Selasa, 03 Januari 2012

Please, jangan hujan...



"Arghhhh..."
Gerutu Mulia, gadis remaja yang sedang bersungut-sungut karena hujan turun.

"Kenapa harus hujan..." gumamnya
Ia terus menggerutu, sambil memandangi hujan yang tengah deras di luar rumahnya.
"Kapan hujan itu berhenti..."

"Kenapa sih mul?" tanya William, sahabatnya dari kecil.
"Aku benci hujan Will.." katanya singkat sambil terus menatap rintik-rintik hujan.

William, sahabat Mulia sedari kecil ini memang sudah amat sangat dekat dengan kehidupan Mulia. Ia sedang menginap di rumah Mulia sudah dari seminggu yang lalu. Mereka bersahabat sedari kecil, dari di masa Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, sampai sekarang Sekolah Menengah Atas. Mereka terpisah saat Sekolah Menengah Pertama, yaa William pindah ke Bandung bersama keluarganya. Sedangkan Mulia di Jakarta. Saat ini William sedang berlibur di Jakarta, ia menginap di rumah Mulia.

Mulia, gadis remaja berambut panjang ini memang menarik. Rambutnya selalu terurai, tidak hitam memang, sedikit kemerah-merahan. Tinggi badannya sekitar 172an, cukup tinggi dibanding anak-anak SMA jaman sekarang. Berat badannya sekitar 48kg. Ia bersekolah di salah satu sekolah ternama di kotanya. Sedangkan Willian, cowok tampan ini bisa dibilang banyak di sukai para wanita. Ya kulitnya yang putih, tinggi badan yang mapan. Banyak yang bilang kalau Mulia dan William ini kembar. Ya tidak bisa di pungkiri kalau mereka berdua memang mirip.

"William, Mulia... Sini makan siang dulu.." panggil Bundanya Mulia.

"Tuh dipanggil Bunda, makan yuk.." ajak William, ia memang memanggil Bundanya Mulia dengan sebutan Bunda.

William menggandeng tangan Mulia, Mulia pun menurut.
Mulia duduk di kursi dan Bunda memberinya semangkuk bubur merah, kesukaanku.

"Hahaha dari kecil gak berubah-berubah kesukaan kamu Mul.." goda William
Mulia hanya memonyongkan bibirnya dan segera melahap semangkuk bubur merah ini.

"Hujan-hujan enak kan makan bubur.." kata Bunda seraya menaruh gelas berisi air minum di depanku.
"Ish Bunda... Aku benci hujan.." katanya sambil mengunyah bubur.
Bunda dan William hanya tertawa-tawa.

Sementara hujan masih saja membasahi halaman rumahku.
"Kapan hujan ini berhenti..." gumamku
Sementara aku terus menghabiskan semangkuk bubur merah ini.

"Nanti sore jalan yuk Mul.." ajak William
"Mau kemana Will? Gak liat di depan hujan deras gitu.." jawabku sambil melahap sesendok terakhir bubur merahku
William menatap jendela.
"Hmm, mungkin nanti sore hujannya reda.." jawabnya sedikit pelan.
"Gak akan reda sebelum ada yang di ambil.." jawab Mulia sambil berlalu dan duduk di depan tv.

William bingung dengan perkataan Mulia. Ia pun mengikuti Mulia dan duduk disampingnya.
"Hah? Diambil? Maksud kamu Mul?" tanyanya pada Mulia.
"Nanti kamu akan tau Will.." jawab Mulia santai

William masih bingung dan hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya.
"Apa maksud yang dikatakan Mulia ya..." pikirnya
Sedangkan Mulia masih bersantai dengan sweater bulunya.
William pun melupakan semua pikirannya itu , ia pun ikut bersantai bersama Mulia.

Mulia melirik ke arah jam. Ternyata sudah menunjukkan pukul 3 sore, dan hujan masih saja turun dengan derasnya.
"Yahh hujannya ga berhenti.." keluh William sambil menatap jendela
"Kan aku udah bilang, nanti berhentinya kalau udah ada yang di ambil..." jawab Mulia seraya menepuk pundak William.

William semakin penasaran dengan perkataan Mulia, ia pun menarik tangan Mulia.
"Ceritain sama aku, apa maksud perkataan kamu itu Mul? Aku mikirin itu terus daritadi..." katanya sambil menarik tangan Mulia.
"Mau aku ceritain?" kata Mulia
William mengangguk dan mengikuti Mulia menuju taman belakang.

Mulia duduk di kursi. William pun duduk disampingnya.
"Ada apaan sih Mul dengan hujan?" tanyanya pada Mulia yang sedang bengong menatap hujan yang masih turun.
"Karena hujan, ayah aku pergi..." katanya singkat
"Loh? Ayah kamu pergi karena sakit Mul.." sambung William
Mulia menggeleng.
"Enggak, hujan yang udah ngambil Ayah. Maka dari itu aku gak pernah suka sama hujan.." jelasnya
William semakin bingung.
"Yaudah sekarang ceritain ya..." katanya sambil menggenggam tangan Mulia.

Mulia menggangguk.
"Waktu itu, saat usiaku masih 3 tahun.. Aku bermain hujan-hujanan di halaman ini bersama Ayah. Kita bermain kejar-kejaran. Tapi tiba-tiba Ayah terpeleset, penyakit jantungnya kambuh...." jelas Mulia tiba-tiba terpotong, tertahan air matanya.

"Mul, don't cry..." kata William sambil menghapus air mata Mulia.

"Aku lanjut ya..." kata Mulia sedikit terisak
"Aku ingat saat itu Ayah berteriak kesakitan, tapi aku bingung harus gimana. Aku masuk ke rumah, aku panggil Bunda. Bunda membawa Ayah ke rumah sakit. Aku hanya bisa diam di sudut taman. Aku takut terjadi apa-apa sama Ayah. Beberapa jam kemudian, telepon rumah berdering..
"Mulia, Ayah pergi..." terdengar suara Bunda dari jauh sana. Tersentaknya aku mendengar itu, kakiku terasa lemas.
Sejak saat itu aku membenci hujan, aku rasa hujanlah yang telah membuat Ayah pergi untuk selamanya.." cerita Mulia membuat William meneteskan air mata.

"Tapi ayahmu pergi karena sakit Mul, bukan karena hujan..." ujar Willam berusaha menghibur Mulia.
"Enggak, itu karena hujan Will, andai aja aku tidak bermain hujan-hujanan di hari itu. Mungkin Ayah masih ada sampai sekarang.." jawab Mulia lemas.
William memeluk Mulia.

"Mul, aku mohon jangan pernah kamu benci hujan. Ayah kamu pergi itu karena kehendak Allah. Semua orang pasti meninggal Mul..." kata William berusaha menenangkan Mulia yang sedari tadi menangis.
"Aku tetep benci hujan..." teriak Mulia pada William

William tersenyum kemudian bercerita.
"Hei, lihat deh coba kalo gak ada hujan. Mungkin bunga-bunga di tamanmu ini tidak akan hidup.."

"Tapi aku menyirami bunga-bungaku dengan air dari keran.." jawab Mulia

"Air dalam keran dari sumur, sumur akan kering kalau tidak ada hujan..." jelas William

Mulia termenung.
"Jadi Ayah pergi bukan karena hujan?" katanya dengan suara kecil.
"Bukan Mulia, jadi jangan benci lagi ya sama hujan.." kata William sambil mengacak-acak rambut Mulia.

Mulia tersenyum. Ia berjanji bahwa tidak akan pernah benci lagi sama hujan.
"Will, makasih ya.." kata Mulia seraya memeluk William
William pun memeluk Mulia.
"Gak usah bilang makasih Mul, kamu kan udah kayak kembaran aku sendiri.." jawabnya sambil tertawa

Mulia pun ikut tertawa.
Tuhan, terima kasih atas hujan yang telah kau curahkan. Maafkan aku sudah membenci ciptaanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar