Rabu, 05 September 2012

Kedua


Derap langkah kakinya semakin menjauh. Aku tak tau mengapa, padahal yang ku tau dia cinta aku, begitu juga aku. Ah, apakah cinta selalu meninggalkan? Aku masih berdiam mematung, berharap ia akan berbalik menghampiriku. Apakah cinta selalu berharap?

Aku baik-baik saja, dulu. Sekarang? Tanpa perlu ku jawab, seharusnya kamu sudah tau bagaimana keadaanku. Aku tegar dalam kelemahanku. Aku rindu genggamanmu.  Aku lelah menjadikan “cinta tak harus memiliki” sebagai alasan ketegaranku sekarang. Aku ingin memilikimu seutuhnya, tak seperti sekarang, aku terbagi.

                “Bagaimana selanjutnya, Diz? Sampai kapan kita bersembunyi-sembunyi seperti ini?”

                “Aku gak tau.”

                “Kenapa gak tau sayang? Kamu udah janji akan mutusin dia demi aku, kan?”

                “Iya, tapi aku gak tau kapan, sayang.”

                “Aku butuh kepastian, aku capek. Kamu sadar ga? Udah hampir 1 tahun kita seperti ini.”

                “Iya, aku tau. Sabar ya. Aku lagi cari waktu yang tepat.”

                “Sampai kapan aku harus bersabar?”

Obrolan antara aku dengan Dizki, sebulan yang lalu. Itu yang pertama dan yang terakhir, enggan rasanya aku menanyakan pertanyaan seperti itu lagi. Sesak rasanya ketika harus mendengar jawaban yang sama seperti itu lagi. Huh, aku tak tau sampai kapan akan seperti ini. Aku hanya tau, aku belum memilikinya dan akan terus seperti ini.

***
 
Tuhan, beginikah rasanya mencintai bahkan menjalin kasih dengan kekasih orang lain? Kenapa menyakitkan? Padahal aku tak merasakan sakit ini diawal. Bulan mencoba menghiburku tapi aku sama sekali tak terhibur olehnya, maaf.

Andai  semuanya tak terjadi sejauh ini, tapi semuanya terlambat. Ah, kenapa aku harus menerima cintanya? Padahal aku tau saat itu ia tak sendiri. Kenapa aku menyayanginya yang telah disayangi wanita lain? Menyesal...

                “Aku sayang kamu, Ta.”

                “Tapi kekasihmu lebih menyayangi kamu.”

                Dengan lekat, ia menatapku, “aku mau kamu menyayangi aku lebih dari kekasihku.”

                “Gak bisa, Diz.”  Aku memalingkan wajahku dari matanya.

                “Kenapa gak bisa? Apa yang gak bisa? Semuanya bisa. Aku tau kita saling sayang.”

                “Apakah saling sayang harus memiliki? Walau kondisinya seperti ini?”

                “Yang aku tau, cinta tak perlu banyak alasan.”

Ia langsung meraih tanganku, digenggamnya, lalu diciumnya. Ah, aku benar-benar jatuh. Aku memang menyayanginya, tapi salahkah aku jika nyatanya lelaki yang kusayangi adalah kekasih sahabatku?

***

Aku mengiyakan ajakannya untuk menjalin kasih. Walau aku tau, kini aku menjadi yang kedua. Tapi ini tak terlalu menjadi masalah, aku hanya mementingkan aku menyayanginya dan diapun begitu.

Tak bisa dipungkiri, menjadi seseorang yang kedua itu sangat menyesakkan. Berkali-kali aku tetap diam dan terpaksa tersenyum menyaksikan kebahagiaan Dizki dengan kekasihnya Silvi. Dizki terlihat sangat menyayangi Silvi, tapi Dizki bilang rasa sayangnya untukku lebih besar dibanding sayangnya kepada Silvi. Entah siapa yang benar yang jelas aku percaya akan semua perkataan Dizki. Bodoh ya?
Tapi aku tak sebodoh yang kalian pikir. Aku yakin banyak dari kalian yang berpikir bagaimana mungkin aku mau diduakan secara terang-terangan seperti ini? Tapi aku punya alasan, aku mungkin bodoh, tapi alasanku tak sebodoh diriku.

                “Aku bodoh ya?”

                “Bodoh? Kamu kok ngomong gitu, sayang?”

                “Jelas. Siapa wanita yang mau diduakan selain aku?”

                “Tolong jangan bahas itu.”

                “Kenapa?”

                “Aku gak mau bahas itu lagi sekarang.”

                “Kamu selalu mengelak. Apa ini yang kamu bilang sayang?”

                “Yang penting aku sayang kamu dan kamu sayang aku.”

Kesalahan terbesarku, mencintai kekasih sahabatku. Maafkan aku, Silvi. Aku juga tak berharap sayang ini tumbuh untuk Dizki, kekasihmu.

***

Hubungan diam-diam ini masih tersembunyi. Tak ada siapapun yang tau, hanya aku, Dizki dan Tuhan yang tau semuanya. Aku masih sanggup menahan rasa cemburu yang sering membakar hatiku, aku masih sanggup menunggu, menunggunya menjadi milikku, seutuhnya, satu-satunya.

Dulu, ia pernah berjanji akan segera memutuskan Silvi, demi aku. Tapi nampaknya janji itu kian lama memudar. Tak terlihat lagi pucuk janji itu. Aku harus bagaimana? Bersabar? Lebih lama lagi? Lebih sakit lagi? Ya, Tuhan, sungguh ini sakit. Andai aku tak menerimanya dulu, pasti semuanya tak akan sesakit ini.

Tapi ya, sudahlah, semuanya sudah terjadi. Ia pun sudah pergi, aku tak berharap ia kembali, walau aku masih merindukannya.  

                “Aku gak bisa mutusin Silvi, Ta.” Katanya sendu diantara matahari yang perlahan terbenam.

                “Aku tau itu.”

                “Kamu tau? Sejak kapan? Kalau begitu kenapa kamu menerimaku, Ta?” ia memandangku
                serius.

                “Sejak lama. Aku nerima kamu dulu karena aku benar-benar sayang dan ingin 
                 memilikimu.”

                “Walau kamu tau kamu gak akan milikin aku?”

                Aku mengangguk. Senja seakan memaksaku untuk menangis.

                “Kamu jangan nangis, Ta. Aku bukan lelaki yang pantas untuk kamu tangisi.”

                “Gak pantas? Buktinya apa sekarang? Kamu sangat pantas untuk aku tangisi.”

                “Ta, aku memang sayang kamu. Tapi Silvi, dia lebih butuh aku dan aku gak bisa....”

                “Udahlah, Diz. Gak usah beralasan terus, aku udah tau semua tanpa perlu mendengar
                 alasan-alasan kamu.”

               “Maaf, Ta.”

                “Aku selalu memaafkan orang-orang yang sangat kusayangi, Diz. Termasuk kamu.”

                “Kamu tegar, Ta.”

                “Wanita harus tegar. Menyayangi seseorang yang sudah menyayangi lainnya, nampaknya                 membuatku lebih tegar. Terima kasih, Dizki.”

                “Maafkan aku untuk semua kesalahanku ini, Ta.”

                “Gak ada yang salah.”

                “Baiklah. Aku pergi sekarang.Semoga akan ada yang lebih baik dari aku diluar sana.”

                “Pasti, ada banyak yang lebih dari kamu.”

Punggungnya semakin jauh. Aku masih tetap tegar dengan air mata yang perlahan menetes. Mungkin setelah dari sini, ia akan mengunjungi Silvi, kekasihnya. Sedangkan aku? Aku hanya tau besok adalah hari baru dan aku harus belajar dari hari ini.

Dizki, terima kasih untuk kebohonganmu selama hampir 1 tahun ini.

Semoga sahabatku akan lebih memberikan kebahagiaan yang tak pantas kuberikan untukmu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar