Jumat, 09 Maret 2012

Pandangan Pertama ( My Love in Silence part-1 )


“Senin lagi..” gumamku sambil memandang kalender kecil di meja samping tempat tidurku. Ku lihat jam bulat yang mematung di samping kalender, pukul 05:00 . Matahari pun masih nampak malu menampakkan dirinya. Kegelapan masih menguasai langit, ku tengok sedikit ke arah langit, “nampaknya akan turun hujan..” . Udara terasa dingin, angin pun melambai-lambai dengan sejuknya tapi ini terlalu sejuk jadinya dingin. Aku mengurungkan niatku untuk mandi. Aku kembali duduk di tepi tempat tidurku, ku cek sebentar handphoneku. Tak ada pesan yang terlalu berarti, hanya ada satu pesan dari “Bunda” yang tinggal jauh dari sini, beliau tinggal di Semarang, urusan pekerjaan katanya. Seperti biasa Bunda menyuruhku untuk jaga sikap selama tinggal bersama Bude di Jakarta. Ya udah hampir 2 tahun ini aku tinggal di Jakarta bersama Bude Ninik, beliau adalah kakak dari Bundaku. Semenjak kepergian Ayahku, Bunda menyuruhku untuk tinggal bersama Bude Ninik di Jakarta, sedangkan beliau bekerja di Semarang, setiap bulannya Bunda mengirimkan uang atau pun alat-alat keperluanku sekolah. Terkadang aku sedih saat Bunda bilang, ia rindu Alm.Ayah. Aku sebagai anak satu-satunya harus bisa menjaga kesedihan Bunda, lebih tepatnya menjaga air matanya agar tidak tertetes...
“Damar, kamu sekolah apa engga?” teriak Bude sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya, Bude.” jawabku kemudian berusaha bangkit dari kemalasan di pagi ini.
Aku menyiapkan lagi buku-buku pelajaranku yang akan dibawa di hari Senin ini. Ya semua buku sudah siap, tapi sayang niatku di pagi ini kurang siap. Ah cuaca di pagi ini amat mendukungku untuk tidur lagi!
Ayolah malas! Cepat keluar dari tubuhku, aku ingin segera menghabiskan hari senin yang membosankan ini..
Pukul 05:15 aku bergegas ke kamar mandi dan mempersiapkan pagi ini.

“Nih sarapan dulu ya, Damar..” kata Bude saat aku duduk di meja makan
Aku menggangguk dan menghabiskan sepiring salad dan segelas susu.

“Bude, Damar berangkat ya...”
“Hati-hati ya..”
Aku berdiri di sini, di halte tempat biasa aku menunggu bus untuk ke sekolah. Langit tak terlalu terang, lebih tepatnya gelap. Padahal jam sudah hampir menunjukkan pukul 05:40, halte pun tak seramai biasanya. Aku duduk sambil memperhatikan ke kanan, ke kiri menunggu bus yang lewat.
“Lama banget sih busnya..” gerutuku sambil terus memperhatikan jam yang melekat di tanganku
Tak lama kemudian, ada bus yang berhenti tepat di depan halte. Tanpa menunggu waktu lagi, aku pun langsung menaikinya. Bus nampak sepi, hanya ada beberapa penumpang saja. Sepertinya cuaca di pagi ini cukup menghipnotis banyak orang untuk bermalas-malasan di rumah. Aku duduk di bangku kedua dari depan pak supir. Sekolahku lumayan jauh dari rumah, jadi setiap pagi aku harus menaiki bus ini. Beberapa saat kemudian, bus berhenti di halte “Teratai”. Cukup banyak penumpang yang naik, tapi ada satu yang membuatku terpaku. Seorang gadis berkacamata, berseragam sekolah SMA. Badannya mungil, hidungnya tak begitu mancung dan senyumnya anggun...
Ia duduk di sampingku yang kebetulan kosong. Aku masih terpaku dan terus memperhatikannya, namun ia hanya diam dan menunduk. Kemudian mengeluarkan sebuah buku bacaan dari tasnya.
Ya Tuhan, gadis ini cantik. Siapa dia? Kenapa baru sekarang aku melihatnya? Padahal setiap harinya aku melintasi halte “Teratai” tapi tak pernah melihat sosoknya. Rambutnya panjang sepinggang, terurai, berwarna kecoklatan. Ia memakai cardigan putih, cocok dengan kulitnya. Di tambah lagi pita merah jambu di rambutnya, aduhai sempurna...
Kemudian bus pun terhenti di halte “SMA Citra Bangsa” sekolahku. Aku langsung bergegas turun dan harus merelakan kehilangan pandangan indah itu. Setelah turun, aku sempatkan menitipkan senyum kepada gadis mungil itu dan ternyata? Dia membalas senyumanku..
Aku segera turun dari bus, dan kawan-kawanku pun sudah banyak yang memasuki gerbang sekolah. Aku masih tersenyum-senyum membayangkan gadis mungil itu. Ah kenapa tadi aku tak menanyakan namanya? Mungkin bila nanti di pertemukan lagi, aku akan menanyakan namanya. Tuhan, pertemukan aku lagi dengan gadis mungil itu. Ia menjadi alasan kenapa hatiku tak segelap pagi ini...

Langit gelap, aku sudah mengira akan hujan dan ternyata benar saja tak lama kemudian gerimis pun hadir di pagi ini. Tapi itu tak masalah, gadis mungil itu sudah membuat kemalasanku hilang..
Dan beruntungnya cuaca pagi ini gerimis jadi tak ada upacara di hari Senin ini, semua murid di kelasku pun gembira bukan main. Terang saja, tak sedikit yang malas sekali upacara di hari Senin, panas, membosankan..

“Eh tadi di bus gue ketemu cewek. Cantik banget..” kataku kepada Rini
“Oh iya? Cantik? Anak mana? Terus kenalan?” jawabnya sedikit ketus
“Gue gak sempet kenalan, Rin. Tapi gue janji kalo nanti gue ketemu itu cewek lagi, gue bakalan tanya namanya..”
“Oh, gitu. Ya, udah congrats deh..” katanya
Aku pun diam, entah kenapa Rini menjadi berbeda kepadaku pagi ini. Padahal kemarin-kemarin Rini adalah sahabatku yang paling ceria, paling ramah. Entah kenapa di pagi ini dia terlihat begitu enggan berbicara denganku.
“Bu Desy gak masuk?” tanyaku pada Rini
Rini menggeleng, “Gak tau, Mar..”
Pagi ini kelasku di ramaikan dengan gurauan murid-murid di kelasku. Ada yang asyik bergosip ria, ada yang mendengarkan musik, ada yang lari-larian, ada yang serius membaca tapi bukan buku pelajaran yang di bacanya, buku komik. Sedangkan aku hanya duduk sambil memikirkan gadis mungil tadi, aku masih terbayang-bayang senyumannya, bibir mungilnya itu..
“Woi! Ngelamun aja lo. Mikirin apaan? Utang? Haha.” Yusna mengagetkan lamunanku
“Ah lo, Yus. Ngagetin aja sih.”
“Hahaha, emang lo mikirin apaan? Sampe bengong gitu.” katanya kemudian duduk di sampingku.
“Tadi pagi gue satu bus sama malaikat, Yus.” jawabku sambil membayangkan gadis mungil itu.
“Cewek? Siapa?” jawab Yusna dengan muka serius.
“Gue belum sempet tanya siapa namanya, Yus..”
“Gue kira lo udah tau namanya, Mar..” jawab Yusna kemudian kembali membolak-balik buku yang ada dimeja, aku yakin dia tak sepenuhnya membaca buku itu.

***
“Pulang sama siapa Mar?” tanya Rini setelah aku bersiap-siap untuk pulang.
“Naik bus seperti biasa, Rin. Ada apa?”
“Pulang sama gue gimana? Ngirit ongkos.”
“Yah gimana ya, Rin. Gue naik bus aja deh, besok-besok aja ya?”
“Ya, udah deh.” jawabnya kecewa.
Aku merapihkan dasiku dan kemudian bersiap keluar kelas.
“Duluan ya, Yus.” kataku pada Yusna yang sedang mengeluarkan motornya dari parkiran
“Oke, sip! Hati-hati, Mar.” jawabnya
Aku berjalan sedikir santai menuju halte bus dekat sekolahku. Matahari tak terlalu tinggi siang ini jadi tak terlalu panas, pohon-pohon pun nampak basah karena di guyur gerimis tadi pagi.  “Lumayan sejuk..” aku duduk di kursi halte, menanti bus datang menjemputku.
“Na..na..na..na” mulutku berkicau ria menghilangkan kebosanan yang nampaknya sudah melanda. Ya menunggu bus sendiri seperti ini memang membosankan. Ku sapu pandanganku ke sekelilingku, hanya ada murid-murid sekolahku yang sedang berkumpul. Dan tengok, ada Lusy, mantan kekasihku. Dia membonceng Wandi, cowok kaya yang populer di sekolahku. Kisahku dengan Lusy tak terlalu menyenangkan, lebih tepatnya menyedihkan. Ia memutuskan hubunganku dengannya hanya karena aku tak mempunyai kendaraan yang bisa mengantar jemputnya, hanya karena itu? Sepele kan? Bagiku itu amat sangat konyol, tapi ya mau gimana lagi? Toh dia sendiri yang bilang, dia mau pacaran sama cowok yang keren dan punya kendaraan, sedangkan aku? Pergi pulang sekolah aja hanya dengan menggunakan bus umum. Walaupun begitu itu gak terlalu membuatku pusing, aku juga yakin Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, ya alasan itu pula lah yang membuatku tak terlalu memikirkan masalah “pacar”.



*bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar