Aku mampu melihatnya. Melihatnya yang tak
dapat dilihat mereka. Apa yang terjadi pada diriku? Kenapa aku berbeda? Kenapa
aku tak seperti yang lainnya?
Perlahan hembusan angin
menerobos masuk, ya itu mereka, mereka datang. Sahabat kecilku sejak aku
tinggal di rumah ini. Kenalkan si sulung, aku biasa memanggilnya Wosh, lalu
yang kedua bernama Iwes, ya dia seorang wanita, dan yang terakhir si bungsu
bernama Lenez. Iwes satu-satunya wanita diapit kedua lelaki. Wosh memiliki
sifat yang mengerikan, ia akan sangat marah jika ada yang menjahati
makhluk-makhluk yang ia sayangi, tapi Wosh termasuk orang yang sangat adil,
mungkin karena Wosh adalah yang paling tua diantara yang lainnya. Sedangkan
Iwes memiliki sifat yang sangat lembut, mungkin karena Iwes adalah wanita. Lalu
yang terakhir, Lenez. Lenez adalah sosok lelaki yang sangat tampan, tapi
sebagian wajahnya hancur.
Sudah hampir 3 tahun aku
bersahabat dengan mereka. Dan aku sudah hafal semua sifat-sifat mereka, rasanya
sama seperti bersahabat dengan makhluk nyata lainnya. Tak ada yang berbeda,
hanya terkadang memang agak sulit untuk menyentuhnya. Tapi itu tak menjadi
masalah, aku masih mampu tertawa bersama mereka. Hanya sampai sekarang hanya
Iwes yang masih sulit untuk tertawa, ia sulit untuk tertawa lepas seperti kedua
saudaranya yang lain.
Dan aku pun tau kenapa
Iwes seperti itu, ia sedih, sepotong tangan kirinya hilang entah kemana. Ketika
aku bertanya dimana tangan kirinya, ia hanya menjawab “air dan batu.” Aku
benar-benar bingung, sementara itu Wosh dan Lenez yang sudah menganggap Iwes
saudara kandung mereka pun sama sekali tak tau masalah tangan kiri Iwes yang
hilang.
***
“Bantu aku, Sel!” seru Iwes disuatu malam.
“Bantu aku, Sel!” seru Iwes disuatu malam.
“Apa yang harus ku bantu?”
“Aku ingin tanganku kembali. Hanya itu.”
“Bagaimana caranya, Wes?”
“Datangi rumah kejam itu, Sel. Ada tanganku disana,
disamping kolam dekat batu besar.”
“Kamu tau dimana tanganmu? Kenapa kamu gak coba ambil
sendiri?”
“Aku tak bisa sendiri. Mereka semua manusia-manusia
kejam, aku takut, Sel.”
“Apa yang harus ku lakukan? Dimana rumah itu, Wes?”
“Di ujung jalan dekat bukit Kuning. Wosh dan Lenez
tau dimana letak rumah itu.”
“Baiklah. Aku akan kesana besok bersama Wosh dan
Lenez.”
“Berhati-hatilah, Sel. Disana setiap harinya selalu
ada pembunuhan wanita.”
Aku tersentak. Bagaimana ini? Apa aku mampu membantu Iwes mengambil kembali tangan Iwes? Tuhan, bantu dan lindungi aku. Aku tak ingin melihat sahabatku terus menerus bersedih seperti ini.
Aku keluar rumah dan
mencari dimana Wosh dan Lenez, sementara itu Iwes tengah duduk diam di kamarku.
Dari kejauhan, aku melihat Wosh dan Lenez sedang berbincang, aku mendekati mereka.
“Sedang apa kalian?” tanyaku lalu duduk disamping
Lenez.
“Aku sedang membuat strategi untuk mengambil kembali
tangan Iwes di rumah tua itu.”
jawab Lenez.
jawab Lenez.
“Baru saja aku mau memberitahu kalian tentang ini, ternyata kalian sudah mengatur strategi.”
“Aku tak ingin melihat gadis itu terus menerus bersedih.” kata Wosh.
“Lalu bagaimana selanjutnya?”
“Rumah itu sangat menyeramkan. Tak ada wanita yang berani mendekat ke rumah
itu. Siapapun wanita yang berani mendekat kesana, akan habis, Iwes salah satu
korbannya.” Lenez bercerita.
“Aku tak gentar! Aku mau membantu Iwes.” Jawabku.
“Kamu yakin, Sela?” tanya Wosh.
“Sangat yakin, Wosh.”
“Baiklah kalau begitu besok malam kita kesana.”
Keesokan malamnya, aku,
Wosh dan Lenez bersiap-siap mengatur strategi untuk mendatangi rumah
menyeramkan itu. Sementara Iwes masih tersedu di kamarku, ia masih sangat
berharap tangannya bisa kembali dan ia bisa seperti kawan-kawannya yang lain.
Tenang sobat, aku akan membantumu, semampuku dan aku akan bawa pulang tanganmu.
Dengan tergesa-gesa aku
membawa panci yang biasa dipakai Ibu untuk memasak, lalu ku sangkutkan garpu
beserta pisau dilenganku.
“Bagaimana? Sudah cukupkah peralatanku?” dengan
bangga aku memamerkan alat-alat itu.
“Astaga, Selaaa. Kamu ini mau membuat sup?” tanya
Wosh dengan muka sedikit kesal.
“Kenapa, Wosh? Kita butuh peralatan untuk masuk ke
rumah seram itu, kan?”
“Ya, tapi gak seharusnya kamu membawa semua peralatan
dapur ini, ini gak akan membantu
sama sekali.”
sama sekali.”
“Benarkah? Lalu apa yang harus aku bawa?” tanyaku
kepada Wosh sambil meletakkan
semua peralatan dapur itu di lantai.
semua peralatan dapur itu di lantai.
“Pakai ini.” Wosh menyerahkan sebuah tongkat berwarna
merah yang warnanya sedikit
menyilaukan mataku.
menyilaukan mataku.
“Ini? Apa gunanya tongkat ini?” tanyaku bingung.
“Ini akan membantumu jika nanti manusia-manusia kejam itu mendekatimu.”
Si tampan Lenez, sedang
sibuk berkutat dengan bola-bola kecil berwarna hitam yang aku sendiri tak tahu
apa itu. Semua peralatan sudah siap, pukul 01:00 dini hari, aku, Wosh dan Lenez
berangkat menuju rumah menyeramkan itu. Ya, semoga semuanya berjalan sesuai
rencana. Aku mengambil sepatu rodaku, karena Wosh dan Lenez nantinya akan
terbang, jadi supaya aku tak tertinggal, aku memakai sepatu roda kesayanganku
ini.
***
Kita berhenti diatas bukit kuning, aku melihat ada sebuah rumah tua di ujung
jalan. Aku hanya melihat tak banyak
cahaya di dalam rumah itu, memang tampak menyeramkan. Aku mengambil teropong
yang ku taruh di dalam tasku, ku arahkan ke arah rumah itu. Di samping rumah
itu terdapat sebuah kolam besar dan ada banyak batu disana, betul apa yang
dibilang Iwes.
“Nampak menyeramkan untuk manusia awam.” celetuk Wosh
ketika aku sedang
memperhatikan rumah itu.
memperhatikan rumah itu.
“Memang.”
“Lalu? Apa kamu benar-benar berani, Sel?” tanya
Lenez.
“Ya! Aku tak gentar, semuanya demi Iwes, sahabatku,
sahabat kita!” jawabku dengan penuh
semangat.
semangat.
“Baiklah. Nanti aku lebih dulu masuk dan mencari
dimana letak manusia kejam itu. Aku akan
membuat mereka ketakutan. Setelah itu, kamu dan Wosh segera mengambil tangan Iwes di
antara bebatuan dekat kolam itu.” jelas Lenez.
membuat mereka ketakutan. Setelah itu, kamu dan Wosh segera mengambil tangan Iwes di
antara bebatuan dekat kolam itu.” jelas Lenez.
Aku dan Wosh mengangguk,
sementara aku melepas sepatu rodaku dan memasukkannya ke tas. Sedangkan Lenez
sudah terbang menuju rumah itu. Aku jalan pelan-pelan dan Wosh berjaga-jaga di
belakangku. Aku semakin dekat dengan rumah menyeramkan itu. Entah kenapa, bulu
kudukku berdiri ketika aku sampai di depan rumah ini. Astaga, banyak nyawa
melayang di rumah ini. Dan mereka semua menangis. Aku mampu merasakannya. Wosh
menyuruhku untuk masuk lewat pintu belakang, ya ku kira ia memang tahu lebih
dalam seluk beluk rumah ini. Aku mengikutinya.
Aku mendengar suara
teriakan dari dalam rumah. Ya, aku yakin orang-orang jahat itu pasti ketakutan
melihat wajah Lenez yang hancur. Aku dan Wosh mencari-cari ke batu yang satu ke
yang lainnya. Dimana tangan itu? Aku tak menemukannya, aku sempat putus asa.
Aku duduk dibalik batu yang lumayan besar. Sementara Wosh masih mencari tangan
Iwes. Beberapa saat kemudian, Wosh datang dan membawa tangan kiri Iwes. Ah, betapa senangnya aku.
“Selaaa, lihatlah aku membawa tangan kiri Iwes.”
serunya sambil menenteng tangan kiri
Iwes.
Iwes.
“Ah, syukurlah, Wosh. Aku sudah hampir putus asa.”
“Sini, biar tangan Iwes aku taruh di tasku.”
“Jangan, biarkan aku saja yang pegang. Nanti tasmu
bau darah, Sel.”
“Hmm, baiklah. Lalu dimana Lenez?”
“Lenez sudah menunggu kita di depan gerbang. Cepat
kita kesana, sebelum manusia kejam
itu datang dan membunuhmu.”
itu datang dan membunuhmu.”
Aku mengeluarkan lagi
sepatu rodaku, dan dengan sekuat tenaga aku berlari sementara Wosh terbang, di
belakangku. Aku dan Wosh berhasil keluar
dari rumah menyeramkan ini. Lenez sudah menunggu aku dan Wosh.
“Bagaimana? Adakah tangan Iwes diantara batu-batu
itu?” tanya Lenez.
“Aku dapat tangan Iwes, Len.” seru Wosh sambil
memperlihatkan tangan Iwes yang dia
pegangi daritadi.
pegangi daritadi.
“Syukurlah. Ah, aku sudah membayangkan betapa
bahagianya Iwes.”
Aku, Wosh dan Lenez pun
pulang. Huh, malam yang sangat melelahkan. Dari atas bukit kuning, aku menoleh
ke arah rumah itu. Wosh dan Lenez berhenti.
“Kenapa berhenti dan terus memandang ke rumah itu,
Sel?” tanya Lenez.
“Disana banyak kesedihan, Len. Aku mampu
merasakannya.”
Wosh mendekat.
“Mereka semua menangis, Len. Mereka semua tersiksa.
Arwah mereka tak tenang, tapi
kenapa manusia-manusia itu tak pernah merasa menyesal sedikitpun?” air mataku perlahan
menetes.
kenapa manusia-manusia itu tak pernah merasa menyesal sedikitpun?” air mataku perlahan
menetes.
“Suatu saat nanti akan ada balasan untuk
manusia-manusia itu, Sel.” sahut Wosh.
“Betul. Akan ada saatnya mereka marah dan membalas
semua dendamnya. Janganlah
kamu teteskan air matamu, Sel. Aku tak mau melihatmu menangis.” tambah Lenez.
kamu teteskan air matamu, Sel. Aku tak mau melihatmu menangis.” tambah Lenez.
Aku menghapus tetesan air
mataku dan berharap suatu saat nanti akan ada azab untuk manusia-manusia jahat
itu. Aku berjalan dengan santai menggunakan sepatu rodaku dan perlahan menjauh
dari bukit kuning. Tak terasa aku sudah tiba di depan rumahku dan segera masuk
menuju kamarku. Ku lihat Iwes masih duduk dengan sendu, ia menoleh ke arahku,
Wosh dan Lenez.
“Bagaimana tanganku? Apa masih ada disana?” tanyanya
penuh harap.
Wosh memperlihatkan apa
yang ada ditangannya. Dan raut wajah Iwes pun berubah, ia tampak bahagia
melihat tangan kirinya.
“Terimakasih kawan. Berkat kalian aku mampu lagi
bertemu dengan tangan kiriku.”
kata Iwes dengan muka yang sangat bahagia.
kata Iwes dengan muka yang sangat bahagia.
“Ini sudah kewajiban kita semua, Wes. Kita gak mau
kamu sedih berlarut-larut.” Jawab
Wosh sambil merangkul Iwes.
Wosh sambil merangkul Iwes.
Wosh, Iwes dan Lenez
saling berpelukan. Ingin rasanya ikut memeluk mereka, tapi aku tak mampu. Aku hanya
mampu tersenyum dan tertawa bersama mereka.
Kini, sejak tangan
kirinya kembali, Iwes tak pernah sedih lagi. Ia selalu gembira dan senyum tak
pernah lepas dari wajahnya. Dan kami semua bermain bersama, dan inilah
kehidupanku, bersama mereka. Ketiga sahabatku yang tak nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar