Sabtu, 10 Maret 2012

My Love in Silence ( Ending )


Keesokan siangnya, aku menunggu Marissa, gadis mungil itu di halte “Teratai” seperti yang kami sepakati tadi malam. Siang ini cukup panas dan membuat ku sedikit berkeringat, sedari tadi aku perhatikan setiap bus yang mampir di halte ini, tak nampak Marissa. Ku coba kirimi ia pesan, “kamu dimana? Aku udh sini, nunggu kamu.”.  Tak ada balasan darinya, tapi aku tetap menunggunya disini.
10 menit kemudian ada sebuah bus berhenti di depan halte. Dan ternyata benar saja, ada Marissa di dalam bus itu sedang membayar ongkos kepada kernet, aku melambaikan tanganku dan memanggilnya,
“Marissa..”
Ia menoleh dan kemudian menghampiriku.
Entah kenapa hatiku berdetak keras, tak menentu. Ia tersenyum dan kemudian duduk di sampingku, lalu mengeluarkan kertas dan sebuah pensil.
“Maaf udah nunggu lama, tadi macet.”

“Iya gak apa-apa kok, Ris.Yuk kita makan? Di tempat langganan aku.” Kataku sambil menarik tangan Marissa. Ia tersenyum dan menggangguk.
Aku menggenggam tangannya, tangan malaikat mungil ini. Gak perlu naik bus lagi, karena tempat makan langgananku berada tak jauh dari sini. Kami berdua berjalan, aku mulai bingung bagaimana cara bercakap-cakap dengannya, tapi nampaknya ia cukup bersahabat dan mengerti kebingunganku. Ia pun menulis lagi di kertasnya,
“Kamu ngomong aja, nanti aku jawabnya aku catat di sini.”
Aku menggangguk, “nanti aja tanya-tanya nya kalo udah di tempat makan ya?”

Sesampainya di tempat makan langgananku, aku memesan dua gelas es jeruk. Kemudian aku memulai percakapan. Dan aku ingin menanyakan ini kepada Marissa tapi aku takut menyinggung perasaannya.
“Emm maaf ya, aku cuma mau tau kok kenapa kamu bisa bisu seperti ini? Kalo gak mau jawab juga gak apa-apa. Maaf ya maaf banget..”
Marissa tersenyum nampaknya ia tidak marah, kemudian ia menuliskan sesuatu lagi di kertasnya.
“Kamu gak usah takut aku marah gitu, Damar. Aku udah biasa jawab pertanyaan seperti itu kok, aku dari lahir udah cacat, aku gak bisa ngomong seperti halnya manusia-manusia lainnya. Ibu dan Ayahku menaruhku di Panti Asuhan karena ia malu memiliki anak cacat sepertiku..”
Aku sedikit tersentuh mendengar ceritanya, apa ada orang tua yang tega menaruh anaknya sendiri di Panti Asuhan? Aku sedikit menitikkan air mataku. Marissa menghapus air mataku yang sedikit menetes, ia tersenyum kemudian tangannya memberi isyarat padaku agar aku tak menangis. Aku merasa malu pada diriku, aku beruntung masih memiliki keluarga yang bisa membiayaiku hingga sekarang. Kemudian aku bertanya lagi.
“Terus sekarang kamu tinggal sama siapa?”

Marissa tersenyum dan menulis lagi,
“Aku di asuh oleh Bu Ridwan, kamu kenal? Dia yang punya toko kelontong yang lumayan besar di dekat halte “Teratai”. Aku di rawat keluarganya sedari aku masih bayi, sampai sekarang mereka mengganggapku adalah anak kandungnya sendiri, begitu pula aku. Meskipun terkadang aku rindu sosok Ayah dan Ibu kandungku. Aku ingin bertemu mereka, ah jangankan bertemu melihat mereka di foto pun aku tak pernah. Sekarang gantian dong kamu yang cerita..”

“Oh iya, aku tau sih tokonya. Aku juga pernah berbelanja di situ. Kalo aku sih biasa-biasa aja, Ayah aku udah gak ada, dia meninggal karena sakit. Ayah pergi saat aku masih duduk di kelas 5 SD. Aku anak tunggal, Bundaku sekarang di Semarang. Ia bekerja disana, saat ini aku tinggal di rumah Bude ku, di jalan Mawar sana. Oh iya kamu sekolah dimana? Kelas berapa?” jelasku
“Oh ya? Tapi kamu beruntung sempat merasakan kasih sayang dari Ayahmu. Sedangkan aku enggak. Aku sekolah di SLB Bunga Bangsa, kelas 1 SMA. Kalo kamu?” tulisnya.

“Oh iya, aku tau. Itu gak terlalu jauh dari sekolahku kan? Aku di SMA Citra Bangsa, aku kelas 2 SMA. Wah berarti kamu adik kelasku ya? Hehe. Oh iya ini di minum dulu..” kataku sambil menyodorkan segelas es jeruk yang sedari tadi sudah mematung di antara kami.
Marissa memancarkan senyumannya lagi, ah sepertinya semua lelaki akan tertarik padanya. Aku pun menanyakan masalah percintaannya.
“Oh iya, kamu udah punya pacar?”

Di tersenyum lebar, kemudian menulis lagi.
“Mana ada cowok yang mau sama cewek bisu kayak aku Damar? Gak ada, lagi pula aku gak terlalu memikirkan itu, aku lebih senang sendiri di hidupku yang sepi ini. Hehe, kalo kamu sendiri gimana? Pasti udah punya pacar ya?”
Aku tertawa-tawa.
“Masa sih gak ada yang mau sama kamu? Kamu tuh cantik banget tau, aku aja mau sama kamu..”

Marissa kaget mendengar perkataanku tadi. Dia menuliskan lagi,
“Hah? Kamu mau sama aku? Maksudnya?”

“Aku boleh jujur sekarang? Sebenarnya dari awal aku ngeliat kamu, aku udah ada rasa ingin milikin kamu. Aku bener-bener tertarik sama kamu, kamu cantik, ramah, anggun, baik semuanya ada di kamu..”
Marissa terdiam. Sepertinya ia bingung akan menulis apa lagi. Tak lama kemudian, ia menulis kembali.
“Aku gak yakin itu. Lagipula kita baru kenal. Aku gak yakin kamu menerimaku apa adanya kondisiku sekarang..”

Aku menggenggam tangan Marissa.
“Marissa, bolehkah aku menyayangimu? Menemani harimu yang sepi?”

Marissa meneteskan air matanya, kemudian ia berusaha melepaskan genggamanku.

“Kamu kenapa nangis?”

Ia melepaskan tangannya kemudian menuliskan sesuatu dikertasnya,
“Adakah satu hal yang mampu meyakinkanku bahwa kamu benar-benar menyayangiku, Damar?”
Aku menggangguk. Kemudian langsung berteriak,
“Hei semuanya! Bisa tengok ke sini sebentar gak? Gue lagi nembak cewek nih! Tapi dianya ragu sama gue. Liat deh cewek di sebelah gue, cantik kan? Cocok gak kalo jadi cewek gue?”
Marissa kaget dan ia terlihat malu akibat ulahku. Semua pengunjung melihat ke arahku, bahkan ada yang berteriak,
“Terima! Terima! Terima”
Marissa mencubit pinggangku, dan menyuruhku untuk berhenti berteriak-teriak. Aku pun menurut, lalu duduk di sampingnya lagi.
“Gimana? Masih ragu?”
Marissa menulis lagi di kertasnya.
“Iya, aku yakin. Semoga kamu gak ngecewain aku ya?”

Aku langsung menghadap ke Marissa dan menatap matanya.
“Jadi sekarang aku sama kamu?Pacaran?”

Marissa menggangguk. Aku pun langsung memeluknya, ya Tuhan sekarang aku bisa memilikinya, memiliki gadis mungil ini. Sederhana, cantik, kebisuannya sama sekali tak jadi masalah. Aku menyayanginya setulus-tulusnya. Sampai sekarang hubunganku dengan Marissa sudah berjalan hampir 2 tahun. Ya selama hampir dua tahun ini aku tau bahwa Marissa mencintaiku dalam diamnya, dan aku bisa sadari itu. Sampai saat ini aku percaya, diam bukan berarti tak mencintai.

Tapi ternyata semuanya tak seindah yang ku kira, setelah lulus SMA, aku mengenalkan Marissan kepada keluarga besarku. Apa tanggapan mereka? Tak sedikit dari mereka yang menentang hubungan ini, mereka menghina Marissa.
“Aduh Damar, kalo nyari calon istri itu yang gak cacat dong. Biar bagus nanti keturunannya..” ujar sepupuku.
Marissa sempat menghilang beberapa hari dariku. Ia sempat tak mau bertemu denganku. Aku tak habis akal, aku mengiriminya pesan.
“Kamu dimana? Temuin aku sekarang bisa? Aku ada disini, di depan rumah kamu. Nunggu kamu keluar dan meluk aku..”
Marissa nampak mengacuhkan pesan dariku. Aku masih terus menunggunya disini, sendiri berteman angin dan hujan. Marissa, aku mohon keluarlah. Aku tak kuat menahan dinginnya angin malam, peluk aku Marissa...
Hujan nampak setia malam ini, tak pergi sedikitpun. Aku masih menunggunya disini, semoga kamu tau apa itu ketulusan..
Aku terasa menggigil, bibirku terasa membeku. Aku masih berdiri di depan rumah Marissa, menahan dingin ini. Jujur aku tak sanggup tapi aku rela melakukan ini demi kamu, Marissa..
Aku masih berdiri, menunggumu. Tapi ternyata aku terlalu lemah, maaf ini bukan mauku. Badanku terjatuh seketika, aku tertidur di depan rumahmu. Berteman hujan dan dinginnya angin menyapa. Marissa, kemarilah. Aku membutuhkanmu...

Entah berapa lama aku tertidur. Kemudian aku terbangun dan ku lihat Marissa menangis memegangi tanganku. Bajunya basah, rambutnya pun begitu. Aku masih bingung apa yang terjadi pada diriku. Kemudian dokter datang dan melepas infus di tanganku, ada apa denganku? Dokter menarik selimut putih dan di selimuti kepadaku, tapi Marissa melarangnya. Marissa mencium keningku, mulutnya seakan-akan berucap bahwa ia menginginkan aku untuk membuka mataku. Tapi sayang, semuanya sudah terlambat. Aku sudah pergi dari dunia ini, darahku beku akibat dinginnya udara semalam. Aku tak mampu lagi bertahan, Marissa terus menangis. Berkali-kali ia menhentak-hentakkan tubuhku. Tapi aku sama sekali tak terbangun. Marissa, maafkan aku. Aku tak mampu membahagiakanmu, semoga kamu sadar ketulusanku selama ini. Aku menyayangi dan mencintaimu dalam diammu.. 

4 komentar: