Ketika cinta berbicara,
mungkin sebutir air mata-pun terasa sangat berarti.
Kalian boleh bilang aku
ini gila. Kalian boleh bilang aku adalah anak setan ataupun anak iblis.
Terserah kalian, karena memang inilah diriku yang sesungguhnya.
Di atas bukit, aku
bercerita kepada angin tentang hariku. Ya, seperti inilah kehidupanku, alami
dan tak terusik.
“Hei, angin. Tau gak? Seperti biasa aku di ejek
kawan-kawanku,”
Perlahan angin membasuh telingaku, sepertinya ia berbicara
kepadaku.
“Kenapa seperti
itu, Ven?”
“Tadi aku bercakap-cakap dengan seekor semut yang
hinggap di mejaku, angin.”
Huh, lagi-lagi angin menghembus dan menertawakanku.
Jangan kaget bila melihat
aku bercakap-cakap dengan benda-benda atau hewan-hewan disekitarku, karena
beginilah aku. Aku menganggap mereka semua hidup sepertiku, mereka semua
kawanku, karena aku yakin tak ada yang mau berkawan denganku. Oleh karena itu,
aku lebih memilih bersama mereka, sesuatu yang kalian anggap “mati”....
***
“Ven, ini minum dulu obatnya..” suruh kakakku, Aslan, masuk ke kamarku
membawa segelintir obat-obatku yang membosankan itu.
“Gak! Ven gak mau minum obat, kak!” bentakku sambil melempar semua
obat-obatku.
“Tapi kakak gak mau Venelia sakit. Ven harus sembuh, minum obat ya,
sayang..”
“Sekali gak ya gak, kak! Aku muak sama obat itu..”
Kak Aslan memungut obat-obatan
yang ku lempar tadi. Kak, maafkan aku..
“Ya, sudah kalau kamu gak mau minum obatnya. Biar kakak aja ya yang minum,”
“Jangan, kak. Kakak gak sakit, aku yang sakit..”
“Gak apa-apa, Ven. Sayang obatnya, mahal, Ven..”
Kak Aslan langsung
menelan obat-obatanku. Aku menangis lalu memeluk kakakku.
“Kak, maafin Ven..”
“Sekarang kamu tidur ya. Besok kamu harus sekolah, jangan nangis gitu.
Nanti kakak dimarahin Ibu kalau lihat Ven nangis..”
Aku hanya diam sambil
sesekali menyeka air mataku. Sungguh aku tak pernah bertemu orang yang tulus
selain almarhumah Ibu dan kak Aslan...
Kak Aslan mengecup lembut
keningku dan membiarkanku larut dalam panjangnya mimpi malam ini. Sebelum kak
Aslan membalikkan badannya, aku menarik tangannya.
“Kak, maaf kalau aku merepotkan..”
Tanpa kata, kak Aslan
tersenyum lalu keluar dari kamarku. Aku perlahan menutup mataku dan berharap
besok masih ada sisa hari untuk umurku yang tak terlalu menyenangkan ini.
***
Kak Aslan membangunkanku,
aku pun langsung membuka mata.
“Selamat pagi, Jam. Selamat pagi, Selimut,
terimakasih untuk kehangatannya malam tadi ya. Selamat
pagi, Jendela. Selamat pagi, Pintu. Selamat pagi, Gordyn!” ucapku kepada semua kawan-kawanku.
Aku bergegas mandi dan
bersiap untuk berangkat ke sekolahku. Seusai mandi, aku bercermin dan memakai
jilbabku. Rambutku sudah semakin menipis, rasanya umurku pun juga semakin
menipis. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku tak mau melihat kak Aslan
bersedih, karena kak Aslan sangat menginginkan aku untuk sembuh dari semua
penyakit ini. Jadi, aku harus tetap dan terus tersenyum melewati semuanya. Aku
percaya, kematian sudah pasti datang, dan aku sudah siap untuk semuanya.
“Sini, Ven. Udah kakak buatin sarapan khusus buat
kamu!” seru kak Aslan sambil membawa
sepiring nasi goreng kesukaanku.
sepiring nasi goreng kesukaanku.
Aku menghampirinya, “terimakasih, kak..”
“Sama-sama, sayang. Dihabiskan ya! Jangan ada sisa..”
“Sip! Ohiya, kak, melatiku udah disiram, kan?”
“Sudah, sayang.”
Aku menghabiskan sepiring
nasi goreng buatan kak Aslan. Jam setengah 7, kak Aslan sudah siap dengan
sepedanya untuk mengantarkanku ke sekolah. Ya, aku sangat menyayangi sepeda
pemberian dari Ayahku ini. Hmm, Ayah.. Kemana beliau sekarang ya? Apa ia tak
ingat ada aku dan kak Aslan, anaknya yang sangat merindukannya. Kata kak Aslan,
Ayah sudah bahagia dengan keluarga barunya.
Sejak Ibu meninggal dan
aku di vonis terkena kanker otak stadium akhir, Ayah pergi meninggalkanku
bersama kak Aslan. Entah karena alasan apa, mungkin karena Ayah malu mempunyai anak botak sepertiku.
Jadi, kini tinggal aku dan kak Aslan berdua di rumah peninggalan almarhum Ibu.
Siapa yang kuat menahan
sakitnya kanker ini? Aku tak pernah ingin bahkan tak ada yang ingin dihampiri
penyakit menyeramkan ini. Semuanya berjalan layaknya kehidupan. Sempat sedih
melihat tak ada seorang pun mau mendekatiku, kecuali kak Aslan dan mereka yang
tak bernyawa..
***
“Hujan, aku iri melihat pohon kelapa itu. Mereka
semua memiliki daun diantara tangkainya. Tapi tengoklah kepalaku,
tak nampak rambut yang lebat disini. Aku ingin memiliki rambut lagi seperti dulu..”
bisikku kepada hujan.
Hujan nampak turun lebih
deras dari sebelumnya, aku tau hujan marah. Aku tau hujan kesal dengan
bisikanku. Mungkin kalau ia bisa berbicara, mungkin ia akan berkata seperti
ini.
“Kenapa kamu harus sesalkan semua,
Ven! Jangan pernah sesali apa yang sudah di anugrahkan Tuhan untuk kamu. Semua
sudah ada jalannya, jangan pernah iri melihat keindahan sosok makhluk selainmu.
Karena, belum tentu mereka bisa jadi kamu. Banggalah dengan dirimu, Ven!”
“Hujan, maafkan aku yang selalu banyak mengeluh..”
Seminggu yang lalu, aku
dan Kak Aslan ke rumah sakit untuk memeriksa kondisiku. Waktu itu, Dokter
memintaku untuk menunggu di luar ruangan dan beliau bersama kak Aslan berbicara empat mata. Sepertinya ada sesuatu yang tak harus aku tau saat itu, walau pada
akhirnya aku tau sendiri percakapan mereka. Ketika di jalan pulang, aku bertanya
kepada kak Aslan tentang kondisiku, kak Aslan menangis, lalu menggenggam erat
tanganku.
“Kenapa harus kamu, Ven? Kenapa gak kakak aja..”
ucapnya pelan.
“Aku gak bisa sembuh ya, kak?”
“Kamu sembuh! Kamu harus sembuh, Ven!”
“Kakak jangan bohong. Aku tau, umurku gak akan lama
lagi, kan?”
“Jangan bilang begitu lagi, Ven. Tolong..”
Sejak saat itu, aku tau
kalau sisa umurku akan habis. Jadi, aku tak akan mempermasalahkan tentang siapa
yang mau bersahabat dan bermain denganku. Aku hanya akan mempermasalahkan
bagaimana caranya aku membuat kak Aslan bahagia, karena hanya dia cinta yang
kupunya sekarang.
“Kak, aku janji akan bikin kakak bahagia,”
“Selama ini kamu selalu bikin kakak bahagia, sayang,”
Kak Aslan begitu membuat
hidupku yang sepi ini menjadi lebih ramai. Jikalau saja semua benda mati itu
mampu berbicara, mungkin aku tak akan kesepian, aku akan lebih mengerti dan
merasakan apa itu persahabatan yang sesungguhnya.
***
Entah berapa lama aku
tertidur, aku merasakan sebuah keajaiban yang sedari dulu hanya ada di
imajinasiku. Semua yang dulu selalu mendengar keluh kesahku kini mampu
tersenyum dan berbicara denganku.
“Ven, ini aku,
Hujan. Aku yang selalu mendengar semua perkataanmu..”
“Ven,
ini aku, Angin. Aku yang selalu menghembuskan sejuk di saat kamu sedih..”
“Kalian semua mampu bicara sekarang?”
“Tentu saja,
Ven! Kita semua sahabatmu..”
“Aku dimana, Angin?” tanyaku bingung sambil
menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Eits, tunggu. Kepalaku?
Ya, Tuhan, rambutku ada lagi seperti dulu. Aku yakin ini mimpi.
“Hujan, apa aku mimpi? Jika memang ini mimpi, tolong
jangan bangunkan aku..”
“Kenapa begitu,
Ven?”
“Aku senang memiliki rambut lagi. Hanya itu..”
Sesederhana itu
keinginanku, memiliki rambut lagi.
“Ven, tengoklah
melatimu. Ia begitu cantik..” seru Angin.
Aku menoleh, dan ternyata
benar saja. Melatiku sudah tumbuh sangat indah, pasti kak Aslan menjaganya
dengan hati-hati. Astaga, kak Aslan. Dimana dia?
“Hujan, Angin, dimana kakakku?”
“Coba sekarang
kamu pejamkan matamu selama 5 detik, lalu buka matamu, kamu akan
lihat kakakmu,” jawab Hujan.
lihat kakakmu,” jawab Hujan.
Aku pejamkan mataku 5
detik, lalu ku buka mataku. Benar saja, aku melihat kak Aslan yang tengah duduk
di sebelahku. Tapi, dimana aku sekarang? Kenapa aku ada di ruangan yang sangat berbau
obat seperti ini?
“Alhamdulillah. Akhirnya kamu sadar, Ven..”
“Kak Aslan? Dimana Hujan? Dimana Angin? Dimana
Melatiku, kak?”
“Kamu ini bicara apa? Sudah hampir satu bulan kamu
koma, Ven,”
“Jadi, tadi itu mimpi, kak?”
“Kamu mimpi apa, sayang?” tanya kak Aslan dengan mata
yang terlihat berkaca-kaca.
“Aku mimpi, aku punya rambut lagi, kak.” jawabku
pelan.
Kak Aslan menangis, “kakak akan bawakan semua mimpimu,”
Kak Aslan pun keluar
meninggalkanku di ruangan ini sendiri. Aku tak tau kemana ia akan pergi.
Membawa mimpiku?
Dengan malas, aku mencoba
menyentuh kepalaku. Tak ada rambut disini, dan ternyata tadi memang hanya
mimpi. Begitu indahnya mimpi tadi. Tiba-tiba dokter masuk ke ruanganku dan
segera memeriksa kondisiku.
“Selamat melihat dunia lagi, Venelia.” seru dokter mengembangkan senyumnya kepadaku.
“Ih, dokter bisa aja. Hmm, kata kak Aslan, aku sudah
tak sadarkan diri selama satu bulan,
ya?”
ya?”
“Hmmm, ya, Ven. Dan sekarang kamu tersadar, kamu
kuat, Ven.”
Ternyata memiliki rambut
lagi seperti dulu hanyalah mimpiku saja. Dan aku berharap suatu hari nanti,
Tuhan akan mengizinkan aku untuk memiliki rambut yang indah untuk yang kedua
kalinya.
Aku masih menunggu kak
Aslan yang sedari tadi belum datang juga. Setelah beberapa jam kemudian,
tibalah kak Aslan sambil membawa sebuah kotak.
“Kakak bawa apa?” tanyaku pelan.
“Ini buat kamu, sayang..” katanya sambil menyerahkan kotak
besar itu.
Aku membukanya dan
ternyata ini benar-benar diluar dugaanku. Kak Aslan membeli satu buah rambut
palsu untukku.
“Maaf. Kakak Cuma bisa kasih kamu rambut palsu ini. Kakak Cuma mau bikin
mimpi kamu jadi nyata, Ven. Kakak gak mau kamu sedih..”
Aku memeluk kak Aslan penuh haru, “ini lebih dari mimpiku, kak. Terimakasih..”
Kak Aslan memakaikan
rambut palsu ini di kepalaku yang skarang benar-benar botak. Dokter dan perawat
yang sedari tadi menemaniku pun menangis haru melihat apa yang dilakukan kak
Aslan kepadaku. Tuhan, terimakasih sudah mengutus malaikat untuk menjagaku...
Kini, aku mampu tersenyum
bahagia. Aku tak lagi botak, aku memiliki rambut sekarang. Ini mimpiku, mimpi
yang sedari dulu ku mimpikan. Perlahan ada angin masuk melalui ventilasi, aku
tau saat itu juga Angin pasti tersenyum melihat mimpiku terwujud. Andai, aku
mampu mewujudkan mimpiku yang satunya, membuat Angin, Hujan dan semua
kawan-kawanku mampu berbicara...
***
Kematian memang sudah
pasti. Mengelak? Tak akan mungkin lagi mampu ke tepis kematian yang sudah
ditakdirkan untukku. Malam itu, aku berpesan kepada Melati, agar untuk selalu
menjaga kak Aslan, sebagaimana kak Aslan yang selalu menjaganya. Aku tau,
kehilangan adalah sesuatu yang menyakitkan.
“Kak Aslan, terimakasih untuk semua canda tawamu. Terimakasih untuk semua
kasih sayangmu, semua semangatmu, semua jerih payahmu untukku, adikmu yang di
vonis hanya mampu hidup dalam waktu 4 bulan saja. Kamu sudah berhasil membuatku
mengerti, apa itu kehidupan. Apa itu cinta, aku cinta kak Aslan. Sebagaimana
kak Aslan yang selalu mencintaiku. Kak, aku rindu Ibu. Aku ingin dipeluk Ibu.
Bukan, bukan karena pelukan kak Aslan tak hangat selama ini, aku hanya rindu,
kak. Izinin Venelia untuk ketemu Ibu ya, kak? Kakak akan baik-baik disini walau
tanpa aku, kakak gak akan sendirian kok. Semua kawan-kawanku sudah ku tugaskan
untuk selalu menjaga kakak. Kakak, kalau ada hujan, coba deh kakak tengok ke
jendela. Rintik itu tersenyum, menyemangati kakak. Lalu, ketika ada hembusan
angin, itu tandanya seseorang kawan baikku sedang menyapa kakak. Ia baik,
selalu sejuk, sama seperti kakak. Dan melati, ia akan tetap berkembang,
mewangi, dan aku harap, semua itu cukup untuk membuat kakak bahagia. Maafkan
aku yang selalu merepotkan, kak. Maafkan aku yang selalu membuat kakak bingung.
Aku memang beruntung, kakak itu malaikatku. Kak, Ibu bilang, kakak hebat. Ibu
bangga sama kakak, dan aku pun lebih bangga mempunyai kakak seperti kakak. Aku
sayang kakak, aku cinta kakak, aku yakin aku akan kangen banget sama kakak."
Kak Aslan membacakan
suratku yang ku tujukan untuknya pada saat aku masih mampu merasakan dekapan
tangannya. Di depan semua anggota keluarga dari Ibu, kak Aslan menangis. Ia
belum menerima sepenuhnya kematianku, dua hari yang lalu. Kak Aslan menangis,
air matanya tak lagi mampu ditahannya. Seketika itu, Hujan mulai menetes
beserta Angin berhembus. Kak Aslan tau, saat itu juga sahabat-sahabatku sedang
menghiburnya. Kak Aslan lalu keluar rumah dan berteriak, “Terimakasih, Hujan!
Terimakasih, Angin! Terimakasih sudah menjadi kawan dari adikku, Venelia!"
Keep writing.
BalasHapus