Jumat, 20 Januari 2012

Seggenggam Harap Dalam Sunyi


Setitik cahaya lilin menemaniku malam ini. Sunyi memang. Lilin semakin habis, cahayanya pun semakin memudar. Ku ambil lilin satunya lagi dan ku nyalakan berdampingan. Kini cahayanya bertambah terang. Ku ambil selembar kertas, ku ambil sebuah pensil. Ku biarkan imajinasiku menari-nari di atas kertas putih ini. Sesaat ku rasakan hembusan angin merasuki tubuhku, tapi aku tak menghiraukannya. Tanganku mulai menari diatas secarik kertas ini.

Ku pandangi foto Ayah dan Ibu yang tetap abadi di meja kecilku ini, Fotonya memang tidak sebagus foto-foto baru, terang saja foto ini sudah hamir 10 tahun menemaniku. Ya, memang hanya selembar foto ini yang menjadi semangatku menjalani hidup ini.

" Ayah, Ibu aku rindu kalian.." gumamku sambil terus menulis di kertas ini

Sejak kejadian itu, aku merasa benar-benar enggan bertemu dengannya. Ya "Ombak" aku benci itu! Karena ombak telah mengambil Ayah dan Ibu. Ku ingat kembali kejadian 10 tahun lalu itu yang datang melanda perkampungan nelayan daerahku.

Sore itu, Ayah pulang dari laut, ya Ayahku seorang nelayan.

"Ayaaaaaah, mana ikan untukku.." teriakku sambil mengampiri Ayah yang pulang membawa sekarung ikan.

"Sebentar yaaaa, Ayah mau istirahat dulu.." jawab Ayah lalu duduk di kursi rotan yang ada di dalam rumahku.

Aku membawa karung berisi ikan ini menuju dapur. Ibuku sudah menyiapkan segala macam bumbu yang akan di masak beserta ikan yang di bawa Ayah. Ibu memisahkan mana ikan yang harus di masak dan mana ikan yang harus di jual.

Andai aku tau, saat-saat itu adalah saat terakhir aku dapat melihat Ayah dan Ibu. Saat itu umurku masih 7 tahun, aku sudah bersekolah di Sekolah Dasar yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumahku.

"Nisa bantuin yaaaa Bu.." kataku pada Ibu sambil duduk disampingnya

Ibu pun tersenyum dan mengangguk.

Aku mulai membantu Ibu membersihkan ikan untuk di masak, sedangkan Ibu menyiapkan kayu bakar yang akan di gunakan sebagai kompor. Di kampungku memang masih banyak keluarga yang menggunakan tungku kayu sebagai kompor.

Ayah masuk ke dapur, lalu berkata,

"Nisa sudah besar yaaa. Nanti harus bisa mandiri..."

Aku hanya tersipu-sipu.
Ibu mengambilkan handuk untuk Ayah. Ayah pun pergi mandi. Andai aku tau, jika saat itu adalah akhir hidup Ayah, aku tak akan membiarkan Ayah untuk mandi.

Ibu menyuruhku untuk mengantarkan pesanan ikan kepada Pak Iyas yang tinggal dikampung sebelah . Ya, memang sudah banyak pelanggan dari kampung sebelah yang memesan ikan hasil tangkapan Ayahku.

Aku pun meletakkan pisau yang ku gunakan untuk membersihkan ikan yang akan dimasak Ibu. Ibu memberiku sekeranjang ikan untuk di antar ke rumah Pak Iyas.

"Hati-hati yaa Nis..." pesan Ibu kepadaku yang hendak mengeluarkan sepedaku.

Aku mengangguk seraya tersenyum. Ku cium tangan Ibu kemudian pergi menuju rumah Pak Iyas menggunakan sepeda kecilku.
Saat hendak mengayuh sepedaku, entah kenapa aku merasakan berat sekali untuk meninggalkan Ayah dan Ibu. Tapi aku tak mau membuang waktu, aku pun segera mengayuh sepedaku menuju kampung sebelah. Di perjalanan ku lihat awan bewarna hitam, agak beda dari hari-hari kemarin.

"Ah mungkin karena menjelang malam.." gumamku

Aku pun terus mengayuh sepedaku. 20 menit kemudian aku sampai di kampung sebelah.  Sesaat kemudian, aku merasakan getaran yang ku rasa cukup kencang. Aku tak menghiraukannya, aku segera menuju ke rumah Pak Iyas.

Saat aku sampai di depan rumahnya Pak Iyas, tiba-tiba.....

"Nisaaaaa, yang sabar yaa.." kata Bu Iyas sambil memelukku.
"Ada apa Ibu?" tanyaku polos

Bu Iyas menuntunku masuk ke dalam rumahnya.

"Tadi ada berita di televisi, ombak besar melanda perkampunganmu Nis. .." ujar Bu Iyas sambil menyeka air matanya
"Ombak? Terus Ayah sama Ibu Nisa gimana?" jawabku masih kebingunan.
"Kita lihat aja ya keadaan dikampungmu sekarang bagaimana.." jawab Bu Iyas mengelus kepalaku

Pak Iyas menyalakan sepeda motornya, kemudian ia menggendongku yang di taruhnya tubuh mungilku di jok motornya. Aku pun membonceng bersama Bu Iyas.

Sesaat setelah sampai di perkampunganku....

"Ayaaaaaaaaah.....Ibuuuuuu...." teriakku sambil berlari menuju rumahku yang telah hancur

Ku pandangi puing-puing reruntuhan rumahku. Ku langsung berlari menuju dapur rumahku yang sudah tidak karuan lagi bentuknya. Di situ sudah terbaring Ibuku yang sudah tidak bernyawa.
Ku basuh kedua pipi Ibu.

"Nisa belum siap kalau harus kehilangan Ibu..." kataku

"Ayah, dimana Ayah.." gumamku sambil mencari tubuh Ayahku.

Ku perhatikan setiap sudut. Ku temui tubuh Ayahku, terbujur kaku bermandikan air laut. Di sekitar matanya terdapat goresan-goresan sesuatu benda. Matanya bercucuran darah.

"Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh.." teriakku sambil mencium kening Ayahku

Ya, ombak besar selama 6 menit itu telah berhasil menghilangankan nyawa pahlawan hidupku. Memang sangat singkat. Kini aku tinggal bersama keluarganya Pak Iyas.
Di kamarku yang kecil ini, ku tuliskan semua harapku untuk Ayah dan Ibu di surga sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar