Rabu, 07 November 2012

Lonceng Kebahagiaan

Orang-orang memanggilnya, Laiza. Seorang gadis yang terakhir dari keluarga menengah bawah. Tak terlalu menyenangkan memang, bahkan Laiza sering kali mengeluh, “kenapa aku harus terlahir dari Ibu yang miskin?” “aku ingin memiliki banyak mainan seperti anak-anak yang lain..” “aku ingin makan semua makanan yang lezat..” “aku ingin, aku ingin, Tuhan..” Untunglah, Tuhan tak pernah bosan mendengarkan semua keluhannya yang selalu menginginkan kebahagiaan.

Setiap pagi, Laiza biasa membantu sang Ibu untuk mengambil pakaian-pakaian dari rumah-rumah penduduk di sekitar tempat tinggalnya. Ya, beginilah kehidupan gadis kecil itu setiap harinya, bekerja membantu sang Ibu untuk makan di hari ini. Untuk esok? Entahlah, jangankan memikirkan untuk esok, hari ini saja ia masih ragu akan menyuap nasi ke mulutnya..

“Permisi, Bu. Aku mau ambil pakaian yang akan di cuci Ibu,” kataku ramah pada seorang Ibu muda yang lumayan kaya raya.

“Oh, iya. Ini pakaiannya, sayang. Hati-hati ya bawa pakaiannya,” kata Ibu itu sambil menyerahkan kantong besar yang berisi pakaian-pakaiannya.

“Baik. Terimakasih, Bu..”

“Terimakasih kembali, gadis cantik,” ucap Ibu itu lagi sambil mengusap rambutku. Aku tersenyum malu lalu meninggalkan rumah besar milik Ibu muda itu.

Aku melenggang lagi mencari-cari rumah yang biasanya menitipkan pakaiannya untuk di cuci oleh aku dan Ibu. Rasanya sudah cukup jauh aku berjalan, lelah sekali. Sesekali ia melihat anak-anak seusianya bermain-main di halaman rumahnya yang sangat luas. Mereka semua nampaknya tak pernah merasakan sedih dan lelah sepertiku. Ya, aku selalu melihat senyum bahagia dari mereka semua. Andai, aku ada di posisi mereka...
***

Sudah beberapa bulan ini, ada satu berita yang sangat heboh di wilayah kerajaan Sansa. Dan di kerajaan itulah Laiza bersama Ibunya tinggal. Ada berita bahwa di halaman istana Sansa ada sebuah lonceng besar dan katanya setiap anak-anak kecil yang membunyikan lonceng itu, akan mendapatkan kebahagiaan yang mereka inginkan. Orang-orang menyebutnya “Lonceng Kebahagiaan”. Awalnya, aku memang tak percaya dengan semua itu. Karena bagiku, kebahagiaan sudah dituliskan Tuhan. Walau sebenarnya, aku tak tau kapan Tuhan akan memberikanku kebahagiaan yang sebenarnya...

“Bu, Ibu sudah dengar berita tentang “Lonceng Kebahagiaan” ?” tanyaku pada Ibu yang sedang sibuk mengucek pakaian-pakaian.

“Iya, kenapa, Nak? Kamu mau ikut mencari kebahagiaan lewat lonceng itu?”

Aku terdiam, bingung mau berkata apa lagi.

“Emmm, bukan begitu, Bu. Aku hanya mau tau aja, kok.” jawabku pelan, takut Ibu marah.

Ibu tak menjawab dan malah semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun kembali fokus kepada pakaian-pakaian yang harus di cuci hari ini. Aku mencoba melupakan keinginanku untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu..

Semua pakaian sudah ku jemur dengan rapih. Ku basuh keringat yang membasahi keningku. Lelah yang sangat untuk hari ini. Setelah ini aku harus mengantarkan pakaian-pakaian yang sudah selesai di setrika oleh Ibu. Tentu saja, pakaian-pakaian ini sudah aku cuci dari dua hari yang lalu.

“Laiz, ini baju-bajunya Ibu Voi, ya. Lalu ini baju-bajunya Ibu Win..” kata Ibu sambil memberikanku pakaian-pakaian yang sudah bersih dan wangi.

“Baik, Bu. Laiza antar sekarang, ya?”kataku dengan semangat.

“Iya. Hati-hati, sayang..”

Aku pun keluar dari rumah kecilku untuk segera mengantar baju-baju ini. Di perjalanan, aku selalu mendengar celotehan anak-anak kecil yang sudah membuktikan kebenaran lonceng kebahagiaan itu. Ah, aku tak boleh lagi memikirkan itu. Aku harus fokus dengan tujuanku sekarang, mengantar pakaian-pakaian ini ke rumah Ibu Voi dan Ibu Win..

10 menit berjalan kaki, aku berhenti di sebuah rumah yang sangat besar. Rumah ini dikelilingi kolam, jadi kita harus menyebrangi jembatan kecil untuk sampai ke depan pintu rumahnya. Aku memencet tombol yang ada di depan gerbang besar ini. Lalu, aku melihat Ibu Voi naik di atas perahu kecil dan segera menghampiriku. Aku menganga melihat sebuah kekayaan yang sesungguhnya...

                “Hai, gadis cantik..” sapanya.

                “Ah, Ibu Voi ini berlebihan..” jawabku malu.

                “Memang kenyataannya, sayang. Oh, iya pakaianku sudah bersih ya?”

                “Sudah, Bu. Ini..” jawabku sambil menyerahkan kantong yang berisi pakaian Ibu Voi yang
                sudah bersih.

                “Terimakasih. Ini bayarannya..” kata Ibu Voi sambil mengeluarkan beberapa koin emas.

                Aku kaget, “Bayaran? Aduh, nanti Ibu saja yang bayar ke Ibuku. Aku tak tau tentang bayaran.
                Tugasku hanya mengantarkan semua pakaian Ibu Voi..”

                “Tak apa. Ambil ini, gadis baik..”

                “Aku tak mau menerimanya, Bu. Ini terlalu banyak..”

                “Lalu, kau mau ku bayar dengan apa?”

                “Dengan... satu ekor ikan dari kolam yang sangat luas ini, Bu. Hanya itu, aku ingin makan
                ikan..”

Ibu Voi tertegun, lalu meminta pengawalnya untuk mengambilkan satu ekor ikan besar untukku makan bersama Ibu nanti.

                “Nah, ambil ini, sayang. Besok kesini lagi ya, ambil lagi pakaianku yang harus dibersihkan,”

                “Baik, Bu. Terimakasih ikannya, Bu..”

                “Iya, langsung pulang ya, gadis cantik. Salam untuk Ibumu..”

Aku tersenyum lebar dan perlahan meninggalkan rumah yang sangat mewah ini dengan menenteng kantong yang berisi satu buah ikan pemberian Ibu Voi. Alhamdulillah, aku dapat merasakan lagi bagaimana nikmatnya ikan legit ini..

Aku langsung menuju ke rumah Ibu Win dan mengantarkan pakaian miliknya. Rumah Ibu Win tak semewah rumah Ibu Voi, namum setidaknya rumah Ibu Win tak sekecil rumahku.

                “Ibu, ini bajunya. Sudah bersih dan wangi..” sahutku ramah penuh senyum.

                “Terimakasih, Laiza. Ini untukmu..” jawab Ibu Win sambil memberikanku sebuah kantong.

                “Apa ini, Bu?”

                “Ini kue. Buatan Ibu. Terimalah, ini hadiah untuk gadis cantik dan rajin sepertimu..”

                Aku mengambil kantong itu, “terimakasih, Bu.”

                “Iya, gadis cantik. Hati-hati di jalan pulang. Salam untuk Ibumu..”

Aku mengembangkan senyumku lebih dari tadi. Dan hari ini aku benar-benar bahagia bisa menyantap makanan yang sedari dulu hanya ada di doaku saja..
Aku pun berjalan penuh semangat menuju rumahku.

                “Ibuuu... Ibuu.. Lihatlah apa yang ku bawa, Bu..” teriakku sambil berlari ke dalam rumah.

                “Astaga, Nak. Hati-hati, nanti terpeleset. Apa yang kamu bawa, sayang?”

                “Ini ikan dan kue, Bu. Pemberian dari Ibu Voi dan Ibu Win,” jawabku bangga.

                “Ya, sudah. Nanti ikannya biar Ibu masak, ya. Kuenya kamu taruh saja di meja. Sekarang
                kamu mandi..”
***

Godaan untuk membunyikan lonceng itu pun kembali menghantuiku. Tetanggaku, Wina, membunyikan lonceng tersebut dan mimpinya untuk mempunyai boneka yang sangat besar pun terwujud. Aku semakin tak bisa menahan godaan ini.

Diam-diam, aku berjalan menuju halaman istana. Dari kejauhan aku melihat banyak anak-anak kecil yang mengantri untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku semakin pesimis mampu membunyikan lonceng kebahagiaan itu, tapi aku sudah teguhkan dalam hati untuk mendapatkan kebahagiaan yang aku inginkan.

Dan tanpa sadar, kini, aku sudah berada di antrian paling depan. Dan kini tibalah aku untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu..

                “Ucapkan keinginanmu dalam hati, Nona kecil..” kata seorang pengawal kerajaan.

                Aku mengangguk, lalu memejamkan mata, “Tuhan, aku ingin punya mainan yang banyak.”

                Aku pun membunyikan lonceng itu. “Nengggg.. Nooong... Nenggg...”

                “Tunggulah besok. Keinginanmu akan terwujud,”  seru pengawal kerajaan sambil
                mempersilahkan aku untuk pulang ke rumah.

Dengan perasaan dag dig dug, aku pun melangkahkan kakiku untuk keluar dari halaman istana itu. Dan melihat antrian anak-anak kecil yang semakin memanjang, entah berapa meter..

Di rumah, aku tak bilang ke Ibu kalau aku baru saja membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku takut, Ibu akan marah. Jadi, lebih baik aku diam.

                “Laiza, nanti sore, antar semua pakaian yang sudah Ibu cuci hari ini, ya.”

                “Baik, Bu. Aku mau tidur dulu, sebentar..” jawabku lalu melenggang menuju kamarku.

Di kamar, aku memikirkan lagi. Apakah lonceng kebahagiaan itu benar-benar memberikan semua kebahagiaan yang kita inginkan? Ah, tak sabar menunggu mentari esok..
***

Keesokan harinya, aku masih mengharapkan kebahagiaan dari lonceng itu. Tapi sudah sampai siang, kebahagiaan yang ku inginkan itu tak kunjung datang. Kemana kebahagiaan yang ku inginkan itu? Rasanya, aku memang tidak berhak menggenggam kebahagiaan yang ku inginkan itu..

                “Sedang menunggu apa, Nak?” tanya Ibu yang melihatku tengah duduk di depan rumah.

                “Gak, Bu. Cuma lagi cari angin segar aja..” jawabku berbohong.

Sampai sore tiba, kebahagiaan itu tak kunjung datang. Aku mulai menyerah menunggu kebahagiaan.
***

Keesokan harinya, aku kembali mengumpulkan semangat lagi untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku diam-diam menuju halaman istana tanpa sepengetahuan Ibu. Dan aku masuk lagi ke dalam antrian itu. Antrian anak-anak kecil dengan muka penuh harap. Mungkin salah satu dari mereka, ada yang bernasib sama sepertiku, belum disentuh keinginan.

“Bagaimana dengan keinginanmu, kemarin? Bukankah kamu sudah kesini, ya?” tanya pengawal heran.

“Belum. Makanya aku mau coba lagi,”

“Baiklah. Pejamkan mata dan ucapkan keinginanmu.”

Ku ucapkan lagi keinginanku yang sedari dulu ku inginkan, “aku ingin punya mainan yang banyak..”

Ku bunyikan lonceng kebahagiaan itu, “Nenggggg...Nongggggg...Nengggggg...”

Aku pulang ke rumah dengan perasaan was-was lagi. Sama seperti malam kemarin, aku menunggu dengan cemas bagaimana dengan esok? Apa mungkin, saat aku terbangun nanti, aku akan disambut oleh mainan-mainan yang sedari ku inginkan. Berdoa, ritual yang tak pernah ku lupa...
***

Lagi-lagi aku mendapatkan kekecewaan. Tak ada kebahagiaan yang ku inginkan. Yang ku lihat hanya ada Ibu di dalam kamarku. Aku heran, tak biasanya Ibu menungguku bangun tidur seperti ini.

                “Ada apa, Bu? Tumben sekali Ibu menungguku bangun tidur..”

                “Kenapa kamu tidak bilang ke Ibu kalau kamu ikut membunyikan lonceng di halaman istana                 itu. Ibu kecewa atas ketidakjujuranmu..”

                “Maaf, Bu. Aku hanya mau tau aja, kok..”

                “Dan sekarang kamu sudah dapat bukti dari lonceng itu?”

                Aku menggeleng, “belum, Bu.”

                “Seharusnya kamu sadar, kebahagiaan sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Kalau kamu                 memaksakan kebahagiaan itu terjadi, sama saja namanya kamu mempermainkan takdir Tuhan, Laiz..”

                “Maafkan aku, Bu..”

                “Apa yang kamu inginkan? Ibu belum cukup memberikanmu bahagia yang kamu idam-
                idamkan itu?”

                Aku terdiam.

                “Ibu sudah berjuang semuanya demi kebahagiaan kamu, sayang. Maaf, Ibu belum jadi Ibu
                yang hebat untuk Laiza..”

                Aku tertegun.

                “Bu, maaf, aku tak bermaksud membohongi Ibu. Ibu sudah menjadi kebahagiaan yang
                kekal untukku. Ibu tak pernah terbeli oleh apapun. Maafkan Laiza, Bu..”

                “Ibu selalu maafkan kamu, Laiza. Sekarang, ingat pesan Ibu, kebahagiaan yang sesungguhnya
                tak pernah bisa dibeli. Dan kebahagiaan yang abadi itu akan tetap ada walau tanpa
                membunyikan lonceng itu..”

                “Lalu, bagaimana dengan teman-temanku yang sudah membuktikan keajaiban dari lonceng
                itu, Bu?”

                “Itu tandanya, Tuhan sudah menulis takdir bahagia untuk mereka. Percayalah, Tuhan sudah
                menuliskan kebahagiaanmu. Jadi, tunggu sampai saat itu tiba..”

                “Baik, Bu. Mulai sekarang, aku tak akan lagi mencari kebahagiaan. Karena kebahagiaanku
                ada disini, Bu. Di rumah ini, bersama Ibu..”

Pagi itu menjadi pagi yang sangat mengharukan untuk Ibu dan anak itu. Laiza, tak lagi percaya kebahagiaan yang datangnya dari lonceng itu, dan ia lebih percaya bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya tak perlu dicari, nantinya kebahagiaan itu akan datang, sesuai masanya.

Percaya atau tidak Laiza tentang lonceng kebahagiaan itu, tanpa pernah Laiza tau, malaikat baik sudah mencacat namanya untuk diberikan limpahan kebahagiaan yang akan datang suatu hari nanti...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar