Minggu, 23 September 2012

Wosh, Iwes dan Lenez


Aku mampu melihatnya. Melihatnya yang tak dapat dilihat mereka. Apa yang terjadi pada diriku? Kenapa aku berbeda? Kenapa aku tak seperti yang lainnya?

Perlahan hembusan angin menerobos masuk, ya itu mereka, mereka datang. Sahabat kecilku sejak aku tinggal di rumah ini. Kenalkan si sulung, aku biasa memanggilnya Wosh, lalu yang kedua bernama Iwes, ya dia seorang wanita, dan yang terakhir si bungsu bernama Lenez. Iwes satu-satunya wanita diapit kedua lelaki. Wosh memiliki sifat yang mengerikan, ia akan sangat marah jika ada yang menjahati makhluk-makhluk yang ia sayangi, tapi Wosh termasuk orang yang sangat adil, mungkin karena Wosh adalah yang paling tua diantara yang lainnya. Sedangkan Iwes memiliki sifat yang sangat lembut, mungkin karena Iwes adalah wanita. Lalu yang terakhir, Lenez. Lenez adalah sosok lelaki yang sangat tampan, tapi sebagian wajahnya hancur.

Sudah hampir 3 tahun aku bersahabat dengan mereka. Dan aku sudah hafal semua sifat-sifat mereka, rasanya sama seperti bersahabat dengan makhluk nyata lainnya. Tak ada yang berbeda, hanya terkadang memang agak sulit untuk menyentuhnya. Tapi itu tak menjadi masalah, aku masih mampu tertawa bersama mereka. Hanya sampai sekarang hanya Iwes yang masih sulit untuk tertawa, ia sulit untuk tertawa lepas seperti kedua saudaranya yang lain.

Dan aku pun tau kenapa Iwes seperti itu, ia sedih, sepotong tangan kirinya hilang entah kemana. Ketika aku bertanya dimana tangan kirinya, ia hanya menjawab “air dan batu.” Aku benar-benar bingung, sementara itu Wosh dan Lenez yang sudah menganggap Iwes saudara kandung mereka pun sama sekali tak tau masalah tangan kiri Iwes yang hilang.

***
                “Bantu aku, Sel!” seru Iwes disuatu malam.

                “Apa yang harus ku bantu?”

                “Aku ingin tanganku kembali. Hanya itu.”

                “Bagaimana caranya, Wes?”

                “Datangi rumah kejam itu, Sel. Ada tanganku disana, disamping kolam dekat batu besar.”

                “Kamu tau dimana tanganmu? Kenapa kamu gak coba ambil sendiri?”

                “Aku tak bisa sendiri. Mereka semua manusia-manusia kejam, aku takut, Sel.”

                “Apa yang harus ku lakukan? Dimana rumah itu, Wes?”

                “Di ujung jalan dekat bukit Kuning. Wosh dan Lenez tau dimana letak rumah itu.”

                “Baiklah. Aku akan kesana besok bersama Wosh dan Lenez.”

                “Berhati-hatilah, Sel. Disana setiap harinya selalu ada pembunuhan wanita.”

Aku tersentak. Bagaimana ini? Apa aku mampu membantu Iwes mengambil kembali tangan Iwes? Tuhan, bantu dan lindungi aku. Aku tak ingin melihat sahabatku terus menerus bersedih seperti ini.
Aku keluar rumah dan mencari dimana Wosh dan Lenez, sementara itu Iwes tengah duduk diam di kamarku. Dari kejauhan, aku melihat Wosh dan Lenez sedang berbincang, aku mendekati mereka.

             “Sedang apa kalian?” tanyaku lalu duduk disamping Lenez.

            “Aku sedang membuat strategi untuk mengambil kembali tangan Iwes di rumah tua itu.”
                jawab Lenez.

“Baru saja aku mau memberitahu kalian tentang ini, ternyata kalian sudah mengatur strategi.”
  
“Aku tak ingin melihat gadis itu terus menerus bersedih.” kata Wosh.

“Lalu bagaimana selanjutnya?”

“Rumah itu sangat menyeramkan. Tak ada wanita yang berani mendekat ke rumah itu. Siapapun            wanita yang berani mendekat kesana, akan habis, Iwes salah satu korbannya.” Lenez bercerita.

“Aku tak gentar! Aku mau membantu Iwes.” Jawabku.

“Kamu yakin, Sela?” tanya Wosh.

“Sangat yakin, Wosh.”

“Baiklah kalau begitu besok malam kita kesana.”

Keesokan malamnya, aku, Wosh dan Lenez bersiap-siap mengatur strategi untuk mendatangi rumah menyeramkan itu. Sementara Iwes masih tersedu di kamarku, ia masih sangat berharap tangannya bisa kembali dan ia bisa seperti kawan-kawannya yang lain. Tenang sobat, aku akan membantumu, semampuku dan aku akan bawa pulang tanganmu.

Dengan tergesa-gesa aku membawa panci yang biasa dipakai Ibu untuk memasak, lalu ku sangkutkan garpu beserta pisau dilenganku.

                “Bagaimana? Sudah cukupkah peralatanku?” dengan bangga aku memamerkan alat-alat itu.

                “Astaga, Selaaa. Kamu ini mau membuat sup?” tanya Wosh dengan muka sedikit kesal.

                “Kenapa, Wosh? Kita butuh peralatan untuk masuk ke rumah seram itu, kan?”

                “Ya, tapi gak seharusnya kamu membawa semua peralatan dapur ini, ini gak akan membantu
                sama sekali.”

                “Benarkah? Lalu apa yang harus aku bawa?” tanyaku kepada Wosh sambil meletakkan
                semua peralatan dapur itu di lantai.

                “Pakai ini.” Wosh menyerahkan sebuah tongkat berwarna merah yang warnanya sedikit
                menyilaukan mataku.

                “Ini? Apa gunanya tongkat ini?” tanyaku bingung.

                “Ini akan membantumu jika nanti manusia-manusia kejam itu mendekatimu.”

Si tampan Lenez, sedang sibuk berkutat dengan bola-bola kecil berwarna hitam yang aku sendiri tak tahu apa itu. Semua peralatan sudah siap, pukul 01:00 dini hari, aku, Wosh dan Lenez berangkat menuju rumah menyeramkan itu. Ya, semoga semuanya berjalan sesuai rencana. Aku mengambil sepatu rodaku, karena Wosh dan Lenez nantinya akan terbang, jadi supaya aku tak tertinggal, aku memakai sepatu roda kesayanganku ini.

***
Kita berhenti diatas bukit kuning, aku melihat ada sebuah rumah tua di ujung jalan.  Aku hanya melihat tak banyak cahaya di dalam rumah itu, memang tampak menyeramkan. Aku mengambil teropong yang ku taruh di dalam tasku, ku arahkan ke arah rumah itu. Di samping rumah itu terdapat sebuah kolam besar dan ada banyak batu disana, betul apa yang dibilang Iwes.

                “Nampak menyeramkan untuk manusia awam.” celetuk Wosh ketika aku sedang
                memperhatikan rumah itu.

                “Memang.”

                “Lalu? Apa kamu benar-benar berani, Sel?” tanya Lenez.

                “Ya! Aku tak gentar, semuanya demi Iwes, sahabatku, sahabat kita!”  jawabku dengan penuh
                semangat.

                “Baiklah. Nanti aku lebih dulu masuk dan mencari dimana letak manusia kejam itu. Aku akan
                membuat mereka ketakutan. Setelah itu, kamu dan Wosh segera mengambil tangan Iwes di
                antara bebatuan dekat kolam itu.” jelas Lenez.

Aku dan Wosh mengangguk, sementara aku melepas sepatu rodaku dan memasukkannya ke tas. Sedangkan Lenez sudah terbang menuju rumah itu. Aku jalan pelan-pelan dan Wosh berjaga-jaga di belakangku. Aku semakin dekat dengan rumah menyeramkan itu. Entah kenapa, bulu kudukku berdiri ketika aku sampai di depan rumah ini. Astaga, banyak nyawa melayang di rumah ini. Dan mereka semua menangis. Aku mampu merasakannya. Wosh menyuruhku untuk masuk lewat pintu belakang, ya ku kira ia memang tahu lebih dalam seluk beluk rumah ini. Aku mengikutinya.

Aku mendengar suara teriakan dari dalam rumah. Ya, aku yakin orang-orang jahat itu pasti ketakutan melihat wajah Lenez yang hancur. Aku dan Wosh mencari-cari ke batu yang satu ke yang lainnya. Dimana tangan itu? Aku tak menemukannya, aku sempat putus asa. Aku duduk dibalik batu yang lumayan besar. Sementara Wosh masih mencari tangan Iwes. Beberapa saat kemudian, Wosh datang dan membawa tangan kiri Iwes.  Ah, betapa senangnya aku.

                “Selaaa, lihatlah aku membawa tangan kiri Iwes.” serunya sambil menenteng tangan kiri
                Iwes.

                “Ah, syukurlah, Wosh. Aku sudah hampir putus asa.”

                “Sini, biar tangan Iwes aku taruh di tasku.”

                “Jangan, biarkan aku saja yang pegang. Nanti tasmu bau darah, Sel.”

                “Hmm, baiklah. Lalu dimana Lenez?”

                “Lenez sudah menunggu kita di depan gerbang. Cepat kita kesana, sebelum manusia kejam
                itu datang dan membunuhmu.”

Aku mengeluarkan lagi sepatu rodaku, dan dengan sekuat tenaga aku berlari sementara Wosh terbang, di belakangku.  Aku dan Wosh berhasil keluar dari rumah menyeramkan ini. Lenez sudah menunggu aku dan Wosh.

                “Bagaimana? Adakah tangan Iwes diantara batu-batu itu?” tanya Lenez.

                “Aku dapat tangan Iwes, Len.” seru Wosh sambil memperlihatkan tangan Iwes yang dia
                pegangi daritadi.

                “Syukurlah. Ah, aku sudah membayangkan betapa bahagianya Iwes.”

Aku, Wosh dan Lenez pun pulang. Huh, malam yang sangat melelahkan. Dari atas bukit kuning, aku menoleh ke arah rumah itu. Wosh dan Lenez berhenti.

                “Kenapa berhenti dan terus memandang ke rumah itu, Sel?” tanya Lenez.

                “Disana banyak kesedihan, Len. Aku mampu merasakannya.”

Wosh mendekat.

                “Mereka semua menangis, Len. Mereka semua tersiksa. Arwah mereka tak tenang, tapi
                kenapa manusia-manusia itu tak pernah merasa menyesal sedikitpun?” air mataku perlahan
                menetes.

                “Suatu saat nanti akan ada balasan untuk manusia-manusia itu, Sel.” sahut Wosh.

                “Betul. Akan ada saatnya mereka marah dan membalas semua dendamnya. Janganlah
                kamu teteskan air matamu, Sel. Aku tak mau melihatmu menangis.” tambah Lenez.

Aku menghapus tetesan air mataku dan berharap suatu saat nanti akan ada azab untuk manusia-manusia jahat itu. Aku berjalan dengan santai menggunakan sepatu rodaku dan perlahan menjauh dari bukit kuning. Tak terasa aku sudah tiba di depan rumahku dan segera masuk menuju kamarku. Ku lihat Iwes masih duduk dengan sendu, ia menoleh ke arahku, Wosh dan Lenez.

                “Bagaimana tanganku? Apa masih ada disana?” tanyanya penuh harap.

Wosh memperlihatkan apa yang ada ditangannya. Dan raut wajah Iwes pun berubah, ia tampak bahagia melihat tangan kirinya.

                “Terimakasih kawan. Berkat kalian aku mampu lagi bertemu dengan tangan kiriku.”
                kata Iwes dengan muka yang sangat bahagia.

                “Ini sudah kewajiban kita semua, Wes. Kita gak mau kamu sedih berlarut-larut.” Jawab
                Wosh sambil merangkul Iwes.

Wosh, Iwes dan Lenez saling berpelukan. Ingin rasanya ikut memeluk mereka, tapi aku tak mampu. Aku hanya mampu tersenyum dan tertawa bersama mereka.

Kini, sejak tangan kirinya kembali, Iwes tak pernah sedih lagi. Ia selalu gembira dan senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Dan kami semua bermain bersama, dan inilah kehidupanku, bersama mereka. Ketiga sahabatku yang tak nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar