“Oeekkk..Oeekkk..”
Terdengar tangisan dari
dalam ruangan yang mendominasikan warna putih di dindingnya. Kalian tau
tangisan siapa itu? Itu tangisanku! Hei, aku terlahir ke dunia ini. Huh,
akhirnya keinginanku untuk melihat terangnya dunia tercapai, setelah 9 bulan
lamanya aku bersemayan diperut Ibu. Kalian tau? Tak ada cahaya di perut Ibu,
rasanya aku ada disebuah tempat yang sangat gelap. Dan sekarang waktunya aku
untuk merasakan bagaimana dunia yang begitu terang menderang.
“Alhamdulillah, aku punya adik.” Terdengar suara seorang lelaki di luar
ruangan. Ya, dia Hasby, dan dia kakakku.
Ayah mencium kening Ibu
yang penuh keringat. Ibu menangis bahagia. Ayah mencium keningku yang masih
memerah. Tanpa rasa malu, aku menangis. Aku merasakan ada yang aneh dimataku.
Aku tak mampu membuka kedua mataku. Aku menangis keras. Dokter dan perawat
segera membersihkanku dari basuhan darah.
Ayah, Ibu dan kakak
menungguku yang tengah dimandikan. Mereka semua nampak sangat bahagia. Ah,
Tuhan inikah keindahan yang selalu kau janjikan? Senyum sumringah dari anggota
keluargaku ini.
Tapi kebahagiaan itu tak
berjalan semestinya. Sambil menitikkan air mata, dokter mengajak Ayah untuk ke
ruangannya. Entah, ada apa denganku? Kenapa dokter itu menangis?
“Putri bapak mengalami kebutaan.” Katanya serius.
Astaga, aku buta. Tuhan,
aku baru saja lahir. Aku baru saja mampu menghirup nafasku. Kenapa seperti ini,
Tuhan?
Ayah terdiam sesaat, “Buta? Putri saya tak mampu melihat? Apa yang terjadi
pada putri saya, Dok.!”
Ayah menangis, sementara
dokter menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.
“Putri anda mengalami keganjalan pada saat didalam kandungan. Ya, peristiwa
seperti ini memang sering terjadi.
Mungkin ini kesalahan pada sang Ibu yang sering mengkonsumsi makanan-makanan
ataupun minuman-minuman yang berakibat fatal untuk buah hati.”
Ibu? Apa aku harus
salahkan Ibu? Kenapa harus Ibu? Ibu sudah bersusah payah melahirkanku. Ibu
sudah sekuat tenaga mengeluarkanku dari rahimnya. Tuhan, aku tak tau harus
bagaimana. Lebih baik tak usah kau lahirkan aku, jika hanya kegelapan sepanjang
hidup yang akan kuterima.
Dengan lesu, Ayah keluar
dari ruangan dokter. Air mata masih membasahi pipinya. Ayah masuk ke ruangan
dimana ada Ibu dan kakak disana. Kakak langsung menghampiri Ayah,
“Yah, dimana adikku? Adik perempuanku, Yah.”
Ayah langsung memeluk
kakakku. Ayah tau, kakakku pasti akan sedih jika Ayah menceritakan bagaimana
kondisiku saat ini. Ayah terdiam dan hanya mampu menangis.
“Ayah, kenapa? Adik perempuanku baik-baik aja, kan,
Yah?”
Ayah masih menangis.
“Adik perempuanmu buta, Kak.” Katanya pelan.
Kakak terdiam, kakinya
terasa lemas, ia pun menjatuhkan dirinya dan terduduk dilantai. Air mata
perlahan menetes. Kebahagiaan yang tadinya ia rasakan seakan pecah berganti air
mata ini.
“Ayah mau bilang ke Ibu dulu, Kak.” Ayah pun pergi
meninggalkan kakak yang masih lemas.
Kemudian kakak keluar
ruangan dan menangis diluar ruangan. Aku tau, ia sangat terpukul saat itu.
Kakak, maafkan aku yang tak bisa memberikan kebahagiaan yang sejati untukmu...
“Dimana putri kita, Yah?” tanya Ibu dengan suara yang
sedikit lesu.
Ayah terdiam.
“Lalu kenapa Hasby menangis dan keluar? Ada apa, Yah?”
tanya Ibu lagi.
Ibu, tak seharusnya kamu
lahirkan aku. Bunuh saja aku, Bu! Aku tak mau melihat air matamu, cukup air
mata Ayah dan kakak yang kutumpahkan.
“Putri kita mengalami kebutaan, Bu.” Kata Ayah pelan.
Ayah tak mau melukai perasaan Ibu.
Ibu menarik nafas
panjang, sepertinya ia tampak kuat mendengar berita tak mengenakkan itu.
Tatapan matanya kosong, air mata nampak bergerombol dikelopaknya, perlahan dan
perlahan. Akhirnya tertetes juga air matanya yang sangat mulia itu. Ibu tak
bicara apa-apa. Ia hanya meneteskan air matanya dan terus menatap kosong.
“Sekarang dimana putiku, Yah? Aku mau memeluknya
sekarang.”
“Putri kita masih di dalam inkubator, Bu. Ia masih
sangat lemah.”
Ibu terdiam, hatinya
berkata.
“Maafkan Ibu, Nak. Ibu telah salah mengasuhmu dalam kandungan, Ibu telah
melakukan sesuatu yang tak seharusnya terjadi. Ibu berjanji, Ibu akan menjagamu
tak peduli kebutaanmu. Ibu akan membuat hidupmu berarti, Nak. Ibu janji.”
Aku hanya mampu tertidur
dalam sebuah kotak, aku tak mampu bergerak. Badanku diikat kain. Yang paling ku
sesalkan, aku tak mampu melihat warna-warninya dunia yang selama ini selalu ku
dambakan. Aku tak mampu melihat wajah kedua orang tuaku, aku tak mampu membelai
sayang pipi kakakku.
Diluar jendela ruanganku,
ada kakakku terus menatap ke arahku. Ia menangis, nampaknya ia ingin
menggendongku.
“Adik, kakak janji akan selalu ada buat adik. Kakak
akan selalu ada disamping adik.”
***
Setahun sudah usiaku.
Setahun sudah usiaku.
Dan setahun sudah juga
aku tak mampu melihat indahnya dunia ini. Tapi aku tak mau bersedih terlalu
larut. Ayah, Ibu dan kakak begitu menyayangiku. Dan itu semua lebih dari yang
ku harapkan.
Aku hidup penuh dengan
misteri, mungkin kalimat itu tepat untuk mewakili apa yang kurasa. Bagaimana
tidak? Setiap harinya aku hanya mampu melihat gelap, aku tak mampu melihat apa
yang ku pegang. Itu menyedihkan.
Tapi kakakku tak pernah
pergi dari sisiku, ia selalu ada dan selalu siaga menjagaku. Bila ada
teman-temanku mengejekku, dengan sigap ia langsung memarahi teman-temanku. Ah,
terima kasih, kak. Umurku semakin bertambah dan sekarang aku sampai di bangku
SD, aku sekolah di Sekolah Luar Biasa. Di sekolah ini aku tak perlu repot-repot
beradaptasi, karena setiap murid di sekolah ini pasti memiliki kekurangan atau
cacat ya, seperti aku ini.
Dulu, aku selalu mengira
kalau Tuhan itu jahat, Tuhan sama sekali tak menyayangiku, karena aku
dilahirkan dengan kecacatan seperti ini, tapi berkat sekolah ini aku tak lagi
beranggapan seperti itu. Ternyata banyak yang mengalami sepertiku ini, ada
beberapa dari mereka yang tak mampu berjalan karena tidak mempunyai sepasang
kaki, sedangkan aku? Aku punya itu. Beberapa dari mereka juga ada yang tak
mampu berbicara, tapi aku? Aku punya itu. Beberapa dari mereka juga ada yang
tak mampu menulis, tak mampu mendengar. Hei, tengoklah! Aku mampu berjalan, aku
mampu berbicara, aku mampu menulis, aku mampu mendengar! Aku punya yang mereka
tak punya. Aku bangga akan diriku sendiri.
Waktu berjalan terus dan
terus. Sekarang aku duduk di bangku SMP, Ayah bilang aku mampu bila harus
bersanding dengan anak-anak normal, karena sewaktu di SLB-ku dulu aku termasuk
siswi yang cerdas dan selalu mendapat peringkat kelas. Tapi aku menolak ketika
Ayah menawarkanku untuk bersekolah di sekolah normal. Aku takut, mereka tak
bisa menerima kondisiku. Tidak, aku bukannya menyerah. Aku hanya perlu
beradaptasi dan itu membutuhkan waktu yang tak sebentar. Akhirnya Ayah pun
menuruti kemauanku untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Luar Biasa, lagi. Setiap
paginya, kakakku selalu mengantarkanku ke sekolah dengan sepedanya. Ia tak
pernah mengeluh ketika harus mengantarkanku sampai ke tempat dudukku di kelas.
Sepanjang perjalanan, ia selalu bernyanyi-nyanyi kecil dan itu membuatku
bahagia. Ia juga selalu menyemangati hari-hariku. Aku tak tau apa jadinya aku
tanpa semangat darinya. Aku pikir, ia akan sangat marah mempunyai adik buta
sepertiku.
Sampailah aku di masa
putih abu-abu. Kalian tau apa itu? Ya, sekarang aku duduk di bangku SMA! Tapi
lagi-lagi aku menolak untuk bersekolah di sekolah normal.
“Aduh Tiwi cantik banget pakai baju putih abu-abu.” Seru kakakku saat aku sedang mencoba seragam
baruku.
Aku hanya mampu tersipu,
aku ingin bercermin. Aku ingin lihat secantik apa aku. Tapi sayang, Tuhan belum
mengizinkan semua itu terjadi.
Pagi pertama sekolahku,
aku diantar kak Hasby. Tapi kali ini menggunakan sepeda motor. Ya, Ayah baru
memberikannya sepeda motor ini. Sepulang sekolah, kak Hasby selalu menjemputku.
Ia sering mengajakku jalan-jalan, seperti siang ini. Kak Hasby mengajakku jalan
ke sebuah taman kota. Kak Hasby bilang disini terdapat banyak bunga-bunga yang
sangat indah.
“Kak, aku mau lihat bunga-bunga indah itu.”
“Sebentar, kakak ambilkan, ya.”
“Sebentar, kakak ambilkan, ya.”
Tak lama, datanglah Kak
Hasby.
“Ini bunga mawar, hati-hati durinya tajam.” Katanya penuh
sayang.
Aku hanya mampu menerka bunga
itu, dan mencium harumnya.
“Tiwi, kakak mau tanya satu hal sama kamu.”
“Tanya apa, kak?”
“Apa yang akan pertama kali kamu lakukan kalau nanti kamu bisa melihat?”
“Ah, kakak. Itu gak akan mungkin.”
“Gak ada yang gak mungkin, sayang. Jawab, ya.”
“Hmm, hal yang pertama aku lakuin yaitu cium pipi Kak Hasby.”
“Tapi kamu selalu cium pipi aku setiap mau berangkat sekolah.”
“Tapi aku belum pernah mencium pipi kakak dengan mataku yang mampu melihat, kak.”
“Tanya apa, kak?”
“Apa yang akan pertama kali kamu lakukan kalau nanti kamu bisa melihat?”
“Ah, kakak. Itu gak akan mungkin.”
“Gak ada yang gak mungkin, sayang. Jawab, ya.”
“Hmm, hal yang pertama aku lakuin yaitu cium pipi Kak Hasby.”
“Tapi kamu selalu cium pipi aku setiap mau berangkat sekolah.”
“Tapi aku belum pernah mencium pipi kakak dengan mataku yang mampu melihat, kak.”
Kak Hasby menangis lalu
memelukku, “Kakak sayang kamu, Tiwi.”
“Aku juga sayang sama kakak. Terima kasih ya, kak untuk semuanya. Aku gak
tau apa jadinya aku tanpa kakak.”
“Kamu tunggu disini sebentar ya, kakak mau kasih kamu sesuatu.”
“Kakak mau kemana?”
“Tunggu disini.”
“Kamu tunggu disini sebentar ya, kakak mau kasih kamu sesuatu.”
“Kakak mau kemana?”
“Tunggu disini.”
Kak Hasby pun pergi
meninggalkanku dengan mawar disampingku. Aku tak tau kemana Kak Hasby, namun
tak lama kemudian aku mendengar ada suara hentaman keras, ya, aku mampu
mendengarnya. Suara apa itu,
perlahan aku mendengar orang-orang berteriak, “Ada
kecelakaan!” sontak, aku terbangun dari dudukku.
Aku berjalan tertatih mencari
sumber suara.
“Siapa yang kecelakaan?”
“Kemana kak Hasby?”
“Tuhan, semoga bukan kak Hasby yang celaka.”
Tapi tiba-tiba saja ada
seseorang yang hampir menabrakku dari belakang, aku hampir terjatuh tapi
seseorang itu langsung menuntunku.
“Ada apa ya? Maaf saya tak mampu melihat.” Kataku
“Ada kecelakaan, Mba.”
“Ada kecelakaan, Mba.”
Terdengar suara lelaki
disana.
“Siapa?” tanyaku.
“Mba duduk disini dulu, ya. Saya mau melihat korbannya dulu.”
“Mba duduk disini dulu, ya. Saya mau melihat korbannya dulu.”
Aku duduk dikursi taman
dan masih menunggu kak Hasby, tiba-tiba saja ada seseorang ,menepuk pundakku.
“Dooorrr..” katanya.
Aku sangat mengenali
suara itu.
“Kakak kemana aja? Aku nungguin kakak.”
“Kakak disini, sayang. Ohiya kamu mau janji satu hal sama kakak?”
“Janji apa, kak?”
“Kamu tadi bilang, kalo nanti kamu bisa melihat, kamu akan cium pipi kakak, kan?”
“Iya, kak. Terus apa janjinya?”
“Ya, itu janjinya.
“Tapi kapan aku bisa melihat, kak.” Kataku sambil menggenggam tangan kakakku.
“Gak lama lagi, sayang. Oh iya, kakak sayang banget sama kamu. Jaga diri baik-baik ya.”
“Kakak disini, sayang. Ohiya kamu mau janji satu hal sama kakak?”
“Janji apa, kak?”
“Kamu tadi bilang, kalo nanti kamu bisa melihat, kamu akan cium pipi kakak, kan?”
“Iya, kak. Terus apa janjinya?”
“Ya, itu janjinya.
“Tapi kapan aku bisa melihat, kak.” Kataku sambil menggenggam tangan kakakku.
“Gak lama lagi, sayang. Oh iya, kakak sayang banget sama kamu. Jaga diri baik-baik ya.”
Setelah itu aku tak
merasakan lagi ada kak Hasby disampingku, aku berteriak.
“Kak Hasby, kakak dimana, kak?” teriakku
“Kak Hasby...”
Aku berjalan tertatih
mencari-cari kakakku. Lalu seseorang yang tadi datang menghampiriku.
“Mba, mencari siapa?”
“Kakak saya, Mas. Namanya Hasby, tadi dia disini.”
“Hasby?”
“Iya, mas kenal? Dimana dia, Mas?”
“Tadi saya ke lokasi kecelakaan dan korbannya sudah dibawa ke rumah sakit.
Lalu saya melihat kartu tanda penduduknya dan namanya
Muhammad Hasby As-Siqqin.”
“Itu nama kakak saya, Mas! Dimana dia sekarang, tolong antar saya kesana.”
Astaga kakakku
kecelakaan. Lalu tadi siapa yang datang dan itu kak Hasby. Ah aku tak mengerti,
Tuhan. Ya, Tuhan lindungi kakakku sebagaimana dia selalu melindungiku. Aku
menangis keras, aku tak tau apa rencana Tuhan kali ini.
Tibalah aku di rumah
sakit. Ternyata disana sudah ada Ayah dan Ibu yang langsung memelukku.
“Ibu, dimana kakak?”
“Kakakmu baru saja menghembuskan nafas terakhirnya, Nak.”
“Kakak udah pergi?” kakiku lemas aku tak mampu lagi menahan badanku.
“Sebelum kakakmu menghembuskan nafas terakhirnya, dia meminta agar matanya diberikan untukmu.”
“Sebelum kakakmu menghembuskan nafas terakhirnya, dia meminta agar matanya diberikan untukmu.”
Aku benar-benar tak
menyangka semuanya akan seperti ini. Saat itu juga langsung dilakukan operasi
donor mata. Aku mulai berpikir, memangnya mata orang yang sudah tiada bisa di
donorkan? Ah, itu urusan Tuhan. Biarkan Tuhan mengatur sendiri rencananya. Bukankah Tuhan berhak mengatur yang tak mungkin menjadi mungkin?
1 jam operasi berlangsung
dan semuanya berjalan lancar. Dan sekarang aku mampu melihat. Aku mampu melihat
kedua orang tuaku dan aku mampu melihat kakakku. Ia nampak kaku di atas ranjang
rumah sakit. Matanya ditutup kapas, dan tak ada lagi mata disitu. Matanya telah
menjadi mataku sekarang. Kak Hasby sangat tampan walau ada luka di sekitar pipi
dan keningnya. Aku mencium kedua pipinya sambil menangis. Ku cium kedua
tangannya.
Kubisikkan sesuatu
ditelinganya.
“Aku akan jaga mata kakak, terima kasih, kak. Selalu
jaga aku dari sana, ya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar