***
Sudah seminggu, aku, Ayah
dan Ibu menginap di kampung kakek. Tapi, aku tak tinggal di rumah kakek, aku
tinggal di rumah tanteku, tante Yuswa. Rumah tante Yuswa satu kampung dengan
kakek, hanya beda daerahnya saja. Dan rumah kakekku pun tak terlalu jauh dari
rumah tante Yuswa. Jadi, aku beranikan diri untuk berjalan sendiri menuju rumah
kakekku. Dengan izin ingin mencari angin segar, Ibu pun mengizinkan aku untuk
pergi sebentar dari rumah tante Yuswa. Ibu tak tau kalau sebenarnya aku ingin
menuju rumah kakek. Huh, Ibu dan Ayah tak akan mengizinkan aku untuk kesana
seorang diri, aku yakin, pasti ada sesuatu yang harusnya aku tau sedari dulu.
“Aku berangkat ya, Bu,” izinku sebelum keluar dari
pintu rumah tante Yuswa.
“Iya, Lic. Kamu hati-hati ya, jangan jauh-jauh
jalan-jalannya. Dan ingat! Jangan ke rumah
kakek Johan!” pesan Ibu.
kakek Johan!” pesan Ibu.
Aku tersenyum lebar, dan segera melenggang keluar
rumah.
“Huh, lagi-lagi Ibu
melarangku untuk kesana. Tapi semakin di larang, justru aku semakin penasaran,”
gumamku di perjalanan.
Sambil memakan buah apel
yang ku bawa dari rumah tante Yuswa, aku berjalan hingga akhirnya aku melihat
dari ujung gang. Sebuah rumah tua yang umurnya hampir satu abad itu berdiri
dengan kokohnya, pepohonan besar menyambutku. Kampung ini sangat panas kalau
siang-siang begini, tapi kenapa di gang rumah kakekku ini begitu sejuk? Mungkin
karena pepohonan ini...
Dua pohon beringin berdiri di
sisi kanan dan kiri rumah kakek Johan. Rumah kakek nampak berwarna kusam, kotor
dan tak terawat. Ya, sejak kematian nenekku 6 tahun yang lalu, disusul kakekku
4 tahun yang lalu, rumah ini memang dibiarkan kosong dan tak terawat seperti
ini. Padahal, rumah kakek ini sangatlah megah, ya, memang rumah ini kusam tapi
kemegahannya masih tetap terlihat. Rumah ini adalah peninggalan dari leluhurnya
kakekku, begitu kata kakek yang sampai sekarang masih ku ingat.
Kini, aku sampai di depan
pintu besar rumah kakek. Aku membuka pintunya, terdengar gesekan pintu yang
menyeret lantai berdebu. Sambil menutup hidung, aku berjalan pelan-pelan
menyusuri rumah kakek. Hmm, aku ingat waktu aku masih kecil dulu, aku selalu
main bersama kakek dan nenek di rumah ini dan dulunya pun rumah ini sangat
nyaman. Tak pernah bosan aku menginjakkan kaki di rumah ini.
Di sisi sebelah kiri,
masih tertata rapi meja panjang dengan lukisan buah di dindingnya. Dulu, kami
keluarga besar dari kakek dan nenek selalu makan bersama di meja itu. Aku
menyentuh meja itu perlahan sambil ku bersihkan debunya. Ah, aku jadi kangen
kakek..
Aku berjalan lagi menuju
ruang keluarga. Nampak sekali sofa besar disitu, berwarna merah hati yang masih
sangat abadi. Ku tepuk-tepuk sofa ini dan nampaklah debu-debu berterbangan.
Sayang sekali, sofa sebagus ini dibiarkan berdebu seperti ini.
Aku berlalu meninggalkan
sofa, lalu berjalan lagi menuju kamar kakek dan nenek. Masih tertata rapi,
hanya debu saja yang mengganggu kerapihan itu. Tak jauh dari kamar kakek dan
nenek, aku melihat ada sebuah lemari tua dengan cermin yang ukurannya sangat
besar. Entah kenapa cermin itu begitu memaksaku untuk mendekat. Memang sedari
dulu aku mengetahui adanya cermin besar itu, tapi entah kenapa semua anggota
keluargaku tak pernah ada yang mengizinkanku untuk bercermin di cermin ini.
Dulunya cermin ini selalu ditutupi kain. Hmm, entah apa maksudnya. Tapi
sekarang, cermin ini sudah dibiarkan terbuka begitu saja sejak kematian kakek
yang misterius itu.
Aku mendekati lemari tua
itu. Dan kini, aku berada tepat di depan lemari tua kakek dengan cerminnya yang
sangat besar. Cermin ini sama sekali tak berdebu, padahal benda-benda di
sekitarnya semuanya ditumbuhi debu. Ku sentuh cermin itu, namun tiba-tiba...
“Ahhhh! Astaga, seperti ada yang menarikku dari
dalam!” kataku sedikit berteriak.
Ada apa dengan cermin
ini? Kenapa aku merasakan cermin ini seperti menarikku ke dalam? Apa hanya
perasaanku saja? Dengan perasaan takut, aku pun menjauh sedikit dari cermin
ini. Tapi entah kenapa, aku merasakan tubuhku di sedot oleh cermin ini. Tuhan,
ada apa ini...
***
Dengan keringat yang
membasahi tubuhku, aku membuka mataku. Aku tak melihat apa-apa disini, hanya
ada ruangan putih tak bernoda. Aku dimana...
Ku ingat-ingat tadi aku
berada di depan cermin yang ada di lemari tua milik kakek. Apa mungkin sekarang
aku berada di dalam cermin kakek? Aku berlari kesana kesini, mencari jalan
keluar dari ruangan asing ini. Ku tengok jam tanganku, sudah hampir sore. Ibu
dan Ayah pasti mencariku. Aku terus berlari dan terus mencari jalan keluar.
“Cucuku Arlic..”
Aku mendengar suara kakek
disini. Aku mencari-cari dimana kakek.
“Kakek? Itu kakek? Kakek dimana? Arlic takut sendiri
disini,”
“Kakek disini, Lic,”
Aku menengok ke belakang
dan ternyata kakek Johan di belakangku. Tapi kenapa kakek ada disini? Akhirnya
kakek pun bercerita kalau sekarang aku dan kakek berada di dalam cermin. Aku
tak percaya, bagaimana mungkin aku bisa berada di dalam cermin? Kakek berusaha
menjelaskan, bahwa sebenarnya kematiannya memang masih menjadi misteri sampai
sekarang, padahal, kakek saja belum meninggal. Ia hanya terkurung dalam cermin
tua ini. Ah, rasanya sudah lama aku tak lagi melihat senyuman kakek. Dengan
sedikit tangis, aku pun memeluk kakek...
“Jadi sekarang, Arlic gak bisa keluar dari sini? Dan akan seterusnya
bersama kakek?” tanyaku.
“Iya, Lic. Kita akan terus disini, karena kakek sendiri pun belum tau
bagaimana caranya keluar dari sini..”
“Kek, aku kangen Ibu..”
Kakek memelukku penuh
rindu. Aku pun yakin ia juga merasakan kerinduan yang sedari dulu ku rasakan
kepadanya.
“Lalu, bagaimana kalau Ibu dan Ayah mencariku, Kek?”
Kakek hanya diam, lalu memelukku lagi.
“Kakek, maaf kalau aku banyak bertanya..”
“Tak apa, Lic. Kakek rindu sekali sama kamu dan
sekarang kamu ada disini bersama kakek.
Boleh kakek minta tolong?”
Boleh kakek minta tolong?”
“Tolong apa, Kek?”
“Jika sempat, bersihkan rumah kakek, Lic. Lalu
ambillah tongkat kakek di dalam lemari ini..”
“Tapi bagaimana aku bisa keluar, Kek?”
Belum sempat kakek
menjawab, aku merasakan ada goncangan yang lumayan keras menggoyang-goyangkan
tubuhku. Dan ternyata itu Ibu..
“Arlic, bangun sayang. Kamu kenapa?”
“Ibu? Dimana kakek? Dimana cermin itu? Lemari itu?”
“Kamu ini kenapa? Tadi kamu bilang kamu mau
jalan-jalan, kan? Eh, tau-tau kok malah asik
tiduran di sofa depan..”
tiduran di sofa depan..”
Aku terdiam, lalu
mengucek-ucek mataku. Sebenarnya mana yang mimpi?
“Bu, ayo kita ke rumah kakek! Kita bersihkan rumah
kakek!”
Tanpa berbicara panjang
lebar, aku langsung mengambil kemoceng dan berlari menuju rumah kakek. Ibu dan
Ayah mengejarku. Aku tak peduli, aku tetap berlari. Aku ingin memastikan, mana
yang sebenarnya..
Tak perlu waktu lama, aku
pun tiba di depan rumah kakek, aku langsung masuk ke dalamnya dan langsung
membersihkan semua debu yang menempel. Ayah dan Ibu hanya diam dan bingung
dengan kelakuanku.
Dan kini aku harus
bersihkan lemari tua ini. Aku ingat pesan kakek tadi, aku harus mengambil
tongkat kakek di dalam lemari ini. Aku buka lemari ini dan benar saja, ada
tongkat kakek disana.
“Ibu, Ayah, lihat! Ada tongkat kakek disini..”
teriakku kepada Ibu dan Ayah.
Ibu dan Ayah mendekatiku
kemudian mengambil tongkat kakek lalu mengajakku untuk keluar dari rumah kakek.
“Ibu dan Ayah duluan saja. Aku nanti menyusul..”
ucapku sambil memandang cermin tua ini.
Ibu dan Ayah
meninggalkanku. Aku terpaku menatap cermin besar ini. Aku masih merasakan
kejadian dimimpiku tadi itu nyata. Karena semuanya memang seperti nyata. Tapi,
sudahlah, mungkin memang mimpiku saja yang terlalu seperti nyata. Aku pun
membalikkan tubuhku.
“Kakek disini,
Lic. Bantu kakek keluar dari disini..”
Astaga, suara kakek! Aku
membalikkan tubuhku, hanya ada cermin tua itu. Dengan langkah gemetar, aku pun
berjalan setengah berlari untuk keluar dari rumah kakek. Suara siapa tadi? Ah,
kenapa aku jadi merinding seperti ini.
“Bu, Bu, kakek di dalam..” bisikku di perjalanan
menuju rumah tante Yuswa.
“Kakek? Di dalam mana, Lic?”
“Cermin, Bu..”
“Halaah, kamu ini. Kamu tadi itu hanya berhalusinasi
saja, Lic. Kakekmu itu sudah meninggal,
karena sakit, mana mungkin ada di cermin..”
karena sakit, mana mungkin ada di cermin..”
“Tapi, Bu. Tadi itu seperti nyata, buktinya aku
menemukan tongkat kakek, kan? Itu pesan
kakek tadi, Bu..”
kakek tadi, Bu..”
“Sudah sudah. Jangan bicara yang tidak-tidak. Biarkan
kakekmu tenang di surga, Lic..”
“Tapi, Bu, aku serius..”
Ibu tak menghiraukan lagi
kata-kataku. Siapa yang salah sebenarnya? Mimpiku? Tidak tidak, itu bukan
mimpi. Kini biarlah mimpiku yang masih menjadi misteri bagi diriku sendiri.
Sampai sekarang, misteri
kematian kakekku masih menjadi catatan dalam ingatanku. Dan mimpi tadi adalah
mimpi yang tak pernah ku percayai kalau itu semua hanyalah mimpi...
Cermin, tolong jaga kakek disana..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar