Jumat, 27 Januari 2012

GAUN PUTIH DI RUMAH PUTIH


"Eh bener looh, rumah itu berhantu," ujar Ridwan dengan muka serius
"Ah lu gosip dimana-mana terus Wan," sambung Tyas
"Gue gak gosip kok. Beneran. Gue udah liat sendiri hantunya," kata Ridwan membela dirinya sendiri.
"Gue gak percaya sama omongan lu Wan," jawab Tyas seraya meninggalkan Ridwan di kantin.
"Eh Yassss, tungguin gue," jawab Ridwan sambil mengejar Tyas..

Ridwan, kawanku yang satu ini memang benar-benar heboh kalo ada gosip seliweran dikit. Padahal sebenernya gosip itu biasa aja. Entah kenapa kalo dia yang nyeritain tuh kayaknya heboh dan penting banget gitu. Tapi Ridwan adalah kawan karibku, dia memang heboh. Tapi dia memiliki sifat kesetiakawanan yang amat sangat besar. Aku bangga mempunyai teman seperti dia. Sudah hampir 2 tahun, aku kenal dan bersahabat sama Ridwan. Ya, sejak aku masuk di Sekolah Menengah Atas ini. Awal perkenalanku dengan Ridwan sangat lucu. Ya gak sangat sih tapi cukup lucu :D .

Pada saat hari pertama Masa Orientasi Siswa....

"Aduh gue telat nih," gumamku sambil berlari menuju gerbang SMAN 7.

"Eh hati-hati dong," kataku saat ada orang yang tiba-tiba menabrak badanku.
"Eh maaf, gue gak sengaja. Gue buru-buru," jawab cowok yang menanbrakku.
"Ya tapi hati-hati lah," jawabku kesal lalu meninggalkan cowok itu.
"Iya iya, maaf banget ya," jawabnya sambil mengikutiku yang meninggalkannya.
Aku menggangguk.

"Nama lo siapa?" tanyanya sambil menghentikan langkahku.
Langkahku terhenti. Dan membalikkan badanku.
"Ngomong sama gue?" tanyaku
"Engga, sama tiang bendera tuh," jawabnya sedikit konyol.
"Hahaha yaudah samperin gih tiang benderanya," jawabku sambil sedikit tertawa.
"Ih malah ketawa," katanya
"Eh ntar lagi ya, udah telat tuh," jawabku sambil berlari menuju kelas kelompok MOS-ku.
"Eh tapi......." teriaknya

Aku pun mengambil topi yang di buat dari bola sepak plastik yang di belah menjadi dua. Lalu ku taruh di kepalaku.
"Aneh-aneh aja nih," gumamku

Aku mengambil semua kalung-kalungan yang dibuat dari tali rafia yang di isi dengan berbagai macam bumbu dapur. Ku pakaikan di leherku.

"Eh, kita satu kelompok," kata seseorang dibelakangku

Aku menoleh.
"Haaa? Elu? Hahaha udahan ngomong sama tiang benderanya?" jawabku sambil tertawa.
"Ih udah ah. Yuk ke lapangan, udah di suruh ngumpul tuh," katanya sambil menaruh tasnya disamping tempat dudukku.

Aku pun keluar kelas.
"Eh nama lo siapa?" katanya saat sedang menuruni tangga sambil menjulurkan tangannya.
"Tyas," jawabku singkat dan membalas juluran tangannya.
"Oh Tyas, gue Ridwan," jawabnya
"Gue gak tanya, hahahaha," jawabku sambil tertawa

Ridwan memonyongkan bibirnya dan mendengus kesal. Kemudian mengacak-acak rambutku, lalu pergi menuju barisan laki-laki. Aku membereskan rambutku dan menuju barisan perempuan.

Yaaa, seperti itulah awal perkenalanku dengan Ridwan. Singkat memang, tapi itu cukup mengesankan dan tak akan pernah aku lupakan. Ya Muhammad Ridwan Zaelani, sahabat yang ku kenal dengan cara konyol itu masih menjadi sahabatku sampai detik ini. Saat ini aku bersama Ridwan duduk di kelas XI IPA 2 . Kami selalu sekelas dari kelas satu. Hahaha memang sudah klop sama dia kali ya.

Oh iya, udahan deh kenalan sama si Ridwannya. Sekarang kenalin nih aku Amelya Tyas Putri. Panggil saja aku "Tyas" . Aku seorang cewek yang gak terlalu suka bergila-gila di dunia shopping, fashion atau apalah yang berhubungan dengan cewek-cewek itu. Tapi aku juga bukan termasuk cewek tomboi ya. Aku hanya sedikit cuek dengan penampilanku. Tapi masih banyak yang bilang kalo aku ini feminim banget. Padahal sebenernya engga terlalu feminim. Aku lebih menyukai hal-hal yang berbau petualangan. Aku amat sangat menyukai itu. Tapi sayang, Ayah dan Ibu melarangku untuk mendalami kesukaanku itu. Katanya "gadis tuh gak pantes ikut petualangan-petualangan gitu" . Padahal kan gak ada larangan buat cewek yang suka berpetualang. Jadi yaaa, mau gimana mau gak mau aku harus nurut apa kata Ayah dan Ibu. Aku kadang hanya menyaksikan acara-acara petualangan saja untuk menyalurkan kesukaanku itu.
Tapi kata Ibu, aku punya satu keistimewaan yang gak semua orang punya, mau tau apa? Baca lagi yuk di bawah..


"Eh lu beneran gak percaya sama omongan gue Yas?" tanya Ridwan ketika aku hendak masuk kelas.
"Gue gak akan percaya sebelum gue ngeliat sendiri Wan," jawabku santai
"Lu mau liat langsung? Ayo gue temenin," katanya sambil menghadang di depanku.
"Ah lu, emang ceritanya gimanasih? Emang rumahnya siapa yang banyak hantunya? Haaa?!" jawabku dengan muka menahan sabar.
"Ih ih, sini dah sambil duduk yuk gue ceritain," katanya sambil menggandeng tangaku.
"Asemele-__- "gumamku dalam hati.

"Jadi gini, waktu itu gue pulang sekolah........" katanya terputus saat Pak Tisman memasuki kelas.
"Yaaaah lu kurang beruntung Wan, nanti lagi aja ya ceritanya," jawabku dengan suara lega
"Ah elaaah. Tuh guru datengnya gak tepat," jawabnya sedikit kecewa lalu kembali ke tempat duduknya.

Aku membuka buku Kimiaku dan mulai belajar.

"Yas, gue bete," bisik Ridwan
Aku hanya menginjak kakinya.
"Ah sialan lu," katanya sambil mengelus-elus kakinya

Aku hanya tertawa dalam hati. Ku tengok Ridwan, haha mukanya sudah tidak menunjukkan kalo dia ingin belajar. Aku tau apa yang ada di isi hatinya. "Please bel pulang cepetan bunyi," sekiranya seperti itu.
Ku ambil pulpenku. Ku catat apa yang di terangkan Pak Tisman.

*Kringggg..Kringgg...Kringgg...*
Bel berdentang tiga kali, menandakan pelajaran di sekolah telah usai.

"Alhamdulillaaahhhhh..." kata Ridwan sambil memancarkan muka sumringah.
"Yeee dasar lu. Ngarepin bel bunyi kan lu dari tadi," jawabku sambil tertawa.
"Hahahaha iyaaa Yas, abisan gue bete," jawabnya sambil memasukkan pulpen dan bukunya ke tas yang sebenarnya tidak di gunakan -___-v

"Yaudah lu anterin gue ye Wan, gue kagak bawa motor," kataku padanya.
"Siap. Eh tapi mau gue ajak ke rumah berhantu itu gak?" tanyanya.
"Ah bodoh. Siang-siang mana ada hantu," jawabku sambil menepuk pundaknya.
"Ya hantu memang gak ada. Tapi aura negatifnya itu gede banget," katanya dengan muka penuh semangat.
"Yee yaudah biasa aja muka lu, hahahaha..." jawabku sambil menaruh tangan kananku dimukanya lalu keluar kelas.
"Eh songong lu.." katanya sambil mengejarku.

Aku jalan sedikit berlari. Sambil terus memikirkan ajakan Ridwan tentang rumah berhantu itu. Ah sekedar lewat tidak masalah kan? Oke aku menuruti kemauan Ridwan untuk melewati rumah itu.

"Gak usah lari dong..." kata Ridwan menepuk pundakku.
"Hahaha iya kagak kok Wan, eh coba deh kita lewat rumah hantu itu.." jawabku sambil menuruni tangga.
"Haaaa? Serius? Ini gak mimpi kan Yas?" tanyanya lagi dengan muka heboh
"Iya Muhammad Ridwan Zaelani...." jawabku sambil tersenyum.
"Yes.." ujar Ridwan

Aku berjalan menuju gerbang sekolah, sementara Ridwan menuju parkiran motor untuk mengambil motornya. Aku melenggang berjalan menuju gerbang dengan santai. Sesekali aku menyapa orang-orang yang menyapaku.
"Hai Tyas.." seru Kak Bimo.
Aku membalasnya dengan senyuman.
"Duluan kak," jawabku singkat.
"Hati-hati ya..." balas Kak Bimo.

Aku sampai di gerbang sekolah, kemudian keluarnya Ridwan menaiki motor vespanya.
"Nih helmnya.." ujarnya sambil memberiku helm
Aku pun memakai helm itu, dan kemudian naik membonceng di vespanya.

"Eh Wan, lu dapet berita itu dari mana sih? Rumpi banget lu jadi cowok.." kataku dengan nada bercanda
"Yaaa gue kan cari-cari informasi Yas, lagian juga gue udah curiga kalo tuh rumah berhantu. Lo liat sendiri lah udah gak ke urus gitu rumahnya.."jelas Ridwan sambil mengendarai vespanya.
"Oh gitu ya, yaudah ntr gue pengen liat sendiri deh.." jawabku

Kami melewati jalan besar, kemudian masuk ke gang-gang kecil. 5 menit kemudian, aku masuk ke sebuah gang. Gang.Buntu namanya. Gang ini memang sepi. Yaa disini hanya terdapat 6 rumah. Tapi rumah-rumah ini bisa di bilang sangat mewah dengan setiap garasi mempunyai 2-3 mobil . Kemudian, Ridwan menginjak rem dan berhenti di depan sebuah rumah di sebelah kanan jalan. Rumah putih yang megah itu amat sangat menarik. Dekorasi rumahnya benar-benar memukau.

"Andai aja rumah ini di rawat, pasti akan bagus sekali.." gumamku setelah turun dari vespanya Ridwan.
"Mau masuk?" tanya Ridwan
"Emmm boleh, yuk.." ajakku yang tadinya sama sekali tidak ada niat untuk masuk ke rumah ini dihari ini.

Entah kenapa aku merasa ada seseorang yang berkata agar aku memasuki rumah putih besar ini. Aku berjalan mendekat ke pintu gerbang yang sudah hancur tak berbentuk. Ku cium aroma kemenyan, entah datang dari mana.
"Lu nyium bau kemenyan gak Wan?" tanyaku pada Ridwan
"Engga. Hidung lu aja tuh yang aneh.." jawab Ridwan sedikit tertawa

Aku benar-benar merasakan aroma kemenyan yang menjadi-jadi. Ku masuk, langkah demi langkah. Ku memperhatikan kembali rumah bertingkat satu itu benar-benar memiliki hawa negatif yang amat besar. Di tambah lagi bebauan kemenyan yang sedari tadi aku cium. Di depan rumah, terdapat sebuah kolam yang mungkin dulunya terdapat air mancur di situ. Ridwan menghentikan langkahku. Aku menoleh.
"Ada apaan Wan?" tanyaku dengan suara sedikit parau
"Lu yakin mau masuk?" tanyanya.
Aku mengangguk .
"Feeling gue gak enak Yas..." katanya lagi.
"Udah ikutin gue aja yuk.." jawabku santai.

Aku memasuki pintu besar yang sudah hampir copot dan tidak menyerupai pintu. Aroma kemenyan semakin terasa. Dan aku tau Ridwan pun saat ini sedang amat ketakutan karena sedari tadi dia memegangi tanganku dengan kencang. Langkahku tambahkan, ku temukan sebuah kamar si sebelah kiri. Kamar itu penuh dengan sampah, jendelanya pun sudah tidak ada. Aku masuk ke kamar itu. Ridwan masih mengikutiku.

Ku tengok ke kanan, ke kiri. Aku sudah merasakan adanya hawa negatif disini. Aku pun segera keluar dari kamar kotor itu. Selanjutnya aku melangkah lagi dan ku temukan sebuah dapur. Di situ terdapat sebuah keran yang biasa di gunakan untuk mencuci piring. Di situ juga terdapat pecahan-pecahan piring yang entah datang dari mana. Di sebelahnya lagi terdapat kamar mandi. Yaaa, ada sebuah bath-up di situ. Masih bagus.

"Yas, udahan yuk. Feeling gue gak enak.." kata Ridwan terbata-bata
"Ah, nanggung . Udah masuk juga. Udah deh lo diem dan ikutin gue aja.." jawabku menenangkan Ridwan yang sedari tadi ku lihat mukanya amat pucat.

Kemudian aku keluar dari dapur dan kamar mandi, di depannya terdapat tangga yang melingkar. Aku semakin merasakan dorongan untuk naik ke atas. Waw. tengok tangganya pun masih berbalur karpet merah.
"Rumah yang mewah.." gumamku.

Aku melangkahkan kaki menaiki tangga. Rumah ini benar-benar mempesona saat dulu masih dalam keadaan bagus. Aku pun membayangkan rumah ini saat masih di tempati oleh pemiliknya. Langkah demi langkah ku jajaki tangga ini. Akhirnya sampailah kami di lantai dua. Ada sebuah kamar di situ, ya di sebalah kanan setelah aku menaiki tangga. Kamarnya lebih besar dari kamar yang di bawah.

"Hemmm, inilah kamar utamanya Wan..." kataku pada Ridwan yang tangannya amat dingin.
"Kok lu bisa tau?" tanya lagi sambil melepaskan tanganku yang sedari tadi di genggamnya.
"Gue gitu.." jawabku dengan senyum merekah.

Aku masuk ke kamar utama itu.

"Disini dulunya ada lemari besar yang menempel di tembok ini.." ujarku sambil menunjukkan lokasi yang ku maksud.
Ridwan masih menganga.
"Terus sekarang kemana lemarinya?" tanya Ridwan sedikit penasaran
"Di ambil orang.." jawabku singkat

Aku merasakan hawa negatif di kamar ini lebih besar daripada kamar yang di bawah.
"Ayo Yas, kita keluar.." kata Ridwan sambil menarik tanganku
"Sebentar.." jawabku sambil terus memperhatikan setiap sudut kamar ini.
Entah kenapa aku masih ingin mengetahui apa-apa saja yang dulunya ada di kamar ini.
"Disini dulu ada meja rias.." kataku sendiri
Ridwan hanya diam dan terus memperhatikanku.

Cukup lama aku berada di kamar ini. 10 menit kurang lebih. Aku pun memustuskan untuk menjajahi ruangan  lain.
Saat keluar kamar, tepat di depan kamar terdapat kamar mandi. Dan di situ pun ada bath-up yang masih membisu. Aku tercengang.
"Gila, ini bath-up masih bagus..." kataku sambil mengelus permukaan bath-up yang terasa dingin.
"Iya ya. Tapi kenapa gak ada orang yang ambil?" tanya Ridwan

Aku menaikkan bahuku dan menggeleng.Ya Tuhan, aroma kemenyan semakin menusuk hidung. Aku pun mulai berkomat-kamit. Membacakan doa yang di ajarkan Ibuku. Ridwan hanya bengong melihatku berkomat-kamit.

Aku keluar dari kamar mandi itu. Aku berjalan kembali menuju teras yang ada di rumah itu. Dari atas kami melihat sekeliling di sekitar rumah. Ku pegang dindingnya.
"Aish, darah.." gumamku sambil memperhatikan telunjukku yang tiba-tiba tergores.
Aku segera menghisap darahku itu.
"Aneh.." gumamku

"Kenapa Yas?" tanya Ridwan mendekatiku
"Nothing.." jawabku singkat
"Masih pengen berlama-lama disini?"
"Engga, yuk keluar.." ajakku yang semakin merinding berada di tempat ini.

Aku pun menuruni tangga melingkar itu. Entah kenapa aku merasa kakiku berat untuk melangkah. Dan ternyata saat aku tengok ke bawah. Seorang anak kecil terlihat memegangi kakiku.
"Astagfirullah.." kataku tiba-tiba
Ridwan menoleh.
"Kenapa Yas?" tanyanya sambil memegangi tanganku.

Aku langsung membaca doa-doa yang di ajarkan Ibu. Dengan sekuat hati aku melangkahkan kakiku dan berkata, "Bismillah.." makhluk itu pun pergi.

Aku mengusap dada.
"Untunglah gak kenapa-kenapa, yuk buruan turunnya.."kataku sambil mempercepat langkahku.
Ridwan tampak kebingungan.
"Nanti gue ceritain.." jawabku singkat.

Sesampainya di bawah.
"Lu duluan aja Wan, nanti gue nyusul..." kataku menghentikan langkahku tepat di depan pintu masuk.
"Mau ngapain lagi Yas?" tanyanya
"Gausah banyak tanya.." jawabku singkat

Ridwan pun meninggalkanku. Aku membalikkan badanku. Mulutku membacakan semua doa-doa yang ku tahu. Ku tahu, penunggu rumah ini agak sedikit terganggu dengan kedatanganku. Aku memohon maaf. Dan kemudian melenggang pergi meninggalkan rumah itu.

Rdiwan sudah duduk di atas vespanya.
"Lu baik-baik kan Yas?" tanyanya
Aku tak menjawab.
"Yas...." panggilnya lagi sambil menampar halus pipiku
Aku tersadar.
"Eh iya, yuk pulang.." kataku
"Muka lu pucet, lu ga kenapa-kenapa kan?" tanya Ridwan dengan muka khawatir
"Gak kenapa-kenapa, yuk pulang nanti keburu sore.." kataku lalu naik ke vespanya Ridwan.

Di perjalanan.
"Lu tadi ngeliat something kan disana Yas?" tanya Ridwan
"Iya.." jawabku singkat
"Ada apa Yas? Dia ngikutin lu? Engga kan?" tanya Ridwan dengan muka yang heboh
"Gak kok. Udah ya gak usah di bahas.." jawabku dengan muka lemas

15 menit kemudian. Sampailah di depan rumahku.
"Istirahat ya Yas.." pesan Ridwan.
Aku mengangguk.
"Lu hati-hati ya dijalan.." kataku pada Ridwan

Ridwan pun berlalu. Aku masuk ke dalam rumah. Ibu sepertinya tau apa yang sedang menimpaku sekarang.
"Kamu habis dari mana?" tanya Ibu ketika aku mencium tangannya.
"Sekolah lah, Bu.." jawabku lemas
"Sepulang sekolah? Muka kamu beda.." Ibu mulai curiga
"Aku baik-baik aja Bu.." kataku sambil mengecup pipi Ibu dan berlari menuju kamar.

Aku masuk ke kamarku. Ku langsung menuju kamar mandi, ku basuh mukaku. Ku pandangi mukaku di cermin.
"Astaga, aura negatif itu besar sekali.." gumamku
Aku mengambil air wudhu dan kemudian shalat ashar.

Setelah sholat, aku menuju ruang keluarga. Berkumpul bersama Ibu, Ayah dan kakakku.
"Dek, muka lu beda banget dah.." kak Tomi menerawangi mukaku.
"Ah beda apanya sih? Sama aja kok..." jawabku
"Bener? Lu keliatannya pucet gitu, lu sakit dek?" tanyanya lagi.
"Gue baik-baik ajaa kak..." jawabku sambil mengambil setoples kue kering.

Ayah datang sepulang kerjanya.
"Assalamulaikum.." ujarnya lalu masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam..." jawabku berbarengan dengan kak Tomi.
Kak Tomi langsung menghampiri Ayah dan membawakan tas kerjanya.

Aku mencium tangan Ayah.
"Ih Ayah bau, mandi gih.." kataku sambil bercanda
"Hhahaha yaudah Ayah mandi dulu deh..." jawab Ayah sambil mengacak-acak rambutku.

Aku dan kak Tomi pun duduk di ruang tamu. Sementara Ibu menyiapkan makan untuk nanti malam.
"Eh kak, tadi gue ke rumah kosong..." kataku membuka percakapan.
"Ha? Dimana dek? Ah pasti lu liat macem-macem deh.." kata kak Tomi dengan muka konyol
Aku mengangguk. Yaaa kakaku ini memang sudah mengetahui kemampuanku ini.
"Liat apaan dek? Dia ganggu lu gak?" tanya kak Tomi menatap mataku.
Aku menggeleng.
Kemudian hening.

"Gue liat disitu dulu di tempatin sebuah keluarga kaya kak..." aku memulai cerita, mataku tajam.
"Haa? Terus-terus? Cerita de.." pinta kak Tomi.
"Ya, dulu rumah itu di huni keluarga dari Jerman. Di situ ada seorang Ayah, Ibu dan dua anak perempuan. Semuanya hidup bahagia, karena si Ayah adalah pemegang saham terbesar di kantornya. Tapi suatu saat, si Ayah memiliki hutang sama sebuah bank. Yaaa jadilah rumah itu di sita oleh pihak Bank..." ceritaku pada kak Tomi.
"Lu tau darimana? Ngarang ya?" tanyanya sambil menangkat telunjuknya dan menunjukku.
"Selin bercerita sama gue kak..." jawabku
"Selin itu siapa?"
"Anak dari pemiliki rumah itu, tadi gue ketemu sama dia disana. Dia ramah, dia hanya tersenyum padaku. Mulutnya bungkam, mukanya pucat.." jelasku
"Eh tunggu deh, kan kata lu tadi rumah itu di sita sama pihak bank? Kok anaknya masih tinggal di situ?" tanya kak Tomi

"Jadi gini, setelah rumah itu di sita. Mereka semua pergi dari rumah itu. Dan ternyata di perjalanan yang panjang itu, mereka kecelakaan. Di lindas truk. Semua mati seketika. Sejak itu,arwah Selin, Yusraz, Ibu dan Ayahnya menempati rumahnya itu..." jelasku lagi.
"Oh, gitu. Eh eh Selin sama Yusraz cantik?" tanyanya lagi. Kemudian tertawa.
"Cantik banget. Tapi ya silahkan kalo lu mau pacaran sama arwah kayak mereka.." jawabku kemudian meninggalkan kak Tomi diruang tamu sendiri.
"Eh tuyul, gue merinding nih! Sialan lu malah kabur.." teriak kak Tomi padaku.
Aku hanya tertawa dan membantu Ibu mempersiapkan makan malam.

Adzan magrib mulai terdengar. Kami semua shalat berjama'ah. Seusai sholat, kami makan bersama.
Makan malam kali ini di hangati dengan perbincangan tentang kakakku yang sebentar lagi akan lulus SMA. Jam 20:00 kami sholat Isya, dan kemudian bersiap untuk tidur.

Aku segera menuju kamarku. Kamarku dan kamar kak Tomi bersebelahan.
"Eh hati-hati ya tidurnya.." godaku pada kak Tomi
"Weeh gak papa-papa sih di datengin hantu cantik, wleee..." jawabnya sambil menjulurkan lidahnya.

Aku masuk ke kamar, ku bereskan semua buku-buku pelajaran yang akan ku bawa besok.
"Inggris, Matematika, Fisika, Kimia.." kataku sambil membaca jadwal pelajaran.

Sebelum tidur aku cek handphoneku.
Ada satu pesan dari Ridwan,
" Tyas, besok bareng ga? Kalo iya ntr gue samper ke rumah lu "
Aku membalasnya,
" Iya Wan, gue bareng, On time ye. Jan telat :-) . gue mau tidur duluan. Nite Ridwan" 
Ridwan membalas,
" Okaaaaay :-D Nite too Tyas :-* " 


Aku pun langsung merebahkan diri di kasurku. Ku tarik selimutku.
Selamat malam dunia mimpi.... :-)

Aku tertidur. Ku rasakan goncangan hebat di kasurku. Aku membuka mataku. Terlihat sosok cewek duduk di sampingku. Yaaa itu Selin. Anak dari pemilik rumah putih itu. Dia meraih tangaku, senyumnya merekah. Aku terbangun dan mengikutinya. Aku keluar dari jendela kamarku. Ku rasakan aku seperti melayang. Dan waw, lihat aku terbang. Selin terus tersenyum dan menggandeng tangaku. Ia diam, tidak bicara sepatah kata pun.

Entah berapa lama aku terbang di bawa si cantik Selin. Aku turun tepat di gerbang rumah putih itu.
"Ada apa?" tanyaku.
"...."
"Hei, jawab aku.."
Selin hanya tersenyum dan mempersilahkanku untuk masuk. Aku mengikutinya. Namun, sesaat setelah aku masuk ke pintu rumah ini. Selin menghilang.

Aku berjalan, menapati setiap ruangan yang ada di rumah ini. Ku tengok ke kamar yang ada di bawah, di situ terdapat Ayahnya Selin bersama adikknya Yusraz sedang bermain. Mereka berbicara, tapi aku tak bisa mendengar perkataan mereka. Aku terus mencari Selin, entah kenapa seperti ada yang membisikkanku untuk naik ke lantai dua. Aku menaiki tangga ini. Aku segera melihat Selin sedang duduk di atas kasur yang ada di kamar utama. Aku segera menghampirinya. Tapi saat aku hendak menghampirinya, Selin menghilang. Aku tengok ke lemari besar itu. Hei lihat ada SEBUAH GAUN WARNA PUTIH. Indah banget. Aku menghampirinya. Aku pegang gaun itu. Lembut, bertabur mutiara. Ah aku ingin memiliki gaun indah itu. Tapi segera saja Selin menghardikku. Ia menjauhkan tanganku dari gaun itu. Matanya seperti berbicara.

"Itu milikku, jangan sentuh..."
Aku menjauh,
"Maafkan aku Selin..." kataku menunduk.
Selin tersenyum. Ternyata dia hanya ingin kontak batin denganku.
Aku dapat membaca semua yang ingin ia katakan dari matanya.

"Tapi kamu pantas milikin gaun itu, aku belum sempat menggunakan gaun itu. Dulu gaun itu ingin ku pakai di acara pertunanganku, tapi maut mengambilku lebih dulu..." ia berbicara tapi mulutnya tidak berkata-kata, aku membaca dari matanya.
Aku tersenyum. Selin duduk di atas kasur.
Aku duduk disampingnya. Selin menangis.
"Don't crying.." kataku

Seketika ruangan itu gelap, sangat gelap.

"Hei bangun Tyaaasss, nanti telat sekolahnya.." teriak Ibu membangunkanku

Wajahku berkeringat. Mukaku pucat.
"Astaga, tadi itu mimpi.." gumamku sambil terbangun dari tidurku.

"Cepet mandi, jangan bengong.." kata Ibu mengagetkan ku yang masih terbengong-bengong.
Aku terburu-buru, lalu begegas ke kamar mandi.

Ku pandangi mukaku. Pucat, ku cium tanganku. Bau melati.
"Ya Tuhan, sebenarnya mana yang mimpi..."

Ku pakai sepatuku. Ridwan sudah menunggu di depan rumah.
"Bu, aku berangkat.." seruku kepada Ibu yang sedang menyapu ruang tamu.
"Iyaa, hati-hati nak.."

Di perjalanan menuju sekolah.
"Wan, nanti temenin gue ke rumah itu lagi ya..." kataku
"Ha? Ngapain lagi Yas?" tanya Ridwan sedikit kaget
"Nanti aku ceritain.." jawabku singkat.

Vespa Ridwan melaju cepat. Kemudian sampailah di gerbang sekolahku. Aku turun di gerbang dan Ridwan menaruh motornya di parkiran.

Aku berjalan menuju kelasku. Di susul Ridwan.
"Heh mau ngapain lagi ke rumah itu?" tanyanya seketika
"Aku mimpiin rumah itu.." jawabku sambil melangkah menaiki satu anak tangga.
"Mimpi apa?" seru Ridwan dengan muka semangat.
"Di rumah itu ada Gaun indah banget Wan, warnanya putih bersih. Dulu gaun itu hendak di gunakan di acara tunangan Selin, anak dari pemilik rumah itu.." jelasku
"Ha? Lu ketemu sama mereka? Terus terus?" katanya
"Kepo lu.." jawabku singkat lalu berlalu menuju kelas.
"Eh sialan lu.." kejar Ridwan

Aku masuk kelas. Dan duduk di kursiku.
Kemudian Ridwan masuk.
"Sialan lu, gue di bilang kepo..." katanya sambil menaruh pantatnya di kursi
Aku hanya tertawa,
"Udah pokoknya ntar temenin gue, gue pengen liat gaun itu.." kataku dengan suara yang sedikit rendah
"Emang beneran ada? Bukannya cuma mimpi lo?" tanya Ridwan.
"Gue yakin ada..." jawabku singkat dengan muka serius.

****
Bel berdentang tiga kali.
Aku membereskan buku ke tasku.
"Jadi?" tanya Ridwan singkat
Aku mengangguk.

Menuju rumah putih itu.
"Feeling gue gak enak Yas.." kata Ridwan
"Lu takut? Gak akan ada apa-apa kok..." jawabku santai
Ridwan pun mempercayai semuanya padaku.

Sampai di depan rumah putih. Aku langsung membacakan doa keselamatan yang diajarkan Ibu.
"Bismillah.." ku langkahkan kakiku.

"Wan, ada Selin. Lu salam gih.." kataku sedikit berbisik
"Dimana? Gue gak liat.." katanya dengan muka pucet
"Cepet..." kataku lagi
"Assalamulaikum Selin, aku temennya Tyas.." katanya sedikit gugup

Aku menarik tangan Ridwan dan langsung menuju lantai atas. Selin tersenyum dan menyambut hangat kehadiranku. Ku naiki tangga dan ku langsung menuju ke kamar utama.
Tapi hasilnya "nol" . Tidak ada gaun di situ. Apa itu hanya mimpiku? Ah aku rasa itu nyata...

"Dimana gaunnya?" tanya Ridwan
"Gak ada.." jawabku sedikit kecewa
Aku keluar dari kamar utama. Ku lihat Selin tersenyum padaku, matanya berkata,
"Temanmu lucu.."

Aku tertawa.
"Eh ngapa lu tawa?" tanya Ridwan dengan muka yang bener-bener kocak. Antara takut dan sok-sok berani.
"Kata Selin, lu lucu.." jawabku
"Eh masa? Dia cantik ya? Dimana dia ?" tanya Ridwan langsung membusungkan dadanyya.
"Tuh di situ.." jawabku sambil menunjuk ke pojok kamar mandi.

Ridwan tampaknya benar-benar ketakutan melihatku yang sedari tadi bercakap-cakap sendiri.
"Yas, pulang yuk.." katanya
"Sebentar dulu, aku masih penasaran sama gaun itu.." jawabku
"Ya tapi lu udah liat sendiri kan? Gaunnya gak ada.."
"Ada..." jawabku pasti.

Entah kenapa, tiba-tiba ada bisikan di telingaku agar aku segera turun ke bawah. Aku turun ke bawah, dan ku lihat gaun itu, tapi gaun itu bergerak.
"Itu gaunnya.." teriakku menunjuk-nunjuk ke arah pintu
"Dimana?" Ridwan tambah bingung

"Yahh terbang.." keluhku
"Kayaknya itu emang cuma khayalan gue aja Wan. Gue sudah terlalu jauh ingin mengetahui dimana gaun itu. Yang sebenarnya gaun itu bukanlah milik gue..." jawabku sambil duduk di motor vespanya Ridwa.

Ridwan mengelus kepalaku.
"Jangan sedih Tyas, kalo emang itu gaun ada. Mungkin lu juga gak berhak milikin itu.." katanya mencoba menghiburku.
"Tapi gaun itu ada!" teriakku sedikit menangis kecewa.
"Yaudah sekarang kita pulang yuk.." kata Ridwan menghapus air mata ku yang perlahan menetes.
Aku pun langsung naik membonceng di motornya Ridwan, dan bergegas pulang.


Terang saja aku menangis, gaun itu amat indah. Setiap wanita yang melihat itu pasti akan ingin memilikinya. Gaun indah itu, berwarna putih, bermandikan butir-butir mutiara. Ah indahnya....
Tapi sampai sekarang aku masih terus menerus memikirkan gaun itu. Gaun itu selalu hadir dalam mimpiku. Entah itu nyata atau tidah, aku merasa gaun indah itu benar-benar ada.
Tapi selain itu, aku mendoakan Selin beserta keluarganya. Agar tidak mengganggu orang-orang di sekitar rumahnya itu.

Suatu malam, aku bermimpi. Gaun itu! Yaaa gaun itu lagi. Ada di lemari besar itu. Ku menyentuhnya. Tapi kemudian ku lihat muka Selin amat marah padaku. Aku meminta maaf karena aku telah berkeinginan memilik gaun pertunangannya itu. Selin memaafkanku. Sampai saat ini, aku masih terus bermimpi tentang GAUN PUTIH DI RUMAH PUTIH itu. Entah maya atau nyata.......

1 komentar: