Minggu, 04 November 2012

Aku Cinta Kakak


Ketika cinta berbicara, mungkin sebutir air mata-pun terasa sangat berarti.

Kalian boleh bilang aku ini gila. Kalian boleh bilang aku adalah anak setan ataupun anak iblis. Terserah kalian, karena memang inilah diriku yang sesungguhnya.

Di atas bukit, aku bercerita kepada angin tentang hariku. Ya, seperti inilah kehidupanku, alami dan tak terusik.

               “Hei, angin. Tau gak? Seperti biasa aku di ejek kawan-kawanku,”

                Perlahan angin membasuh telingaku, sepertinya ia berbicara kepadaku.
                “Kenapa seperti itu, Ven?”

                “Tadi aku bercakap-cakap dengan seekor semut yang hinggap di mejaku, angin.”

                Huh, lagi-lagi angin menghembus dan menertawakanku.

Jangan kaget bila melihat aku bercakap-cakap dengan benda-benda atau hewan-hewan disekitarku, karena beginilah aku. Aku menganggap mereka semua hidup sepertiku, mereka semua kawanku, karena aku yakin tak ada yang mau berkawan denganku. Oleh karena itu, aku lebih memilih bersama mereka, sesuatu yang kalian anggap “mati”....

***

“Ven, ini minum dulu obatnya..” suruh kakakku, Aslan, masuk ke kamarku membawa segelintir obat-obatku yang membosankan itu.

“Gak! Ven gak mau minum obat, kak!” bentakku sambil melempar semua obat-obatku.

“Tapi kakak gak mau Venelia sakit. Ven harus sembuh, minum obat ya, sayang..”

“Sekali gak ya gak, kak! Aku muak sama obat itu..”

Kak Aslan memungut obat-obatan yang ku lempar tadi. Kak, maafkan aku..

“Ya, sudah kalau kamu gak mau minum obatnya. Biar kakak aja ya yang minum,”

“Jangan, kak. Kakak gak sakit, aku yang sakit..”

“Gak apa-apa, Ven. Sayang obatnya, mahal, Ven..”

Kak Aslan langsung menelan obat-obatanku. Aku menangis lalu memeluk kakakku.

“Kak, maafin Ven..”

“Sekarang kamu tidur ya. Besok kamu harus sekolah, jangan nangis gitu. Nanti kakak dimarahin Ibu kalau lihat Ven nangis..”

Aku hanya diam sambil sesekali menyeka air mataku. Sungguh aku tak pernah bertemu orang yang tulus selain almarhumah Ibu dan kak Aslan...
Kak Aslan mengecup lembut keningku dan membiarkanku larut dalam panjangnya mimpi malam ini. Sebelum kak Aslan membalikkan badannya, aku menarik tangannya.

                “Kak, maaf kalau aku merepotkan..”

Tanpa kata, kak Aslan tersenyum lalu keluar dari kamarku. Aku perlahan menutup mataku dan berharap besok masih ada sisa hari untuk umurku yang tak terlalu menyenangkan ini.

***

Kak Aslan membangunkanku, aku pun langsung membuka mata.

                “Selamat pagi, Jam. Selamat pagi, Selimut, terimakasih untuk kehangatannya malam tadi ya.               Selamat pagi, Jendela. Selamat pagi, Pintu. Selamat pagi, Gordyn!” ucapku kepada semua kawan-kawanku.

Aku bergegas mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolahku. Seusai mandi, aku bercermin dan memakai jilbabku. Rambutku sudah semakin menipis, rasanya umurku pun juga semakin menipis. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku tak mau melihat kak Aslan bersedih, karena kak Aslan sangat menginginkan aku untuk sembuh dari semua penyakit ini. Jadi, aku harus tetap dan terus tersenyum melewati semuanya. Aku percaya, kematian sudah pasti datang, dan aku sudah siap untuk semuanya.

                “Sini, Ven. Udah kakak buatin sarapan khusus buat kamu!” seru kak Aslan sambil membawa
                sepiring nasi goreng kesukaanku.

                Aku menghampirinya, “terimakasih, kak..”

                “Sama-sama, sayang. Dihabiskan ya! Jangan ada sisa..”

                “Sip! Ohiya, kak, melatiku udah disiram, kan?”

                “Sudah, sayang.”

Aku menghabiskan sepiring nasi goreng buatan kak Aslan. Jam setengah 7, kak Aslan sudah siap dengan sepedanya untuk mengantarkanku ke sekolah. Ya, aku sangat menyayangi sepeda pemberian dari Ayahku ini. Hmm, Ayah.. Kemana beliau sekarang ya? Apa ia tak ingat ada aku dan kak Aslan, anaknya yang sangat merindukannya. Kata kak Aslan, Ayah sudah bahagia dengan keluarga barunya.

Sejak Ibu meninggal dan aku di vonis terkena kanker otak stadium akhir, Ayah pergi meninggalkanku bersama kak Aslan. Entah karena alasan apa, mungkin karena Ayah malu mempunyai anak botak sepertiku. 

Jadi, kini tinggal aku dan kak Aslan berdua di rumah peninggalan almarhum Ibu.
Siapa yang kuat menahan sakitnya kanker ini? Aku tak pernah ingin bahkan tak ada yang ingin dihampiri penyakit menyeramkan ini. Semuanya berjalan layaknya kehidupan. Sempat sedih melihat tak ada seorang pun mau mendekatiku, kecuali kak Aslan dan mereka yang tak bernyawa..

***

                “Hujan, aku iri melihat pohon kelapa itu. Mereka semua memiliki daun diantara tangkainya.                 Tapi tengoklah kepalaku, tak nampak rambut yang lebat disini. Aku ingin memiliki rambut lagi seperti dulu..” bisikku kepada hujan.

Hujan nampak turun lebih deras dari sebelumnya, aku tau hujan marah. Aku tau hujan kesal dengan bisikanku. Mungkin kalau ia bisa berbicara, mungkin ia akan berkata seperti ini.

“Kenapa kamu harus sesalkan semua, Ven! Jangan pernah sesali apa yang sudah di anugrahkan Tuhan untuk kamu. Semua sudah ada jalannya, jangan pernah iri melihat keindahan sosok makhluk selainmu. Karena, belum tentu mereka bisa jadi kamu. Banggalah dengan dirimu, Ven!”
        
              “Hujan, maafkan aku yang selalu banyak mengeluh..”

Seminggu yang lalu, aku dan Kak Aslan ke rumah sakit untuk memeriksa kondisiku. Waktu itu, Dokter memintaku untuk menunggu di luar ruangan dan beliau bersama kak Aslan berbicara empat mata. Sepertinya ada sesuatu yang tak harus aku tau saat itu, walau pada akhirnya aku tau sendiri percakapan mereka. Ketika di jalan pulang, aku bertanya kepada kak Aslan tentang kondisiku, kak Aslan menangis, lalu menggenggam erat tanganku.

                “Kenapa harus kamu, Ven? Kenapa gak kakak aja..” ucapnya pelan.

                “Aku gak bisa sembuh ya, kak?”

                “Kamu sembuh! Kamu harus sembuh, Ven!”

                “Kakak jangan bohong. Aku tau, umurku gak akan lama lagi, kan?”

                “Jangan bilang begitu lagi, Ven. Tolong..”

Sejak saat itu, aku tau kalau sisa umurku akan habis. Jadi, aku tak akan mempermasalahkan tentang siapa yang mau bersahabat dan bermain denganku. Aku hanya akan mempermasalahkan bagaimana caranya aku membuat kak Aslan bahagia, karena hanya dia cinta yang kupunya sekarang.

                “Kak, aku janji akan bikin kakak bahagia,”

                “Selama ini kamu selalu bikin kakak bahagia, sayang,”

Kak Aslan begitu membuat hidupku yang sepi ini menjadi lebih ramai. Jikalau saja semua benda mati itu mampu berbicara, mungkin aku tak akan kesepian, aku akan lebih mengerti dan merasakan apa itu persahabatan yang sesungguhnya.

***

Entah berapa lama aku tertidur, aku merasakan sebuah keajaiban yang sedari dulu hanya ada di imajinasiku. Semua yang dulu selalu mendengar keluh kesahku kini mampu tersenyum dan berbicara denganku.

                “Ven, ini aku, Hujan. Aku yang selalu mendengar semua perkataanmu..”

                “Ven, ini aku, Angin. Aku yang selalu menghembuskan sejuk di saat kamu sedih..”

                “Kalian semua mampu bicara sekarang?”

                “Tentu saja, Ven! Kita semua sahabatmu..”

                “Aku dimana, Angin?” tanyaku bingung sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.              Eits, tunggu. Kepalaku? Ya, Tuhan, rambutku ada lagi seperti dulu. Aku yakin ini mimpi.

                “Hujan, apa aku mimpi? Jika memang ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku..”

                “Kenapa begitu, Ven?”

                “Aku senang memiliki rambut lagi. Hanya itu..”

Sesederhana itu keinginanku, memiliki rambut lagi.

                “Ven, tengoklah melatimu. Ia begitu cantik..” seru Angin.

Aku menoleh, dan ternyata benar saja. Melatiku sudah tumbuh sangat indah, pasti kak Aslan menjaganya dengan hati-hati. Astaga, kak Aslan. Dimana dia?

                “Hujan, Angin, dimana kakakku?”
    
               “Coba sekarang kamu pejamkan matamu selama 5 detik, lalu buka matamu, kamu akan
                lihat kakakmu,”
jawab Hujan.

Aku pejamkan mataku 5 detik, lalu ku buka mataku. Benar saja, aku melihat kak Aslan yang tengah duduk di sebelahku. Tapi, dimana aku sekarang? Kenapa aku ada di ruangan yang sangat berbau obat seperti ini?

                “Alhamdulillah. Akhirnya kamu sadar, Ven..”

                “Kak Aslan? Dimana Hujan? Dimana Angin? Dimana Melatiku, kak?”

                “Kamu ini bicara apa? Sudah hampir satu bulan kamu koma, Ven,”

                “Jadi, tadi itu mimpi, kak?”

                “Kamu mimpi apa, sayang?” tanya kak Aslan dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.

                “Aku mimpi, aku punya rambut lagi, kak.” jawabku pelan.

    Kak Aslan menangis, “kakak akan bawakan semua mimpimu,”

Kak Aslan pun keluar meninggalkanku di ruangan ini sendiri. Aku tak tau kemana ia akan pergi. Membawa mimpiku?

Dengan malas, aku mencoba menyentuh kepalaku. Tak ada rambut disini, dan ternyata tadi memang hanya mimpi. Begitu indahnya mimpi tadi. Tiba-tiba dokter masuk ke ruanganku dan segera memeriksa kondisiku.

                “Selamat melihat dunia lagi, Venelia.” seru  dokter mengembangkan senyumnya kepadaku.

                “Ih, dokter bisa aja. Hmm, kata kak Aslan, aku sudah tak sadarkan diri selama satu bulan,
                ya?”

                “Hmmm, ya, Ven. Dan sekarang kamu tersadar, kamu kuat, Ven.”

Ternyata memiliki rambut lagi seperti dulu hanyalah mimpiku saja. Dan aku berharap suatu hari nanti, Tuhan akan mengizinkan aku untuk memiliki rambut yang indah untuk yang kedua kalinya.
Aku masih menunggu kak Aslan yang sedari tadi belum datang juga. Setelah beberapa jam kemudian, tibalah kak Aslan sambil membawa sebuah kotak.

                “Kakak bawa apa?” tanyaku pelan.

                “Ini buat kamu, sayang..” katanya sambil menyerahkan kotak besar itu.

Aku membukanya dan ternyata ini benar-benar diluar dugaanku. Kak Aslan membeli satu buah rambut palsu untukku.

“Maaf. Kakak Cuma bisa kasih kamu rambut palsu ini. Kakak Cuma mau bikin mimpi kamu jadi nyata, Ven. Kakak gak mau kamu sedih..”

Aku memeluk kak Aslan penuh haru, “ini lebih dari mimpiku, kak. Terimakasih..”

Kak Aslan memakaikan rambut palsu ini di kepalaku yang skarang benar-benar botak. Dokter dan perawat yang sedari tadi menemaniku pun menangis haru melihat apa yang dilakukan kak Aslan kepadaku. Tuhan, terimakasih sudah mengutus malaikat untuk menjagaku...

Kini, aku mampu tersenyum bahagia. Aku tak lagi botak, aku memiliki rambut sekarang. Ini mimpiku, mimpi 
yang sedari dulu ku mimpikan. Perlahan ada angin masuk melalui ventilasi, aku tau saat itu juga Angin pasti tersenyum melihat mimpiku terwujud. Andai, aku mampu mewujudkan mimpiku yang satunya, membuat Angin, Hujan dan semua kawan-kawanku mampu berbicara...

***

Kematian memang sudah pasti. Mengelak? Tak akan mungkin lagi mampu ke tepis kematian yang sudah ditakdirkan untukku. Malam itu, aku berpesan kepada Melati, agar untuk selalu menjaga kak Aslan, sebagaimana kak Aslan yang selalu menjaganya. Aku tau, kehilangan adalah sesuatu yang menyakitkan.

“Kak Aslan, terimakasih untuk semua canda tawamu. Terimakasih untuk semua kasih sayangmu, semua semangatmu, semua jerih payahmu untukku, adikmu yang di vonis hanya mampu hidup dalam waktu 4 bulan saja. Kamu sudah berhasil membuatku mengerti, apa itu kehidupan. Apa itu cinta, aku cinta kak Aslan. Sebagaimana kak Aslan yang selalu mencintaiku. Kak, aku rindu Ibu. Aku ingin dipeluk Ibu. Bukan, bukan karena pelukan kak Aslan tak hangat selama ini, aku hanya rindu, kak. Izinin Venelia untuk ketemu Ibu ya, kak? Kakak akan baik-baik disini walau tanpa aku, kakak gak akan sendirian kok. Semua kawan-kawanku sudah ku tugaskan untuk selalu menjaga kakak. Kakak, kalau ada hujan, coba deh kakak tengok ke jendela. Rintik itu tersenyum, menyemangati kakak. Lalu, ketika ada hembusan angin, itu tandanya seseorang kawan baikku sedang menyapa kakak. Ia baik, selalu sejuk, sama seperti kakak. Dan melati, ia akan tetap berkembang, mewangi, dan aku harap, semua itu cukup untuk membuat kakak bahagia. Maafkan aku yang selalu merepotkan, kak. Maafkan aku yang selalu membuat kakak bingung. Aku memang beruntung, kakak itu malaikatku. Kak, Ibu bilang, kakak hebat. Ibu bangga sama kakak, dan aku pun lebih bangga mempunyai kakak seperti kakak. Aku sayang kakak, aku cinta kakak, aku yakin aku akan kangen banget sama kakak."

Kak Aslan membacakan suratku yang ku tujukan untuknya pada saat aku masih mampu merasakan dekapan tangannya. Di depan semua anggota keluarga dari Ibu, kak Aslan menangis. Ia belum menerima sepenuhnya kematianku, dua hari yang lalu. Kak Aslan menangis, air matanya tak lagi mampu ditahannya. Seketika itu, Hujan mulai menetes beserta Angin berhembus. Kak Aslan tau, saat itu juga sahabat-sahabatku sedang menghiburnya. Kak Aslan lalu keluar rumah dan berteriak, “Terimakasih, Hujan! Terimakasih, Angin! Terimakasih sudah menjadi kawan dari adikku, Venelia!" 

1 komentar: