Jumat, 02 November 2012

A Mirror

Dengan penuh semangat, aku berjalan menyusuri jalanan desa yang masih sedikit asing untukku. Semangatku kali ini bukan tanpa alasan, aku ingin mengetahui rahasia tentang lemari tua di rumah kakek. Andai saja kakekku masih hidup sampai sekarang, pastinya aku akan lebih bersemangat lagi untuk menuju rumah kakek. Sayang, kejadian aneh 4 tahun yang lalu belum mengungkap misteri kematian kakekku. 4 tahun yang lalu, saat usiaku masih 10 tahun. Aku tak tau apa-apa saat itu, Ayah dan Ibu hanya bilang bawah kakekku meninggal karena sakit yang tak kunjung sembuh, tapi anehnya, aku sama sekali tak melihat jasad kakekku dikebumikan. Aku hanya tau, ada sebuah batu nisan di belakang rumah dan Ibu bilang itu makam kakek. Padahal, acara pemakaman kakekku pun tak dilangsungkan. Ah, aku tak mengerti, mungkin saat itu usiaku masih terlalu kecil untuk mengetahui rahasia ini. Aku tak tau siapa yang bersandiwara di balik kematian misterius kakek Johan, mungkin Ibu dan Ayah sudah membohongiku, atau mungkin... Ah, sudahlah, biarku cari sendiri saja rahasia ini...
***
Sudah seminggu, aku, Ayah dan Ibu menginap di kampung kakek. Tapi, aku tak tinggal di rumah kakek, aku tinggal di rumah tanteku, tante Yuswa. Rumah tante Yuswa satu kampung dengan kakek, hanya beda daerahnya saja. Dan rumah kakekku pun tak terlalu jauh dari rumah tante Yuswa. Jadi, aku beranikan diri untuk berjalan sendiri menuju rumah kakekku. Dengan izin ingin mencari angin segar, Ibu pun mengizinkan aku untuk pergi sebentar dari rumah tante Yuswa. Ibu tak tau kalau sebenarnya aku ingin menuju rumah kakek. Huh, Ibu dan Ayah tak akan mengizinkan aku untuk kesana seorang diri, aku yakin, pasti ada sesuatu yang harusnya aku tau sedari dulu.

                “Aku berangkat ya, Bu,” izinku sebelum keluar dari pintu rumah tante Yuswa.

                “Iya, Lic. Kamu hati-hati ya, jangan jauh-jauh jalan-jalannya. Dan ingat! Jangan ke rumah
                kakek Johan!” pesan Ibu.

                Aku tersenyum lebar, dan segera melenggang keluar rumah.

“Huh, lagi-lagi Ibu melarangku untuk kesana. Tapi semakin di larang, justru aku semakin penasaran,” gumamku di perjalanan.

Sambil memakan buah apel yang ku bawa dari rumah tante Yuswa, aku berjalan hingga akhirnya aku melihat dari ujung gang. Sebuah rumah tua yang umurnya hampir satu abad itu berdiri dengan kokohnya, pepohonan besar menyambutku. Kampung ini sangat panas kalau siang-siang begini, tapi kenapa di gang rumah kakekku ini begitu sejuk? Mungkin karena pepohonan ini...

Dua pohon beringin berdiri di sisi kanan dan kiri rumah kakek Johan. Rumah kakek nampak berwarna kusam, kotor dan tak terawat. Ya, sejak kematian nenekku 6 tahun yang lalu, disusul kakekku 4 tahun yang lalu, rumah ini memang dibiarkan kosong dan tak terawat seperti ini. Padahal, rumah kakek ini sangatlah megah, ya, memang rumah ini kusam tapi kemegahannya masih tetap terlihat. Rumah ini adalah peninggalan dari leluhurnya kakekku, begitu kata kakek yang sampai sekarang masih ku ingat.

Kini, aku sampai di depan pintu besar rumah kakek. Aku membuka pintunya, terdengar gesekan pintu yang menyeret lantai berdebu. Sambil menutup hidung, aku berjalan pelan-pelan menyusuri rumah kakek. Hmm, aku ingat waktu aku masih kecil dulu, aku selalu main bersama kakek dan nenek di rumah ini dan dulunya pun rumah ini sangat nyaman. Tak pernah bosan aku menginjakkan kaki di rumah ini.

Di sisi sebelah kiri, masih tertata rapi meja panjang dengan lukisan buah di dindingnya. Dulu, kami keluarga besar dari kakek dan nenek selalu makan bersama di meja itu. Aku menyentuh meja itu perlahan sambil ku bersihkan debunya. Ah, aku jadi kangen kakek..

Aku berjalan lagi menuju ruang keluarga. Nampak sekali sofa besar disitu, berwarna merah hati yang masih sangat abadi. Ku tepuk-tepuk sofa ini dan nampaklah debu-debu berterbangan. Sayang sekali, sofa sebagus ini dibiarkan berdebu seperti ini.

Aku berlalu meninggalkan sofa, lalu berjalan lagi menuju kamar kakek dan nenek. Masih tertata rapi, hanya debu saja yang mengganggu kerapihan itu. Tak jauh dari kamar kakek dan nenek, aku melihat ada sebuah lemari tua dengan cermin yang ukurannya sangat besar. Entah kenapa cermin itu begitu memaksaku untuk mendekat. Memang sedari dulu aku mengetahui adanya cermin besar itu, tapi entah kenapa semua anggota keluargaku tak pernah ada yang mengizinkanku untuk bercermin di cermin ini. Dulunya cermin ini selalu ditutupi kain. Hmm, entah apa maksudnya. Tapi sekarang, cermin ini sudah dibiarkan terbuka begitu saja sejak kematian kakek yang misterius itu.

Aku mendekati lemari tua itu. Dan kini, aku berada tepat di depan lemari tua kakek dengan cerminnya yang sangat besar. Cermin ini sama sekali tak berdebu, padahal benda-benda di sekitarnya semuanya ditumbuhi debu. Ku sentuh cermin itu, namun tiba-tiba...

                “Ahhhh! Astaga, seperti ada yang menarikku dari dalam!” kataku sedikit berteriak.

Ada apa dengan cermin ini? Kenapa aku merasakan cermin ini seperti menarikku ke dalam? Apa hanya perasaanku saja? Dengan perasaan takut, aku pun menjauh sedikit dari cermin ini. Tapi entah kenapa, aku merasakan tubuhku di sedot oleh cermin ini. Tuhan, ada apa ini...
***

Dengan keringat yang membasahi tubuhku, aku membuka mataku. Aku tak melihat apa-apa disini, hanya ada ruangan putih tak bernoda. Aku dimana...
Ku ingat-ingat tadi aku berada di depan cermin yang ada di lemari tua milik kakek. Apa mungkin sekarang aku berada di dalam cermin kakek? Aku berlari kesana kesini, mencari jalan keluar dari ruangan asing ini. Ku tengok jam tanganku, sudah hampir sore. Ibu dan Ayah pasti mencariku. Aku terus berlari dan terus mencari jalan keluar.

                “Cucuku Arlic..”

Aku mendengar suara kakek disini. Aku mencari-cari dimana kakek.

                “Kakek? Itu kakek? Kakek dimana? Arlic takut sendiri disini,”

                “Kakek disini, Lic,”

Aku menengok ke belakang dan ternyata kakek Johan di belakangku. Tapi kenapa kakek ada disini? Akhirnya kakek pun bercerita kalau sekarang aku dan kakek berada di dalam cermin. Aku tak percaya, bagaimana mungkin aku bisa berada di dalam cermin? Kakek berusaha menjelaskan, bahwa sebenarnya kematiannya memang masih menjadi misteri sampai sekarang, padahal, kakek saja belum meninggal. Ia hanya terkurung dalam cermin tua ini. Ah, rasanya sudah lama aku tak lagi melihat senyuman kakek. Dengan sedikit tangis, aku pun memeluk kakek...

“Jadi sekarang, Arlic gak bisa keluar dari sini? Dan akan seterusnya bersama kakek?”  tanyaku.

“Iya, Lic. Kita akan terus disini, karena kakek sendiri pun belum tau bagaimana caranya keluar dari sini..”

“Kek, aku kangen Ibu..”

Kakek memelukku penuh rindu. Aku pun yakin ia juga merasakan kerinduan yang sedari dulu ku rasakan kepadanya.

                “Lalu, bagaimana kalau Ibu dan Ayah mencariku, Kek?”

                Kakek hanya diam, lalu memelukku lagi.

                “Kakek, maaf kalau aku banyak bertanya..”

                “Tak apa, Lic. Kakek rindu sekali sama kamu dan sekarang kamu ada disini bersama kakek.
                Boleh kakek minta tolong?”

                “Tolong apa, Kek?”

                “Jika sempat, bersihkan rumah kakek, Lic. Lalu ambillah tongkat kakek di dalam lemari ini..”

                “Tapi bagaimana aku bisa keluar, Kek?”

Belum sempat kakek menjawab, aku merasakan ada goncangan yang lumayan keras menggoyang-goyangkan tubuhku. Dan ternyata itu Ibu..

                “Arlic, bangun sayang. Kamu kenapa?”

                “Ibu? Dimana kakek? Dimana cermin itu? Lemari itu?”

                “Kamu ini kenapa? Tadi kamu bilang kamu mau jalan-jalan, kan? Eh, tau-tau kok malah asik
                tiduran di sofa depan..”

Aku terdiam, lalu mengucek-ucek mataku. Sebenarnya mana yang mimpi?

                “Bu, ayo kita ke rumah kakek! Kita bersihkan rumah kakek!”

Tanpa berbicara panjang lebar, aku langsung mengambil kemoceng dan berlari menuju rumah kakek. Ibu dan Ayah mengejarku. Aku tak peduli, aku tetap berlari. Aku ingin memastikan, mana yang sebenarnya..
Tak perlu waktu lama, aku pun tiba di depan rumah kakek, aku langsung masuk ke dalamnya dan langsung membersihkan semua debu yang menempel. Ayah dan Ibu hanya diam dan bingung dengan kelakuanku.
Dan kini aku harus bersihkan lemari tua ini. Aku ingat pesan kakek tadi, aku harus mengambil tongkat kakek di dalam lemari ini. Aku buka lemari ini dan benar saja, ada tongkat kakek disana.

                “Ibu, Ayah, lihat! Ada tongkat kakek disini..” teriakku kepada Ibu dan Ayah.

Ibu dan Ayah mendekatiku kemudian mengambil tongkat kakek lalu mengajakku untuk keluar dari rumah kakek.

                “Ibu dan Ayah duluan saja. Aku nanti menyusul..” ucapku sambil memandang cermin tua ini.

Ibu dan Ayah meninggalkanku. Aku terpaku menatap cermin besar ini. Aku masih merasakan kejadian dimimpiku tadi itu nyata. Karena semuanya memang seperti nyata. Tapi, sudahlah, mungkin memang mimpiku saja yang terlalu seperti nyata. Aku pun membalikkan tubuhku.

                “Kakek disini, Lic. Bantu kakek keluar dari disini..”

Astaga, suara kakek! Aku membalikkan tubuhku, hanya ada cermin tua itu. Dengan langkah gemetar, aku pun berjalan setengah berlari untuk keluar dari rumah kakek. Suara siapa tadi? Ah, kenapa aku jadi merinding seperti ini.

                “Bu, Bu, kakek di dalam..” bisikku di perjalanan menuju rumah tante Yuswa.

                “Kakek? Di dalam mana, Lic?”

                “Cermin, Bu..”

                “Halaah, kamu ini. Kamu tadi itu hanya berhalusinasi saja, Lic. Kakekmu itu sudah meninggal,
                karena sakit, mana mungkin ada di cermin..”

                “Tapi, Bu. Tadi itu seperti nyata, buktinya aku menemukan tongkat kakek, kan? Itu pesan
                kakek tadi, Bu..”

                “Sudah sudah. Jangan bicara yang tidak-tidak. Biarkan kakekmu tenang di surga, Lic..”

                “Tapi, Bu, aku serius..”

Ibu tak menghiraukan lagi kata-kataku. Siapa yang salah sebenarnya? Mimpiku? Tidak tidak, itu bukan mimpi. Kini biarlah mimpiku yang masih menjadi misteri bagi diriku sendiri.

Sampai sekarang, misteri kematian kakekku masih menjadi catatan dalam ingatanku. Dan mimpi tadi adalah mimpi yang tak pernah ku percayai kalau itu semua hanyalah mimpi...
Cermin, tolong jaga kakek disana.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar