Setiap pagi, Laiza biasa
membantu sang Ibu untuk mengambil pakaian-pakaian dari rumah-rumah penduduk di
sekitar tempat tinggalnya. Ya, beginilah kehidupan gadis kecil itu setiap
harinya, bekerja membantu sang Ibu untuk makan di hari ini. Untuk esok?
Entahlah, jangankan memikirkan untuk esok, hari ini saja ia masih ragu akan
menyuap nasi ke mulutnya..
“Permisi, Bu. Aku mau ambil pakaian yang akan di cuci Ibu,” kataku ramah
pada seorang Ibu muda yang lumayan kaya raya.
“Oh, iya. Ini pakaiannya, sayang. Hati-hati ya bawa pakaiannya,” kata Ibu
itu sambil menyerahkan kantong besar yang berisi pakaian-pakaiannya.
“Baik. Terimakasih, Bu..”
“Terimakasih kembali, gadis cantik,” ucap Ibu itu lagi sambil mengusap
rambutku. Aku tersenyum malu lalu meninggalkan rumah besar milik Ibu muda itu.
Aku melenggang lagi
mencari-cari rumah yang biasanya menitipkan pakaiannya untuk di cuci oleh aku
dan Ibu. Rasanya sudah cukup jauh aku berjalan, lelah sekali. Sesekali ia
melihat anak-anak seusianya bermain-main di halaman rumahnya yang sangat luas.
Mereka semua nampaknya tak pernah merasakan sedih dan lelah sepertiku. Ya, aku
selalu melihat senyum bahagia dari mereka semua. Andai, aku ada di posisi
mereka...
***
Sudah beberapa bulan ini,
ada satu berita yang sangat heboh di wilayah kerajaan Sansa. Dan di kerajaan
itulah Laiza bersama Ibunya tinggal. Ada berita bahwa di halaman istana Sansa
ada sebuah lonceng besar dan katanya setiap anak-anak kecil yang membunyikan
lonceng itu, akan mendapatkan kebahagiaan yang mereka inginkan. Orang-orang
menyebutnya “Lonceng Kebahagiaan”. Awalnya, aku memang tak percaya dengan semua
itu. Karena bagiku, kebahagiaan sudah dituliskan Tuhan. Walau sebenarnya, aku
tak tau kapan Tuhan akan memberikanku kebahagiaan yang sebenarnya...
“Bu, Ibu sudah dengar berita tentang “Lonceng Kebahagiaan” ?” tanyaku pada
Ibu yang sedang sibuk mengucek pakaian-pakaian.
“Iya, kenapa, Nak? Kamu mau ikut mencari kebahagiaan lewat lonceng itu?”
Aku terdiam, bingung mau berkata apa lagi.
“Emmm, bukan begitu, Bu. Aku hanya mau tau aja, kok.” jawabku pelan, takut
Ibu marah.
Ibu tak menjawab dan
malah semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun kembali fokus kepada
pakaian-pakaian yang harus di cuci hari ini. Aku mencoba melupakan keinginanku
untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu..
Semua pakaian sudah ku
jemur dengan rapih. Ku basuh keringat yang membasahi keningku. Lelah yang
sangat untuk hari ini. Setelah ini aku harus mengantarkan pakaian-pakaian yang
sudah selesai di setrika oleh Ibu. Tentu saja, pakaian-pakaian ini sudah aku
cuci dari dua hari yang lalu.
“Laiz, ini baju-bajunya Ibu Voi, ya. Lalu ini baju-bajunya Ibu Win..” kata
Ibu sambil memberikanku pakaian-pakaian yang sudah bersih dan wangi.
“Baik, Bu. Laiza antar sekarang, ya?”kataku dengan semangat.
“Iya. Hati-hati, sayang..”
