Senin, 01 Oktober 2012

Lembar Senja


“Salah gak kalo aku cemburu melihat dia sama pacar barunya?”

Berkali-kali aku ucapkan sepatah kalimat itu. Pentingkah? Haruskah? Dan mengapakah aku harus terus menerus cemburu kepadanya? Kepadanya, seseorang yang telah membuat orang yang kusayangi terbalut kebahagiaan disana. Tapi siapa yang kuat menanggung perasaan yang menyesakkan dada ini? Kalaupun bisa, aku lebih memilih untuk tak meneruskan perasaan sayang yang enggan untuk berhenti ini.

“Percuma, Kania. Percuma kamu terus-terusan nangis melihat sama Vikar pacar barunya, percuma dan nggak ada gunanya! Sadar!” bentak Asya yang kesal karena Kania terus menerus menangis melihat Vikar tengah berbahagia bersama kekasih barunya.

“Tapi, Sya, aku sayang banget sama dia. Kamu tau itu kan? Dua tahun bukan waktu yang sebentar, Sya..” Kania terisak.

“Ya terus  mau sampai kapan kamu terus-terusan kayak gini? Buat apa coba nangisin orang yang udah bahagia sama orang yang lainnya, buang-buang waktu aja. Masih banyak yang lebih baik, masih banyak yang lebih dan lebih dari dia, Kan! Sadar!”

“Aku  sadar, Sya. Sadar banget, bahkan aku sadar kalau aku benar-benar sayang sama dia..”
***
Hubungan ini memang telah usai. Semuanya telah berakhir, rasanya aku masih ingat saat-saat aku masih mampu merangkul rindunya, saat tangannya masih mampu ku sentuh. Ya, saat itu, dua tahun yang lalu, dan masih sangat melekat di memoriku. Aku tak mampu melupakan semua kenangan indah itu, entah kenapa, mungkin semuanya terlalu indah untuk diasingkan.

Kini, aku masih merindukannya. Aku masih menyayanginya, bahkan aku masih mengharapkannya. Walau aku tau semua itu tak pernah ada lagi di benaknya. Biarlah aku sendiri menyusun kepingan rindu yang tersisa. Rinduku sendiri..

“Mereka masih pacaran?” tanyaku kepada Asya.

“Mereka? Siapa?”

“Vikar dan Maria. Siapa lagi pasangan yang selalu membuatku iri selain mereka?” jawabku ketus.

“Oh, mereka. Kamu masih perhatiin mereka ya?”

“Tiap hari, mereka tak pernah luput dari pandanganku, Sya.”

“Jangan memaksakan, Kan. Aku tau kamu tersiksa dengan semua pandanganmu itu.”

“Bohong jika aku tak tersiksa. Tapi mau gimana lagi, Sya? Mereka selalu berdua kemanapun.”

“Sudahlah. Sekarang, lupain Vikar. Jangan terpaku di masa lalu, masa depan kamu sudah melambai-lambai, loh.”

“Tapi apa aku mampu melupakan Vikar, Sya?”

“Yakinlah. Rencana Tuhan selalu indah, Kan. Aku selalu ada di sini buat kamu, sahabatku.”

Aku dan Asya berpelukan. Aku meneteskan air mata, aku merasa telah menjadi seseorang yang bodoh, kenapa aku baru sadar kalau ternyata sahabat itu lebih dari apapun? Kenapa aku baru sadar mempunyai sosok sahabat yang selalu mengerti semua tentangku? Terimakasih sahabatku, Asya...
***
Kenapa cemburu itu masih hadir? Jawabannya singkat, karena aku masih belum mampu melepas semua tentangnya. Aku berusaha melawan rasa cemburu itu, tapi ternyata aku tak mampu. Aku masih ingat detik-detik menjelang kata “putus” itu terjadi, dan itu cukup menyesakkan batinku. Bukannya aku tak mau mempertahankan, tapi pernyataannya yang teramat jujur membuatku sesak.

“Aku sudah menyayangi yang lain, Kan.”

Mendengar itu, hatiku seperti merasakan petir yang menggema. Sakit dan menyakitkan. Kenapa ia begitu jujur? Teramat jujur, lebih tepatnya. Aku masih diam, sementara Vikar masih melanjutkan perkataannya.

“Maaf, aku nggak bermaksud membuat hatimu sakit. Aku cuma mau jujur, Kan. Aku gak mau menjalani semuanya sedangkan sayangku untukmu semakin hari semakin menipis.”

Aku masih diam, terpaku mendengar perkataannya yang begitu menusuk. Aku tak tahu harus melakukan apa saat ini, bahkan menangis pun aku tak mampu. Ya, rasanya air mataku enggan menetes.

“Siapa wanita beruntung itu, Kar?” tanyaku.

“Wanita itu, Maria, Kan.” jawabnya singkat.

Aku terdiam untuk yang ketiga kalinya. Aku benar-benar tak menyangka kalau ternyata wanita beruntung yang mampu membuat Vikar melepasku adalah Maria, teman sepermainanku. Kali ini air mataku mulai mengembang, perlahan menetes. Ya, rasanya ini tak mungkin, tapi Vikar telah mengutarakan isi hatinya se-jujur-jujurnya. Dan aku baru menemukan lelaki seperti Vikar, tanpa rasa bersalah ia memutuskanku dan menyayangi orang lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman sepermainanku.

“Beruntungnya dia. Selamat, semoga ia akan merasakan kebahagiaan yang seharusnya ia dapatkan 
dari kamu.” kataku singkat, lalu berlalu meninggalkan Vikar.

Vikar masih terdiam. Aku berharap ia memelukku dan bilang kalau semua perkataannya tadi itu hanya lelucon. Aku berjalan gontai menyelusuri senja yang tak bertepi.

“Kania...!?”

Vikar memanggil namaku. Ya, Tuhan, apa harapanku tadi akan terwujud. Ah, aku sangat berharap. Aku berhenti kemudian menoleh, Vikar setengah berlari menghampiriku. Ia menggenggam tanganku, lalu mencium keningku. Ah, Tuhan, bolehkah aku mohon hentikan senja ini?

“Terimakasih untuk dua tahun ini, Kan. Kamu wanita hebat.” katanya dengan mata yang sedikit basah, aku tahu, ia habis menangis.

“Terimakasih untuk apa? Aku nggak pernah memberikan kamu apa-apa, Kar.” jawabku sambil menahan tangis.

“Kamu udah kasih aku semua ketulusan dan kamu yang pertama memberikan semua itu, Kan. Kamu 
udah mengajarkan aku banyak hal, mengerti dan percaya.” lanjutnya.

Aku tak menyangka kejadian menyesakkan tadi akan menjadi seharu ini.

“Itu sudah kewajibanku, aku bukan wanita hebat, Kar. Kalau aku wanita hebat, kamu tak akan berpaling ke lain hati.”

“Maaf.” katanya sendu.

“Tak apa. Aku pergi ya, bahagiakan Maria.”

Aku segera memalingkan mukaku dan berjalan menjauh darinya, mantan kekasihku, Vikar. Dan kini, semuanya telah usai. Lembaran kasih selama dua tahun ini telah berakhir dan tak ada lagi lembaran untuk halaman selanjutnya. Menyesakkan memang, tapi aku mencoba lebih dewasa menghadapi semuanya. Mana mungkin aku harus terhenti hanya karena sebuah masalah semu yaitu ‘CINTA’ ?
***
Sedikit aku sudah melupakannya. Hanya saja aku benci dengan cemburu yang masih terus hadir, aku benci melihatnya bahagia. Padahal, dulu, aku yang meminta Vikar untuk membahagiakan Maria. Ah, betapa tegarnya aku saat itu..

Dan kini, Vikar benar-benar sudah membahagiakan Maria dan aku rasa itu memang sudah seharusnya. Dan sudah seharusnya pula aku merasakan kebahagiaan mereka. Huh, rasanya perlu banyak ‘tapi’ untuk menjawab keharusan itu.

Nasihat dari Asya sangat membantuku untuk melupakan semua tentang Vikar, tapi tunggu, apa harus melupakan? Kalau begitu, untuk apa tercipta lembaran kenangan kalau akhirnya terlupakan?
Aku pernah sesekali berpura-pura sudah membuang semua tentang Vikar, tapi sayang, aku tak mahir berlama-lama dalam ke-pura-puraan. Asya menemukan foto-foto Vikar yang masih tersusun rapi di laci kamarku, aku memang tak berniat membuang semuanya. Lebih baik aku susun rapi di laci, mungkin sesekali ku tengok, ketika rindu menyapa.

“Masih belum bisa melupakan Vikar, Kan?” tanya Asya ketika menemukan foto-foto Vikar di laci kamarku.

            “Sebentar lagi.” jawabku singkat dan bukan jawaban dari hatiku.
***
Mereka semakin bahagia dan aku masih berusaha melupakan.

Dari kejauhan ku perhatikan, dua bongkah senyum merekah penuh cinta. Tak nampak kesedihan di sisi mereka. Karena semua kesedihan kini bersembunyi di mataku. Mungkin Vikar mudah membuang dan memutuskanku. Mungkin Vikar terlalu sulit ku lupakan. Dan mungkin aku terlalu berharap untuk selalu bersamanya.

Di pojok senja, aku terdiam, memandang jendela, memandang matahari yang lambat laun tenggelam. Aku berusaha memaknai perpisahan kisah ini. Mungkin Vikar sudah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dan kebahagiaan itu ada di diri Maria. Biarlah mereka bahagia, tak perlu ku campur tangan. Aku harus benar-benar bangkit dan lepas dari semua jeratan menyesakkan ini, ya, apalagi kalau bukan jeratan rindu?

“Vikar, rindu ini menyiksa. Terlebih lembar halaman tentangmu, tentangku, tentang kita yang masih kosong.”

“Senja, biarkan lembaran kosong ini tetap kosong.” bisikku kepada senja.









Penulis : Rizki Kusuma Wardani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar