“Ma, mana gula
bagianku?” pintaku pada mama yang sedang berusaha keras membawakan butir-butir
gula yang begitu menggiurkan.
“Ini bagianmu,
Flippy,” katanya lembut sambil memberikanku sepotong gula.
Aku pun mengisapnya
dengan penuh rasa lapar.
“Nyaam...Nyaam,
terima kasih, mama. Gula ini sangat lezat, mama memang hebat..” seruku sambil
berlari memeluk mama.
“Iya, sayang,” jawab
mamaku lemah, beliau terlihat sangat kelelahan.
“Mama lelah? Flippy
pijat ya, Ma?”
“Tak usah, Nak. Mama
tak apa-apa, ini juga sudah menjadi tanggung jawab mama.”
“Mama, kenapa mama
begitu giat bekerja, mencari makan, mencari uang untuk aku, dan kakak-kakaku
yang lain?” tanyaku lalu menyandarkan kepalaku dibahu mama.
“Karena mama sayang,
mama cinta kalian semua, Flippy. Apapun akan mama lakukan demi kamu dan
kakak-kakakmu,” jawab mama sambil mengelus kepalaku.
“Jadi kita harus
rela berkorban untuk siapapun yang kita cinta, ya, Ma?”
“Tentu. Nanti Flippy
juga harus seperti itu ya jika sudah memiliki pasangan hidup,”
“Ih, mama ini,
Flippy, kan, masih kecil, Ma..”
“Memang kamu bisa
menjadi sebesar apa, Flip? Haha..” mamaku tertawa begitu bebasnya.
Aku sedikit
tersenyum lalu memeluk mamaku penuh cinta.
“Ma, aku rela
melakukan apapun demi mama..” bisikku di telinga mama.
Mama terdiam,
terdengar isak tangis dari diamannya.
***
Umurku semakin bertambah, badanku pun bertambah besar
walaupun ukurannya tak sebesar ujung jari manusia. Hai, aku sudah bukan lagi
Flippy yang dulu, sekarang aku sudah menjadi Flippy yang semakin mengerti
beratnya menjadi seekor semut. Seekor semut yang sering dengan sengaja atau tak
sengaja diinjak, dibuang, disiram air, tertimpa dedaunan. Tapi aku sama sekali
tak menyesalkan diriku yang terlahir dari seekor semut juga. Hidupku
menyenangkan, tinggal diantara keluarga yang sangat ramai, tapi ya, namanya
hidup pasti ada tangis jika senang tercipta. Aku sering sekali bertemu
kesedihan, apalagi ketika satu-per-satu anggota keluargaku, teman-temanku dan
yang lainnya pergi meninggalkanku. Ya, mereka semua mati dengan tragisnya. Aku
tak bisa membayangkan bagaimana rasanya diinjak seperti yang dialami Ayahku,
aku benar-benar terpukul saat itu terjadi, dan sejak saat itu aku benci dengan
manusia, aku benci dengan makhluk yang tak pernah menganggap bahwa bangsa semut
itu ada dan ingin menjalani kehidupan yang sama seperti mereka.
Sepeninggal Ayahku, aku tinggal bersama mama dan
kakak-kakakku yang tak terhitung lagi banyaknya. Beberapa dari mereka bukan
kakak kandungku, melainkan hanya semut-semut yang sudah dianggap anak oleh
mamaku, mamaku baik, kan? Hihi. Mama adalah sosok semut yang paling berperan
dalam hidupku, beliau selalu mengajariku bagaimana melindungi diri dari
serangan musuh, mengajariku beradaptasi dengan lingkunganku dan beliau pula
yang mengajarkanku tentang pengorbanan. Aku selalu ingat apa yang dibilang mama
kalau kita sebagai bangsa semut, janganlah saling meninggi-ninggikan derajat
satu sama lain, karena kita semua satu spesies, satu derajat. Dan aku berjanji
akan selalu membuat mama bahagia, sampai akhir hayatku.
***
Suatu ketika, mamaku jatuh sakit. Tangannya patah,
terinjak belalang yang sangat besar dan menakutkan. Mama hanya bisa berbaring
diatas gundukan rumput yang hangat. Mama sangat lemah, ingin rasanya
menggantikan posisi mama saat itu.
“Ma,
mama mau makan apa? Nanti Flippy cariin untuk mama,” tanyaku penuh iba.
“Mama ingin sekali
menghisap beberapa tetes air teh manis itu, tapi kondisi mama sedang seperti
ini,” jawab mamaku sedih.
“Kalau begitu, biar
Flippy yang ambilkan air teh manis itu, Ma,” aku langsung berdiri.
“Tak usah, Nak. Itu
membahayakan untukmu, nanti kamu bisa terinjak dengan manusia-manusia yang ada
di rumah sana,” kata mama khawatir.
“Flippy akan
baik-baik aja, Ma. Lagipula mama kan selalu mengajarkan Flippy bagaimana
berkorban untuk siapapun yang kita cintai, dan sekarang Flippy rela berkorban
apapun untuk mama, hanya untuk mama..” mataku
mulai menahan tetes airnya.
“Tapi mama nggak mau
kamu kenapa-kenapa, sayang..”
“Mama, percaya ya
sama Flippy..” aku pun meyakinkan mama.
“Baiklah. Jaga
dirimu baik-baik, Nak. Bawa gelas daun itu untuk menaruh tetesan air teh manis
itu ya..” jawab mama sambil mengelus pundakku dengan tangannya yang tinggal sebelah
kiri.
Aku pun melangkah mengambil gelas daun yang ada di dekat
meja makan.
“Ma, Flippy
berangkat ya. Kalau hari ini Flippy pergi, percayalah Flippy sama seperti mama,
yang selalu rela berkorban untuk siapapun, termasuk mama..”
“Doa mama
menyertaimu, Nak..”
Aku berjalan keluar rumah kecilku sambil menenteng gelas
daunku. Mataku sudah tertuju untuk dapat masuk ke dalam rumah yang dihuni
manusia-manusia. Dengan bersemangat, aku berusaha mengendalikan keadaan sekitar.
Langkah demi langkah ku taklukan, akhirnya sampailah aku di depan pintu rumah
yang sangat besar. Dengan tubuhku yang kecil, aku mampu melewati celah-celah di
bawah pintu. Aku melihat seorang lelaki muda tengah menyeduh teh di cangkirnya.
Aku pun berusaha naik ke atas meja dimana lelaki muda itu meletakkan
cangkirnya. Untunglah meja ini tak terlalu tinggi untuk ku hinggapi. Aku
berlari sambil terus menenteng gelas daunku. Akhirnya aku tiba di ujung meja
itu, aku melihat sebuah cangkir yang sangat besar dan lelaki muda itu
menuangkan beberapa sendok gula pasir.
Sepertinya gula itu sangat lezat. Lalu
lelaki muda itu pun pergi meninggalkan cangkirnya untuk menaruh gula ke
tempatnya semula. Aku memanfaatkan situasi ini untuk mengambil beberapa tetes
air teh manis ini. Aku berlari sekuat tenaga dan sekarang aku telah berada di
samping gagang cangkir, aku tapaki cangkir sampai ke bibirnya. Aku berusaha
menjaga keseimbanganku agar aku tidak tenggelam dalam larutan air teh yang
ternyata panas ini. Bisa mati aku karenanya. Aku mulai menyiduk air teh ini
dengan gelas daun yang ku bawa. Tapi
malang nasibku, kakiku terpeleset dan aku pun tenggelam dalam larutan air teh
yang panas ini. Aku berusaha meraih bibir cangkir, tapi aku tak sanggup, sampai
beberapa saat kemudian lelaki muda itu datang dan melihat ada semut tengah
mengapung di teh buatannya.
“Astaga, kenapa ada
semut sih. Buang aja deh..” lelaki muda itu pun membawa secangkir teh manis
panas itu dan melemparkannya keluar jendela.
Aku hanya mampu merasakan kaki dan tanganku tak dapat ku
gerakkan. Mataku pun tak mampu lagi terbuka, gelap. Tapi mulutku masih mampu
sedikit mengucap kata-kata dan kata-kata yang hanya mampu ku sebutkan adalah
“Mama” . Mungkin karena panggilan batin, aku merasakan sentuhan lembut di
keningku.
“Flippy,
kamu baik-baik aja, Nak?” tanya mamaku sambil terisak.
“Ini...ini
buat..ma..ma..” jawabku terbata sambil menyerahkan gelas daun yang berisi
beberapa tetes air teh manis.
“Flip, jangan
tinggalkan mama, sayang..”
“Flippy
sa...sa..sayang ma..ma,” kata-kata terakhirku dan setelah itu aku pun
menghembuskan napas terakhirku.
“Flippy.......”
teriak mamaku sambil memelukku erat.
Mama, aku senang sudah berkorban untukmu. Untuk tetesan
air teh manis yang engkau inginkan, Ma. Lihat, Ma. Aku berhasil membawakannya
untuk Mama. Mama, cepat sembuh. Terima kasih untuk semua pengorbananmu. Aku
Flippy, semut kecil dengan hidup yang begitu singkat tapi begitu berarti karena
mama. Terima kasih, Tuhan sudah menjadikanku seekor semut, aku bangga, Tuhan.
Jaga mamaku ya, Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar