Selasa, 12 Maret 2013

Hidup Singkat Seekor Semut

“Ma, mana gula bagianku?” pintaku pada mama yang sedang berusaha keras membawakan butir-butir gula yang begitu menggiurkan.

“Ini bagianmu, Flippy,” katanya lembut sambil memberikanku sepotong gula.
Aku pun mengisapnya dengan penuh rasa lapar.

“Nyaam...Nyaam, terima kasih, mama. Gula ini sangat lezat, mama memang hebat..” seruku sambil berlari memeluk mama.

“Iya, sayang,” jawab mamaku lemah, beliau terlihat sangat kelelahan.

“Mama lelah? Flippy pijat ya, Ma?”

“Tak usah, Nak. Mama tak apa-apa, ini juga sudah menjadi tanggung jawab mama.”

“Mama, kenapa mama begitu giat bekerja, mencari makan, mencari uang untuk aku, dan kakak-kakaku yang lain?” tanyaku lalu menyandarkan kepalaku dibahu mama.

“Karena mama sayang, mama cinta kalian semua, Flippy. Apapun akan mama lakukan demi kamu dan kakak-kakakmu,” jawab mama sambil mengelus kepalaku.

“Jadi kita harus rela berkorban untuk siapapun yang kita cinta, ya, Ma?”

“Tentu. Nanti Flippy juga harus seperti itu ya jika sudah memiliki pasangan hidup,”

“Ih, mama ini, Flippy, kan, masih kecil, Ma..”

“Memang kamu bisa menjadi sebesar apa, Flip? Haha..” mamaku tertawa begitu bebasnya.
Aku sedikit tersenyum lalu memeluk mamaku penuh cinta.

“Ma, aku rela melakukan apapun demi mama..” bisikku di telinga mama.

Mama terdiam, terdengar isak tangis dari diamannya.
***
Umurku semakin bertambah, badanku pun bertambah besar walaupun ukurannya tak sebesar ujung jari manusia. Hai, aku sudah bukan lagi Flippy yang dulu, sekarang aku sudah menjadi Flippy yang semakin mengerti beratnya menjadi seekor semut. Seekor semut yang sering dengan sengaja atau tak sengaja diinjak, dibuang, disiram air, tertimpa dedaunan. Tapi aku sama sekali tak menyesalkan diriku yang terlahir dari seekor semut juga. Hidupku menyenangkan, tinggal diantara keluarga yang sangat ramai, tapi ya, namanya hidup pasti ada tangis jika senang tercipta. Aku sering sekali bertemu kesedihan, apalagi ketika satu-per-satu anggota keluargaku, teman-temanku dan yang lainnya pergi meninggalkanku. Ya, mereka semua mati dengan tragisnya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya diinjak seperti yang dialami Ayahku, aku benar-benar terpukul saat itu terjadi, dan sejak saat itu aku benci dengan manusia, aku benci dengan makhluk yang tak pernah menganggap bahwa bangsa semut itu ada dan ingin menjalani kehidupan yang sama seperti mereka.

Sepeninggal Ayahku, aku tinggal bersama mama dan kakak-kakakku yang tak terhitung lagi banyaknya. Beberapa dari mereka bukan kakak kandungku, melainkan hanya semut-semut yang sudah dianggap anak oleh mamaku, mamaku baik, kan? Hihi. Mama adalah sosok semut yang paling berperan dalam hidupku, beliau selalu mengajariku bagaimana melindungi diri dari serangan musuh, mengajariku beradaptasi dengan lingkunganku dan beliau pula yang mengajarkanku tentang pengorbanan. Aku selalu ingat apa yang dibilang mama kalau kita sebagai bangsa semut, janganlah saling meninggi-ninggikan derajat satu sama lain, karena kita semua satu spesies, satu derajat. Dan aku berjanji akan selalu membuat mama bahagia, sampai akhir hayatku.
***
Suatu ketika, mamaku jatuh sakit. Tangannya patah, terinjak belalang yang sangat besar dan menakutkan. Mama hanya bisa berbaring diatas gundukan rumput yang hangat. Mama sangat lemah, ingin rasanya menggantikan posisi mama saat itu.

             “Ma, mama mau makan apa? Nanti Flippy cariin untuk mama,” tanyaku penuh iba.

“Mama ingin sekali menghisap beberapa tetes air teh manis itu, tapi kondisi mama sedang seperti ini,” jawab mamaku sedih.

“Kalau begitu, biar Flippy yang ambilkan air teh manis itu, Ma,” aku langsung berdiri.

“Tak usah, Nak. Itu membahayakan untukmu, nanti kamu bisa terinjak dengan manusia-manusia yang ada di rumah sana,” kata mama khawatir.

“Flippy akan baik-baik aja, Ma. Lagipula mama kan selalu mengajarkan Flippy bagaimana berkorban untuk siapapun yang kita cintai, dan sekarang Flippy rela berkorban apapun untuk mama, hanya untuk mama..” mataku  mulai menahan tetes airnya.

“Tapi mama nggak mau kamu kenapa-kenapa, sayang..”

“Mama, percaya ya sama Flippy..” aku pun meyakinkan mama.

“Baiklah. Jaga dirimu baik-baik, Nak. Bawa gelas daun itu untuk menaruh tetesan air teh manis itu ya..” jawab mama sambil mengelus pundakku dengan tangannya yang tinggal sebelah kiri.

Aku pun melangkah mengambil gelas daun yang ada di dekat meja makan.

“Ma, Flippy berangkat ya. Kalau hari ini Flippy pergi, percayalah Flippy sama seperti mama, yang selalu rela berkorban untuk siapapun, termasuk mama..”

“Doa mama menyertaimu, Nak..”

Aku berjalan keluar rumah kecilku sambil menenteng gelas daunku. Mataku sudah tertuju untuk dapat masuk ke dalam rumah yang dihuni manusia-manusia. Dengan bersemangat, aku berusaha mengendalikan keadaan sekitar. Langkah demi langkah ku taklukan, akhirnya sampailah aku di depan pintu rumah yang sangat besar. Dengan tubuhku yang kecil, aku mampu melewati celah-celah di bawah pintu. Aku melihat seorang lelaki muda tengah menyeduh teh di cangkirnya. Aku pun berusaha naik ke atas meja dimana lelaki muda itu meletakkan cangkirnya. Untunglah meja ini tak terlalu tinggi untuk ku hinggapi. Aku berlari sambil terus menenteng gelas daunku. Akhirnya aku tiba di ujung meja itu, aku melihat sebuah cangkir yang sangat besar dan lelaki muda itu menuangkan beberapa sendok gula pasir. 

Sepertinya gula itu sangat lezat. Lalu lelaki muda itu pun pergi meninggalkan cangkirnya untuk menaruh gula ke tempatnya semula. Aku memanfaatkan situasi ini untuk mengambil beberapa tetes air teh manis ini. Aku berlari sekuat tenaga dan sekarang aku telah berada di samping gagang cangkir, aku tapaki cangkir sampai ke bibirnya. Aku berusaha menjaga keseimbanganku agar aku tidak tenggelam dalam larutan air teh yang ternyata panas ini. Bisa mati aku karenanya. Aku mulai menyiduk air teh ini dengan gelas daun yang ku bawa.  Tapi malang nasibku, kakiku terpeleset dan aku pun tenggelam dalam larutan air teh yang panas ini. Aku berusaha meraih bibir cangkir, tapi aku tak sanggup, sampai beberapa saat kemudian lelaki muda itu datang dan melihat ada semut tengah mengapung di teh buatannya.

“Astaga, kenapa ada semut sih. Buang aja deh..” lelaki muda itu pun membawa secangkir teh manis panas itu dan melemparkannya keluar jendela.

Aku hanya mampu merasakan kaki dan tanganku tak dapat ku gerakkan. Mataku pun tak mampu lagi terbuka, gelap. Tapi mulutku masih mampu sedikit mengucap kata-kata dan kata-kata yang hanya mampu ku sebutkan adalah “Mama” . Mungkin karena panggilan batin, aku merasakan sentuhan lembut di keningku.

             “Flippy, kamu baik-baik aja, Nak?” tanya mamaku sambil terisak.

“Ini...ini buat..ma..ma..” jawabku terbata sambil menyerahkan gelas daun yang berisi beberapa tetes air teh manis.

“Flip, jangan tinggalkan mama, sayang..”

“Flippy sa...sa..sayang ma..ma,” kata-kata terakhirku dan setelah itu aku pun menghembuskan napas terakhirku.

“Flippy.......” teriak mamaku sambil memelukku erat.

Mama, aku senang sudah berkorban untukmu. Untuk tetesan air teh manis yang engkau inginkan, Ma. Lihat, Ma. Aku berhasil membawakannya untuk Mama. Mama, cepat sembuh. Terima kasih untuk semua pengorbananmu. Aku Flippy, semut kecil dengan hidup yang begitu singkat tapi begitu berarti karena mama. Terima kasih, Tuhan sudah menjadikanku seekor semut, aku bangga, Tuhan. Jaga mamaku ya, Tuhan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar