meneteskan air mata, aku merasa telah menjadi
seseorang yang bodoh, kenapa aku baru sadar kalau ternyata sahabat itu lebih
dari apapun? Kenapa aku baru sadar mempunyai sosok sahabat yang selalu mengerti
semua tentangku? Terimakasih sahabatku, Asya...
***
Kenapa cemburu itu masih hadir? Jawabannya singkat, karena aku masih belum mampu melepas semua tentangnya. Aku berusaha melawan rasa cemburu itu, tapi ternyata aku tak mampu. Aku masih ingat detik-detik menjelang kata “putus” itu terjadi, dan itu cukup menyesakkan batinku. Bukannya aku tak mau mempertahankan, tapi pernyataannya yang teramat jujur membuatku sesak.
Kenapa cemburu itu masih hadir? Jawabannya singkat, karena aku masih belum mampu melepas semua tentangnya. Aku berusaha melawan rasa cemburu itu, tapi ternyata aku tak mampu. Aku masih ingat detik-detik menjelang kata “putus” itu terjadi, dan itu cukup menyesakkan batinku. Bukannya aku tak mau mempertahankan, tapi pernyataannya yang teramat jujur membuatku sesak.
“Aku sudah menyayangi yang lain, Kan.”
Mendengar
itu, hatiku seperti merasakan petir yang menggema. Sakit dan menyakitkan.
Kenapa ia begitu jujur? Teramat jujur, lebih tepatnya. Aku masih diam,
sementara Vikar masih melanjutkan perkataannya.
“Maaf, aku nggak bermaksud membuat hatimu sakit. Aku cuma
mau jujur, Kan. Aku gak mau menjalani semuanya sedangkan sayangku untukmu
semakin hari semakin menipis.”
Aku
masih diam, terpaku mendengar perkataannya yang begitu menusuk. Aku tak tahu
harus melakukan apa saat ini, bahkan menangis pun aku tak mampu. Ya, rasanya
air mataku enggan menetes.
“Siapa wanita beruntung itu, Kar?” tanyaku.
“Wanita itu, Maria, Kan.” jawabnya singkat.
Aku
terdiam untuk yang ketiga kalinya. Aku benar-benar tak menyangka kalau ternyata
wanita beruntung yang mampu membuat Vikar melepasku adalah Maria, teman
sepermainanku. Kali ini air mataku mulai mengembang, perlahan menetes. Ya, rasanya
ini tak mungkin, tapi Vikar telah mengutarakan isi hatinya se-jujur-jujurnya.
Dan aku baru menemukan lelaki seperti Vikar, tanpa rasa bersalah ia
memutuskanku dan menyayangi orang lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah
teman sepermainanku.
“Beruntungnya dia. Selamat, semoga ia akan merasakan
kebahagiaan yang seharusnya ia dapatkan
dari kamu.” kataku singkat, lalu
berlalu meninggalkan Vikar.
Vikar
masih terdiam. Aku berharap ia memelukku dan bilang kalau semua perkataannya
tadi itu hanya lelucon. Aku berjalan gontai menyelusuri senja yang tak bertepi.
“Kania...!?”
Vikar
memanggil namaku. Ya, Tuhan, apa harapanku tadi akan terwujud. Ah, aku sangat
berharap. Aku berhenti kemudian menoleh, Vikar setengah berlari menghampiriku.
Ia menggenggam tanganku, lalu mencium keningku. Ah, Tuhan, bolehkah aku mohon
hentikan senja ini?
“Terimakasih untuk dua tahun ini, Kan. Kamu wanita
hebat.” katanya dengan mata yang sedikit basah, aku tahu, ia habis menangis.
“Terimakasih untuk apa? Aku nggak pernah memberikan kamu
apa-apa, Kar.” jawabku sambil menahan tangis.
“Kamu udah kasih aku semua ketulusan dan kamu yang
pertama memberikan semua itu, Kan. Kamu
udah mengajarkan aku banyak hal,
mengerti dan percaya.” lanjutnya.
Aku
tak menyangka kejadian menyesakkan tadi akan menjadi seharu ini.
“Itu sudah kewajibanku, aku bukan wanita hebat, Kar.
Kalau aku wanita hebat, kamu tak akan berpaling ke lain hati.”
“Maaf.” katanya sendu.
“Tak apa. Aku pergi ya, bahagiakan Maria.”
Aku
segera memalingkan mukaku dan berjalan menjauh darinya, mantan kekasihku,
Vikar. Dan kini, semuanya telah usai. Lembaran kasih selama dua tahun ini telah
berakhir dan tak ada lagi lembaran untuk halaman selanjutnya. Menyesakkan
memang, tapi aku mencoba lebih dewasa menghadapi semuanya. Mana mungkin aku harus
terhenti hanya karena sebuah masalah semu yaitu ‘CINTA’ ?
***
Sedikit aku sudah melupakannya. Hanya saja aku benci dengan cemburu yang masih terus hadir, aku benci melihatnya bahagia. Padahal, dulu, aku yang meminta Vikar untuk membahagiakan Maria. Ah, betapa tegarnya aku saat itu..
Sedikit aku sudah melupakannya. Hanya saja aku benci dengan cemburu yang masih terus hadir, aku benci melihatnya bahagia. Padahal, dulu, aku yang meminta Vikar untuk membahagiakan Maria. Ah, betapa tegarnya aku saat itu..
Dan
kini, Vikar benar-benar sudah membahagiakan Maria dan aku rasa itu memang sudah
seharusnya. Dan sudah seharusnya pula aku merasakan kebahagiaan mereka. Huh,
rasanya perlu banyak ‘tapi’ untuk
menjawab keharusan itu.
Nasihat
dari Asya sangat membantuku untuk melupakan semua tentang Vikar, tapi tunggu,
apa harus melupakan? Kalau begitu, untuk apa tercipta lembaran kenangan kalau
akhirnya terlupakan?
Aku
pernah sesekali berpura-pura sudah membuang semua tentang Vikar, tapi sayang,
aku tak mahir berlama-lama dalam ke-pura-puraan. Asya menemukan foto-foto Vikar
yang masih tersusun rapi di laci kamarku, aku memang tak berniat membuang
semuanya. Lebih baik aku susun rapi di laci, mungkin sesekali ku tengok, ketika
rindu menyapa.
“Masih belum bisa melupakan Vikar, Kan?” tanya Asya
ketika menemukan foto-foto Vikar di laci kamarku.
“Sebentar lagi.” jawabku singkat dan
bukan jawaban dari hatiku.
***
Mereka semakin bahagia dan aku masih berusaha melupakan.
Mereka semakin bahagia dan aku masih berusaha melupakan.
Dari
kejauhan ku perhatikan, dua bongkah senyum merekah penuh cinta. Tak nampak
kesedihan di sisi mereka. Karena semua kesedihan kini bersembunyi di mataku.
Mungkin Vikar mudah membuang dan memutuskanku. Mungkin Vikar terlalu sulit ku
lupakan. Dan mungkin aku terlalu berharap untuk selalu bersamanya.
Di
pojok senja, aku terdiam, memandang jendela, memandang matahari yang lambat
laun tenggelam. Aku berusaha memaknai perpisahan kisah ini. Mungkin Vikar sudah
menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dan kebahagiaan itu ada di diri Maria.
Biarlah mereka bahagia, tak perlu ku campur tangan. Aku harus benar-benar
bangkit dan lepas dari semua jeratan menyesakkan ini, ya, apalagi kalau bukan
jeratan rindu?
“Vikar, rindu ini menyiksa. Terlebih lembar halaman
tentangmu, tentangku, tentang kita yang masih kosong.”
“Senja, biarkan lembaran kosong ini tetap kosong.”
bisikku kepada senja.
Penulis : Rizki Kusuma Wardani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar