Hai. Saya cuma mau menginformasikan aja nih ya, akun twitter saya @QIQIQOOOY sudah tidak digunakan lagi, sudah diambil alih sepenuhnya oleh si fans jahat saya, hihi:D Biarkan dia senang sesaat, bukankah setan memang selalu menang diawal? :)
Untuk kalian yang ada perlu sama saya bisa silahkan coment aja di blog saya ini. Tinggalkan saja alamat email kalian, insyallah nanti kalau sempat, saya balas :)
Terimakasih,
Rizki Kusuma Wardani
Selamat datang kembali di blog ini, semoga tidak bosan dan selalu menantikan setiap postingannya.
Rabu, 21 November 2012
Kamis, 15 November 2012
Haters? :)
Ini tentang curahan hati tentang
seseorang yang sedang mengalami proses untuk menjadi apa-apa, tapi sudah
menjadi olokan bagi mereka yang belum tentu bisa menjadi apa-apa.
Saya selalu merasa nyaman
dengan hidup saya. Bahkan saat mimpi saya perlahan terwujud, menjadi seorang
penulis novel, mimpi yang sudah sejak saya duduk di bangku sekolah dasar saya
bangun. Saya selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Saya
selalu belajar dari kegagalan. Saya selalu berhati-hati meniti mimpi saya yang
sedikit demi sedikit mulai terwujud. Kalian yang membaca ini tentu saja
mempunyai mimpi, kan? Untuk apa hidup jika tak bermimpi? Bermimpilah sepuas
kalian! Urusan terwujud atau tidaknya, itu tergantung niat dan usaha kalian.
Saya hanyalah seorang
gadis biasa berusia 17 tahun. Awalnya,
saya hanya gadis biasa yang belum dikenal siapa-siapa kecuali keluarga saya.
Tapi itu dulu, sekarang sudah bukan seperti dulu. Sekarang, perlahan saya mulai
dikenal banyak orang. Jujur, itu menjadi kebanggan sendiri untuk saya. Kenapa
begitu? Karena saya merasa, dikenalnya saya dengan banyak orang itu berarti
mimpi saya sedikit demi sedikit hampir terwujud.
Terlebih saat saya menulis
satu buah novel dan sudah berhasil terbit di sebuah penerbit indie, itu adalah
kebahagiaan yang sangat bahagia bagi saya selama saya hidup. Dan suatu saat
nanti, mimpi saya untuk melihat buku-buku karya saya berjejer di toko-toko buku
ternama akan terwujud dan saya percaya.
Dikenalnya saya sekarang
dengan banyak orang tentu bukan hanya menjadi kebahagiaan untuk saya. Tapi juga
menjadi bumerang untuk saya, terlebih saat saya tau ada beberapa orang yang membenci
saya. Jujur, saya kaget, bagaimana bisa mereka membenci saya? Apa yang saya
punya?
Melihat mereka yang
membenci saya semakin banyak, saya kembali berpikir, apa yang mereka benci dari
saya? Tapi, saya yakin, kini saya telah mencapai sukses yang sedari dulu saya
mimpikan. Karena ketika ada beberapa makhluk yang membenci saya, saya harus
percaya saat itu juga saya sudah mencapai sukses.
Sukses dalam artian saya mampu
membuat mereka semua iri, mereka tidak mampu menjadi seperti saya, begitu pula
sebaliknya. Maaf, bukan maksud saya membangga-banggakan diri saya sendiri.
Tapi, saya yakin, kebencian mereka pasti beralasan, dan mereka pasti tidak
senang melihat saya dikenal orang, bahkan saya yakin hanya merekalah yang akan
menangis ketika melihat saya sukses.
Mereka yang membenci
saya, selalu berusaha membuat nama baik saya menjadi jatuh dan tak berarti
apa-apa. Percaya atau tidak, mereka akan membayar berapapun demi menghancurkan
nama baik saya. Bahkan, mereka rela tidak tidur hanya demi mengolok-olok saya
di depan mereka yang mencintai saya. Dan ketika mereka yang mencintai saya
mulai berhenti untuk mencintai saya, mereka yang membenci saya akan tertawa
bahagia. Sedangkan saya, saya hanya mampu tersenyum melihat semua tragedi itu.
Karena bagi saya, cobaan Tuhan selalu ada dan Tuhan tak akan memberikan cobaan
yang lebih berat dibanding dengan apa yang mampu saya lakukan. Terimakasih
untuk kalian yang mengolok-olok saya.
Marah? Untuk apa marah
melihat mereka mengolok-olok saya? Hanya buang-buang waktu. Saya memang kesal
diolok-olok, saya memang emosi melihat nama baik saya diinjak-injak. Tapi, biarlah,
itu menjadi urusan mereka, mereka semua yang membuat dosa mereka sendiri. Saya
tak mau ikut campur dalam urusan dosa mereka. Biarlah itu menjadi urusan antara
mereka dan Tuhan.
Saya mencintai mereka
semua yang membenci saya. Menurut saya, itu adalah kekuatan untuk saya agar
tetap terus berjalan menuju mimpi saya yang sesungguhnya. Terimakasih para
pembenci saya, kalian semua membuat saya kuat, kalian semua membuat saya untuk
tak pernah berhenti bermimpi menjadi yang lebih baik.
Dan untuk kalian yang
mencintai saya, saya mencintai kalian lebih dari mereka yang membenci saya.
Terimakasih sudah menjadi semangat dalam setiap langkah saya menapaki jenjang
mimpi saya. Kalian semua hebat! Kalian semua cerdas! Saya bangga mengenal
kalian.
Kalian boleh tetap
membenci saya, tapi ingat, itu hanya akan menjadi semangat untuk saya, hehe.
Alhamdulillah saya diberikan kekuatan lebih untuk menghadapai cobaan yang belum
seberapa ini. Kalian bisa mengolok-olok atau menjelek-jelekkan saya, tapi
kalian tak mungkin bisa menyembunyikan kebohongan kalian di hadapan malaikat
nanti.
Semoga Tuhan selalu
melindungi kalian dari segala marabahaya. Seperti saya yang selalu mendoakan
kalian, para pembenci saya.
Untukmu, Hacker Akunku
Dear Hacker @QIQIQOOOY ,
Saya tau siapa anda. Saya tau anda membenci saya. Tapi apa begini caranya meluapkan kebencian anda kepada saya? Saya salah apa sama anda? Mengenal anda-pun hanya lewat dunia maya ( twitter ) . Apa yang anda inginkan dari saya? Anda ingin nama baik saya menjadi jelek dan anda merasa hebat? Bukankah seharusnya anda malu? Anda, kan, lelaki, masa meluapkan kebencian dengan cara yang pengecut seperti ini? Saya bisa aja mengotak-atik akun twitter anda. Tapi saya pikir itu sama saja menjelek-jelekkan sifat saya sendiri. Jadi sekarang, saya biarkan anda bebas memainkan dua akun twitter saya.
Saya ingatkan ya, di dunia ini, orang jahat lebih banyak dibanding orang baik. Alhamdulillah saya masuk ke orang baik, bagaimana dengan anda? Apakah cara anda yang se-PENGECUT itu mampu dibilang orang baik?
Tuhan gak tidur. Dia selalu melihat kelakuan makhluknya. Dan dia selalu melihat kelakuanmu untuk menjatuhkan nama baik saya. Dan saya beruntung, saya diberikan cobaan seperti ini, itu tandanya semakin banyak orang yang mencintai saya. Dan cara anda untuk mencintai saya itu, salah besar, hehe. Belajar lagi ya, dek!
Saya sukses, saya mampu membuat anda membenci saya, kan? Terimakasih loh, dek:) Saya jadi gak lupa daratan dengan adanya insiden ini, tsaaah insiden=)) Hahahaha.
Orang jahat jalannya gak pernah lurus, kok. Saya percaya itu dan hati-hati ya sama jalan anda. Saya juga gak pernah marah dengan anda, saya selalu membuka maaf jika nanti anda meminta maaf sama saya. Dan saya juga selalu mau bersahabat dengan anda!{}
Jaga akun kedua saya ( @Saljubiruu ) yaaa, dek:) Sekian.
Yang anda benci,
Rizki Kusuma Wardani
Saya tau siapa anda. Saya tau anda membenci saya. Tapi apa begini caranya meluapkan kebencian anda kepada saya? Saya salah apa sama anda? Mengenal anda-pun hanya lewat dunia maya ( twitter ) . Apa yang anda inginkan dari saya? Anda ingin nama baik saya menjadi jelek dan anda merasa hebat? Bukankah seharusnya anda malu? Anda, kan, lelaki, masa meluapkan kebencian dengan cara yang pengecut seperti ini? Saya bisa aja mengotak-atik akun twitter anda. Tapi saya pikir itu sama saja menjelek-jelekkan sifat saya sendiri. Jadi sekarang, saya biarkan anda bebas memainkan dua akun twitter saya.
Saya ingatkan ya, di dunia ini, orang jahat lebih banyak dibanding orang baik. Alhamdulillah saya masuk ke orang baik, bagaimana dengan anda? Apakah cara anda yang se-PENGECUT itu mampu dibilang orang baik?
Tuhan gak tidur. Dia selalu melihat kelakuan makhluknya. Dan dia selalu melihat kelakuanmu untuk menjatuhkan nama baik saya. Dan saya beruntung, saya diberikan cobaan seperti ini, itu tandanya semakin banyak orang yang mencintai saya. Dan cara anda untuk mencintai saya itu, salah besar, hehe. Belajar lagi ya, dek!
Saya sukses, saya mampu membuat anda membenci saya, kan? Terimakasih loh, dek:) Saya jadi gak lupa daratan dengan adanya insiden ini, tsaaah insiden=)) Hahahaha.
Orang jahat jalannya gak pernah lurus, kok. Saya percaya itu dan hati-hati ya sama jalan anda. Saya juga gak pernah marah dengan anda, saya selalu membuka maaf jika nanti anda meminta maaf sama saya. Dan saya juga selalu mau bersahabat dengan anda!{}
Jaga akun kedua saya ( @Saljubiruu ) yaaa, dek:) Sekian.
Yang anda benci,
Rizki Kusuma Wardani
Jumat, 09 November 2012
Ssstt.. Aku Mencintaimu
Mungkin banyak dari
kalian yang memiliki hobi sepertiku. Aku mencintainya, tapi ia tak pernah tau
akan cinta itu. Dan, sampai sekarang pun orang yang ku cinta masih sama dan aku
masih tetap diam, tak pernah ungkapkan cinta yang ku pendam. Bukan tanpa alasan
aku memendam cinta selama ini, aku hanya takut, cintaku bertepuk sebelah
tangan. Ya, kalian boleh memanggilku ‘pengecut’ , pengecut yang selalu pesimis
akan cinta. Bagiku, diungkapkan atau tidak diungkapkannya cinta itu sama saja.
Sama-sama manis namun pahit...
Naya, begitu nama
panggilannya. Terasa sejuk mendengar namanya. Naya adalah gadis populer di
sekolahku. Tak hanya cantik, Naya pun sangat cerdas, ia pandai di beberapa mata
pelajaran. Siapa yang tak tertarik dengan gadis yang bagiku sangat sempurna
itu? Naya, sudah tak asing lagi namanya, seluruh siswa ataupun siswi
mengenalnya. Jujur, pertama kali melihatnya aku takut, takut aku akan
mencintainya lebih jauh, dan sialnya, aku masuk ke dalam ketakutan itu. Dan kini,
selama hampir 3 tahun, aku masih mencintainya, tak pernah berubah dan tak
pernah ku ungkapkan...
Namaku Wirsa. Aku adalah
seorang pria yang hanya bersahabat dengan buku-buku tebal. Penampilanku tak
terlalu aneh, bagiku sih, tapi bagi mereka, penampilanku aneh. Aku memakai baju
seragam yang lebih besar dari ukuran badanku, jadi terlihat gombrong. Lalu aku
selalu memakai kaos kaki yang panjangnya se-betis. Aku juga selalu memakai
kacamataku yang super duper tebal. Selain tebal, kacamataku juga besar, oleh
karena itu mereka sering memanggilku ‘mata jengkol’ . Dan aku tidak marah, aku
menganggap itu hanyalah sebagian dari lelucon. Aku terlahir dari keluarga yang
tak terlalu berkecukupan. Bisa bersekolah disini saja aku masih mengandalkan
beasiswa yang ku dapat dari hasil kerja keras otakku. Berterimakasihlah aku
kepada Tuhan yang sudah memberikan otak ini kepadaku.
***
Dulu, aku pernah
berbicara dengannya. Walau hanya beberapa kata saja, tapi bagiku, itu adalah
keindahan yang tak pernah terbayar oleh apapun. Naya, si pujaan hati ini,
menjawab sapaku dengan ramah..
“Selamat pagi, Naya..” kataku di suatu pagi.
Naya tersenyum dengan indahnya, “pagi juga, Wirsa.”
“Kamu tau namaku? Dari mana?” aku bertanya kaget.
“Siapa yang tak mengenalmu? Kamu yang paling berbeda
dari semua siswa disini..”
Aku tersenyum malu. Mulutku rasanya terkunci, tak
mampu berkata-kata.
Naya melempar senyumnya
sebelum berlalu meninggalkanku yang masih terpaku dalam kebisuan. Rasanya pagi
ini adalah pagiku yang paling indah. Dan inilah awal kisah dimulainya kisah
kasihku yang masih tersembunyi...
***
Menyesakkan terkadang
yang kurasakan ketika menjadi pengagum rahasia. Pernahkah kalian bayangkan jika
pujaan hati yang sedari dulu diharapkan malah jatuh ke hati orang lain? Dan,
aku sudah beberapa kali mengalami sesak itu, namun entah kenapa aku tak pernah
mau berhenti untuk tetap menjadi pengagum rahasianya . Mungkin Naya adalah
cinta sejatiku, di suatu masa, nanti..
“Eh, cupu, gak pegel pakai kacamata yang tebel banget kayak gitu? Hahaha..”
celetuk Gio, kekasihnya Naya.
Aku hanya mampu diam
mendengar ejekannya yang tak pernah ku hiraukan. Sebal memang. Tapi mau gimana
lagi? Membalasnya? Mana mampu aku. Ditambah Gio adalah salah satu cowok populer
di sekolah yang diagung-agungkan olek banyak siswi di sekolah ini. Dan,
beruntungnya dia bisa memiliki kekasih secantik dan seindah, Naya...
Gio dan Naya masih
berhubungan. Mereka selalu berdua kemanapun, tak lepas dari pandanganku. Mereka
bak pasangan yang sangat serasi dan dipuji-puji oleh setiap manusia yang
melihatnya. Jujur, aku iri..
Terkadang aku berpikir,
kenapa aku harus terlahir dengan kekurangan seperti ini? Sehingga aku hanya
mampu melihat orang yang ku cintai dan ku impikan berbahagia dengan cowok yang
lebih mapan dibanding aku. Tapi, apa gunanya aku menyalahkan kekurangan? Setidaknya,
ini sudah menjadi ciri khas dari diriku. Dan dengan ini aku gampang dikenal
dengan banyak orang di lingkungan sekolahku ini.
***
“Tuhan, bolehkah aku memilikinya?”
Doaku yang selalu
kupanjatkan dan tak pernah lupa. Kini, aku benar-benar sudah dibutakan oleh
cinta. Cinta yang sesungguhnya hanya bisa ku raih di mimpiku. Tak ada salahnya,
kan jika aku bermimpi menjadi kekasihnya? Karena aku yakin, aku tak akan mampu
meraihnya di dunia nyata.
Kenapa kamu begitu indah,
Naya? Kenapa kamu begitu cantik?
Memujinya. Hanya itu yang
bisa ku lakukan.
Aku pernah berpikir.
Cinta sesungguhnya akan lebih bermakna jika kita belum mengungkapkannya. Dan
sesungguhnya cinta yang paling sederhana adalah memuji dan mengaguminya tanpa
sepengetahuannya.
Untuk para pengagum
rahasia, tetaplah menjadi pengagum. Karena sesungguhnya, tak ada hal yang lebih
mengesankan dibanding mengagumi. Ya, walau terkadang sesak, tapi percayalah,
melihat dia yang kalian kagumi bahagiapun, sudah menjadi semangat untuk lebih
mengaguminya.
***
Hari kelulusan pun tiba,
aku lulus dengan nilai tertinggi di sekolah. Dan Naya, dia berada di bawahku,
Naya lulus dengan nilai tertinggi kedua di sekolahku. Naya mengucapkan selamat
kepadaku. Memang ini bukan kali pertamanya aku menatap teduh wajahnya, tapi
terus terang saja, rasa deg-deg-an masih menghampiriku.
“Selamat ya, Wirsa! Semoga kamu sukses nantinya. Senang bersaing denganmu..”
katanya lalu menyalamiku.
Lagi-lagi aku terpana
oleh keindahan. Tanganku, digenggam tangannya. Tuhan, ini nyata? Boleh aku
minta hentikan waktu saat ini juga? Aku mohon...
“Eh... Hmm.. I..i..iyaa.. Ka....kamu ju...ga ya...”
jawabku terbata, malu.
Naya melepaskan
genggamannya. Mataku masih terpana melihatnya. Entah kenapa tiba-tiba saja
mulutku bekerja sendiri, memanggil Naya.
“Naya?!...”
Naya menoleh lalu menghentikan langkahnya. Mungkin
aku menjadi sosok yang sok berani
pada saat itu. Aku mendekati Naya. Entah, setan apa yang sudah merasuki diriku, aku
merasa ada yang lain..
pada saat itu. Aku mendekati Naya. Entah, setan apa yang sudah merasuki diriku, aku
merasa ada yang lain..
“Aku menyukaimu, sejak lama. Kamu tau itu?” kataku.
Naya terdiam. Aku melanjutkan perkataanku.
“ Kamu gak pernah tau, Nay. Aku selalu diam, 3 tahun
ku pendam semuanya, Nay.”
“Wirsa? Kamu?” Naya heran.
“Maaf aku sudah menjadi pengagum rahasiamu selama
ini. Aku bangga bisa mengenalmu,”
“Aku tak menyangka kamu mampu berkata seberani ini,
Wir..”
Aku kembali terdiam.
Pipiku memerah, aku malu. Tuhan, setan apa yang sudah merasuki diriku tadi?
Semuanya sudah terungkap. Naya sudah mengetahui siapa yang sedari dulu begitu
mengharapkannya. Aku jadi panik sendiri.
“Maaf aku lancang. Maaf sudah mengagumimu..” ucapku lalu pergi berlalu dari
hadapan Naya.
***
Cinta diam-diamku sudah
menjadi tak diam-diam lagi. Naya sudah mengetahui siapa pengagumnya. Dan sampai
sekarang aku masih tetap mengingatnya. Entah ia ingat atau tidak. Yang jelas,
aku selalu berterimakasih kepadanya, karena Naya sudah mengajariku. Bagaimana
mencintai tanpa pernah diketahuinya. Bagaimana mengungkapkan yang tak ingin
diungkapkan. Bagaimana bersabar menahan sesak.
Naya, kamu memang
sempurna. Oleh karena itu, aku sadar, ketika aku yang tak sempurna mampu
mencintai makhluk sesempurna kamu dengan cara yang amat sempurna, dalam diam..
Rabu, 07 November 2012
Lonceng Kebahagiaan
Orang-orang memanggilnya,
Laiza. Seorang gadis yang terakhir dari keluarga menengah bawah. Tak terlalu
menyenangkan memang, bahkan Laiza sering kali mengeluh, “kenapa aku harus
terlahir dari Ibu yang miskin?” “aku ingin memiliki banyak mainan seperti
anak-anak yang lain..” “aku ingin makan semua makanan yang lezat..” “aku ingin,
aku ingin, Tuhan..” Untunglah, Tuhan tak pernah bosan mendengarkan semua
keluhannya yang selalu menginginkan kebahagiaan.
Setiap pagi, Laiza biasa
membantu sang Ibu untuk mengambil pakaian-pakaian dari rumah-rumah penduduk di
sekitar tempat tinggalnya. Ya, beginilah kehidupan gadis kecil itu setiap
harinya, bekerja membantu sang Ibu untuk makan di hari ini. Untuk esok?
Entahlah, jangankan memikirkan untuk esok, hari ini saja ia masih ragu akan
menyuap nasi ke mulutnya..
“Permisi, Bu. Aku mau ambil pakaian yang akan di cuci Ibu,” kataku ramah
pada seorang Ibu muda yang lumayan kaya raya.
“Oh, iya. Ini pakaiannya, sayang. Hati-hati ya bawa pakaiannya,” kata Ibu
itu sambil menyerahkan kantong besar yang berisi pakaian-pakaiannya.
“Baik. Terimakasih, Bu..”
“Terimakasih kembali, gadis cantik,” ucap Ibu itu lagi sambil mengusap
rambutku. Aku tersenyum malu lalu meninggalkan rumah besar milik Ibu muda itu.
Aku melenggang lagi
mencari-cari rumah yang biasanya menitipkan pakaiannya untuk di cuci oleh aku
dan Ibu. Rasanya sudah cukup jauh aku berjalan, lelah sekali. Sesekali ia
melihat anak-anak seusianya bermain-main di halaman rumahnya yang sangat luas.
Mereka semua nampaknya tak pernah merasakan sedih dan lelah sepertiku. Ya, aku
selalu melihat senyum bahagia dari mereka semua. Andai, aku ada di posisi
mereka...
***
Sudah beberapa bulan ini,
ada satu berita yang sangat heboh di wilayah kerajaan Sansa. Dan di kerajaan
itulah Laiza bersama Ibunya tinggal. Ada berita bahwa di halaman istana Sansa
ada sebuah lonceng besar dan katanya setiap anak-anak kecil yang membunyikan
lonceng itu, akan mendapatkan kebahagiaan yang mereka inginkan. Orang-orang
menyebutnya “Lonceng Kebahagiaan”. Awalnya, aku memang tak percaya dengan semua
itu. Karena bagiku, kebahagiaan sudah dituliskan Tuhan. Walau sebenarnya, aku
tak tau kapan Tuhan akan memberikanku kebahagiaan yang sebenarnya...
“Bu, Ibu sudah dengar berita tentang “Lonceng Kebahagiaan” ?” tanyaku pada
Ibu yang sedang sibuk mengucek pakaian-pakaian.
“Iya, kenapa, Nak? Kamu mau ikut mencari kebahagiaan lewat lonceng itu?”
Aku terdiam, bingung mau berkata apa lagi.
“Emmm, bukan begitu, Bu. Aku hanya mau tau aja, kok.” jawabku pelan, takut
Ibu marah.
Ibu tak menjawab dan
malah semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun kembali fokus kepada
pakaian-pakaian yang harus di cuci hari ini. Aku mencoba melupakan keinginanku
untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu..
Semua pakaian sudah ku
jemur dengan rapih. Ku basuh keringat yang membasahi keningku. Lelah yang
sangat untuk hari ini. Setelah ini aku harus mengantarkan pakaian-pakaian yang
sudah selesai di setrika oleh Ibu. Tentu saja, pakaian-pakaian ini sudah aku
cuci dari dua hari yang lalu.
“Laiz, ini baju-bajunya Ibu Voi, ya. Lalu ini baju-bajunya Ibu Win..” kata
Ibu sambil memberikanku pakaian-pakaian yang sudah bersih dan wangi.
“Baik, Bu. Laiza antar sekarang, ya?”kataku dengan semangat.
“Iya. Hati-hati, sayang..”
Aku pun keluar dari rumah
kecilku untuk segera mengantar baju-baju ini. Di perjalanan, aku selalu
mendengar celotehan anak-anak kecil yang sudah membuktikan kebenaran lonceng
kebahagiaan itu. Ah, aku tak boleh lagi memikirkan itu. Aku harus fokus dengan
tujuanku sekarang, mengantar pakaian-pakaian ini ke rumah Ibu Voi dan Ibu Win..
10 menit berjalan kaki,
aku berhenti di sebuah rumah yang sangat besar. Rumah ini dikelilingi kolam,
jadi kita harus menyebrangi jembatan kecil untuk sampai ke depan pintu
rumahnya. Aku memencet tombol yang ada di depan gerbang besar ini. Lalu, aku
melihat Ibu Voi naik di atas perahu kecil dan segera menghampiriku. Aku
menganga melihat sebuah kekayaan yang sesungguhnya...
“Hai, gadis cantik..” sapanya.
“Ah, Ibu Voi ini berlebihan..” jawabku malu.
“Memang kenyataannya, sayang. Oh, iya pakaianku sudah
bersih ya?”
“Sudah, Bu. Ini..” jawabku sambil menyerahkan kantong
yang berisi pakaian Ibu Voi yang
sudah bersih.
sudah bersih.
“Terimakasih. Ini bayarannya..” kata Ibu Voi sambil
mengeluarkan beberapa koin emas.
Aku kaget, “Bayaran? Aduh, nanti Ibu saja yang bayar
ke Ibuku. Aku tak tau tentang bayaran.
Tugasku hanya mengantarkan semua pakaian Ibu Voi..”
Tugasku hanya mengantarkan semua pakaian Ibu Voi..”
“Tak apa. Ambil ini, gadis baik..”
“Aku tak mau menerimanya, Bu. Ini terlalu banyak..”
“Lalu, kau mau ku bayar dengan apa?”
“Dengan... satu ekor ikan dari kolam yang sangat luas
ini, Bu. Hanya itu, aku ingin makan
ikan..”
ikan..”
Ibu Voi tertegun, lalu
meminta pengawalnya untuk mengambilkan satu ekor ikan besar untukku makan
bersama Ibu nanti.
“Nah, ambil ini, sayang. Besok kesini lagi ya, ambil
lagi pakaianku yang harus dibersihkan,”
“Baik, Bu. Terimakasih ikannya, Bu..”
“Iya, langsung pulang ya, gadis cantik. Salam untuk
Ibumu..”
Aku tersenyum lebar dan
perlahan meninggalkan rumah yang sangat mewah ini dengan menenteng kantong yang
berisi satu buah ikan pemberian Ibu Voi. Alhamdulillah, aku dapat merasakan
lagi bagaimana nikmatnya ikan legit ini..
Aku langsung menuju ke
rumah Ibu Win dan mengantarkan pakaian miliknya. Rumah Ibu Win tak semewah
rumah Ibu Voi, namum setidaknya rumah Ibu Win tak sekecil rumahku.
“Ibu, ini bajunya. Sudah bersih dan wangi..” sahutku
ramah penuh senyum.
“Terimakasih, Laiza. Ini untukmu..” jawab Ibu Win
sambil memberikanku sebuah kantong.
“Apa ini, Bu?”
“Ini kue. Buatan Ibu. Terimalah, ini hadiah untuk
gadis cantik dan rajin sepertimu..”
Aku mengambil kantong itu, “terimakasih, Bu.”
“Iya, gadis cantik. Hati-hati di jalan pulang. Salam
untuk Ibumu..”
Aku mengembangkan
senyumku lebih dari tadi. Dan hari ini aku benar-benar bahagia bisa menyantap
makanan yang sedari dulu hanya ada di doaku saja..
Aku pun berjalan penuh
semangat menuju rumahku.
“Ibuuu... Ibuu.. Lihatlah apa yang ku bawa, Bu..”
teriakku sambil berlari ke dalam rumah.
“Astaga, Nak. Hati-hati, nanti terpeleset. Apa yang
kamu bawa, sayang?”
“Ini ikan dan kue, Bu. Pemberian dari Ibu Voi dan Ibu
Win,” jawabku bangga.
“Ya, sudah. Nanti ikannya biar Ibu masak, ya. Kuenya
kamu taruh saja di meja. Sekarang
kamu mandi..”
kamu mandi..”
***
Godaan untuk membunyikan
lonceng itu pun kembali menghantuiku. Tetanggaku, Wina, membunyikan lonceng
tersebut dan mimpinya untuk mempunyai boneka yang sangat besar pun terwujud.
Aku semakin tak bisa menahan godaan ini.
Diam-diam, aku berjalan
menuju halaman istana. Dari kejauhan aku melihat banyak anak-anak kecil yang
mengantri untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku semakin pesimis mampu
membunyikan lonceng kebahagiaan itu, tapi aku sudah teguhkan dalam hati untuk
mendapatkan kebahagiaan yang aku inginkan.
Dan tanpa sadar, kini,
aku sudah berada di antrian paling depan. Dan kini tibalah aku untuk
membunyikan lonceng kebahagiaan itu..
“Ucapkan keinginanmu dalam hati, Nona kecil..” kata
seorang pengawal kerajaan.
Aku mengangguk, lalu memejamkan mata, “Tuhan, aku
ingin punya mainan yang banyak.”
Aku pun membunyikan lonceng itu. “Nengggg.. Nooong...
Nenggg...”
“Tunggulah besok. Keinginanmu akan terwujud,” seru pengawal kerajaan sambil
mempersilahkan aku untuk pulang ke rumah.
mempersilahkan aku untuk pulang ke rumah.
Dengan perasaan dag dig
dug, aku pun melangkahkan kakiku untuk keluar dari halaman istana itu. Dan
melihat antrian anak-anak kecil yang semakin memanjang, entah berapa meter..
Di rumah, aku tak bilang
ke Ibu kalau aku baru saja membunyikan lonceng kebahagiaan itu. Aku takut, Ibu
akan marah. Jadi, lebih baik aku diam.
“Laiza, nanti sore, antar semua pakaian yang sudah
Ibu cuci hari ini, ya.”
“Baik, Bu. Aku mau tidur dulu, sebentar..” jawabku
lalu melenggang menuju kamarku.
Di kamar, aku memikirkan
lagi. Apakah lonceng kebahagiaan itu benar-benar memberikan semua kebahagiaan
yang kita inginkan? Ah, tak sabar menunggu mentari esok..
***
Keesokan harinya, aku
masih mengharapkan kebahagiaan dari lonceng itu. Tapi sudah sampai siang,
kebahagiaan yang ku inginkan itu tak kunjung datang. Kemana kebahagiaan yang ku
inginkan itu? Rasanya, aku memang tidak berhak menggenggam kebahagiaan yang ku
inginkan itu..
“Sedang menunggu apa, Nak?” tanya Ibu yang melihatku
tengah duduk di depan rumah.
“Gak, Bu. Cuma lagi cari angin segar aja..” jawabku
berbohong.
Sampai sore tiba,
kebahagiaan itu tak kunjung datang. Aku mulai menyerah menunggu kebahagiaan.
***
Keesokan harinya, aku
kembali mengumpulkan semangat lagi untuk membunyikan lonceng kebahagiaan itu.
Aku diam-diam menuju halaman istana tanpa sepengetahuan Ibu. Dan aku masuk lagi
ke dalam antrian itu. Antrian anak-anak kecil dengan muka penuh harap. Mungkin
salah satu dari mereka, ada yang bernasib sama sepertiku, belum disentuh
keinginan.
“Bagaimana dengan keinginanmu, kemarin? Bukankah kamu sudah kesini, ya?”
tanya pengawal heran.
“Belum. Makanya aku mau coba lagi,”
“Baiklah. Pejamkan mata dan ucapkan keinginanmu.”
Ku ucapkan lagi keinginanku yang sedari dulu ku inginkan, “aku ingin punya
mainan yang banyak..”
Ku bunyikan lonceng kebahagiaan itu, “Nenggggg...Nongggggg...Nengggggg...”
Aku pulang ke rumah dengan
perasaan was-was lagi. Sama seperti malam kemarin, aku menunggu dengan cemas
bagaimana dengan esok? Apa mungkin, saat aku terbangun nanti, aku akan disambut
oleh mainan-mainan yang sedari ku inginkan. Berdoa, ritual yang tak pernah ku
lupa...
***
Lagi-lagi aku mendapatkan
kekecewaan. Tak ada kebahagiaan yang ku inginkan. Yang ku lihat hanya ada Ibu
di dalam kamarku. Aku heran, tak biasanya Ibu menungguku bangun tidur seperti
ini.
“Ada apa, Bu? Tumben sekali Ibu menungguku bangun
tidur..”
“Kenapa kamu tidak bilang ke Ibu kalau kamu ikut
membunyikan lonceng di halaman istana itu. Ibu kecewa atas
ketidakjujuranmu..”
“Maaf, Bu. Aku hanya mau tau aja, kok..”
“Dan sekarang kamu sudah dapat bukti dari lonceng
itu?”
Aku menggeleng, “belum, Bu.”
“Seharusnya kamu sadar, kebahagiaan sudah ditakdirkan
oleh Tuhan. Kalau kamu memaksakan kebahagiaan itu
terjadi, sama saja namanya kamu mempermainkan takdir Tuhan, Laiz..”
“Maafkan aku, Bu..”
“Apa yang kamu inginkan? Ibu belum cukup memberikanmu
bahagia yang kamu idam-
idamkan itu?”
idamkan itu?”
Aku terdiam.
“Ibu sudah berjuang semuanya demi kebahagiaan kamu,
sayang. Maaf, Ibu belum jadi Ibu
yang hebat untuk Laiza..”
yang hebat untuk Laiza..”
Aku tertegun.
“Bu, maaf, aku tak bermaksud membohongi Ibu. Ibu
sudah menjadi kebahagiaan yang
kekal untukku. Ibu tak pernah terbeli oleh apapun. Maafkan Laiza, Bu..”
kekal untukku. Ibu tak pernah terbeli oleh apapun. Maafkan Laiza, Bu..”
“Ibu selalu maafkan kamu, Laiza. Sekarang, ingat
pesan Ibu, kebahagiaan yang sesungguhnya
tak pernah bisa dibeli. Dan kebahagiaan yang abadi itu akan tetap ada walau tanpa
membunyikan lonceng itu..”
tak pernah bisa dibeli. Dan kebahagiaan yang abadi itu akan tetap ada walau tanpa
membunyikan lonceng itu..”
“Lalu, bagaimana dengan teman-temanku yang sudah
membuktikan keajaiban dari lonceng
itu, Bu?”
itu, Bu?”
“Itu tandanya, Tuhan sudah menulis takdir bahagia
untuk mereka. Percayalah, Tuhan sudah
menuliskan kebahagiaanmu. Jadi, tunggu sampai saat itu tiba..”
menuliskan kebahagiaanmu. Jadi, tunggu sampai saat itu tiba..”
“Baik, Bu. Mulai sekarang, aku tak akan lagi mencari
kebahagiaan. Karena kebahagiaanku
ada disini, Bu. Di rumah ini, bersama Ibu..”
ada disini, Bu. Di rumah ini, bersama Ibu..”
Pagi itu menjadi pagi
yang sangat mengharukan untuk Ibu dan anak itu. Laiza, tak lagi percaya
kebahagiaan yang datangnya dari lonceng itu, dan ia lebih percaya bahwa
kebahagiaan yang sesungguhnya tak perlu dicari, nantinya kebahagiaan itu akan
datang, sesuai masanya.
Percaya atau tidak Laiza
tentang lonceng kebahagiaan itu, tanpa pernah Laiza tau, malaikat baik sudah
mencacat namanya untuk diberikan limpahan kebahagiaan yang akan datang suatu
hari nanti...
Minggu, 04 November 2012
Aku Cinta Kakak
Ketika cinta berbicara,
mungkin sebutir air mata-pun terasa sangat berarti.
Kalian boleh bilang aku
ini gila. Kalian boleh bilang aku adalah anak setan ataupun anak iblis.
Terserah kalian, karena memang inilah diriku yang sesungguhnya.
Di atas bukit, aku
bercerita kepada angin tentang hariku. Ya, seperti inilah kehidupanku, alami
dan tak terusik.
“Hei, angin. Tau gak? Seperti biasa aku di ejek
kawan-kawanku,”
Perlahan angin membasuh telingaku, sepertinya ia berbicara
kepadaku.
“Kenapa seperti
itu, Ven?”
“Tadi aku bercakap-cakap dengan seekor semut yang
hinggap di mejaku, angin.”
Huh, lagi-lagi angin menghembus dan menertawakanku.
Jangan kaget bila melihat
aku bercakap-cakap dengan benda-benda atau hewan-hewan disekitarku, karena
beginilah aku. Aku menganggap mereka semua hidup sepertiku, mereka semua
kawanku, karena aku yakin tak ada yang mau berkawan denganku. Oleh karena itu,
aku lebih memilih bersama mereka, sesuatu yang kalian anggap “mati”....
***
“Ven, ini minum dulu obatnya..” suruh kakakku, Aslan, masuk ke kamarku
membawa segelintir obat-obatku yang membosankan itu.
“Gak! Ven gak mau minum obat, kak!” bentakku sambil melempar semua
obat-obatku.
“Tapi kakak gak mau Venelia sakit. Ven harus sembuh, minum obat ya,
sayang..”
“Sekali gak ya gak, kak! Aku muak sama obat itu..”
Kak Aslan memungut obat-obatan
yang ku lempar tadi. Kak, maafkan aku..
“Ya, sudah kalau kamu gak mau minum obatnya. Biar kakak aja ya yang minum,”
“Jangan, kak. Kakak gak sakit, aku yang sakit..”
“Gak apa-apa, Ven. Sayang obatnya, mahal, Ven..”
Kak Aslan langsung
menelan obat-obatanku. Aku menangis lalu memeluk kakakku.
“Kak, maafin Ven..”
“Sekarang kamu tidur ya. Besok kamu harus sekolah, jangan nangis gitu.
Nanti kakak dimarahin Ibu kalau lihat Ven nangis..”
Aku hanya diam sambil
sesekali menyeka air mataku. Sungguh aku tak pernah bertemu orang yang tulus
selain almarhumah Ibu dan kak Aslan...
Kak Aslan mengecup lembut
keningku dan membiarkanku larut dalam panjangnya mimpi malam ini. Sebelum kak
Aslan membalikkan badannya, aku menarik tangannya.
“Kak, maaf kalau aku merepotkan..”
Tanpa kata, kak Aslan
tersenyum lalu keluar dari kamarku. Aku perlahan menutup mataku dan berharap
besok masih ada sisa hari untuk umurku yang tak terlalu menyenangkan ini.
***
Kak Aslan membangunkanku,
aku pun langsung membuka mata.
“Selamat pagi, Jam. Selamat pagi, Selimut,
terimakasih untuk kehangatannya malam tadi ya. Selamat
pagi, Jendela. Selamat pagi, Pintu. Selamat pagi, Gordyn!” ucapku kepada semua kawan-kawanku.
Aku bergegas mandi dan
bersiap untuk berangkat ke sekolahku. Seusai mandi, aku bercermin dan memakai
jilbabku. Rambutku sudah semakin menipis, rasanya umurku pun juga semakin
menipis. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku tak mau melihat kak Aslan
bersedih, karena kak Aslan sangat menginginkan aku untuk sembuh dari semua
penyakit ini. Jadi, aku harus tetap dan terus tersenyum melewati semuanya. Aku
percaya, kematian sudah pasti datang, dan aku sudah siap untuk semuanya.
“Sini, Ven. Udah kakak buatin sarapan khusus buat
kamu!” seru kak Aslan sambil membawa
sepiring nasi goreng kesukaanku.
sepiring nasi goreng kesukaanku.
Aku menghampirinya, “terimakasih, kak..”
“Sama-sama, sayang. Dihabiskan ya! Jangan ada sisa..”
“Sip! Ohiya, kak, melatiku udah disiram, kan?”
“Sudah, sayang.”
Aku menghabiskan sepiring
nasi goreng buatan kak Aslan. Jam setengah 7, kak Aslan sudah siap dengan
sepedanya untuk mengantarkanku ke sekolah. Ya, aku sangat menyayangi sepeda
pemberian dari Ayahku ini. Hmm, Ayah.. Kemana beliau sekarang ya? Apa ia tak
ingat ada aku dan kak Aslan, anaknya yang sangat merindukannya. Kata kak Aslan,
Ayah sudah bahagia dengan keluarga barunya.
Sejak Ibu meninggal dan
aku di vonis terkena kanker otak stadium akhir, Ayah pergi meninggalkanku
bersama kak Aslan. Entah karena alasan apa, mungkin karena Ayah malu mempunyai anak botak sepertiku.
Jadi, kini tinggal aku dan kak Aslan berdua di rumah peninggalan almarhum Ibu.
Siapa yang kuat menahan
sakitnya kanker ini? Aku tak pernah ingin bahkan tak ada yang ingin dihampiri
penyakit menyeramkan ini. Semuanya berjalan layaknya kehidupan. Sempat sedih
melihat tak ada seorang pun mau mendekatiku, kecuali kak Aslan dan mereka yang
tak bernyawa..
***
“Hujan, aku iri melihat pohon kelapa itu. Mereka
semua memiliki daun diantara tangkainya. Tapi tengoklah kepalaku,
tak nampak rambut yang lebat disini. Aku ingin memiliki rambut lagi seperti dulu..”
bisikku kepada hujan.
Hujan nampak turun lebih
deras dari sebelumnya, aku tau hujan marah. Aku tau hujan kesal dengan
bisikanku. Mungkin kalau ia bisa berbicara, mungkin ia akan berkata seperti
ini.
“Kenapa kamu harus sesalkan semua,
Ven! Jangan pernah sesali apa yang sudah di anugrahkan Tuhan untuk kamu. Semua
sudah ada jalannya, jangan pernah iri melihat keindahan sosok makhluk selainmu.
Karena, belum tentu mereka bisa jadi kamu. Banggalah dengan dirimu, Ven!”
“Hujan, maafkan aku yang selalu banyak mengeluh..”
Seminggu yang lalu, aku
dan Kak Aslan ke rumah sakit untuk memeriksa kondisiku. Waktu itu, Dokter
memintaku untuk menunggu di luar ruangan dan beliau bersama kak Aslan berbicara empat mata. Sepertinya ada sesuatu yang tak harus aku tau saat itu, walau pada
akhirnya aku tau sendiri percakapan mereka. Ketika di jalan pulang, aku bertanya
kepada kak Aslan tentang kondisiku, kak Aslan menangis, lalu menggenggam erat
tanganku.
“Kenapa harus kamu, Ven? Kenapa gak kakak aja..”
ucapnya pelan.
“Aku gak bisa sembuh ya, kak?”
“Kamu sembuh! Kamu harus sembuh, Ven!”
“Kakak jangan bohong. Aku tau, umurku gak akan lama
lagi, kan?”
“Jangan bilang begitu lagi, Ven. Tolong..”
Sejak saat itu, aku tau
kalau sisa umurku akan habis. Jadi, aku tak akan mempermasalahkan tentang siapa
yang mau bersahabat dan bermain denganku. Aku hanya akan mempermasalahkan
bagaimana caranya aku membuat kak Aslan bahagia, karena hanya dia cinta yang
kupunya sekarang.
“Kak, aku janji akan bikin kakak bahagia,”
“Selama ini kamu selalu bikin kakak bahagia, sayang,”
Kak Aslan begitu membuat
hidupku yang sepi ini menjadi lebih ramai. Jikalau saja semua benda mati itu
mampu berbicara, mungkin aku tak akan kesepian, aku akan lebih mengerti dan
merasakan apa itu persahabatan yang sesungguhnya.
***
Entah berapa lama aku
tertidur, aku merasakan sebuah keajaiban yang sedari dulu hanya ada di
imajinasiku. Semua yang dulu selalu mendengar keluh kesahku kini mampu
tersenyum dan berbicara denganku.
“Ven, ini aku,
Hujan. Aku yang selalu mendengar semua perkataanmu..”
“Ven,
ini aku, Angin. Aku yang selalu menghembuskan sejuk di saat kamu sedih..”
“Kalian semua mampu bicara sekarang?”
“Tentu saja,
Ven! Kita semua sahabatmu..”
“Aku dimana, Angin?” tanyaku bingung sambil
menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Eits, tunggu. Kepalaku?
Ya, Tuhan, rambutku ada lagi seperti dulu. Aku yakin ini mimpi.
“Hujan, apa aku mimpi? Jika memang ini mimpi, tolong
jangan bangunkan aku..”
“Kenapa begitu,
Ven?”
“Aku senang memiliki rambut lagi. Hanya itu..”
Sesederhana itu
keinginanku, memiliki rambut lagi.
“Ven, tengoklah
melatimu. Ia begitu cantik..” seru Angin.
Aku menoleh, dan ternyata
benar saja. Melatiku sudah tumbuh sangat indah, pasti kak Aslan menjaganya
dengan hati-hati. Astaga, kak Aslan. Dimana dia?
“Hujan, Angin, dimana kakakku?”
“Coba sekarang
kamu pejamkan matamu selama 5 detik, lalu buka matamu, kamu akan
lihat kakakmu,” jawab Hujan.
lihat kakakmu,” jawab Hujan.
Aku pejamkan mataku 5
detik, lalu ku buka mataku. Benar saja, aku melihat kak Aslan yang tengah duduk
di sebelahku. Tapi, dimana aku sekarang? Kenapa aku ada di ruangan yang sangat berbau
obat seperti ini?
“Alhamdulillah. Akhirnya kamu sadar, Ven..”
“Kak Aslan? Dimana Hujan? Dimana Angin? Dimana
Melatiku, kak?”
“Kamu ini bicara apa? Sudah hampir satu bulan kamu
koma, Ven,”
“Jadi, tadi itu mimpi, kak?”
“Kamu mimpi apa, sayang?” tanya kak Aslan dengan mata
yang terlihat berkaca-kaca.
“Aku mimpi, aku punya rambut lagi, kak.” jawabku
pelan.
Kak Aslan menangis, “kakak akan bawakan semua mimpimu,”
Kak Aslan pun keluar
meninggalkanku di ruangan ini sendiri. Aku tak tau kemana ia akan pergi.
Membawa mimpiku?
Dengan malas, aku mencoba
menyentuh kepalaku. Tak ada rambut disini, dan ternyata tadi memang hanya
mimpi. Begitu indahnya mimpi tadi. Tiba-tiba dokter masuk ke ruanganku dan
segera memeriksa kondisiku.
“Selamat melihat dunia lagi, Venelia.” seru dokter mengembangkan senyumnya kepadaku.
“Ih, dokter bisa aja. Hmm, kata kak Aslan, aku sudah
tak sadarkan diri selama satu bulan,
ya?”
ya?”
“Hmmm, ya, Ven. Dan sekarang kamu tersadar, kamu
kuat, Ven.”
Ternyata memiliki rambut
lagi seperti dulu hanyalah mimpiku saja. Dan aku berharap suatu hari nanti,
Tuhan akan mengizinkan aku untuk memiliki rambut yang indah untuk yang kedua
kalinya.
Aku masih menunggu kak
Aslan yang sedari tadi belum datang juga. Setelah beberapa jam kemudian,
tibalah kak Aslan sambil membawa sebuah kotak.
“Kakak bawa apa?” tanyaku pelan.
“Ini buat kamu, sayang..” katanya sambil menyerahkan kotak
besar itu.
Aku membukanya dan
ternyata ini benar-benar diluar dugaanku. Kak Aslan membeli satu buah rambut
palsu untukku.
“Maaf. Kakak Cuma bisa kasih kamu rambut palsu ini. Kakak Cuma mau bikin
mimpi kamu jadi nyata, Ven. Kakak gak mau kamu sedih..”
Aku memeluk kak Aslan penuh haru, “ini lebih dari mimpiku, kak. Terimakasih..”
Kak Aslan memakaikan
rambut palsu ini di kepalaku yang skarang benar-benar botak. Dokter dan perawat
yang sedari tadi menemaniku pun menangis haru melihat apa yang dilakukan kak
Aslan kepadaku. Tuhan, terimakasih sudah mengutus malaikat untuk menjagaku...
Kini, aku mampu tersenyum
bahagia. Aku tak lagi botak, aku memiliki rambut sekarang. Ini mimpiku, mimpi
yang sedari dulu ku mimpikan. Perlahan ada angin masuk melalui ventilasi, aku
tau saat itu juga Angin pasti tersenyum melihat mimpiku terwujud. Andai, aku
mampu mewujudkan mimpiku yang satunya, membuat Angin, Hujan dan semua
kawan-kawanku mampu berbicara...
***
Kematian memang sudah
pasti. Mengelak? Tak akan mungkin lagi mampu ke tepis kematian yang sudah
ditakdirkan untukku. Malam itu, aku berpesan kepada Melati, agar untuk selalu
menjaga kak Aslan, sebagaimana kak Aslan yang selalu menjaganya. Aku tau,
kehilangan adalah sesuatu yang menyakitkan.
“Kak Aslan, terimakasih untuk semua canda tawamu. Terimakasih untuk semua
kasih sayangmu, semua semangatmu, semua jerih payahmu untukku, adikmu yang di
vonis hanya mampu hidup dalam waktu 4 bulan saja. Kamu sudah berhasil membuatku
mengerti, apa itu kehidupan. Apa itu cinta, aku cinta kak Aslan. Sebagaimana
kak Aslan yang selalu mencintaiku. Kak, aku rindu Ibu. Aku ingin dipeluk Ibu.
Bukan, bukan karena pelukan kak Aslan tak hangat selama ini, aku hanya rindu,
kak. Izinin Venelia untuk ketemu Ibu ya, kak? Kakak akan baik-baik disini walau
tanpa aku, kakak gak akan sendirian kok. Semua kawan-kawanku sudah ku tugaskan
untuk selalu menjaga kakak. Kakak, kalau ada hujan, coba deh kakak tengok ke
jendela. Rintik itu tersenyum, menyemangati kakak. Lalu, ketika ada hembusan
angin, itu tandanya seseorang kawan baikku sedang menyapa kakak. Ia baik,
selalu sejuk, sama seperti kakak. Dan melati, ia akan tetap berkembang,
mewangi, dan aku harap, semua itu cukup untuk membuat kakak bahagia. Maafkan
aku yang selalu merepotkan, kak. Maafkan aku yang selalu membuat kakak bingung.
Aku memang beruntung, kakak itu malaikatku. Kak, Ibu bilang, kakak hebat. Ibu
bangga sama kakak, dan aku pun lebih bangga mempunyai kakak seperti kakak. Aku
sayang kakak, aku cinta kakak, aku yakin aku akan kangen banget sama kakak."
Kak Aslan membacakan
suratku yang ku tujukan untuknya pada saat aku masih mampu merasakan dekapan
tangannya. Di depan semua anggota keluarga dari Ibu, kak Aslan menangis. Ia
belum menerima sepenuhnya kematianku, dua hari yang lalu. Kak Aslan menangis,
air matanya tak lagi mampu ditahannya. Seketika itu, Hujan mulai menetes
beserta Angin berhembus. Kak Aslan tau, saat itu juga sahabat-sahabatku sedang
menghiburnya. Kak Aslan lalu keluar rumah dan berteriak, “Terimakasih, Hujan!
Terimakasih, Angin! Terimakasih sudah menjadi kawan dari adikku, Venelia!"
Jumat, 02 November 2012
A Mirror
Dengan penuh semangat,
aku berjalan menyusuri jalanan desa yang masih sedikit asing untukku.
Semangatku kali ini bukan tanpa alasan, aku ingin mengetahui rahasia tentang
lemari tua di rumah kakek. Andai saja kakekku masih hidup sampai sekarang,
pastinya aku akan lebih bersemangat lagi untuk menuju rumah kakek. Sayang,
kejadian aneh 4 tahun yang lalu belum mengungkap misteri kematian kakekku. 4
tahun yang lalu, saat usiaku masih 10 tahun. Aku tak tau apa-apa saat itu, Ayah
dan Ibu hanya bilang bawah kakekku meninggal karena sakit yang tak kunjung
sembuh, tapi anehnya, aku sama sekali tak melihat jasad kakekku dikebumikan.
Aku hanya tau, ada sebuah batu nisan di belakang rumah dan Ibu bilang itu makam
kakek. Padahal, acara pemakaman kakekku pun tak dilangsungkan. Ah, aku tak
mengerti, mungkin saat itu usiaku masih terlalu kecil untuk mengetahui rahasia
ini. Aku tak tau siapa yang bersandiwara di balik kematian misterius kakek
Johan, mungkin Ibu dan Ayah sudah membohongiku, atau mungkin... Ah, sudahlah,
biarku cari sendiri saja rahasia ini...
***
Sudah seminggu, aku, Ayah
dan Ibu menginap di kampung kakek. Tapi, aku tak tinggal di rumah kakek, aku
tinggal di rumah tanteku, tante Yuswa. Rumah tante Yuswa satu kampung dengan
kakek, hanya beda daerahnya saja. Dan rumah kakekku pun tak terlalu jauh dari
rumah tante Yuswa. Jadi, aku beranikan diri untuk berjalan sendiri menuju rumah
kakekku. Dengan izin ingin mencari angin segar, Ibu pun mengizinkan aku untuk
pergi sebentar dari rumah tante Yuswa. Ibu tak tau kalau sebenarnya aku ingin
menuju rumah kakek. Huh, Ibu dan Ayah tak akan mengizinkan aku untuk kesana
seorang diri, aku yakin, pasti ada sesuatu yang harusnya aku tau sedari dulu.
“Aku berangkat ya, Bu,” izinku sebelum keluar dari
pintu rumah tante Yuswa.
“Iya, Lic. Kamu hati-hati ya, jangan jauh-jauh
jalan-jalannya. Dan ingat! Jangan ke rumah
kakek Johan!” pesan Ibu.
kakek Johan!” pesan Ibu.
Aku tersenyum lebar, dan segera melenggang keluar
rumah.
“Huh, lagi-lagi Ibu
melarangku untuk kesana. Tapi semakin di larang, justru aku semakin penasaran,”
gumamku di perjalanan.
Sambil memakan buah apel
yang ku bawa dari rumah tante Yuswa, aku berjalan hingga akhirnya aku melihat
dari ujung gang. Sebuah rumah tua yang umurnya hampir satu abad itu berdiri
dengan kokohnya, pepohonan besar menyambutku. Kampung ini sangat panas kalau
siang-siang begini, tapi kenapa di gang rumah kakekku ini begitu sejuk? Mungkin
karena pepohonan ini...
Dua pohon beringin berdiri di
sisi kanan dan kiri rumah kakek Johan. Rumah kakek nampak berwarna kusam, kotor
dan tak terawat. Ya, sejak kematian nenekku 6 tahun yang lalu, disusul kakekku
4 tahun yang lalu, rumah ini memang dibiarkan kosong dan tak terawat seperti
ini. Padahal, rumah kakek ini sangatlah megah, ya, memang rumah ini kusam tapi
kemegahannya masih tetap terlihat. Rumah ini adalah peninggalan dari leluhurnya
kakekku, begitu kata kakek yang sampai sekarang masih ku ingat.
Kini, aku sampai di depan
pintu besar rumah kakek. Aku membuka pintunya, terdengar gesekan pintu yang
menyeret lantai berdebu. Sambil menutup hidung, aku berjalan pelan-pelan
menyusuri rumah kakek. Hmm, aku ingat waktu aku masih kecil dulu, aku selalu
main bersama kakek dan nenek di rumah ini dan dulunya pun rumah ini sangat
nyaman. Tak pernah bosan aku menginjakkan kaki di rumah ini.
Di sisi sebelah kiri,
masih tertata rapi meja panjang dengan lukisan buah di dindingnya. Dulu, kami
keluarga besar dari kakek dan nenek selalu makan bersama di meja itu. Aku
menyentuh meja itu perlahan sambil ku bersihkan debunya. Ah, aku jadi kangen
kakek..
Aku berjalan lagi menuju
ruang keluarga. Nampak sekali sofa besar disitu, berwarna merah hati yang masih
sangat abadi. Ku tepuk-tepuk sofa ini dan nampaklah debu-debu berterbangan.
Sayang sekali, sofa sebagus ini dibiarkan berdebu seperti ini.
Aku berlalu meninggalkan
sofa, lalu berjalan lagi menuju kamar kakek dan nenek. Masih tertata rapi,
hanya debu saja yang mengganggu kerapihan itu. Tak jauh dari kamar kakek dan
nenek, aku melihat ada sebuah lemari tua dengan cermin yang ukurannya sangat
besar. Entah kenapa cermin itu begitu memaksaku untuk mendekat. Memang sedari
dulu aku mengetahui adanya cermin besar itu, tapi entah kenapa semua anggota
keluargaku tak pernah ada yang mengizinkanku untuk bercermin di cermin ini.
Dulunya cermin ini selalu ditutupi kain. Hmm, entah apa maksudnya. Tapi
sekarang, cermin ini sudah dibiarkan terbuka begitu saja sejak kematian kakek
yang misterius itu.
Aku mendekati lemari tua
itu. Dan kini, aku berada tepat di depan lemari tua kakek dengan cerminnya yang
sangat besar. Cermin ini sama sekali tak berdebu, padahal benda-benda di
sekitarnya semuanya ditumbuhi debu. Ku sentuh cermin itu, namun tiba-tiba...
“Ahhhh! Astaga, seperti ada yang menarikku dari
dalam!” kataku sedikit berteriak.
Ada apa dengan cermin
ini? Kenapa aku merasakan cermin ini seperti menarikku ke dalam? Apa hanya
perasaanku saja? Dengan perasaan takut, aku pun menjauh sedikit dari cermin
ini. Tapi entah kenapa, aku merasakan tubuhku di sedot oleh cermin ini. Tuhan,
ada apa ini...
***
Dengan keringat yang
membasahi tubuhku, aku membuka mataku. Aku tak melihat apa-apa disini, hanya
ada ruangan putih tak bernoda. Aku dimana...
Ku ingat-ingat tadi aku
berada di depan cermin yang ada di lemari tua milik kakek. Apa mungkin sekarang
aku berada di dalam cermin kakek? Aku berlari kesana kesini, mencari jalan
keluar dari ruangan asing ini. Ku tengok jam tanganku, sudah hampir sore. Ibu
dan Ayah pasti mencariku. Aku terus berlari dan terus mencari jalan keluar.
“Cucuku Arlic..”
Aku mendengar suara kakek
disini. Aku mencari-cari dimana kakek.
“Kakek? Itu kakek? Kakek dimana? Arlic takut sendiri
disini,”
“Kakek disini, Lic,”
Aku menengok ke belakang
dan ternyata kakek Johan di belakangku. Tapi kenapa kakek ada disini? Akhirnya
kakek pun bercerita kalau sekarang aku dan kakek berada di dalam cermin. Aku
tak percaya, bagaimana mungkin aku bisa berada di dalam cermin? Kakek berusaha
menjelaskan, bahwa sebenarnya kematiannya memang masih menjadi misteri sampai
sekarang, padahal, kakek saja belum meninggal. Ia hanya terkurung dalam cermin
tua ini. Ah, rasanya sudah lama aku tak lagi melihat senyuman kakek. Dengan
sedikit tangis, aku pun memeluk kakek...
“Jadi sekarang, Arlic gak bisa keluar dari sini? Dan akan seterusnya
bersama kakek?” tanyaku.
“Iya, Lic. Kita akan terus disini, karena kakek sendiri pun belum tau
bagaimana caranya keluar dari sini..”
“Kek, aku kangen Ibu..”
Kakek memelukku penuh
rindu. Aku pun yakin ia juga merasakan kerinduan yang sedari dulu ku rasakan
kepadanya.
“Lalu, bagaimana kalau Ibu dan Ayah mencariku, Kek?”
Kakek hanya diam, lalu memelukku lagi.
“Kakek, maaf kalau aku banyak bertanya..”
“Tak apa, Lic. Kakek rindu sekali sama kamu dan
sekarang kamu ada disini bersama kakek.
Boleh kakek minta tolong?”
Boleh kakek minta tolong?”
“Tolong apa, Kek?”
“Jika sempat, bersihkan rumah kakek, Lic. Lalu
ambillah tongkat kakek di dalam lemari ini..”
“Tapi bagaimana aku bisa keluar, Kek?”
Belum sempat kakek
menjawab, aku merasakan ada goncangan yang lumayan keras menggoyang-goyangkan
tubuhku. Dan ternyata itu Ibu..
“Arlic, bangun sayang. Kamu kenapa?”
“Ibu? Dimana kakek? Dimana cermin itu? Lemari itu?”
“Kamu ini kenapa? Tadi kamu bilang kamu mau
jalan-jalan, kan? Eh, tau-tau kok malah asik
tiduran di sofa depan..”
tiduran di sofa depan..”
Aku terdiam, lalu
mengucek-ucek mataku. Sebenarnya mana yang mimpi?
“Bu, ayo kita ke rumah kakek! Kita bersihkan rumah
kakek!”
Tanpa berbicara panjang
lebar, aku langsung mengambil kemoceng dan berlari menuju rumah kakek. Ibu dan
Ayah mengejarku. Aku tak peduli, aku tetap berlari. Aku ingin memastikan, mana
yang sebenarnya..
Tak perlu waktu lama, aku
pun tiba di depan rumah kakek, aku langsung masuk ke dalamnya dan langsung
membersihkan semua debu yang menempel. Ayah dan Ibu hanya diam dan bingung
dengan kelakuanku.
Dan kini aku harus
bersihkan lemari tua ini. Aku ingat pesan kakek tadi, aku harus mengambil
tongkat kakek di dalam lemari ini. Aku buka lemari ini dan benar saja, ada
tongkat kakek disana.
“Ibu, Ayah, lihat! Ada tongkat kakek disini..”
teriakku kepada Ibu dan Ayah.
Ibu dan Ayah mendekatiku
kemudian mengambil tongkat kakek lalu mengajakku untuk keluar dari rumah kakek.
“Ibu dan Ayah duluan saja. Aku nanti menyusul..”
ucapku sambil memandang cermin tua ini.
Ibu dan Ayah
meninggalkanku. Aku terpaku menatap cermin besar ini. Aku masih merasakan
kejadian dimimpiku tadi itu nyata. Karena semuanya memang seperti nyata. Tapi,
sudahlah, mungkin memang mimpiku saja yang terlalu seperti nyata. Aku pun
membalikkan tubuhku.
“Kakek disini,
Lic. Bantu kakek keluar dari disini..”
Astaga, suara kakek! Aku
membalikkan tubuhku, hanya ada cermin tua itu. Dengan langkah gemetar, aku pun
berjalan setengah berlari untuk keluar dari rumah kakek. Suara siapa tadi? Ah,
kenapa aku jadi merinding seperti ini.
“Bu, Bu, kakek di dalam..” bisikku di perjalanan
menuju rumah tante Yuswa.
“Kakek? Di dalam mana, Lic?”
“Cermin, Bu..”
“Halaah, kamu ini. Kamu tadi itu hanya berhalusinasi
saja, Lic. Kakekmu itu sudah meninggal,
karena sakit, mana mungkin ada di cermin..”
karena sakit, mana mungkin ada di cermin..”
“Tapi, Bu. Tadi itu seperti nyata, buktinya aku
menemukan tongkat kakek, kan? Itu pesan
kakek tadi, Bu..”
kakek tadi, Bu..”
“Sudah sudah. Jangan bicara yang tidak-tidak. Biarkan
kakekmu tenang di surga, Lic..”
“Tapi, Bu, aku serius..”
Ibu tak menghiraukan lagi
kata-kataku. Siapa yang salah sebenarnya? Mimpiku? Tidak tidak, itu bukan
mimpi. Kini biarlah mimpiku yang masih menjadi misteri bagi diriku sendiri.
Sampai sekarang, misteri
kematian kakekku masih menjadi catatan dalam ingatanku. Dan mimpi tadi adalah
mimpi yang tak pernah ku percayai kalau itu semua hanyalah mimpi...
Cermin, tolong jaga kakek disana..
Langganan:
Postingan (Atom)