Aku pun keluar dari rumah
kecilku untuk segera mengantar baju-baju ini. Di perjalanan, aku selalu
mendengar celotehan anak-anak kecil yang sudah membuktikan kebenaran lonceng
kebahagiaan itu. Ah, aku tak boleh lagi memikirkan itu. Aku harus fokus dengan
tujuanku sekarang, mengantar pakaian-pakaian ini ke rumah Ibu Voi dan Ibu Win..
10 menit berjalan kaki,
aku berhenti di sebuah rumah yang sangat besar. Rumah ini dikelilingi kolam,
jadi kita harus menyebrangi jembatan kecil untuk sampai ke depan pintu
rumahnya. Aku memencet tombol yang ada di depan gerbang besar ini. Lalu, aku
melihat Ibu Voi naik di atas perahu kecil dan segera menghampiriku. Aku
menganga melihat sebuah kekayaan yang sesungguhnya...
“Hai, gadis cantik..” sapanya.
“Ah, Ibu Voi ini berlebihan..” jawabku malu.
“Memang kenyataannya, sayang. Oh, iya pakaianku sudah
bersih ya?”
“Sudah, Bu. Ini..” jawabku sambil menyerahkan kantong
yang berisi pakaian Ibu Voi yang
sudah bersih.
sudah bersih.
“Terimakasih. Ini bayarannya..” kata Ibu Voi sambil
mengeluarkan beberapa koin emas.
Aku kaget, “Bayaran? Aduh, nanti Ibu saja yang bayar
ke Ibuku. Aku tak tau tentang bayaran.
Tugasku hanya mengantarkan semua pakaian Ibu Voi..”
Tugasku hanya mengantarkan semua pakaian Ibu Voi..”
“Tak apa. Ambil ini, gadis baik..”
“Aku tak mau menerimanya, Bu. Ini terlalu banyak..”
“Lalu, kau mau ku bayar dengan apa?”
“Dengan... satu ekor ikan dari kolam yang sangat luas
ini, Bu. Hanya itu, aku ingin makan
ikan..”
ikan..”
Ibu Voi tertegun, lalu
meminta pengawalnya untuk mengambilkan satu ekor ikan besar untukku makan
bersama Ibu nanti.
“Nah, ambil ini, sayang. Besok kesini lagi ya, ambil
lagi pakaianku yang harus dibersihkan,”
“Baik, Bu. Terimakasih ikannya, Bu..”
“Iya, langsung pulang ya, gadis cantik. Salam untuk
Ibumu..”
Aku tersenyum lebar dan
perlahan meninggalkan rumah yang sangat mewah ini dengan menenteng kantong yang
berisi satu buah ikan pemberian Ibu Voi. Alhamdulillah, aku dapat merasakan
lagi bagaimana nikmatnya ikan legit ini..
Aku langsung menuju ke
rumah Ibu Win dan mengantarkan pakaian miliknya. Rumah Ibu Win tak semewah
rumah Ibu Voi, namum setidaknya rumah Ibu Win tak sekecil rumahku.
“Ibu, ini bajunya. Sudah bersih dan wangi..” sahutku
ramah penuh senyum.
“Terimakasih, Laiza. Ini untukmu..” jawab Ibu Win
sambil memberikanku sebuah kantong.
“Apa ini, Bu?”
“Ini kue. Buatan Ibu. Terimalah, ini hadiah untuk
gadis cantik dan rajin sepertimu..”
Aku mengambil kantong itu, “terimakasih, Bu.”
“Iya, gadis cantik. Hati-hati di jalan pulang. Salam
untuk Ibumu..”
Aku mengembangkan
senyumku lebih dari tadi. Dan hari ini aku benar-benar bahagia bisa menyantap
makanan yang sedari dulu hanya ada di doaku saja..
Aku pun berjalan penuh
semangat menuju rumahku.
“Ibuuu... Ibuu.. Lihatlah apa yang ku bawa, Bu..”
teriakku sambil berlari ke dalam rumah.
“Astaga, Nak. Hati-hati, nanti terpeleset. Apa yang
kamu bawa, sayang?”
“Ini ikan dan kue, Bu. Pemberian dari Ibu Voi dan Ibu
Win,” jawabku bangga.
“Ya, sudah. Nanti ikannya biar Ibu masak, ya. Kuenya
kamu taruh saja di meja. Sekarang
kamu mandi..”
kamu mandi..”
***
Godaan untuk membunyikan
lonceng itu pun kembali menghantuiku. Tetanggaku, Wina, membunyikan lonceng
tersebut dan mimpinya untuk mempunyai boneka yang sangat besar pun terwujud.
Aku semakin tak bisa menahan godaan ini.
Diam-diam, aku berjalan
menuju halaman istana. Dari kejauhan aku melihat banyak anak-anak kecil yang
mengantri untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku semakin pesimis mampu
membunyikan lonceng kebahagiaan itu, tapi aku sudah teguhkan dalam hati untuk
mendapatkan kebahagiaan yang aku inginkan.
Dan tanpa sadar, kini,
aku sudah berada di antrian paling depan. Dan kini tibalah aku untuk
membunyikan lonceng kebahagiaan itu..
“Ucapkan keinginanmu dalam hati, Nona kecil..” kata
seorang pengawal kerajaan.
Aku mengangguk, lalu memejamkan mata, “Tuhan, aku
ingin punya mainan yang banyak.”
Aku pun membunyikan lonceng itu. “Nengggg.. Nooong...
Nenggg...”
“Tunggulah besok. Keinginanmu akan terwujud,” seru pengawal kerajaan sambil
mempersilahkan aku untuk pulang ke rumah.
mempersilahkan aku untuk pulang ke rumah.
Dengan perasaan dag dig
dug, aku pun melangkahkan kakiku untuk keluar dari halaman istana itu. Dan
melihat antrian anak-anak kecil yang semakin memanjang, entah berapa meter..
Di rumah, aku tak bilang
ke Ibu kalau aku baru saja membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku takut, Ibu
akan marah. Jadi, lebih baik aku diam.
“Laiza, nanti sore, antar semua pakaian yang sudah
Ibu cuci hari ini, ya.”
“Baik, Bu. Aku mau tidur dulu, sebentar..” jawabku
lalu melenggang menuju kamarku.
Di kamar, aku memikirkan
lagi. Apakah lonceng kebahagiaan itu benar-benar memberikan semua kebahagiaan
yang kita inginkan? Ah, tak sabar menunggu mentari esok..
***
Keesokan harinya, aku
masih mengharapkan kebahagiaan dari lonceng itu. Tapi sudah sampai siang,
kebahagiaan yang ku inginkan itu tak kunjung datang. Kemana kebahagiaan yang ku
inginkan itu? Rasanya, aku memang tidak berhak menggenggam kebahagiaan yang ku
inginkan itu..
“Sedang menunggu apa, Nak?” tanya Ibu yang melihatku
tengah duduk di depan rumah.
“Gak, Bu. Cuma lagi cari angin segar aja..” jawabku
berbohong.
Sampai sore tiba,
kebahagiaan itu tak kunjung datang. Aku mulai menyerah menunggu kebahagiaan.
***
Keesokan harinya, aku
kembali mengumpulkan semangat lagi untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu.
Aku diam-diam menuju halaman istana tanpa sepengetahuan Ibu. Dan aku masuk lagi
ke dalam antrian itu. Antrian anak-anak kecil dengan muka penuh harap. Mungkin
salah satu dari mereka, ada yang bernasib sama sepertiku, belum disentuh
keinginan.
“Bagaimana dengan keinginanmu, kemarin? Bukankah kamu sudah kesini, ya?”
tanya pengawal heran.
“Belum. Makanya aku mau coba lagi,”
“Baiklah. Pejamkan mata dan ucapkan keinginanmu.”
Ku ucapkan lagi keinginanku yang sedari dulu ku inginkan, “aku ingin punya
mainan yang banyak..”
Ku bunyikan lonceng kebahagiaan itu, “Nenggggg...Nongggggg...Nengggggg...”
Aku pulang ke rumah dengan
perasaan was-was lagi. Sama seperti malam kemarin, aku menunggu dengan cemas
bagaimana dengan esok? Apa mungkin, saat aku terbangun nanti, aku akan disambut
oleh mainan-mainan yang sedari ku inginkan. Berdoa, ritual yang tak pernah ku
lupa...
***
Lagi-lagi aku mendapatkan
kekecewaan. Tak ada kebahagiaan yang ku inginkan. Yang ku lihat hanya ada Ibu
di dalam kamarku. Aku heran, tak biasanya Ibu menungguku bangun tidur seperti
ini.
“Ada apa, Bu? Tumben sekali Ibu menungguku bangun
tidur..”
“Kenapa kamu tidak bilang ke Ibu kalau kamu ikut
membunyikan lonceng di halaman istana itu. Ibu kecewa atas
ketidakjujuranmu..”
“Maaf, Bu. Aku hanya mau tau aja, kok..”
“Dan sekarang kamu sudah dapat bukti dari lonceng
itu?”
Aku menggeleng, “belum, Bu.”
“Seharusnya kamu sadar, kebahagiaan sudah ditakdirkan
oleh Tuhan. Kalau kamu memaksakan kebahagiaan itu
terjadi, sama saja namanya kamu mempermainkan takdir Tuhan, Laiz..”
“Maafkan aku, Bu..”
“Apa yang kamu inginkan? Ibu belum cukup memberikanmu
bahagia yang kamu idam-
idamkan itu?”
idamkan itu?”
Aku terdiam.
“Ibu sudah berjuang semuanya demi kebahagiaan kamu,
sayang. Maaf, Ibu belum jadi Ibu
yang hebat untuk Laiza..”
yang hebat untuk Laiza..”
Aku tertegun.
“Bu, maaf, aku tak bermaksud membohongi Ibu. Ibu
sudah menjadi kebahagiaan yang
kekal untukku. Ibu tak pernah terbeli oleh apapun. Maafkan Laiza, Bu..”
kekal untukku. Ibu tak pernah terbeli oleh apapun. Maafkan Laiza, Bu..”
“Ibu selalu maafkan kamu, Laiza. Sekarang, ingat
pesan Ibu, kebahagiaan yang sesungguhnya
tak pernah bisa dibeli. Dan kebahagiaan yang abadi itu akan tetap ada walau tanpa
membunyikan lonceng itu..”
tak pernah bisa dibeli. Dan kebahagiaan yang abadi itu akan tetap ada walau tanpa
membunyikan lonceng itu..”
“Lalu, bagaimana dengan teman-temanku yang sudah
membuktikan keajaiban dari lonceng
itu, Bu?”
itu, Bu?”
“Itu tandanya, Tuhan sudah menulis takdir bahagia
untuk mereka. Percayalah, Tuhan sudah
menuliskan kebahagiaanmu. Jadi, tunggu sampai saat itu tiba..”
menuliskan kebahagiaanmu. Jadi, tunggu sampai saat itu tiba..”
“Baik, Bu. Mulai sekarang, aku tak akan lagi mencari
kebahagiaan. Karena kebahagiaanku
ada disini, Bu. Di rumah ini, bersama Ibu..”
ada disini, Bu. Di rumah ini, bersama Ibu..”
Pagi itu menjadi pagi
yang sangat mengharukan untuk Ibu dan anak itu. Laiza, tak lagi percaya
kebahagiaan yang datangnya dari lonceng itu, dan ia lebih percaya bahwa
kebahagiaan yang sesungguhnya tak perlu dicari, nantinya kebahagiaan itu akan
datang, sesuai masanya.
Percaya atau tidak Laiza
tentang lonceng kebahagiaan itu, tanpa pernah Laiza tau, malaikat baik sudah
mencacat namanya untuk diberikan limpahan kebahagiaan yang akan datang suatu
hari nanti...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar